Pada 19 Juni 2006, ikon demokrasi Burma Aung San Suu Kyi genap berusia 61 tahun. Di ruang Dieng Hotel Kartika Chandra beberapa anggota DPR yang tergabung dalam ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC) meniup lilin di atas kue tart kecil untuk kebebasan sang perempuan besi nan sunyi nun jauh di Rangoon, Burma.
Ada Djoko Susilo dari Partai Amanat Nasional (PAN), juga hadir Nursyahbani Katjasungkana dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan Vice President AIPMC. Dari Malaysia tampak President AIPMC Zaid Ibrahim dan tokoh oposisi Lim Kit Siang. Selain itu ada beberapa anggota parlemen dari Kamboja, Thailand, Singapura dan Philipina. Dari kalangan LSM ada Debie Stothart dari Altsean Burma (Bangkok) dan Yuli Ismartono Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma (Jakarta). Mengapa para anggota parlemen ASEAN itu begitu getol memperjuangkan Aung San Suu Kyi?
Sembari memperingati ulang tahun Suu Kyi para wakil rakyat negara-negara ASEAN yang berkumpul di Jakarta itu meluncurkan buku berjudul “Asian Voices: Myanmar’s Threat to Regional Security”. Buku berisi dukungan agar ASEAN dan Dewan Keamanan PBB bekerja secara resmi untuk terciptanya resolusi damai atas masalah Burma yang mengancam kemanan dan stabilitas regional.
AIPMC dan para pendukung demokrasi di seluruh dunia tentu menentang perpanjangan penahanan terhadap Aung San Suu Kyi. Juga menolak atas penahanan 14 anggota parlemen terpilih dari Burma, Khun Htun Oo yang dijatuhi hukumam 90 tahun penjara November lalu.
Para anggota parlemen itu kompak terus berjuang demi terciptanya demokrasi di Burma dengan menyurati Sekjen PBB Koffie Annan dan Dewan Keamanan PBB untuk meloloskan resolusi tentang Burma. Hingga saat ini surat ke Sekjen PBB telah ditandatangai sekitar 451 anggota parlemen dari 33 negara di seluruh dunia.
Dari ratusan anggota parlemen dunia yang menandatangani surat untuk Koffie Annan, sekitar 50 oarang di antaranya adalah anggota DPR RI. Para wakil rakyat Indonesia sungguh sangat peduli dengan demokrasi di Burma yang ditindas junta militer serta terhadap nasib tokoh pro demokrasi Aung San Suu Kyi yang hingga kini masih berada dalam tahanan rumah. Suu Kyi adalah pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang menang dalam pemilu 1990.
Beda anggota parlemen beda pula presidennya. Pada Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Burma Maret lalu, dinilai sangat mengecewakan. Sejumlah anggota Komisi I DPR RI dan anggota lain yang tergabung dalam Kaukus Parlemen RI untuk Demokrasi di Myanmar kecewa berat. Masyarakat semakin kurang mempercayai SBY sebagai pemimpin Indonesia yang mampu membawa kembali bangsa ini di pentas regional.
Pengakuan presiden bahwa tidak elok jika dalam kunjungan kenegaraannya ke Burma meminta kepada pemimpin junta militer Jenderal Senior Than Shwe agar diperkenankan bertemu Aung San Suu Kyi, adalah pernyataan yang sangat tidak elok. ”Tentu tidak elok kalau saya berkunjung ke Myanmar, lalu saya katakan kepada Jenderal Senior Than Shwe saya mau bertemu si ini dan itu. Sama saja kalau ada kepala negara berkunjung ke Indonesia, mereka menyatakan ingin bertemu dengan—katakanlah—pemimpin pemberontak,” ujar SBY sebelum kembali ke Jakarta, Kamis (2/3) di Rangoon, Burma.
Pernyataan SBY waktu itu sungguh naif dan menghina demokrasi karena, menyamakan Aung San Suu Kyi dengan pemberontak. Aung San Suu Kyi adalah pemimpin partai terbesar dan pemenang pemilu 1990. Perjuangan Suu Kyi dan partainya adalah melalui cara-cara demokratis dan antikekerasan. Siapa sebenarnya yang pemberontak? Bukankah junta militer yang menganulir pemenang pemilu 1990? Paska pemilu ribuan anggota parlemen terpilih ditangkapi, dipenjara tanpa diadili diantaranya banyak yang mati di penjara, kampus-kampus ditutup, partai dan kegiatan politik dilarang dan tetap menahah para aktivis politik termasuk Aung San Suu Kyi.
Selamat Ulang Tahun Daw Aung San Suu Kyi!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar