Minggu, 09 September 2007

Membendung Shahwat Kok Minta Bantuan Negara

April, 24 2006 @ 01:09 pm
Membendung Shahwat Kok Minta Bantuan Negara!
Masalah moral masalah akhlak biar kami cari sendiriUrus saja moralmu urus saja akhlakmuPeraturan yang sehat yang kami mau (Iwan Fals)Ratu Hemas, istri Sri Sultan Hamengkubuwono X, raja sekaligus gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, menelpon juru bicara presiden Andi Malarangeng, pada pagi Sabtu 22 April 2006 dari Monas, Jakarta. “Saya membawa rombongan 150 seniman dari Yogyakarta. Saya tak mau seniman saya terluka atau lecet sedikit pun karena pemerintah dan polisi tak mampu mengendalikansekelompok masyarakat yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya!”Telpon Ratu Hemas tadi mengkhawatirkan serangan dari FPI (Front Pembela Islam) yang akan mengganggu jalannya aksi damai Pawai Bhinneka Tunggal Ika dari Monas ke bundaran Hotel Indonesia.

Kekhawatiran itu beralasan karena banyak bukti polisi tak bisa bertindak maksimal saat terjadi aksi kekerasan FPI seperti terakhir terhadap kantor majalah Playboy.Tujuan pawai yang diikuti sekitar 7.000 orang itu adalah menegaskan penolakan terhadap segala bentuk pornografi, namun juga menolak Rancangan Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU Porno). Mereka menolak RUU Porno harus ditentang? Karena RUU Porno tak mengakui "kebhinnekaan" masyarakat Indonesia, membunuh kebudayaan ratusan suku bangsa dengan memaksakan penyeragaman budaya dan tak memberikan perlindungan kepada kaum perempuan, bahkan menyudutkan perempuan dengan menempatkannya sebagai penyebab utama bejatnya moral bangsa.

Pawai Budaya Bhinneka Tunggal Ika mengingatkan kembali bahwa bangsa Indonesia memiliki keragaman budaya dari Aceh sampai Papua. Keragaman itu selain ditunjukkan dengan aneka kesenian daerah, juga diperagakan dengan aneka pakaian tradisional. Pakaian daerah dari yang semi tertutup dari Aceh, semi terbuka, sampai terbuka dari Papua. Semua itu dalah kekayaan budaya yang tiada taranya.

Soal pakaian ini menjadi penting karena salah satu tokoh MUI pendukung RUU Porno mengatakan, “Pakaian adat Indonesia yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan saja di musium. Itu harus dianggap sebagai pornoaksi dan harus masuk dalam kategori porno yang diatur dalam RUU APP. Simpan saja di musium, jangan dilestarikan, karena tidak sesuai dengan martabat bangsa ini. Biar jadi sejarah.” (KCM, 13/3/06)

“Sungguh ini menghina saya sebagai lelaki. Masak soal mengatur shahwat harus minta bantuan negara?” tanya Butet Kartarejaja Raja Monolog yang memimpin rombongan seniman dari Yogyakarta. “Masak sampean yang ngaceng kok perempaun yang disalahin?” ujar Dadang Ismawan, Presiden Jaringan Kafir Liberal (Jakar). Peserta pawai lainnya, Marto Art dari Komunitas Bintang Sabit mengatakan, “Indonesia bukan Arab Saudi. Jangan samakan shahwat orang Indonesia dengan Arab Saudi. Karena itu harus ditentang penyeragaman budaya, apalagi penjajahan budaya Arab di Indonesia.” Coba bayangkan berapa TKW kita yang diperkosa di Arab Saudi meski mereka memakai baju tertutup. Bandingkan dengan para TKW di Hongkong yang tak memakai pakaian tertutup seperti di Arab Saudi. "Jadi bukan karena TKW kita yang kegenitan, tetapi memang shahwat para majikan mereka kelewatan!" tambah Marto.

Sungguh bangsa Indonesia sedang menghadapi ancaman besar yaitu Talibanisme. Ancaman itu sungguh berbahaya karena akan membawa bangsa ini kepada apa yang dimaksud zero culture. Sebuah masyarakat tanpa kebudayaan, sebab senua diseragamkan. Pakaian perempuan harus seragam agar para mullah tak ngaceng kalau sedang berjalan-jalan. Para lelaki harus memakai jenggot. Permainan layang-layang diharamkan entah apa penjelasan akal sehatnya, patung-patung bersejarah peninggalan zaman duku mungkin harus dimusnahkan termasuk patung Rara Jonggrang yang tak pakai beha.

Sekali lagi. Pecinta Indonesia yang berbhinneka harus melawan setiap usaha negara untuk menyeragamkan pikiran dan tingkah laku. Ancaman itu ada di depan mata yaitu RUU Porno. Kita tak ingin Indonesia terpuruk menjadi sebuah negara atau tatanan masyarakat seperti Taliban di Afghanistan atau di Arab Saudi.

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Society & Culture Parasindonesia.com

Melawan Teror(is/me) Melalui Humor

December, 02 2005 @ 04:21 pm
Melawan Teror(is/me) Melalui Humor
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah menulis kolom di majalah Tempo edisi Desember 1981 yang kemudian dijadikan judul buku kumpulan kolomnya, “Melawan Melalui Humor” (PDAT Tempo, 2000). Menurut Gus Dur, lelucon merupakan wahana ekspresi politis yang menyatukan bahasa rakyat dan mampu mengidentifikasikan masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan. Selain itu, lelucon juga memiliki kemampuan menggalang “musuh bersama”. Karena itu, fungsi perlawanan kulturalnya menunjuk kepada kesadaran yang tinggi untuk menyatakan apa yang benar sebagai kewajiban tak terelakkan.

Ketika kolumnis humoris itu menjadi orang nomor satu RI, ia pernah membuat pernyataan mengenai jihad. Saat sekelompok orang dari luar Ambon dengan dalih jihad ingin masuk Ambon, Gus Dur mengatakan: “Mau jihad kek mau jahit kek, pokoknya orang yang masuk Ambon membawa senjata harus ditangkap!” Setahu penulis orang yang berani menyatakan sekaligus memlesetkan jihad dengan jahit hanya kyai presiden Gus Dur. Lelucon Gus Dur tentang para tokoh agama baik dari Islam, Kristen, Yahudi dan agama lain sering kita dengar. Bagi Gus Dur tak ada yang sakral. Semua bisa dihumorkan.

Menyusul tewasnya Dr. Azahari dan ditemukan VCD pengakuan tiga pelaku bom Bali II, para ulama kini mempunyai tugas tambahan. Mereka diminta mengajak masyarakat agar tak sesat mengikuti ajaran teroris melakukan jihad dengan serangan bom bunuh diri. Bisakah para ulama kita membentengi para pemuda kita dari jebakan ajaran jihad yang membahayakan itu? Sungguh ini bukan tugas ringan. Melawan terorisme tak cukup hanya mengandalkan senjata ayat. Ulama perlu mempunyai senjata tambahan bernama humor. Ya, mari kita melawan teror dengan humor. Mari kita mentertawakan para teroris yang nuraninya segaris.

Salah satu sebab teroris tetap eksis di masyarakat kita karena sebagian menganggap teroris sebagai pahlawan. Masyarakat bangga memakai kaos bergambar Osama bin Laden. Dr. Azahari jika tak pernah tertangkap mungkin akan melegenda seperti Osama. Tanpa disadari masyarakat mendukung terorisme atau setidaknya simpati dengan mereka. Terutama kalangan miskin sangat rentan terhadap ajaran jihad yang memberi iming-iming surga secara instan. Mereka yang tengah menghadapi kesulitan hidup – seperti banyak utang - dibelokkan menjadi tak menghargai kehidupan itu sendiri. Menurut Dr. Syafi’i Ma’arif mantan Ketua PP Muhammadiyah mereka adalah orang-orang yang berani mati tetapi takut hidup.

Betulkah para pengebom itu mati syahid dan bertemu bidadari di surga? Tak satupun bisa membuktikan. Tentu saja karena ulama maupun teroris belum pernah ke surga. Namun yang jelas mereka bukan mati syahid tetapi mati sakit. Dan, kalaupun mereka masuk surga, mereka akan menyesal bertemu bidadari, karena kepalanya masih tertinggal di dunia dan ditahan oleh polisi. Lelucon seperti di atas beredar di masyarakat pasca bom Bali II. Mari kita segarkan kembali ingatan pada bom Bali 1 (2002) yang sekejap merubah Bali dari pulau turis menjadi teroris. Dalam perjalanan menuju Jawa Timur, Gus Dur bertemu Wiranto dalam satu pesawat. Gus Dur bertanya, ''bisnis apakah yang menguntungkan saat ini?'' Pertanyaan itu serius, namun, mantan Menhankam/Pangab ini malah menjawabnya dengan kelakar. ''Yang lagi ramai, ya.. bisnis mercon dengan merek Amrozi,'' ujar Wiranto.

Masih soal teroris murah senyum, rupanya sebelum menjadi teroris Amrozi memiliki bank bersama tokoh pengacara nasional Adnan Buyung Nasution. Nama bank itu, ABN-Amrozi!Humor tentang teroris yang menjurus berbau porno juga banyak beredar. Setelah kejadian bom di hotel JW Marriot beredar isu bahwa yang meledakkan adalah pria yang gagal berobat memanjangkan penisnya. Pria itu menyangka JW Marriot adalah hotel milik Mak Erot! Usai penangkapan dan tewasnya dalang teroris Azahari beredar melalui SMS (surat menyurat singkat) di telpon seluler seperti ini: “Awas masih ada keluarga Azahari yaitu Ayu, Sarah dan Rahma, yang kemana-mana membawa ‘bom’ di dada mereka”.

Kedahsyatan tsunami rupanya membuat jengkel para teroris di Baghdad. Akhir tahun 2004 mereka merasa sudah mengeluarkan segala daya untuk mengebom semua kepentingan Amerika Serikat. Namun beritanya kalah dengan tsunami. “Saya mengebom dan membakar gedung-gedung tetapi apa yang saya dapatkan?” ujar seorang teroris. Hanya dimuat di halaman 14 tersembunyi di The New York Times atau di halaman internasional The Telegraph. Tsunami membunuh hanya dengan satu gelombang. Bencana alam adalah kerjaan Tuhan. Dan semua orang di dunia ingin menyaksikan kedahsyatan tsunami di Indonesia, bukan bom di Irak.

Kata orang bijak, seseorang bisa disebut waras, lebih pintar dan lebih maju jika sudah bisa menertawakan (dalam arti menganggap sebagai kebodohan, kekonyolan) sikap dan perbuatannya masa lalu. Terorisme, teroris, teror belum kita tertawakan, masih banyak masyarakat menganggap mereka pahlawan. Terorisme, teroris, teror harus adalah masa lalu yang wajib kita tertawakan.

Karena Terorisme, teroris, teror adalah kebodohan dan kekonyolan. Tak cukup hanya dengan pendekatan hukum dan pendekatan agama oleh para ulama. Masyarakat harus mulai menertawakan teroris dan simpatisannya karena mereka adalah musuh bersama. Para pelaku bom bunuh diri bukan syahid tapi sakit! Berani mati tapi takut hidup. Bukan jihad tapi jahat. Ke Bali bukan jadi turis tapi teroris. Bukan kebarat-baratan tapi kearab-araban dan seterusnya. Mari kita melawan teror (is/me) dengan humor!
(Editor: Tri Agus S Siswowiharjo wrote four humor books)

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Current Affairs Parasindonesia.com

Pram, Palu Arit dan Happy Salma

May, 03 2006 @ 09:03 pm
Pram, Palu Arit & Happy Salma
“Pram meninggal pagi ini jam 08.55”. Begitu SMS dari Mujib, pemilik penerbit Lentera Dipantara, yang menerbitkan karya-karya Pramudya Ananta Toer. “Pengarang prosa Indonesia nomor wahid, tanpa saingan, dalam abad ini,” kata A Teeuw, kritikus asal Belanda. Pramoedya Ananta Toer mengakhiri perjalanan panjangnya pada usia 81 tahun, 30 April 2006.

Maka sebuah rumah di Jalan Multi Karya II Nomor 26, Utan Kayu segera menjadi sempit karena riuhnya kerabat dan sahabat yang melayat. Tampak ikut bersesak antara lain Yeni Rosa Damayanti, Budiman Sujatmiko, Ratna Sarumpaet, Bimo Nugroho, Goenawan Muhamad, Eryana Hardjapamekas, Jero Wacik, Romo Mudji Sutrisno, Nurul Arifin dan Mayong, serta Oey Hay Djoen. Tampak pula karangan bunga dari Happy Salma, PRD, PDI P, Playboy Indonesia, dan Yusuf Kalla. Sahabat dan karangan bunga di Multi Karya dan yang mengantarkan ke pemakaman menunjukkan Pram yang beragam, berwarna. Setidaknya warna itu sastra dan politik. Tak dapat dimungkiri, Pram adalah salah satu ikon kiri di Indonesia. Pesonanya tak hanya buat kawan palu arit namun juga si cantik Happy Salma. Pram adalah salah satu pilar pendukung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Melalui Lentera, suplemen koran PKI Bintang Timoer yang diasuhnya, dia mengusung semangat realisme sosialis dalam kesusatraan. Di situ pula dia menyerang sastrawan penganut humanisme universal.

Ketika zaman berganti, Pram ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru selama 14 tahun tanpa diadili. Ia tak cuma kehilangan kemerdekaan, tetapi juga harta miliknya: buku-bukunya dijarah dan rumahnya disita tentara. Lalu kita tahu dari Pulau Buru lahir tetralogi termasyhur: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Kerasnya Pulau Buru ditandai dengan pendengaran yang terganggu. Inilah "oleh-oleh" selama mendekam di pulau pembuangan itu. "Tahun 1965 saya dipopor dengan senapan oleh Koptu Sulaeman sambil dia berteriak-teriak di telinga saya," katanya. Pulau Buru membuat kesadaran baru tentang hidup, “Saya lebih percaya pada hari depan kemanusiaan.

”Rasanyanya baru kemarin, ketika sebuah pameran sekitar 160 sampul buku karya Pram dihelat sekelompok anak muda untuk menghormati karya-karya besarnya. Begawan sastra Indonesia itu diperingati hari lahirnya yang ke 81, 6 Februari lalu. Dalam perayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) tersebut, Pram seperti berulang tahun yang ke 18. Pasalnya, acara ayah delapan anak, kakek 16 cucu dan buyut dua cicit itu dikemas gaul abis. Dari pentas baca puisi, monolog, sampai band beraliran rock yang salah satu pemainnya cucu Pram. Bau wangi Rieke Dyah Pitaloka sampai kepulan asap rokok para punkers memenuhi Teater Kecil. Pendek kata Pram waktu itu gembira, bugar dan tegar.

Di usia yang kian senja, satu per satu penyakit mulai mendera Pram. Pada 1999, dia mengidap penyakit jantung. Meski demikian, itu tak menyurutkan kebiasaan Pram merokok. Tak tanggung-tanggung, dalam sehari dia bisa menghabiskan dua bungkus rokok yang setiap bungkus berisi 16 batang. Kebiasaan lainnya baik di Utan Kayu maupun di Bojong Gede, menyapu dan membakar sampah daun-daun kering di halaman rumahnya.

Ayah Ros, Ety, Neni, Astuti, Rina, Rita, Yan, dan Yudi itu telah pergi untuk selamanya. Pria yang pernah masuk nominasi sebagai kandidat peraih hadiah Nobel untuk bidang sastra itu, meninggalkan warisan yang amat berharga bagi dunia sastra Indonesia. Dunia juga mengakui dengan diterjemahkan karya-karyanya dalam 38 bahasa mulai Yunani, Spanyol, Belanda, Jerman, Korea, Jepang, Turki, hingga bahasa Malayalam (bahasa salah satu etnis di India) itu. Albert Camus-nya Indonesia, sebut The San Fransisco Chronicle, menjelang tutup usia, menyatakan keprihatinannya atas kondisi mutakhir Indonesia yang buruk. Katanya, itu terjadi karena orang Indonesia tidak produktif, tapi lebih konsumtif sehingga menghasilkan benua yang namanya korupsi. "Orang Jerman pernah mengatakan orang Indonesia orang kuli. Mereka mau membayar hanya untuk menjadi kuli," ujar penyandang gelar doktor honoris causa dari Michigan University pada 1999 tersebut.

Rasanya baru kemarin, ketika wangi parfum Happy Salma berbaur dengan para punkers yang mengidolakan Kawan Pram. Selamat jalan Bung Pram. Semoga di alam lain Bung menemukan rokok kretek dan sampah daun yang berserakan.

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Tribute To Pram Parasindonesia.com

Nasionalisme Sempit dan Xenophobia

August, 18 2005 @ 06:35 pm
Nasionalis Sempit & Xenophobia
Hadiah terindah pada HUT Kemerdekaan RI ke 60 adalah ditandatanganinya nota kesepahaman damai (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (15/8) di Helsinki, Finlandia. MoU RI-GAM ini diharapkan benar-benar akan mengakhiri konflik di Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun dan merengut nyawa sedikitnya 15.000 manusia. Namun kegembiraan rakyat Aceh, sebagian besar rakyat Indonesia yang cinta damai serta masyarakat internasional sedikit terganggu ketika ada sebagian kecil kelompok masyarakat mempertanyakan proses dan substansi MoU tersebut. Kelompok kecil ini mengkhawatirkan beberapa isi kesepahaman antara lain soal partai lokal, kewenangan AMM (Aceh Monitoring Mission), simbol-simbol lokal (lagu dan bendera) dan kompensasi bagi mantan GAM.

Penandatangan MoU RI-GAM yang diliput media asing maupun nasional sebelumnya melalui proses yang sangat alot dan panjang. Setidaknya sejak Januari 2005 telah dilakukan lima kali perundingan dengan tarik ulur, take and give yang cukup melelahkan. Kedua belah pihak pada akhirnya sepakat untuk mengakhiri penderitaan rakyat Aceh selama tiga dasawarsa ditambah setelah dilanda bencana gempa dan tsunami dahsyat akhir 2004. Pendek kata kepentingan rakyat Aceh menjadi nomor satu.Karena itulah GAM mengubur keinginan mendirikan negara Aceh merdeka. Zaini Abdullah salah seorang anggota delegasi GAM mengatakan masalah perjuangan kemerdekaan telah usang, yang diinginkan rakyat Aceh adalah kedamaian dan hidup wajar. Sebagai kompensasi dari penerimaan Aceh tetap dalam negara Republik Indonesia, wajar jika GAM minta beberapa hal demi kepentingan rakyat Aceh seperti tertuang dalam MoU misalnya partai lokal, simbol-simbol lokal, pembagian hasil bumi Aceh, suku bunga dan lain-lain.

Dalam perundingan memang harus ada take and give. Dan itu sudah dilakukan dengan baik oleh kedua delegasi yang dipimpin Hamid Awaluddin dan Malik Mahmud tersebut. Masalahnya muncul terutama dari PDI Perjungan yang ‘kebakaran jenggot’ karena tak diajak serta sejak perundingan dimulai. Selain itu, partai yang mengaku oposisi itu juga mengkhawatirkan substansi MoU RI-GAM – seperti partai lokal dan simbol-simbol lokal- akan menjadi pintu masuk ke arah pemisahan dari negara kesatuan Republik Indonesia. Padahal, logikanya, justru dengan partai lokal GAM mau tetap berada dalam negara kesatuan RI.

Kita patut khawatir terhadap orang yang mengkhawatirkan MoU RI-GAM. Mereka penganut nasionalis sempit yang kurang paham arti penderitaan rakyat Aceh selama ini. Mereka dihinggapi xenophobia, selalu mencurigai kehadiran pihak asing. Mereka lupa Indonesia berpengalaman dalam membantu konflik di Moro, Filipina, antar faksi di Kamboja bahkan TNI dikenal jasanya dari Kongo sampai Bosnia. Selain itu, kelompok kedua yang patut dicurigai adalah para ‘pedagang konflik’. Kelompok ini tak ingin Aceh damai karena akan merugikan kepentingannya. Mereka antara lain pemasok senjata dan amunisi, bisnis jasa keamanan dan penguasa pos-pos ‘jalan tol’ antara perbatasan Sumatera Utara sampai Banda Aceh. Yang harus dicegah adalah dua kelompok ini bersatu dan melakukan aksi bersama menentang MoU, misalnya dengan menjegal di DPR, mengerakkan massa di jalan-jalan serta menggalang paramiliter anti separatisme dengan menyebar teror seperti di Timor Timur pasca-jajak pendapat 1999. Jika hal terakhir ini sampai terjadi, maka lengkaplah sudah sebutan bangsa asing terhadap Indonesia sebagai bangsa yang korup, kejam, tak menghargai perbedaan, dan tidak mencintai perdamaian!.

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Politics Parasindonesia.com

Otsus Papua: Otonomi Tidak Serius

August, 22 2005 @ 07:48 am
Otsus Papua: Otonomi Tidak Serius
Perayaan Kemerdekaan RI ke-60, ditandai dengan dua peristiwa berlawanan di ujung barat dan di ujung timur Indonesia. Dari Aceh, ada kabar gembira dengan ditandatanganinya MoU RI-GAM - tanda mulai diakhirinya konflik selama 30 tahun. Sementara di Papua, masyarakat yang dipelopori Dewan Adat Papua (DAP) menggelar aksi mengembalikan Otsus (Undang Undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua). Aksi damai puluhan ribu massa di Jayapura dan beberapa kota di Papua ini adalah bentuk ketidakpuasan terhadap pelaksanaan Otsus yang tak memberi kemajuan berarti bagi rakyat di bumi Cendrawasih itu. Bagaimana sebaiknya pemerintah menangani gejolak di Papua?

Sebenarnya keputusan ‘mengembalikan’ Otsus ke pemerintah merupakan langkah yang boleh disebut absurd. Selama ini kita hanya mengenal UU itu dicabut, diubah, atau diperbaiki. Tetapi bila kita cermati apa yang terjadi di lapangan, inisiatif DAP tampaknya merupakan bagian dari tekanan kepada pemerintah agar makin serius dan konsisten dalam melaksanakan Otsus. Tekanan masyarakat Papua rupanya ada hasilnya. Pemerintah lalu membentuk tim kecil yang dipimpin oleh Menko Polhukam untuk mengevaluasi pelaksanaan Otsus. Tim kecil juga mengevaluasi keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang hingga kini masih dipersoalkan.

Sementara dalam dialog dengan 29 tokoh serta Gubernur Papua JP Solossa di Istana Negara (9/8), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan , “Otsus sudah menjadi pilihan masyarakat Papua dan bangsa Indonesia. Kalaupun masih ada kelemahan dalam pelaksanaannya, pemerintah terus memperbaiki. Masalah selalu ada, dan sebagai bangsa yang optimis, melihat masalah selalu ada solusi dan jalan keluarnya dengan bijak dan berorientasi pada kepentingan rakyat Papua, bangsa, dan rakyat kita,” ujar Presiden.Kalimat indah yang diucapkan Presiden SBY tersebut memang menyejukkan namun tak mudah dilaksanakan karena masalah Papua bak benang kusut.

Jika di dunia pendidikan ada pemeo ganti menteri ganti kurikulum, di Papua ada istilah ganti presiden ganti kebijakan. Dari Opsus (Operasi Khusus dipimpin Jendral Ali Moertopo) sampai Otsus di era Presiden Megawati tak satu pun kebijakan yang membuat rakyat Papua merasa menjadi bagian dari negara kesatuan RI. Hasil bumi tanah Kasuari yang melimpah diangkut ke Jakarta, sementara rakyat Papua tetap menderita. Dana Otsus yang digelontorkan ke Papua sebesar Rp. 5.6 triliun, dicurigai hanya menambah tebal kantong segelintir kalangan elit Pemprov/Pemkab di Papua dan keluarganya.

Mampukah pemerintah pusat menyelesaikan masalah Papua? Dilihat dari track record selama kurang setahun ini, tampaknya kita bisa berharap. Keberhasilan penandatangan MoU RI-GAM merupakan bukti para petinggi pemerintahan sekarang ini lebih mengedepankan penyelesaian yang lebih bermartabat dibanding pemerintahan Megawati Soekarnoputri apalagi Soeharto yang gemar dengan kekerasan. Selain itu, gebrakan pemberantasan korupsi juga sangat terasa di era SBY ini.

Selalu ada solusi jika ada masalah. Otsus harus dilaksanakan lebih konsisten dan serius. Majelis Rakyat Papua (MRP) harus segela dibentuk. Dari sana, MRP dan DPRP, akan ditentukan perlu tidaknya pemekaran Papua termasuk keberadaan Irjabar yang prematur dan ilegal itu. Pelanggar HAM maupun koruptor dana Otsus juga harus segera ditindak. Mampukah pemerintah pusat melakukan hal itu? Masalahnya bukan pemerintah pusat mampu atau tidak, melainkan mau atau tidak!

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Politics Parasindonesia.com

Watak Asli SBY Muncul Dalam Soal Burma

January, 17 2007 @ 08:45 pm
Watak Asli SBY Muncul Dalam Soal Burma
Tahun 2007, sepantasnya menjadi tahun yang membanggakan bagi diplomasi RI. Salah satunya, karena Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan Ketua Dewan HAM PBB. Namun, sikap abstain RI dalam rancangan resolusi DK PBB mengenai Burma, sungguh sangat bertolak belakang dan mengecewakan. Kebijakan politik luar luar negeri pemerintahan RI saat ini tampaknya sangat mencerminkan sikap pribadi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang penuh bimbang dan ragu. Selain itu, latar belakang militer presiden juga mempengaruhi cara pandang dalam melihat suatu negara menyelesaikan masalah demokrasi dan hak asasi manusia.

Sikap politik Indonesia terhadap Burma dipandang maju ketika Indonesia menjadi pimpinan ASEAN pada periode 2004-2005. Waktu itu Indonesia bersama negara ASEAN lainnya meminta Aung San Suu Kyi dan tahanan politik lainnya dibebaskan sebagai prasyarat rekonsiliasi politik. Meskipun permintaan itu tidak dikabulkan namun menunjukkan sikap politik yang mendorong demokratisasi di kawasan ASEAN. Mundurnya Burma menjadi pimpinan ASEAN 2006 juga merupakan kerjasama yang bagus antara diplomat negara-negara ASEAN dan para aktivis internasional yang mendukung demokrasi di Burma.

Kegagalan ASEAN merangkul Burma ternyata diabaikan SBY dengan mempercayai begitu saja junta militer yang nyata-nyata telah berulang kali melanggar janji untuk membebaskan Aung San Suu Kyi dan melaksanakan road map to democracy dan rekonsiliasi nasional. Tampaknya junta militer Burma selain berhasil mendapatkan dukungan dari China dan India dengan imbalan ekonomi, juga mendapat dukungan Indonesia dengan presidennya yang mantan jenderal yang sok pintar, naif dan mudah diperalat.Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma (KMSuB) dan Kaukus Parlemen ASEAN untuk Demokrasi di Myanmar (AIPMC) di DPR yang diketuai Djoko Susilo dan Nursyahbany Katjasungkana sangat menyesalkan pilihan RI yang tak memilih ini. Beberapa hal yang membuat para aktivis Indonesia kecewa antara lain;Sikap abstain RI menunjukkan ketidaktegasan bahkan cenderung membela junta militer yang nyata-nyata telah merampok dan menyandera demokrasi di Burma setidaknya sejak kemenangan mutlak partai NLD (Liga Nasional untuk Demokrasi) pimpinan Aung San Suu Kyi dalam pemilihan umum yang demokratis pada 1990.

Mempercayai perubahan pada junta militer tanpa tekanan adalah naif. Pengalaman ASEAN menggunakan pendekatan lunak dan konstruktif tak menemui hasil bahkan membuat frustrasi ASEAN. Ini karena junta militer tak pernah menepati janji melakukan transisi demokrasi. Melindungi Burma semata-mata karena anggota ASEAN sama saja mencoreng wajah ASEAN sendiri yang memang tak bersih. Hal ini dibuktikan dengan separo pemerintah negara-negara ASEAN bukan pilihan rakyat. Sementara Indonesia yang pemerintahannya pilihan rakyat namun presidennya tetap tak bisa membedakan mana penjahat dan pejuang demokrasi di Burma.

Usulan Presiden RI tentang Dwifungsi militer ala Dwifungsi TNI era Orbe Baru diterapkan di Burma merupakan pelecehan terhadap demokrasi, pasalnya konsekuensi dari usulan itu adalah pelanggengan kekuasaan junta mililter yang tidak merupakan representasi rakyat. Sangat disayangkan Presiden SBY yang dipilih langsung rakyat justru membela junta militer, bukannya mendukung NLD yang merupakan pilihan rakyat Burma. SBY lebih membela junta militer yang membajak demokrasi daripada membela sanderanya yaitu rakyat Burma yang diwakili NLD.

Penyelesaian Burma melalui trilateral Indonesia-Philipina-Singapura adalah membuang-buang waktu, karena melalui ASEAN yang lebih kuat saja tidak berhasil, apalagi hanya melalui tiga negara. Junta militer Burma adalah rezim yang bebal, yang kekejamannya melebihi rezim Orde Baru di Indonesia. Karena itu harus dihadapi dengan cara yang lebih keras dari yang telah dilakukan selama ini. Membawa ke tingkat yang lebih tinggi dari forum ASEAN adalah keharusan, dan bukan sebaliknya.DPR RI harus menegur sekeras-kerasnya Presiden dan Menteri Luar Negeri RI yang mengambil sikap abstain dalam rencana resolusi DK PBB.

Sikap abstain ini sangat tak sejalan dengan perjuangan DPR RI untuk menyelesaikan kebuntuan demokrasi di Burma dengan sesegera mungkin junta militer membebaskan semua tahanan politik, di antaranya ikon demokrasi Aung San Suu Kyi dan para anggota parlemen terpilih pada Pemilu 1990.

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Politics Parasindonesia.com

SBY, Bush dan Hukuman Demokrasi

November, 21 2006 @ 01:06 am
SBY, Bush & Hukuman Demokrasi
Hari-hari ini terjadi demonstrasi di seluruh negeri menolak kedatangan Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Dengan alasan yang berbeda-beda mereka tak menginginkan orang nomor satu AS itu bertamu ke Bogor. Kelompok massa Islam beralasan Bush adalah pembantai umat Islam di Afghanistan, Irak dan pendukung setia Israel yang menindas rakyat Palestina dan Lebanon. Kelompok gerakan kiri dan sosialis menolak Bush karena AS adalah sponsor dan pelaku utama neoliberalisme yang meminggirkan negara-negara miskin di dunia. Sementara kelompok nasionalis dan perempuan menganggap Bush adalah biang pemiskinan dan penderitaan rakyat Indonesia melalui perusahaan-perusahaan AS di sini seperti Freeport, Exxon Mobil, Newmont, Monsanto dan lain-lain.

Lantas apa alasan saya menolak kedatangan Bush? Tentu saja saya sependapat dengan alasan tiga kelompok massa di atas. Namun saya justru lebih menyesalkan mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mau menerima Bush bahkan dengan penyambutan yang amat sangat luar biasa sekali. Betapa tidak? Seorang tamu ke Bogor hanya sekitar enam jam, namun menyengsarakan ribuan warga Bogor dan sekitarnya karena terjadi penutupan jalan, sekolah diliburkan sampai himbauan tak keluar rumah. Belum lagi pembangunan landasan helikopter di Kebun Raya Bogor yang bisa dipastikan merusak lingkungan dan keindahan kebun raya tersebut. Sungguh tak masuk diakal sehat kita mengapa penyambutan Bush seperti ini.

Dibandingkan saat konperensi APEC juga di Bogor pada 1994 yang dihadiri kurang-lebih 20 kepala pemerintahan, termasuk Presiden AS Bill Clinton, penyambutannya tak seheboh sekarang.Inilah sebenarnya cermin bangsa Indonesia yang dipimpin oleh presiden yang tak percaya diri alias menderita sindroma minder. Bahwa kita harus menghormati tamu, kita semua setuju. Namun harus dilihat dulu siapa tamu tersebut. Dalam hal ini SBY orang yang sangat tidak peka akan pandangan umum rakyatnya. Mayoritas rakyat tak menghendaki Bush dengan berbagai argumentasi. Namun SBY demi menghormati tamu justru telah menyakiti rakyatnya yang telah memilihnya dalam pemilihan presiden langsung pertama di Indonesia 2004. Harap dicatat, SBY akan membayar mahal karena telah menyakiti mayoritas rakyat pemilihnya.SBY mengecewakan tamu atau mengecewakan tuan/nyonya rumah bukan baru sekali ini.

Tampaknya SBY lebih senang menerima atau berkunjung ke seorang pemimpin bengis dan koruptor dibanding menerima para sahabat yang ingin memberi kritik dan masukan demi mulusnya perjalanan bangsa. Masih ingat dalam memori kita, ketika SBY berkunjung ke Burma atau Myanmar tahun lalu, ia tak sudi bertemu Aung San Suu Kyi, tokoh pro demokrasi yang sejatinya pemenang pemilu di negeri itu pada tahun 1990. SBY malah asyik berdialog dengan pemimpin junta militer Jenderal Than Swee. Junta militer Burma adalah perampok demokrasi dan merupakan militer terbengis di dunia saat ini. SBY bahkan membuat pernyataan paling tolol yang pernah saya dengar, "Masa saya harus bertemu dengan pemberontak!" Dia menyebut Suu Kyi, seorang perempuan lembut pemenang Nobel Perdamaian 2001 sebagai pemberontak.

Satu lagi. Dengan berbagai alasan – terutama karena kesibukannya - SBY menolak kehadiran Amien Rais dan kawan-kawan berkunjung ke Istana, awal tahun ini. Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan SBY justru menerima para koruptor pengemplang uang rakyat.Itulah SBY, presiden yang menang karena pandai menjaga citra. Kini tampaknya citra nan prima itu akan segera sirna. Karena, ia menerima Bush dengan tulus dan tangan halus. Di Burma ia tak sudi menerima Suu Kyi, karena itu saya bersyukur gembira SBY tak jadi memperoleh Nobel Perdamaian. Mungkin karena tak dapat restu dari Suu Kyi. SBY tentu akan menerima hukuman setimpal secara demokratis dari rakyatnya, seperti Bush juga dihukum rakyatnya dengan kekalahan telak pada pemilu sela 2006 baru-baru ini.
Mari kita hukum SBY pada pemilu 2009 nanti!

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Politics Parasindonesia.com

Dari Opsus ke Otsus Papua

October, 13 2005 @ 07:18 pm
Dari Opsus Ke Otsus Papua
Rakyat Papua sebentar lagi memiliki Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk yang pertama kalinya. MRP adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Inilah ikon atau simbol kekhususan otonomi Papua seperti diamanatkan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Kehadiran MRP tentu tak serta merta membuat semua masalah Papua selesai. Justru MRP telah menyumbang persoalan baru. Banyak kalangan teringat cara-cara Operasi Khusus (Opsus) ala Ali Moertopo era Orde Baru saat mensukseskan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Dari Opsus ke Otsus dilakukan Jakarta untuk menyelesaikan masalah Papua.

Keterlibatan terlalu aktif instansi Kesbang (Kesatuan bangsa) Depdagri dalam proses pemilihan anggota MRP menimbulkan pertanyaan sejumlah kalangan, sampai sejauh mana tingkat independensi pemilihan. Bahkan dalam beberapa deerah pemilihan MRP, Ketua Kesbang tingkat Kabupaten menjadi Ketua Panitia Pemilihan. Memang dalam Perdasi (Peraturan Daerah Propinsi) No 4/2005 tentang cara pemilihan anggota MRP dimungkinkan unsur pemerintahan menjadi panitia pemilihan di tingkat distrik, kabupaten, dan Propinsi. Anggota MRP adalah 42 orang yang mewakili adat, perempuan, dan agama masing-masing 14 orang. Mereka, wakil dari adat dan perempuan, akan dipilih dari 14 daerah pemilihan (berjenjang dari kampung, distrik, dan kabupaten). Sedangkan wakil agama ditentukan secara musyawarah di tingkat propinsi.

Masalah mulai timbul mengenai persoalan representasi adat dan agama. Bagaimana MRP yang beranggotakan 14 orang wakil adat dapat mewakili aspirasi dan kepentingan dari suku-suku di Papua yang berjumlah lebih dari 250. Itu satu persoalan yang mungkin bisa dijawab bahwa perwakilan di sini bersifat kultural bukan proporsional. Dewan Adat Papua (DAP) sendiri secara institusi telah menyatakan mengembalikan Otsus dan meminta dialog dengan pemerintah Pusat. Karena itu secara institusi DAP tidak terlibat dalam pemilihan MRP tetapi secara perorangan anggota DAP mempunyai kesempatan untuk menjadi calon anggota MRP. Meski dengan resiko dicap sebagai opurtunis.

Mengenai keterwakilan agama, ada fenomena menarik di sini. Kalangan agama – Kristen, Katholik dan Islam - di Papua tiba-tiba ramai-ramai menolak duduk dalam MRP. Mereka menolak agama terlibat dalam urusan politik. Sungguh ini sangat menggembirakan. Kesadaran bahwa agama seharusnya merupakan urusan pribadi antara manusia dan Tuhan, dan karena itu tak perlu menjadi urusan publik. Sekularisme seperti ini hendaknya menular ke tempat lain di Indonesia. Kalangan agama mungkin akan mengusulkan mengganti keanggotaan MRP yang mewakili masyarakat agama dipilih dari organisasi masyarakat keagamaan – seperti ikatan intelektual dan bukan lembaga keagamaan.

Satu langkah lagi keseriusan pemerintah pusat melaksanakan Otsus mulai tampak dalam pembentukan MRP. Namun tentu saja, seperti dikemukakan di atas, masalah Papua masih menggunung – setinggi gunung Puncak Jaya- termasuk soal kemiskinan, keterbelakangan, korupsi dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sudah waktunya pemerintah melakukan klarifikasi sejarah integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia dengan membentuk Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran (KKR). Selain itu, pemerintah pusat perlu memfasilitasi dialog seluruh komponen masyarakat Papua, termasuk mereka yang berada di di luar negeri. Pemerintah harus melaksanaan Otsus secara serius, bukan dengan cara Opsus ala Orde Baru. Jika tak serius, ada dua jalan terbuka untuk dilalui rakyat Papua: Jalan Aceh atau Jalan Timor Timur!

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Politics Parasindonesia.com

Munir - Hendardi - Yeni Rosa Damayanti

September, 11 2005 @ 06:54 pm
Munir - Hendardi - Yeni
Setahun telah berlalu sejak Munir meninggal pada penerbangan Garuda rute Singapura-Amsterdam, 7 September 2004. Selama tiga hari meninggalnya tokoh pejuang hak asasi manusia itu diperingati. Dari demonstrasi di depan markas Badan Intelejen Negara (BIN) di Kalibata, malam renungan di Tugu Proklamasi, pemutaran film tentang Munir di Goethe Institut Jakarta, demonstrasi aktivis dan korban kekerasan negara di Semarang, sampai aksi damai sejuta tanda tangan di Ambon.

Beberapa stasiun televisi swasta juga membuat program khusus seputar meninggalnya Munir dan berbagai spekulasi siapa dalang pembunuhnya. Mengapa banyak orang kehilangan sosok Munir, seperti kita kehilangan Marsinah atau Udin? Tentu banyak alasan bisa menjelaskan mengapa kita kehilangan tokoh muda yang berani tampil melawan ketidakadilan.

Tentang Munir, sudah banyak diulas siapa dan bagaimana sepak terjang lelaki asal Batu, Malang di beberapa lembaga seperti YLBHI, KPP HAM Timor Timur, Kontras, maupun Imparsial. Melihat lembaga-lembaga tadi jelas dengan siapa Munir berhadapan. Lembaga-lembaga itu berhubungan dengan pembelaan dan pengungkapan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI. Bukan lembaga yang ada hubungannya dengan penerbangan seperti KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Transportasi, APG (Asosiasi Pilot Garuda) INACA (Asosiasi Penerbangan Nasional) dan sejenisnya.

Sengaja saya kaitkan antara lembaga yang bergerak di bidang HAM dan penerbangan karena Munir meninggal di atas pesawat dan yang menjadi terdakwa (utama) saat ini adalah pilot senior Garuda, Pollycarpus. Nama terakhir ini kini duduk di kursi panas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Minggu lalu, dalam kesaksiannya, Suciwati - istri Munir- mengatakan bahwa menurut Munir, Pollycarpus itu orang aneh dan sok akrab.

Saya jadi teringat Yeni Rosa Damayanti aktivis perempuan dan pernah aktif di Solidamor (Solidaritas Indonesia untuk Timor Timur) dan Hendardi (mantan Ketua PBHI dan pengacara Xanana Gusmao). Kedua aktivis ini juga sering dihubungi Pollycarpus dengan cara yang hampir sama dengan yang dilakukan terhadap Munir. Kepada Yeni misalnya selalu ditawarkan tiket Garuda gratis kemana pun Yeni mau, mengajak bertemu dengan komunitas Pollycarpus. Puncaknya pada saat kampanye pemilihan presiden putaran pertama, di mana Wiranto menjadi salah satu kandidat. Pollycarpus makin rajin menelpon Yeni dan Hendardi seputar apa yang akan dilakukan publik dengan pencalonan Wiranto.

Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang dibentuk Presiden telah merekomendasi bahwa ada keterlibatan aparat BIN dalam meninggalnya Munir. Namun pihak polisi dan jaksa tampaknya tak menggubris temuan TPF. Sehingga persidangan terhadap Pollycarpus diduga akan melenceng dari pasal pembunuhan ke pasal pemalsuan surat. Dengan demikian dalang dari pembunuhan ini akan makin sulit ditemukan. Sampai saat ini banyak orang percaya bahwa orang-orang BIN era Hendroprijono turut bertanggungjawab atas kematian Munir.

Namun bagi Yeni, yang perlu dicurigai adalah hubungan antara Pollycarpus dengan Wiranto. Yeni yakin, hanya masalah Timor Timur yang mempertemukan Munir-Hendardi dan Yeni. Dan Pollycarpus selalu menelpon menanyakan apa yang akan dilakukan aktivis terhadap capres Wiranto yang di kalangan aktivis tangan mantan Panglima TNI itu berlumuran darah rakyat Timor Leste. Wiranto sangat sadar bahwa dirinya ditolak oleh para aktivis baik di Indonesia, Timor Leste maupun internasional. Yeni dan Hendardi memang tak sempat dan tak mau bertemu Pollycarpus. Kita tak tahu apa yang akan terjadi jika Munir, Hendardi dan Yeni Rosa Damayanti terbang ke Amsterdam dengan pesawat Garuda GA 974.

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Politics Parasindonesia.com

SBY dan Reformasi Burma

August, 02 2005 @ 08:05 am
SBY Dan Reformasi Burma
Keputusan Burma (Myanmar) untuk tidak menggunakan kesempatan memimpin ASEAN tahun 2006 selain melegakan anggota ASEAN lainnya, juga menggembirakan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang sebelumnya mengancam akan memboikot pertemuan-pertemuan ASEAN. Kalangan parlemen yang tergabung dalam ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus dan aktivis LSM di kawasan ini, juga menyambut gembira, sembari akan terus meningkatkan tekanan ke Burma. Alasannya, Junta belum berubah, masih represif, anti-dialog dan anti-perubahan.

Bagaimana Indonesia tetap memainkan peranannya dalam reformasi politik di negeri itu? Mundurnya Burma dari kepimpinan ASEAN hendaknya tidak membuat keprihatinan ASEAN atas represi Junta militer menjadi berkurang. Di bawah pimpinan Filipina nanti, ASEAN tetap harus tak jemu-jemu menagih janji-janji junta militer untuk membebasankan ikon demokrasi Aung San Suu Kyi, melakukan rekonsiliasi dengan etnis minoritas dan mereformasi konstitusi.

Sebenarnya jika ada salah satu negara mengambil peran lebih kemuka sebagai pemimpin informal, peran ASEAN akan lebih maksimal. Salah satu yang bisa menjadi pemimpin informal ASEAN adalah Indonesia. Indonesia sejak ASEAN berdiri 1967, dianggap sebagai pemimpin informal di kawasan ini. Karena sponsor Indonesia, Burma masuk ASEAN pada 1997. Pamor Indonesia pudar menyusul jatuhnya rezim Soeharto. Pengganti Soeharto dari BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, sampai Megawati Soekarnoputri tampaknya lebih terfokus pada urusan dalam negeri.

Tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pertama yang dipilih rakyat secara langsung diharapkan membawa angin perubahan dalam politik luar negeri Indonesia. Dapatkah SBY memberikan kontribusi yang signifikan bagi reformasi di Burma?Melihat karakter dan latar belakang SBY sekaligus penunjukan Hasan Wirayudha sebagai menteri luar negeri sebenarnya mempunyai peluang meningkatkan peran Indonesia di ASEAN. Dalam sambutan tertulisnya di depan The Indonesian Council on World Affairs (ICWA) 19 Mei lalu, SBY mengatakan, "Sejak akhir tahun lalu ada energi baru di Indonesia. Energi yang sama juga pada kebijakan luar negeri. ‘Foreign policy has a critical role in my administration. We have today an Indonesia that capable and eager to actively engage the international community, in the common task of building a better world." jelas Presiden.

Kini saatnya SBY membuktikan energi baru itu. Meningkatkan peran dan dominasi Indonesia di ASEAN dan mampu membawa Burma ke arah jalan demokrasi. Karena itu, SBY harus bisa meyakinkan Junta militer bahwa reformasi demokrasi memerlukan ‘pengorbanan’ militer, itupun tak selamanya meminggirkan para aktor militer atau mantan militer. SBY yang mantan militer bisa memberi contoh reformasi di Indonesia melalui pengalaman pribadinya.SBY perlu mengaktifkan utusan khusus untuk Burma yang selama Kepresidenan Soeharto dijabat oleh mantan Menlu Ali Alatas.

Usaha ini bisa ditingkatkan dengan penunjukkan utusan khusus ASEAN untuk Burma. Seperti kita ketahui Pelapor HAM PBB Sergio Pinheiro sejak November 2003 dan Utusan Khusus Sekjen PBB Rizali Ismail sejak Maret 2004 telah dihalang-halangi misinya oleh junta militer.Terakhir yang perlu dilakukan Presiden SBY adalah melakukan kunjungan resmi ke Burma dan bertemu dengan Aung San Suu Kyi. Selama tak ada jaminan bertemu tokoh oposisi itu, janganlah mengunjungi negara yang dikuasai kelompok tentara bersenjata itu.

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Foreign Affairs Parasindonesia.com

SBY Tak Bisa Bedakan Pembajak dan Sandera

March, 04 2006 @ 12:39 pm
SBY Tak Bisa Bedakan Pembajak & Sandera
Ternyata dalam soal Burma antara Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sama saja: mengecewakan dan memalukan! Pasalnya, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan RI yang cukup disegani di ASEAN, tak dimanfaatkan untuk membantu tumbuh dan berkembangnya demokrasi di Burma. Ketiga presiden Indonesia tadi, tak ada satupun yang mampu bertemu Aang San Suu Kyi saat berkunjung ke Rangon, Burma. Bahkan minta bertemu atau membicarakan nasib tokoh demokrasi itu pun tidak. Sekali lagi memalukan!

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang katanya presiden paling demokratis karena berasal dari kalangan LSM, pernah menyatakan ingin membantu pembebasan Aung San Suu Kyi. Dan berjanji akan menemui tokoh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) tersebut. Namun ketika tiba di Rangon dalam kunjungan resmi, Gus Dur diam seribu bahasa soal demokrasi di Burma dan pembebasan Aung San Suu Kyi.Megawati Soekarnoputri mempunyai kemiripan nasib karena sama-sama putri bapak bangsa yaitu Soekarno dan Jendral Aung San.

Megawati pada era Soeharto pernah mengalami belenggu politik dan dijadikan ikon oposisi Indonesia. Namun saat Megawati menjadi orang nomor satu di Indonesia, ia seolah lupa dengan asalnya. Ketika berkunjung ke Rangon, Burma, sifat keibuan dan rasa pernah mengalami penderitaan panjang itu hilang. Mega tak bertemu Suu Kyi atau minta bertemu penerima Nobel Perdamaian 1991 itu. Banyak orang bilang Megawati tak memiliki sense of gender, tetapi lebih memiliki sense of general.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku tidak elok jika dalam kunjungan kenegaraannya ke Burma meminta kepada pemimpin Junta Militer Jenderal Senior Than Shwe agar diperkenankan bertemu Aung San Suu Kyi.“Tentu tidak elok kalau saya berkunjung ke Myanmar, lalu saya katakan kepada Jenderal Senior Than Shwe saya mau bertemu si ini dan itu. Sama saja kalau ada kepala negara berkunjung ke Indonesia, mereka menyatakan ingin bertemu dengan katakanlah pemimpin pemberontak,” ujar Presiden Yudhoyono sebelum kembali ke Jakarta, Kamis (2/3) di Rangon, Burma.

Pernyataan SBY di atas sungguh memalukan karena tak didasari fakta dan kenyataan sejarah di Burma. Pertama adalah keliru menganggap Junta Militer sebagai sebuah pemerintah yang sah. Sebab kenyataannya mereka adalah kumpulan orang bersenjata yang telah menganulir hasil pemilu demokratis pada 1990 yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi. Pasca pemilu 1990 hingga saat ini, gerombolan tentara pimpinan Jendral Senior Than Shwe telah mengobok-obok demokrasi di negeri pagoda tersebut. Ribuan anggota parlemen terpilih ditangkapi, dipenjara tanpa diadili - diantaranya banyak yang mati di penjara, kampus-kampus ditutup, partai dan kegiatan politik dilarang dan menahah para aktivis politik termasuk Aung San Suu Kyi. Burma yang sejak 1997 bergabung menjadi anggota ASEAN terus menerus menipu sesama anggota ASEAN tentang pelaksanaan demokrasi di negeri itu.

Kedua, adalah keliru besar menyamakan Aung San Suu Kyi dengan pemberontak. Aung San Suu Kyi adalah pemimpin partai terbesar dan pemenang pemilu 1990. Perjuangan Suu Kyi dan partainya adalah melalui cara - cara demokratis dan antikekerasan. Justru sebenarnya yang pemberontak adalah para anggota junta militer Burma. SBY tampaknya harus banyak belajar mengenai sejarah di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikan nantinya SBY bisa membedakan mana pembajak dan sandera dalam peta politik Burma. Para pemimpin Indonesia selama ini lebih senang berhubungan dengan para pembajak daripada para sandera.

Pernyataan SBY yang menaruh harapan pada perkembangan demokrasi di Burma melalui konvensi nasional dan peta jalan menuju demokrasi adalah naif. Sebab kenyataannya sudah begitu banyak janji-janji junta militer yang telah diucapkan dan tak pernah ditepati. Mereka telah menyandera rakyatnya sendiri selama 16 tahun. Adalah memalukan, kita sebagai bangsa memiliki presiden yang tak bisa membedakan mana solusi dan mana problem di Burma. Ketiga presiden kita percaya junta militer adalah solusi karena itu patut didekati dan dibantu, padahal junta militer nyata-nyata adalah biang problem itu!

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Foreign Affairs Parasindonesia.com

Ramos Horta: Penyambung Lidah Xanana

July, 11 2006 @ 01:43 pm
Ramos-Horta: Penyambung Lidah Xanana
Timor Leste mempunyai pemerintahan baru Rabu minggu ini setelah Jose Ramos-Horta dilantik menjadi Perdana Menteri. Tugas utama Ramos Horta sampai pelaksanaan pemilihan umum 2007 mendatang adalah menjaga ketertiban umum, memberikan rasa aman rakyat dan memulangkan lebih dari 100 ribu pengungsi yang masih di penampungan. Mampukah mantan menteri luar negeri ini menjalankan tugasnya?Penampilan Ramos-Horta (56), perdana menteri yang menggantikan Mari Alkatiri, masih memesona.

Wajah pemenang Nobel Perdamaian 1996 ini -bersama Uskup Belo - tampak selalu berseri-seri. Sikap simpatik ini memang merupakan salah satu kelebihan Ramos-Horta sebagai diplomat par excellence. Kepiawaiannya melakukan ofensif diplomasi melawan Indonesia tak terbantahkan. Karena itulah Menteri Luar Negeri era Soeharto dan Habibie, Ali Alatas sangat kerepotan dibuatnya. Ramos-Horta sangat terkenal di forum global. Kampanyenya soal Timor di dunia internasional sangat sukses. Isu Timor Leste terus menjadi agenda tahunan sidang umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) selama bertahun-tahun.

Hasilnya, lembaga dunia itu tetap tidak mengakui Timor Timur menjadi bagian Indonesia. "Yang saya lakukan selama ini persis seperti yang dilakukan aktivis Indonesia selama masa perjuangan dulu. Dulu, aktivis pro-kemerdekaan Indonesia melakukan lobi di PBB, Australia, dan Amerika Serikat, mengampanyekan kemerdekaan Indonesia. Saya adalah suara bagi mereka yang tidak bisa bersuara. Mungkin bukan suara yang bagus," kata Ramos-Horta diplomatis pada Tempo tahun 1999. Ramos-Horta, bekas wartawan harian A Vos de Timor ("Suara Timor") itu sejak dulu dikenal sebagai ‘tangan kanan’ Xanana Gusmao.

Dalam berbagai pernyataan, ia selalu merendah bahwa apa yang dilakukan adalah atas perintah atau untuk Xanana yang sedang dipenjara oleh Indonesia. Bahkan ketika puncak kepopuleran menghampiri Ramos-Horta, ia tetap mengatakan, "Xanana-lah yang berhak dan lebih pantas menerima anugerah Nobel Perdamaian ini (1996)."Kini di pundak Ramos-Horta, mantan calon Sekjen PBB ini, masa depan Timor Leste dibebankan. Sebagai 'penyambung lidah' Xanana Gusmao, diyakini Ramos-Horta akan mengubah bandul pemerintahan yang kekiri-kirian ala Alkatiri menjadi agak ke tengah.

Sikap keras kepala, anti utang luar negeri dan anti barat (IMF dan Bank Dunia) yang selama ini ditunjukkan Alkatiri tampaknya akan segera berakhir. Bersama Xanana Gusmao, Ramos-Horta akan membawa Timor Leste ke dalam pasar global. Selain itu, persahabatan dengan Indonesia, negara paling dekat dan berpengaruh bagi Timor Leste, akan makin membaik. Kedua mantan musuh nomor satu Republik Indonesia itu dikenal sangat bersahabat dan lebih mengerti Indonesia ketimbang Alkatiri, Kendati Ramos-Horta pernah mengritik para sarjana lulusan Indonesia sebagai sarjana supermie (instan dan tak bermutu), namun Ramos-Horta sudah makin realistis dan pragmatis bahwa Indonesia adalah tetangga yang menyediakan hampir 80 persen kebutuhan sehari-hari rakyat Timor Leste.

Berhubungan baik dengan Indonesia adalah salah satu kewajiban bagi pemerintahan Ramos-Horta.Bagi pemerintah Indonesia dan terutama TNI boleh bernapas lega. Pasalnya pasangan Xanana-Ramos-Horta sudah kompak tak akan mengungkit-ungkit masa lalu yang kelam dan membawa para jenderal Indonesia yang dituduh pelanggar HAM berat ke tribunal internasional. Mereka lebih percaya bekerjasama dengan Indonesia dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Melalui komisi ini dipastikan kejahatan para jenderal pelanggar HAM pasca jajak pendapat 1999 akan 'dibenarkan' demi 'persahabatan' dua bangsa bertetangga Indonesia-Timor Leste.

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Timor Saga

Xanana Gusmao: Maju Kena, Mundur Kena

January, 26 2006 @ 10:36 pm
Xanana Gusmao: Maju Kena, Mundur Kena
Susahnya menjadi Presiden Timor Leste, negara kecil dan miskin, bekas jajahan Indonesia. Betapa tidak, Xanana Gusmao harus pandai-pandai menjaga perasaan tetangganya, Indonesia, sekaligus tak membuat rakyatnya kecewa karena dia berbaik hati dengan Jakarta. Penyerahan laporan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi di Timor Leste (CAVR) ke PBB di New York menunjukkan Xanana dalam situsi maju kena mundur kena.

Laporan CAVR sebenarnya tak ada yang baru. Disebutkan sejumlah tindak kekerasan dilakukan aparat keamanan Indonesia, khususnya dari masa awal pendudukan 1975 hingga saat Timtim menggelar referendum 1999. Juga disebutkan, TNI menggunakan bom napalm dan senjata kimia untuk meracuni pasokan makanan dan minuman awal pendudukan. Kekerasan memuncak pada 1999, saat militer Indonesia dan milisi pro-integrasi melakukan kekerasan dan menewaskan 1.500 orang serta menghancurkan banyak kota.

Masih dari laporan tersebut, Polri dan TNI harus bertanggung jawab atas 70 persen dari 18.600 korban pembunuhan atau penghilangan antara tahun 1975 hingga 1999. Bagi yang orang yang "melek Timor Timur", tak ada yang aneh dalam laporan CAVR tersebut. Selain berdasarkan wawancara dengan hampir 8.000 saksi di 13 distrik dan 65 sub-distrik di Timor Leste, dan para pengungsi di Timor Barat, laporan tersebut juga mengambil sumber dari dokumen-dokumen militer Indonesia dan data intelijen dari sumber-sumber internasional. Data-data rinci serangkaian kekerasan, ribuan eksekusi, dan penyiksaan 8.500 warga Timor Leste, di antaranya pemenggalan, pemotongan alat kelamin, pembakaran korban, penyudutan rokok ke tubuh korban, dan penunjukan telinga dan kelamin korban yang telah dipotong ke keluarga yang bersangkutan.

Selain itu, dipaparkan bahwa setelah mempelajari tingkat kematian di Timor Leste selama masa damai, jumlah warga yang tewas yang terkait dengan kelaparan yang sengaja dirancang aparat Indonesia dari 1975 hingga 1999 yaitu antara 84.200 hingga 183.000 orang.Terhadap kerja profesional CAVR, karena didukung penuh oleh PBB baik soal dana maupun para ahli, termasuk dari Afrika Selatan, harus diacungi jempol. Seharusnya Indonesia merasa malu karena tak mampu melakukan hal yang sama. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Indonesia sampai saat ini belum juga terbentuk. Entah karena kesibukan presiden atau tentangan kuat dari elemen Orde Baru yang tak rela kejahatannya terungkap. Jangan-jangan laporannya KKR nanti sepuluh kali lebih dahsyat dari temuan CAVR. Maklum pelakunya sama, Orde Baru dengan aktor utama TNI, rentang waktu dan luas wilayah jauh lebih besar.

Kejahatan Orde Baru berlangsung sejak 1965 sampai 1998, dari Aceh sampai Papua!Kembali soal Xanana. Pemimpin yang murah senyum itu, dalam pidatonya di PBB dengan tegas menolak rekomendasi CAVR yang meminta kelima anggota tetap Dewan Keamanan, pemerintah Indonesia dan Portugal serta pemerintah-pemerintah yang menjual senjata ke Indonesia dan mendukung kebijakan Indonesia untuk membayar ganti rugi kepada korban. Xanana juga menolak rekomendasi yang meminta pengadilan internasional membentuk panel khusus untuk menyelidiki dan mengadili kejahatan yang terjadi antara tahun 1975.

Sungguh pendapat yang sejuk. Pantas diamini para pendukung impunity di Indonesia, namun dikecam para korban di Timor Leste.Xanana sikapnya tegas, mengedepankan rekonsiliasi dan persahabatan dengan Indonensia ketimbang tuntutan keadilan atas masalah masa lalu yang belum tentu menghasilkan situasi kondusif bagi keamanan dan stabilitas politik. Malah mungkin menimbulkan anarki politik dan kerusuhan sosial. Karena itu mantan penghuni LP Cipinang itu menyatakan Timor Leste akan mengikuti model keadilan restoratif yang diterapkan Uskup Agung Desmond Tutu yang memimpin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan dan memberikan amnesti bagi kebenaran, dengan tujuan untuk mengatasi perbedaan pandangan di masyarakat.

Itulah Xanana. Di dalam negeri dia dikecam karena tak mau mengumumkan hasil CAVR. Oleh tetangganya, terutama yang bermental Orde Baru, dia dituduh mau mengungkit-ungkit masa lalu Indonesia yang memang kelam di Timor Leste.

Tampaknya kini terpulang pada dua pemimpin nasional Indonesia dan Timor Leste. Kedua pemimpin itu dikenal sangat moderat, reformis dan berpikir ke depan. Namun di Indonesia SBY juga menghadapi resistensi dari TNI kolot peninggalan Orba, sementara Xanana jika tak keras "menuntaskan masa lalu" akan mendapat perlawanan dari para keluarga korban kejahatan Indonesia, LSM dalam negeri dan internasional. Sesungguhnya Xanana dan SBY maju kena mundur kena! Kemana mereka melangkah? Membela yang benar atau yang jahat!

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Timor Saga

Nobel Perdamaian Untuk SBY dan Demokrasi di Burma

Kabar gembira itu datang dari anggota senior Komite Hubungan Internasional Kongres AS, Robert Wexler. Ia menominasikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2006. Alasannya, SBY memegang peranan utama membawa perdamaian di Aceh. Layakkah prestasi SBY di Aceh diganjar Nobel Perdamaian? Bagaimana peran SBY di pentas regional, seperti membantu demokrasi di Burma?

Usulan Robert Wexler memang belum mendapat respon menggembirakan dari Komite Nobel di Norwegia. Sebab, siapa pun boleh mencalonkan orang untuk dinominasikan, namun Komite Nobel yang secara resmi menominasikan atau tidak. Meski begitu, kita patut bangga, ada orang Indonesia dicalonkan menerima Hadiah Nobel. Selama ini sastrawan Pramudya Ananta Toer sering dinominasikan mendapat Nobel bidang sastra. Sementara Jose Ramos Horta dan Uskup Ximenas Belo menerima Nobel Perdamaian justru karena ‘melawan” Indonesia yang saat itu menjajah Timor Leste.

Saat Ramos Horta dan Uskup Belo menerima Nobel Perdamaian, banyak kalangan menanyakan kenapa bukan Xanana Gusmao yang menerima? Dari Tim seleksi Komite Nobel Norwegia menjawab, bahwa hadiah Nobel diberikan kepada orang berjuang yang tidak menggunakan senjata tapi dengan cara cara non combatan. Bagaimana dengan SBY yang mantan tentara? Kita tentu masih menunggu, kalau memang SBY dinominasikan, berarti tim seleksi Nobel Perdamaian sudah mengubah kriterianya. Bukankah saat menjadi presiden, SBY sudah berstatus sipil? Bahkan selalu mengedepankan perdamaian bukan peperangan seperti dilakukan presiden-presiden sebelumnya.

Sehubungan dengan pencalonan SBY tersebut, Uskup Belo kontan setuju dan mendukung. Tentu saja dukungan Uskup Belo sangat penting, sebab dia adalah penerima Nobel Perdamaian 1996. Menurut Belo, SBY ketika bertugas di Timor Timur pada 1986-1988 sebagai komandan Batalyon Satya Yudha Bhakti, dikenal sebagai tentara yang jujur, rendah hati, selalu berdekatan dengan rakyat dan tak mudah menggunakan kekerasan. Namun, saat Presiden Megawati menggunakan kekerasan terhadap Aceh, SBY berada di sekitar Megawati. Ia tak mampu menolak keinginan presiden dan sejumlah tentara ‘nasionalis sempit’ dengan menggelar perang di Aceh.

Penyelesaian konflik di Aceh memang monumental. Tak ada satupun presiden Indonesia yang mampu mengakhiri perang selama 24 tahun kecuali SBY. Barangkali karena SBY mantan tentara, ia bisa merasakan betapa tentara dan keluarganya juga rakyat sipil sangat menderita karena perang. Bagi SBY yang sering membaca buku dibanding Megawati, nasionalisme kini telah mengalami pergeseran, tak lagi seperti ketika ayah Megawati, Soekarno sering mengutip Ernes Renan tentang bangsa. Pantaskah kesuksesan SBY menyemai perdaiaman di Aceh diganjar Nobel Perdamaian?

Tampaknya memang kurang lengkap jika SBY belum menuntaskan perdamaian di kawasan regional. Pekerjaan Rumah SBY dalam waktu dekat ini adalah ‘mengekspor demokrasi dan perdamiaan” ke Burma. Seperti kita ketahui, Burma adalah satu-satunya negara di ASEAN yang masih dikuasai junta militer. Tak ada kebebasan politik, partai dilarang organisasi massa diharamkan. Partai pemenang pemilu 1990, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi tak diakui bahkan para anggota parlemen terpilih ditangkap dan dipenjara. Aung San Suu Kyi (penerima Nonel Perdamaian 1991) sampai kini masih dalam tahanan rumah. Pendek kata, AS dan Uni Eropa mengangap junta militer Burma sebagai penguasa paling jahat di dunia saat ini.

Dalam Februari ini SBY akan berkunjung ke Burma. Kita berharap SBY memerankan sebagai juru damai di sana. Memberi angin segar bagi demokratisasi Burma yang diterima junta militer maupun oposisi. Para presiden Indonesia sebelumnya, termasuk Gus Dur yang paling aktivis dan berjanji membantu Suu Kyi, ternyata tak mampu menemui ikon demokrasi Burma itu saat berkunjung ke Rangoon. SBY harus mampu menundukkan junta militer untuk bertemu Suu Kyi dan menjembatani mandeknya demokrasi di negeri seribu pagoda itu. Jika SBY tak mampu bertemu Suu Kyi dan hanya bertemu Jenderal Senior Than Shwee, berarti SBY ibarat bertemu para pembajak pesawat, tak mampu bertemu para sanderanya yang harus dibebaskan. Jika SBY tak mampu berbuat banyak di Burma, maka SBY boleh dibilang “juru damai kelas kampung!”

XANANA GUSMAO 60 TAHUN: NEGARAWAN ATAU POLITISI?

Xanana Gusmao hari ini genap berusia 60 tahun. Mantan Panglima Falintil era pendudukan Indonesia itu, kini menjadi Presiden Timor Leste. Barangkali lelaki kelahiran Manatuto 20 Juni 1946 ini tak sempat meniup lilin di tengah keramaian keluarga atau kerabat dekat di Istana Debu, Dili. Pasalnya ia masih pusing tujuh keliling memikirkan hampir 600 tentara yang dipecat dan buntutnya kerusuhan yang menewaskan 30 orang dan menyebabkan 130.000 orang mengungsi. Xanana bergerilya melawan tentara Indonesia, kini dipusingkan tentara sendiri, sampai mendatangkan tentara negara tetangga.

Ketika masih di penjara Cipinang sekitar tahun 1994/1995, Xanana sering bersurat-suratan dengan Yeni Rosa Damayanti, aktivis Pijar dan Solidamor yang di penjara Pondok Bambu. Salah satu topik korespondensi antara Cipinang dan Pondok Bambu adalah soal keberadaan tentara di Timor Leste merdeka. Xanana dalam salah satu suratnya menegaskan, Timor Leste merdeka tak perlu tentara. Kami hanya perlu polisi sipil untuk menjaga ketertiban masyarakat.

Banyak orang kaget, termasuk Yeni tentu saja, Timor Leste merdeka mempunyai tentara. Buat apa? Untuk melawan Indonesia? Melawan bekas milisi atau untuk apa? Rupanya yang menjadi biang kerok pembentukan tentara (FDTL) adalah orang-orang PBB sendiri. Di samping karena Xanana yang peragu itu – makanya ia sangat akrab dengan SBY yang juga peragu- tak sampai hati melihat para mantan Falintil menjadi penganggur.

Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah, PBB membentuk suatu defence force. Celakanya pembentukan FDTL ini diproyekkan karena ada lembaga donornya. Defence force itu dipaksakan sehingga terbentuklah apa yang sebelum merdeka itu disebut ETDF East Timor Defence Force setelah kemerdekaan disebut FDTL. Rekrutmen organisasi ketentaraan, struktur, doktrin, diklat, dan operasional, dilakukan secara instan. Ini jelas berbeda dengan BKR menjadi TNI yang berjalan alamiah.

Adalah hal yang biasa dalam negara baru yang diperoleh melalui perjuangan bersenjata, tentaranya belum terlalu padu. Pengalaman Indonesia awal kemerdekaan juga sama. Di beberapa daerah terjadi pemberontakan oleh para perwira yang tak puas dengan kebijakan Jakarta. Tak ada pemberontakan dalam sejarah Indonesia yang tak melibatkan tentara. Sebutlah PRRI Permesta, DI TII sampai G 30 S. Semuanya melibatkan kaum bersenjata.

Selain menyelesaikan urusan tentara yang dikomandoi Mayor Alfredo Reinaldo – yang kini telah bersedia menyerahkan senjata ke tentara Australia. Xanana juga dipusingkan dengan desakan kalangan oposisi yang anti pemerintahan Mari Alkatiri. Para oposan yang leadernya Fernando ‘Lasama’ Araujo (Presiden Partai Demokrat) dan Mario Carrascalao kini mendesak Xanana untuk melengserkan Mari Alkatiri dan menuntut percepatan pemilihan umum. Sungguh ini permintaan yang sulit untuk dilaksanakan. Meski ada rivalitas antara Xanana dan Mari Alkatiri, dipastikan Xanana tak akan berani melengserkan Alkatiri dengan nemabrak konstitusi.

Gusmao bukan Gusdur meski sama-sama suka sepakbola seperti Gus Hidink. Jika Gus Dur mau dipanas-panasi kalangan LSM dan PKB untuk membubarkan parlemen yang berbalik melengserkan dirinya, Xanana akan berpikir lebih panjang. Memangnya oposisi yang menuntut Alkatiri mudur itu punya kekuatan apa? Bukankah parlemen dikuasai Fretilin (80 persen) yang notabene dipimpin Alkatiri? Tak seorang pun mampu menjatuhkan Alkatiri dari kursi Perdana Menteri kecuali oleh partainya sendiri, Fretilin.

Xanana harus legowo bahwa posisinya saat ini adalah Presiden, bukan Perdana Menteri. Sebagai macan ompong sesuai konstitusi, ia harus berada di atas semua golongan dan kekuatan politik di Timor Leste. Tak peduli Fretilin, Demokrat, Lorosae, Loromunu, Dispora, mantan milisi, mantan Brimob, mantan Falintil sampai sarjana Supermi, Mereka semua adalah anak bangsa Timor Leste. Jika Xanana terjebak berpihak, apalagi untuk kepentingan sesaat, demi memantapkan posisi ke depan, maka tak pantas lagi alumni University of Cipinang ini disebut sebagai negarawan melainkan cuma politisi!

Parasindonesia.com 2006

Aung San Suu Kyi 61 Tahun: Perempuan yang Ditakuti Junta Militer

Pada 19 Juni 2006, ikon demokrasi Burma Aung San Suu Kyi genap berusia 61 tahun. Di ruang Dieng Hotel Kartika Chandra beberapa anggota DPR yang tergabung dalam ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC) meniup lilin di atas kue tart kecil untuk kebebasan sang perempuan besi nan sunyi nun jauh di Rangoon, Burma.

Ada Djoko Susilo dari Partai Amanat Nasional (PAN), juga hadir Nursyahbani Katjasungkana dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan Vice President AIPMC. Dari Malaysia tampak President AIPMC Zaid Ibrahim dan tokoh oposisi Lim Kit Siang. Selain itu ada beberapa anggota parlemen dari Kamboja, Thailand, Singapura dan Philipina. Dari kalangan LSM ada Debie Stothart dari Altsean Burma (Bangkok) dan Yuli Ismartono Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma (Jakarta). Mengapa para anggota parlemen ASEAN itu begitu getol memperjuangkan Aung San Suu Kyi?

Sembari memperingati ulang tahun Suu Kyi para wakil rakyat negara-negara ASEAN yang berkumpul di Jakarta itu meluncurkan buku berjudul “Asian Voices: Myanmar’s Threat to Regional Security”. Buku berisi dukungan agar ASEAN dan Dewan Keamanan PBB bekerja secara resmi untuk terciptanya resolusi damai atas masalah Burma yang mengancam kemanan dan stabilitas regional.

AIPMC dan para pendukung demokrasi di seluruh dunia tentu menentang perpanjangan penahanan terhadap Aung San Suu Kyi. Juga menolak atas penahanan 14 anggota parlemen terpilih dari Burma, Khun Htun Oo yang dijatuhi hukumam 90 tahun penjara November lalu.

Para anggota parlemen itu kompak terus berjuang demi terciptanya demokrasi di Burma dengan menyurati Sekjen PBB Koffie Annan dan Dewan Keamanan PBB untuk meloloskan resolusi tentang Burma. Hingga saat ini surat ke Sekjen PBB telah ditandatangai sekitar 451 anggota parlemen dari 33 negara di seluruh dunia.

Dari ratusan anggota parlemen dunia yang menandatangani surat untuk Koffie Annan, sekitar 50 oarang di antaranya adalah anggota DPR RI. Para wakil rakyat Indonesia sungguh sangat peduli dengan demokrasi di Burma yang ditindas junta militer serta terhadap nasib tokoh pro demokrasi Aung San Suu Kyi yang hingga kini masih berada dalam tahanan rumah. Suu Kyi adalah pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang menang dalam pemilu 1990.
Beda anggota parlemen beda pula presidennya. Pada Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Burma Maret lalu, dinilai sangat mengecewakan. Sejumlah anggota Komisi I DPR RI dan anggota lain yang tergabung dalam Kaukus Parlemen RI untuk Demokrasi di Myanmar kecewa berat. Masyarakat semakin kurang mempercayai SBY sebagai pemimpin Indonesia yang mampu membawa kembali bangsa ini di pentas regional.
Pengakuan presiden bahwa tidak elok jika dalam kunjungan kenegaraannya ke Burma meminta kepada pemimpin junta militer Jenderal Senior Than Shwe agar diperkenankan bertemu Aung San Suu Kyi, adalah pernyataan yang sangat tidak elok. ”Tentu tidak elok kalau saya berkunjung ke Myanmar, lalu saya katakan kepada Jenderal Senior Than Shwe saya mau bertemu si ini dan itu. Sama saja kalau ada kepala negara berkunjung ke Indonesia, mereka menyatakan ingin bertemu dengan—katakanlah—pemimpin pemberontak,” ujar SBY sebelum kembali ke Jakarta, Kamis (2/3) di Rangoon, Burma.
Pernyataan SBY waktu itu sungguh naif dan menghina demokrasi karena, menyamakan Aung San Suu Kyi dengan pemberontak. Aung San Suu Kyi adalah pemimpin partai terbesar dan pemenang pemilu 1990. Perjuangan Suu Kyi dan partainya adalah melalui cara-cara demokratis dan antikekerasan. Siapa sebenarnya yang pemberontak? Bukankah junta militer yang menganulir pemenang pemilu 1990? Paska pemilu ribuan anggota parlemen terpilih ditangkapi, dipenjara tanpa diadili diantaranya banyak yang mati di penjara, kampus-kampus ditutup, partai dan kegiatan politik dilarang dan tetap menahah para aktivis politik termasuk Aung San Suu Kyi.
Selamat Ulang Tahun Daw Aung San Suu Kyi!