Minggu, 09 September 2007

Watak Asli SBY Muncul Dalam Soal Burma

January, 17 2007 @ 08:45 pm
Watak Asli SBY Muncul Dalam Soal Burma
Tahun 2007, sepantasnya menjadi tahun yang membanggakan bagi diplomasi RI. Salah satunya, karena Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan Ketua Dewan HAM PBB. Namun, sikap abstain RI dalam rancangan resolusi DK PBB mengenai Burma, sungguh sangat bertolak belakang dan mengecewakan. Kebijakan politik luar luar negeri pemerintahan RI saat ini tampaknya sangat mencerminkan sikap pribadi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang penuh bimbang dan ragu. Selain itu, latar belakang militer presiden juga mempengaruhi cara pandang dalam melihat suatu negara menyelesaikan masalah demokrasi dan hak asasi manusia.

Sikap politik Indonesia terhadap Burma dipandang maju ketika Indonesia menjadi pimpinan ASEAN pada periode 2004-2005. Waktu itu Indonesia bersama negara ASEAN lainnya meminta Aung San Suu Kyi dan tahanan politik lainnya dibebaskan sebagai prasyarat rekonsiliasi politik. Meskipun permintaan itu tidak dikabulkan namun menunjukkan sikap politik yang mendorong demokratisasi di kawasan ASEAN. Mundurnya Burma menjadi pimpinan ASEAN 2006 juga merupakan kerjasama yang bagus antara diplomat negara-negara ASEAN dan para aktivis internasional yang mendukung demokrasi di Burma.

Kegagalan ASEAN merangkul Burma ternyata diabaikan SBY dengan mempercayai begitu saja junta militer yang nyata-nyata telah berulang kali melanggar janji untuk membebaskan Aung San Suu Kyi dan melaksanakan road map to democracy dan rekonsiliasi nasional. Tampaknya junta militer Burma selain berhasil mendapatkan dukungan dari China dan India dengan imbalan ekonomi, juga mendapat dukungan Indonesia dengan presidennya yang mantan jenderal yang sok pintar, naif dan mudah diperalat.Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma (KMSuB) dan Kaukus Parlemen ASEAN untuk Demokrasi di Myanmar (AIPMC) di DPR yang diketuai Djoko Susilo dan Nursyahbany Katjasungkana sangat menyesalkan pilihan RI yang tak memilih ini. Beberapa hal yang membuat para aktivis Indonesia kecewa antara lain;Sikap abstain RI menunjukkan ketidaktegasan bahkan cenderung membela junta militer yang nyata-nyata telah merampok dan menyandera demokrasi di Burma setidaknya sejak kemenangan mutlak partai NLD (Liga Nasional untuk Demokrasi) pimpinan Aung San Suu Kyi dalam pemilihan umum yang demokratis pada 1990.

Mempercayai perubahan pada junta militer tanpa tekanan adalah naif. Pengalaman ASEAN menggunakan pendekatan lunak dan konstruktif tak menemui hasil bahkan membuat frustrasi ASEAN. Ini karena junta militer tak pernah menepati janji melakukan transisi demokrasi. Melindungi Burma semata-mata karena anggota ASEAN sama saja mencoreng wajah ASEAN sendiri yang memang tak bersih. Hal ini dibuktikan dengan separo pemerintah negara-negara ASEAN bukan pilihan rakyat. Sementara Indonesia yang pemerintahannya pilihan rakyat namun presidennya tetap tak bisa membedakan mana penjahat dan pejuang demokrasi di Burma.

Usulan Presiden RI tentang Dwifungsi militer ala Dwifungsi TNI era Orbe Baru diterapkan di Burma merupakan pelecehan terhadap demokrasi, pasalnya konsekuensi dari usulan itu adalah pelanggengan kekuasaan junta mililter yang tidak merupakan representasi rakyat. Sangat disayangkan Presiden SBY yang dipilih langsung rakyat justru membela junta militer, bukannya mendukung NLD yang merupakan pilihan rakyat Burma. SBY lebih membela junta militer yang membajak demokrasi daripada membela sanderanya yaitu rakyat Burma yang diwakili NLD.

Penyelesaian Burma melalui trilateral Indonesia-Philipina-Singapura adalah membuang-buang waktu, karena melalui ASEAN yang lebih kuat saja tidak berhasil, apalagi hanya melalui tiga negara. Junta militer Burma adalah rezim yang bebal, yang kekejamannya melebihi rezim Orde Baru di Indonesia. Karena itu harus dihadapi dengan cara yang lebih keras dari yang telah dilakukan selama ini. Membawa ke tingkat yang lebih tinggi dari forum ASEAN adalah keharusan, dan bukan sebaliknya.DPR RI harus menegur sekeras-kerasnya Presiden dan Menteri Luar Negeri RI yang mengambil sikap abstain dalam rencana resolusi DK PBB.

Sikap abstain ini sangat tak sejalan dengan perjuangan DPR RI untuk menyelesaikan kebuntuan demokrasi di Burma dengan sesegera mungkin junta militer membebaskan semua tahanan politik, di antaranya ikon demokrasi Aung San Suu Kyi dan para anggota parlemen terpilih pada Pemilu 1990.

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Politics Parasindonesia.com

Tidak ada komentar: