August, 18 2005 @ 06:35 pm
Nasionalis Sempit & Xenophobia
Hadiah terindah pada HUT Kemerdekaan RI ke 60 adalah ditandatanganinya nota kesepahaman damai (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (15/8) di Helsinki, Finlandia. MoU RI-GAM ini diharapkan benar-benar akan mengakhiri konflik di Aceh yang telah berlangsung selama 30 tahun dan merengut nyawa sedikitnya 15.000 manusia. Namun kegembiraan rakyat Aceh, sebagian besar rakyat Indonesia yang cinta damai serta masyarakat internasional sedikit terganggu ketika ada sebagian kecil kelompok masyarakat mempertanyakan proses dan substansi MoU tersebut. Kelompok kecil ini mengkhawatirkan beberapa isi kesepahaman antara lain soal partai lokal, kewenangan AMM (Aceh Monitoring Mission), simbol-simbol lokal (lagu dan bendera) dan kompensasi bagi mantan GAM.
Penandatangan MoU RI-GAM yang diliput media asing maupun nasional sebelumnya melalui proses yang sangat alot dan panjang. Setidaknya sejak Januari 2005 telah dilakukan lima kali perundingan dengan tarik ulur, take and give yang cukup melelahkan. Kedua belah pihak pada akhirnya sepakat untuk mengakhiri penderitaan rakyat Aceh selama tiga dasawarsa ditambah setelah dilanda bencana gempa dan tsunami dahsyat akhir 2004. Pendek kata kepentingan rakyat Aceh menjadi nomor satu.Karena itulah GAM mengubur keinginan mendirikan negara Aceh merdeka. Zaini Abdullah salah seorang anggota delegasi GAM mengatakan masalah perjuangan kemerdekaan telah usang, yang diinginkan rakyat Aceh adalah kedamaian dan hidup wajar. Sebagai kompensasi dari penerimaan Aceh tetap dalam negara Republik Indonesia, wajar jika GAM minta beberapa hal demi kepentingan rakyat Aceh seperti tertuang dalam MoU misalnya partai lokal, simbol-simbol lokal, pembagian hasil bumi Aceh, suku bunga dan lain-lain.
Dalam perundingan memang harus ada take and give. Dan itu sudah dilakukan dengan baik oleh kedua delegasi yang dipimpin Hamid Awaluddin dan Malik Mahmud tersebut. Masalahnya muncul terutama dari PDI Perjungan yang ‘kebakaran jenggot’ karena tak diajak serta sejak perundingan dimulai. Selain itu, partai yang mengaku oposisi itu juga mengkhawatirkan substansi MoU RI-GAM – seperti partai lokal dan simbol-simbol lokal- akan menjadi pintu masuk ke arah pemisahan dari negara kesatuan Republik Indonesia. Padahal, logikanya, justru dengan partai lokal GAM mau tetap berada dalam negara kesatuan RI.
Kita patut khawatir terhadap orang yang mengkhawatirkan MoU RI-GAM. Mereka penganut nasionalis sempit yang kurang paham arti penderitaan rakyat Aceh selama ini. Mereka dihinggapi xenophobia, selalu mencurigai kehadiran pihak asing. Mereka lupa Indonesia berpengalaman dalam membantu konflik di Moro, Filipina, antar faksi di Kamboja bahkan TNI dikenal jasanya dari Kongo sampai Bosnia. Selain itu, kelompok kedua yang patut dicurigai adalah para ‘pedagang konflik’. Kelompok ini tak ingin Aceh damai karena akan merugikan kepentingannya. Mereka antara lain pemasok senjata dan amunisi, bisnis jasa keamanan dan penguasa pos-pos ‘jalan tol’ antara perbatasan Sumatera Utara sampai Banda Aceh. Yang harus dicegah adalah dua kelompok ini bersatu dan melakukan aksi bersama menentang MoU, misalnya dengan menjegal di DPR, mengerakkan massa di jalan-jalan serta menggalang paramiliter anti separatisme dengan menyebar teror seperti di Timor Timur pasca-jajak pendapat 1999. Jika hal terakhir ini sampai terjadi, maka lengkaplah sudah sebutan bangsa asing terhadap Indonesia sebagai bangsa yang korup, kejam, tak menghargai perbedaan, dan tidak mencintai perdamaian!.
By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Politics Parasindonesia.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar