Selasa, 13 Mei 2008

IKLAN NEGATIF BERGUNA BAGI PUBLIK?

Oleh : Tri Agus Susanto*

Pemilihan umum (pemilu) 2009 sudah di depan mata. Persiapan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus berpacu dengan waktu. Berbagai peraturan baru dibuat KPU. Salah satu yang baru dibanding pemilu 1999 dan 2004, adalah masa kampanye yang lebih panjang. Pada Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, partai politik dapat berkampanye selain rapat umum sejak tiga hari penetapan sebagai peserta Pemilu 2009 hingga tiga hari sebelum pemungutan suara.

Seperti pada dua pemilu lalu, masa kampanye memunculkan berbagai masalah. Salah satu yang ingin dibahas di sini adalah maraknya kampanye negatif antar partai politik atau calon presiden. Masa kampanye yang tak sampai satu bulan saja menimbulkan banyak kampanye negatif, bagaimana dengan Pemilu 2009 yang masa kampanyenya delapan bulan?

Sesungguhnya tak ada definisi yang diterima secara universal tentang iklan negatif. Namun pada dasarnya ia lebih berfokus terhadap pesaing daripada terhadap kandidat. Ini berarti, iklan negatif berkonsentrasi pada apa yang salah pada pesaing, baik secara personal atau dalam hal sikap terhadap isu atau kebijakan. Kendati banyak ahli sepakat bahwa iklan negatif adalah tidak etis, namun ada banyak peneliti berpendapat bahwa iklan negatif justru menyajikan kepada pemilih informasi yang baik dan solid sebagai dasar pengambil keputusan. Karena itu tak salah jika para konsultan politik sering menamakan iklan negatif sebagai “comparative” atau “contrast” yang membantu pemilih menilai kekuatan dan kelemahan para kandidat.

Kampanye Capres 2004
Kampanye capres dan cawapres pada 2004 berlangsung pada 1 Juni – 1 Juli. Meskipun kurang ramai dari segi respon masyarakat, dibanding kampanye parpol Pemilu 2004, namun dari segi kreativitas dan inovasi, kampanye capres jauh lebih menarik. Dengan sistem pemilihan langsung, setiap capres musti berkampanye sebaik mungkin agar memperoleh suara sebanyak mungkin.

Kampanye parpol digerakkan semata-mata oleh pengurus partai dari pusat dan daerah yang sering disebut sebagai divisi pemenangan pemilu partai. Untuk kampanye capres, mesin penggeraknya adalah “tim sukses” yang khusus dibentuk dari lintas parpol dan individu sampai para profesional. Tim sukses inilah yang bertugas memoles capres agar rapi, cakap, ramah, murah senyum, dekat dengan rakyat. Tim sukses-lah yang mengatur jadwal kampanye, merumuskan strategi dan inovasi kampanye, menggalang dana, sampai mendekati media, termasuk dalam hal iklan media.

Persaingan iklan di media, berarti perang slogan. Agar menarik dan segera diidentifikasi khalayak, iklan disertai dengan slogan bombastis, ringkas, padat, dan yang paling penting, mudah diingat. Pasangan Wiranto-Solahuddin muncul dengan slogan “Bersatu Untuk Maju”. Melalui berbagai iklan, sosok militer dalam diri Wiranto hilang sama sekali. Wiranto berhasil disulap menjadi sipil yang murah senyum dan dekat dengan rakyat. Megawati memilih memamerkan kesuksesan pemerintahnya sebagai materi iklan. “Telah teruji, telah terbukti” begitu slogan Mega-Hasyim. Amien-Siswono dalam berbagai versi iklan mempopulerkan slogan “Jujur, cerdas, berani”. Pasangan ini bahkan memakai almarhum aktivis Munir sebagai bintang iklannya. Pasangan SBY-JK, yang keluar sebagai pemenang, mengusung slogan “Bersama Kita Bisa”. Dan terakhir, pasangan Hamzah-Agum yang berbagai iklannya tampak kaku, menyeru dengan slogan “Percaya untuk Maju”.

Kampanye negatif tak terhindarkan dalam pemilu capres 2004. Para capres dan cawapres harus siap merah telinga dan tahan emosi menghadapi isu-isu miring. Bagi lawan politik dan orang-orang yang tak suka, kelemahan kecil seorang capres/cawapres bisa digarap menjadi kampanye negatif untuk menggembosinya. Meskipun isu yang dihembuskan belum tentu benar, namun jika digarap secara teliti dan disebar terus menerus, akan bisa mempengaruhi kredibiltas dan popularitas capres. Perkembangan teknologi internet, milis, SMS, dan VCD/DVD menambah mudah aksi-aksi propaganda itu dilakukan.

SBY dan Wiranto adalah dua capres yang sering menjadi sasaran kampanye negatif. Misalnya selebaran gelap muncul di Kabupaten Jember, isinya mangajak kaum muslim tak memilih SBY-JK. Alasannya mayoritas caleg Partai Demokrat, pendukung utama paangan ini, beragama non-Islam (Koran Tempo, 11 Juni 2004). Melalui internet juga beredar analisis tentang SBY dan perannya dalam konflik di Ambon.

Menjelang dan selama kampanye capres 2004, media tiba-tiba mendapat isu menarik tentang Wiranto dan keterlibatannya dalam Pam Swakarsa. Organisasi ini didirikan untuk membantu mengamankan Sidang Umum MPR 1998, khususnya untuk menghadapi demonstrasi mahasiswa. Media sangat antusias menangkap isu yang dilontarkan Mayor Jendral Kivlan Zen, yang diketahui sebagai mantan koordinator pembentukan Pam Swakarsa. Kivlan Zen yang kecewa karena uang pembentukan Pam Swakarsa belum dibayar Wiranto, saat itu Panglima TNI, ternyata dekat dengan Prabowo Subianto, rival Wiranto di Angkatan Darat dan konvensi Partai Golkar. Kiprah Kivlan Zen ini ditengarai sebagai kampanye negatif melalui media untuk menyudutkan Wiranto.

Usai persoalan Pam Swakarsa, Wiranto kembali ‘diserang’ dengan beredarnya VCD anti-Wiranto bersampul pagelaran Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Dalam VCD itu mulanya delapan menit lagu Menuju Bintang yang dinyanyikan Fery, juara AFI. Setelah itu muncul gambar tragedi Semanggi dan Trisakti dan wajah Wiranto. Disusul kemudian teks berjalan dengan kalimat “Adili Jendral (purn) Wiranto. Tolak Capres dari militer” “Anda ingin peristiwa Semanggi dan Trisakti terulang kembali? Jika iya maka: pilih SBY atau Wiranto sebagai presiden kita. Dijamin Indonesia banjir darah.”

Berguna bagi publik?
Akhir tahun lalu beberapa media nasional dan daerah memasang iklan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto. Dalam iklan itu dicantumkan jumlah rakyat miskin Indonesia 49,5 persen. Wiranto mengaku tak bermaksud mendiskriditkan pihak mana pun. “Iklan itu adalah ajakan kepada seluruh elemen bangsa untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan,” ujar Wiranto (Kompas, 21/12/2007). Iklan itu menjadi polemik menarik. Dari soal data yang digunakan sampai dugaan upaya kampanye negatif menyerang pemerintah. Dalam hal ini Presdien SBY berkilah bahwa perhitungan yang benar adalah menggunakan data BPS 2007, jumlah orang miskin Indonesia adalah 16,5 persen.

Makin maraknya iklan politik pada Pemilu 2009 telah diprediksi Indra Abidin ketua International Advertising Association (IAA). Survei Nielsen Media Research Indonesia menunjukkan pada Januari-Maret 2008, belanja iklan pemerintah, parpol meningkat 62 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2007. Sebagai catatan, belanja iklan pada Pemilu 1999 hanya berkisar Rp 35,69 miliar, kemudian belanja iklan dan kampanye Pemilu 2004 menembur Rp 3 triliun (Kompas, 25/4/2007).

Di tengah meningkatnya iklan politik, praktisi periklanan dan media dituntut untuk taat kepada etika moral dan tanggungjawab profesi. Mereka harus berani memilah dan memilih materi iklan yang mencerdaskan bukan mencederai akal sehat pemilih. Menyerang pesaing mungkin bisa dibenarkan dan akan berguna bagi calon pemilih asal dengan argumentasi yang masuk akal. Semua akan terpulang kepada pemilih yang makin cerdas menentukan mana iklan politik mencerahkan atau hanya dialamatkan kepada perasaan, menyederhanakan persoalan karena keterbatasan waktu dan dana, menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui publik, sampai memakai manipulasi teknologi.

Dengan demikian, iklan negatif, sejauh mempunyai argumentasi yang tepat, faktual dan cerdas, sebenarnya bisa jadi bermanfaat bagi calon pemilih. Karena pemilih butuh pembanding untuk menilai kekuatan dan kelemahan kandiddat.

Sedang mengikuti Program Pascasarjana Magister Manajemen Komunikasi Politik, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia NPM : 0706185055

Selasa, 06 Mei 2008

Menunggu Referendum Dagelan di Burma

Oleh: Tri Agus S. Siswowiharjo*

Pada 10 Mei 2008, jika tak berubah karena badai yang menewaskan 20.000 orang lebih, junta militer Burma (Myanmar) mengadakan referendum. Rakyat akan menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ atas rancangan konstitusi baru. Menurut junta militer, referendum akan mengakhiri ketiadaan konstitusi sejak Myanmar dikuasai militer pada 1962.

Bagi rakyat Myanmar referendum kali ini mengingatkan pada pemilu 27 Mei 1990 yang dimenangi partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi tersebut sukses merebut 80 persen kursi di parlemen. Namun kemenangan itu dianulir junta militer. Akankah sejarah berulang pada Mei 2008?

Uni Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara barat lainnya terus melakukan berbagai tekanan. Dari embargo ekonomi, embargo senjata sampai menolak pemberian visa para pejabat militer. Puncak kecaman terjadi September 2007 saat junta militer meredam demonstrasi damai yang dipelopori para biksu. Meskipun negeri itu tertutup dan tak ada kebebasan pers namun berkat teknologi seperti telepon genggam dan internet, penindasan terhadap para biksu itu segera menduniai, dan masyarakat internasional mengecam junta militer.

Junta militer menyadari dunia tak sabar melihat demokratisasi di Myanmar. Karena itu mereka menjawab dengan referendum yang menjanjikan segera diakhiri pemerintahan militer, melalui pemilu ‘demokratis’ pada tahun 2010. Betulkah referendum merupakan pintu ke arah demokratisasi di Myanmar?

Jika referendum memenuhi syarat-syarat yang berlaku internasional, mungkin referendum penting bagi demokratisasi. Namun referendum kali ini sungguh mengandung tiga hal yang sangat tidak demokratis. Pertama, penyusunan draf konstitusi tak melibatkan kekuatan politik lain selain militer. Kedua, draf konstitusi hanya menguntungkan militer. Ketiga, pelaksanaan referendum tak mencerminkan asas transparansi dan kebebasan, karena tak dimungkinkan kampanye bagi yang tak menyetujui draf konstitusi baru tersebut. Pelaksana referendum, bukanlah lembaga independen, mereka bahkan menggunakan berbagai cara untuk menekan rakyat memilih ‘ya’, sementara beberapa aktivis yang mencoba memberi pendidikan politik agar rakyat kritis ditangkap aparat militer. Karena itu wajar banyak masyarakat berpendapat apa pun yang dipilih pasti akan keluar hasil ‘ya’.

Mari kita ambil contoh draf konstitusi setebal 194 halaman dan terdiri dari 457 pasal tersebut. Ada pasal pengganjal Suu Kyi untuk berpolitik karena ia menikah dengan warga asing. Larangan tak masuk akal itu menutup kemungkinan Suu Kyi menjadi presiden, bahkan menjadi anggota parlemen. Pasal lain, memberi jaminan bagi militer mendapatkan jatah 25 persen kursi di parlemen. Ini persis militer Indonesia era Orde Baru. Selain itu, militer juga bisa mengambilalih kekuasaan saat negara dalam keadaan darurat. Presiden dapat menyerahkan wewenangnya kepada pemimpin militer dalam waktu tak lebih dari setahun bila muncul keadaan darurat. Dinyatakan pula amandemen terhadap konstitusi hanya bisa dilakukan atas persetujuan 75 persen anggota parlemen. Amandemen tersebut hampir tak mungkin, dan tentunya harus mendapatkan dukungan dari militer.

Junta militer melarang pemantau internasional. Artinya kemungkinan terjadi kecurangan sangat besar. Kalau pun tak ada kecurangan namum rakyat memilih ‘tidak’, satu pertanyaan muncul: maukah junta militer menerima kekalahan? Bukankah pada pemilu 1990 mereka menolak kemenangan telak NLD.

Tampaknya dunia sekali lagi berharap banyak kepada citizen journalist, mereka pemakai telpon seluler dan internet. Mereka akan menjadi mata dan telinga masyarakat internasional yang mendambakan perubahan di Myanmar. Junta militer tentu tak ingin ‘kecolongan’ untuk kedua kali seperti September 2007. Pelarangan membawa telpon seluler di tempat pemungutan suara, mungkin diberlakukan.

Beberapa skenario pasca-referendum
Beberapa skenario mungkin terjadi. Pertama referendum lancar, mayoritas memilih ‘ya’. Artinya tetap tak ada perubahan. Kedua, referendum lancar, mayoritas memilih ‘tidak’. Jika junta militer menerima kekalahan, masih terbuka kemungkinan referendum berikutnya setelah perubahan draf konstitusi atau kemungkinan perundingan dengan oposisi yang lebih seimbang. Jika junta militer menolak kekalahan, berarti pengulangan sejarah 1990, dan demokrasi semakin jauh panggang dari api. Ketiga, referendum diboikot rakyat. Hanya minoritas yang menggunakan suaranya dan terjadi kekacauan di beberapa kota. Jika skenario ini yang terjadi, junta militer akan tetap mengamankan referendum sembari menumpas rakyat yang anti-referendum.

Ketiga skenario di atas memang tak ada yang menjadikan referendum legitimed, sebab sejak dari awal memang tak ada unsur demokrasi di dalamnya. Ini referendum dagelan penuh akal-akalan. Yang kita kehendaki semoga rakyat memilih ‘tidak’ dan tak ada jatuh korban. Rakyat sudah lelah menunggu perubahan. Demokrasi adalah salah satu syarat menuju masyarakat yang lebih sejahtera. Adalah tanggungjawab masyarakat internasional jika kegagalan sekali lagi menimpa rakyat Myanmar. Para pemimpin dunia dan ASEAN jauh lebih bertanggungjawab karena mereka bisa melakukan upaya yang lebih kongkret untuk menyalamatkan rakyat Myanmar. Para pemimpin ASEAN termasuk Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah gagal mengajak para pemimpin junta militer ke arah demokrasi. Kini menjadi tugas rakyat Indonesia menyelamatkan rakyat Myanmar dari penindasan militer di abad modern ini. Gunakan kebebasanmu untuk membantu rakyat kami, begitu kata Suu Kyi kepada masyarakat internasional.

*} Penulis adalah aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma (KMSuB) dan Alternative ASEAN Network on Burma (ALTSEAN-Burma), tinggal di Depok, Jawa Barat.

Tri Agus S Siswowiharjo:
Alamat email: politshirt@yahoo.com dan tass@kmsub.org
Website: www.kmsub.org
Blog: http://tassblog.blogspot.com/
Mobile phone: 0815 803 1815