tag:blogger.com,1999:blog-12262447926436614642024-02-09T01:40:47.453+07:00Blognya TassSelamat datang di blog saya, Tri Agus Susanto Siswowiharjo. Anda akan jumpai tulisan lama dan baru soal Timor Leste, Papua, Burma, Temanggung, humor dan komunikasi politik. Sebagian besar telah dimuat di Parasindonesia.com dan newsletter komunitas Temanggung: Stanplat www.stanplat.com, harian Sindo, dan tabloid Indonesia Monitor.tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.comBlogger41125tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-37467172906900746162009-02-07T23:09:00.000+07:002009-02-07T23:11:14.637+07:00Rumor, Humor, dan Pemilu 2009Oleh : Tri Agus S Siswowiharjo*<br /><br />Saat memberi pengarahan pada Rapim TNI dan Rakor Polri di Istana Negara (29/1) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, “Saya mendengar informasi ada seorang petinggi TNI-AD yang mengatakan ABS (asal bukan calon presiden berinisial S).” Pernyataan presiden yang kemudian tak dipercayai sendiri itu tetap saja mengundang pertanyaan, mengapa rumor yang belum jelas kebenarannya, itu disampaikan pada pertemuan resmi? Sejauh mana rumor dan humor merebak menjelang Pemilu 2009?<br /><br />SBY ingin agar TNI dan Polri tetap menjaga kenetralan pada pemilu. Namun, dengan memberi informasi yang ia sendiri tak percayai, ini sebenarnya adalah ‘tragedi’. Mengapa SBY tak memerintahkan aparatnya untuk menyelidiki rumor itu sebelum menyampaikan ke kalangan TNI dan Polri? Bukankah SBY, sebagai Panglima Tertinggi TNI mempunyai tangan-tangan yang mampu menjangkau dari Mabes Cilangkap sampai tingkat Koramil?<br /><br />Sebelum rumor soal ABS, SBY dan Ketua Umum PDI P Megawati Soekarnoputri terlibat berbalas pantun, soal yoyo dan gangsing. Megawati menyerang pemerintah memperlakukan rakyat seperti yoyo dan dijawab pengurus Partai Demokrat, justru saat pemerintah Megawati rakyat diperlakukan seperti gangsing - hanya berputar di tempat tak kemana-mana “Adu yoyo” ini seolah melanjutkan episode saling menyindir pada Pemilu 2004. Saat itu, Taufiq Kiemas menyindir “jendral kekanak-kanakan”, dan SBY menuai untung, dari simpati publik.<br /><br />Megawati juga pernah mengeritik kinerja pemerintah SBY seperti orang menari poco-poco. Gerakan poco-poco maju selangkah kemudian mundur dua langkah. Jadi tak ada maju-majunya. Menanggapi kritikan Megawati, Wapres Jusuf Kala mengatakan justru kinerja pemerintah SBY jauh lebih bagus. Pada pemerintahan Megawati, justru kinerjanya berputar-putar seperti orang menari dansa!<br /><br />Sungguh, pemilu merupakan peristiwa serius paling lucu. Bayangkan betapa lucunya hari-hari ini kita diserbu oleh wajah-wajah di spanduk, poster, dan baliho para caleg yang tak kita kenal. Mereka semua gayanya hampir sama, seolah-olah berwibawa, religius dan peduli rakyat. Kita juga digelontor iklan di televisi di mana banyak calon presiden beriklan. Ada ketua partai mengeluarkan miliaran rupiah hanya untuk mengatakan, “hidup adalah perjuangan.” Ada juga presenter televisi mengiklankan diri sembari berteriak, “if there is a will, there is a way.” Tak ketinggalan, ada mantan tentara yang ‘tiba-tiba’ mengaku pejuang para petani dan pedagang tradisionil.<br /><br />Mari sedikit menghibur diri, bahwa di balik keseriusan dan kekhawatiran KPU mempersiapan Pemilu 2009, ada kelucuan atau humor yang menyegarkan.<br /><br />Wapres Jusuf Kalla selalu tampil spontan dan segar. Saat membuka sebuah acara di Universitas Indonesia Depok, JK menyatakan dirinya merasa seperti di rumah sendiri berada di lingkungan UI. Para mahasiswa dan dosen saling pandang, bukankah JK lulusan Universitas Hassanuddin Makassar bukan alumni UI? Rupanya yang membuat JK at home adalah jaket almamater UI yang berwarna kuning.<br /><br />Masih tentang JK yang kali ini berkunjung ke IPB (bukan Institut Pak Beye). Terjadi pembicaraan antara Wapres dan Rektor IPB. Dengan percaya diri sang rektor membanggakan bahwa alumnus IPB tersebar dan hebat dalam berbagai bidang. “Alumnus kami hebat di berbagai berbagai profesi dari wartawan sampai presiden,” ujar rektor. Dengan santai JK menimpali, “Ya alumnus IPB hebat di mana-mana, kecuali bidang pertanian.”<br /><br />Berikut cerita tentang Fadjroel Rachman, yang kekeh sumekeh mencalonkan diri menjadi presiden 2009-2014 melalui jalur independen. Meski begitu, Fadjroel cukup berkeringat berusaha menggolkan capres independen melalui yudicial review UU Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Karena perjuangan yang tak kenal lelah, para wartawan menjuluki Fadjroel punya partai baru namanya MK.<br /><br />Lain Fadjroel lain pula Garin Nugroho yang mendukung Sri Sultan Hamengkubuwono X. Garin kini sibuk berkeliling nusantara mendampingi Sultan. Bukan dalam rangka membuat film Capres di Bawah Bantal, Opera Pemilu atau Sultan dan Sepotong Roti. Melainkan Garin adalah konsultan politik HB X yang telah mendeklarasikan diri sebagai capres. Sebagai konsultan, dikongkon-kongkon (disuruh) Sultan, Garin bangga dipanggil Ngarso Luar. Sedangkan HB X oleh rakyatnya dipanggil Ngarso Dalem.<br /><br />Rumor dan humor adalah bagian dari komunikasi politik. Praktik komunikasi politik selalu mengikuti sistem politik yang berlaku. Di negara yang menganut sistem politik tertutup, komunikasi politik pada umumnya mengalir dari penguasa ke rakyat. Penerapan pendekatan ini memang bukan satu-satunya, namun yang dominan dilaksanakan adalah top down. Untuk mewujudkan paradigma tersebut, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat transmisional.<br /><br />Kini, di era reformasi, komunikasi politik antara elite legislatif, eksekutif, dan yudikatif relatif seimbang. Muatan pesan politik yang disampaikan pada umumnya untuk mewujudkan kepentingan elite sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat. Jadi, meski sistem politik berubah dari sistem tertutup ke sistem terbuka, namun pendekatan komunikasi politik cenderung tidak berubah. Karena itu rumor dan humor masih muncul melengkapi komunikasi politik.<br /><br />Mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah menulis kolom di majalah Tempo edisi Desember 1981 yang kemudian dijadikan judul buku kumpulan kolomnya, “Melawan Melalui Humor” (PDAT Tempo, 2000). Menurut Gus Dur, lelucon merupakan wahana ekspresi politis yang menyatukan bahasa rakyat dan mampu mengidentifikasikan masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan. Selain itu, lelucon juga memiliki kemampuan menggalang “musuh bersama”. Karena itu, fungsi perlawanan kulturalnya menunjuk kepada kesadaran yang tinggi untuk menyatakan apa yang benar sebagai kewajiban tak terelakkan.<br /><br />Jika mengacu pendapat Gus Dur, masyarakat akan membuat lelucon dengan tokoh yang paling dibenci. Pada Orde Baru mantan Presiden Soeharto paling sering dihumorkan. Kini ketika otoritarianisme sudah tak ada, mereka yang dirumorkan dan dihumorkan adalah pejabat pemerintah atau pejabat publik yang tak pro rakyat atau ingkar janji. Mereka bisa anggota DPR, gubernur, bupati, walikota, menteri, sampai presiden.<br /><br />Kata orang bijak, seseorang bisa disebut waras, lebih pintar dan lebih maju jika sudah bisa menertawakan sikap dan perbuatannya masa lalu. Bangsa Indonesia jika mau disebut dewasa, tentu harus mampu menertawakan kekonyolan pemilu!<br /><br />Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Komunikasi Politik, Universitas Indonesiatassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-81438643958673337862009-02-07T23:07:00.000+07:002009-02-07T23:08:54.712+07:00Yoyo, Gangsing dan Kampanye NegatifOleh : Tri Agus S Siswowiharjo*<br /><br />Berbalas iklan politik mulai memanas menjelang Pemilu 2009. Iklan Partai Demokrat yang mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menurunkan harga BBM tiga kali, dibalas oleh iklan serupa oleh PDI Perjuangan. Megawati Soekarnoputri bahkan menyerang pemerintah memperlakukan rakyat seperti yoyo, dan dijawab pengurus Partai Demokrat, justru pada saat pemerintah Megawati rakyat diperlakukan seperti gangsir - hanya berputar di tempat tak kemana-mana (Tempo, 30 Januari 2009). Kampanye negatif, saling menyerang, kini mulai akrab bagi kita, melalui tayangan di televisi maupun di media cetak. Bermanfaatkah kampanye negatif bagi masyarakat yang hendak memilih?<br /><br />Sesungguhnya tak ada definisi yang diterima secara universal tentang iklan negatif. Namun pada dasarnya ia lebih berfokus terhadap pesaing daripada terhadap kandidat. Ini berarti, iklan negatif berkonsentrasi pada apa yang salah pada pesaing, baik secara personal atau dalam hal sikap terhadap isu atau kebijakan. Kendati banyak ahli sepakat bahwa iklan negatif adalah tidak etis, namun ada banyak peneliti berpendapat bahwa iklan negatif justru menyajikan kepada pemilih informasi yang baik dan solid sebagai dasar pengambil keputusan. Karena itu tak salah jika para konsultan politik sering menamakan iklan negatif sebagai “comparative” atau “contrast” yang membantu pemilih menilai kekuatan dan kelemahan para kandidat.<br />Menurut pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Dedy Nur Hidayat, kalau hanya berbalas pantun, sama sekali tidak mendidik. Harusnya adu argumentasi agar publik mengetahui alasan masing-masing pihak. Bagi Dedy, iklan Megawati sudah masuk kategori kampanye negatif, saling menyerang. Satu kandidat menawarkan suatu program kemudian dibalas oleh kandidat yang lain. Memang itu seharusnya, agar rakyat bisa memilih. Kalau hanya sebatas iklan politik, sama sekali tidak mendidik. Karena tidak terjadi proses pendidikan politik, tidak meningkatkan kualitas pemilih. Mungkin masyarakat akan memilih hanya karena image yang mereka tampilkan, tapi mereka tidak melakukan pilihan berdasarkan argumentasi yang rasional dan yang bisa diterima.<br />Kampanye negatif juga tak terhindarkan pada pilpres 2004. Menjelang dan selama kampanye capres 2004, media tiba-tiba mendapat isu menarik tentang Wiranto dan keterlibatannya dalam Pam Swakarsa. Organisasi ini didirikan untuk membantu mengamankan Sidang Umum MPR 1998, khususnya untuk menghadapi demonstrasi mahasiswa. Media sangat antusias menangkap isu yang dilontarkan Mayor Jendral Kivlan Zen, yang diketahui sebagai mantan koordinator pembentukan Pam Swakarsa. Kivlan Zen yang kecewa karena uang pembentukan Pam Swakarsa belum dibayar Wiranto, saat itu Panglima TNI, ternyata dekat dengan Prabowo Subianto, rival Wiranto di Angkatan Darat dan konvensi Partai Golkar. Kiprah Kivlan Zen ini ditengarai sebagai kampanye negatif melalui media untuk menyudutkan Wiranto.<br /><br />Usai persoalan Pam Swakarsa, Wiranto kembali ‘diserang’ dengan beredarnya VCD anti-Wiranto bersampul pagelaran Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Dalam VCD itu mulanya delapan menit lagu Menuju Bintang yang dinyanyikan Fery, juara AFI. Setelah itu muncul gambar tragedi Semanggi dan Trisakti dan wajah Wiranto. Disusul kemudian teks berjalan dengan kalimat “Adili Jendral (purn) Wiranto. Tolak Capres dari militer” “Anda ingin peristiwa Semanggi dan Trisakti terulang kembali? Jika iya maka: pilih SBY atau Wiranto sebagai presiden kita. Dijamin Indonesia banjir darah.”<br /><br />Partai Hanura pernah memasang iklan politik dengan Wiranto sebagai bintang iklannya. Dalam iklan itu dicantumkan jumlah rakyat miskin Indonesia 49,5 persen. Wiranto mengaku tak bermaksud mendiskriditkan pihak mana pun. “Iklan itu adalah ajakan kepada seluruh elemen bangsa untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan,” ujar Wiranto (Kompas, 21/12/2007). Iklan itu menjadi polemik menarik. Dari soal data yang digunakan sampai dugaan upaya kampanye negatif menyerang pemerintah. Presdien SBY beralasan, perhitungan yang benar menggunakan data BPS 2007, di mana orang miskin 16,5 persen.<br /><br />Kampanye negatif pada Pilpres di Amerika Serikat 2008 juga marak terjadi. Salah satu yang terkenal adalah iklan Partai Republik, di mana Barack Obama, diperlihatkan di depan ratusan ribu penggemarnya saat berceramah di Berlin, Jerman. Foto menggiurkan Britney Spears dan Paris Hilton diselipkan dalam film singkat itu, seolah mereka hadir di Berlin. Lalu ada suara menimpa, bertanya dengan nada menakutkan, ”Dia selebriti terbesar di dunia, tetapi apakah dia siap memimpin?” Tim kampanye Obama juga membuat iklan yang menyerang McCain. Digambarkan McCain yang kaya raya memiliki tujuh rumah, karena itu tak layak menempati rumah baru berikutnya, White House di Washington.<br /><br />Berguna bagi publik?<br />Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali dalam diskusi "Dengan Iklan Politik Menuju Kontrak Politik" di Jakarta, (19/11/2008), mengungkapkan dua hingga tiga bulan terakhir sebelum 2009 model dan muatan iklan politik sebatas perkenalan, belum menyerang (attacking), atau membandingkan (contrasting) . "Mungkin, sekitar Januari baru akan terlihat kampanye yang bersifat menyerang. Perkenalan ke arah kontrak politik sudah, misalnya Gerindra yang sudah melangkah dari branding," ujarnya. Apa yang diramalkan Effendi Gazali terbukti, kini iklan politik saling menyerang hadir di sekitar kita. Meski demikian, lanjut Effendi Gazali, kampanye negatif tak perlu dicemaskan, bahkan wajib kehadirannya. Karena, tujuan akhir dari komunikasi politik adalah well informed citizen.<br /><br />Di tengah meningkatnya iklan politik, praktisi periklanan dan media dituntut untuk taat kepada etika moral dan tanggungjawab profesi. Mereka harus berani memilah dan memilih materi iklan yang mencerdaskan bukan mencederai akal sehat pemilih. Menyerang pesaing mungkin bisa dibenarkan dan akan berguna bagi calon pemilih asal dengan argumentasi yang masuk akal. Semua akan terpulang kepada pemilih yang makin cerdas menentukan mana iklan politik mencerahkan atau hanya dialamatkan kepada perasaan, menyederhanakan persoalan karena keterbatasan waktu dan dana, menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui publik, sampai memakai manipulasi teknologi.<br /><br />Dengan demikian, iklan negatif, sejauh mempunyai argumentasi yang tepat, faktual dan cerdas, sebenarnya bisa bermanfaat bagi calon pemilih. Karena pemilih butuh pembanding untuk menilai kekuatan dan kelemahan kandidat. Iklan negatif membantu kita memilah dan memilih calon pemimpin. Kita menjadi mengerti siapa yang sebenarnya yoyo dan siapa yang sejatinya gangsing. Kualitas pemimpin juga makin terkuak melalui iklan yang saling menyerang. Pendek kata, kampanye negatif, menjadikan publik well informed citizen.<br /><br />Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Komunikasi Politik, Universitas Indonesiatassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-80501810112891608312009-02-07T23:03:00.002+07:002009-02-07T23:06:49.422+07:00Lembaga Survei, Bersatulah!Oleh: Tri Agus S. Siswowiharjo *)<br /><br />Salah satu fenomena dalam politik kita lima tahun terakhir ini adalah munculnya lembaga survei, sekaligus produk perhitungan cepat (quick count) pada Pemilu 2004 dan Pilkada-pilkada setelah itu. Jumlah lembaga survei di Indonesia memang baru belasan, tak sebanyak di negara demokrasi baru seperti Philippina atau Korea Selatan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan. Sebagai pemain baru, banyak pihak belum memahami peran lembaga survei, termasuk penyelenggara pemilu, dan sebagian ketua partai politik.<br /><br />Jika tak ada perubahan, pada 24-25 Januari 2009, sejumlah lembaga survei di Indonesia akan bertemu, bermusyawarah, dan kemungkinan membentuk asosiasi. Asosiasi lembaga survei kehadirannya sangat ditunggu karena melalui asosiasi itu kode etik bisa dibuat dan kemudian ditaati para anggotanya. Jika ada lembaga survei yang ‘nakal’ maka lembaga ini bisa ‘menjewer’.<br /><br />Kehadiran lembaga survei adalah keharusan bagi negara demokrasi. Studi tentang pendapat umum di Amerika Serikat (AS) telah mengalami perkembangan pesat sejak 1950-an, terutama untuk mengetahui sikap dan preferensi politik masyarakat umum. Pada era 1970-an, metode ini kian populer untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan publik terhadap pendapat umum atau sebaliknya, bagaimana pendapat umum memengaruhi kebijakan publik. Di AS misalnya ada lembaga-lembaga yang sangat terkenal seperti Gallup Poll, Harris Poll, Roper, Crosley Poll, Pew Research Center, dan Rasmussen<br /><br />Fenomena perhitungan cepat yang dilakukan lembaga survei pada Pemilu 2004 membuka mata kita tentang salah satu pemain baru dalam demokrasi. Hadirnya sekitar 13 lembaga survei – belum termasuk litbang media – cukup meramaikan dan menambah bobot demokrasi di tanah air. Betapa tidak, kini hampir tiap bulan kita dapat mengetahui opini masyarakat mengenai isu-isu yang menyangkut ekonomi, politik, dan sosial. Lembaga survei silih berganti mengadakan konperensi pers, mengumumkan hasil survei tentang berbagai isu, termasuk yang paling ‘seksi’ yaitu soal partai politik atau calon presiden pilihan masyarakat. Namun, seperti pers yang muncul bak jamur di musim reformasi, lembaga survei juga sama. Akan ada seleksi alam, dan hanya yang kompeten dan punya integritas yang akan bertahan.<br /><br />Persoalan yang muncul kemudian adalah adanya suara-suara ketidakpuasan dari tokoh partai politik atau calon presiden yang menurut survei popularitasnya tak pernah naik. Mereka kesal, lalu menuduh ada lembaga survei bayaran, yang hasilnya bisa dipesan. Selain itu, ada upaya dari KPU untuk mengatur atau membatasi lembaga survei dengan berbagai ketentuan. Sungguh ini kabar buruk bagi lembaga survei sekaligus bagi masyarakat yang mempunyai hak untuk mencari dan mendapatkan informasi. Ada satu atau dua institusi survei yang nakal, lalu coba mengatur dan mengebiri semua lembaga survei. Memang harus diakui, ada institusi survei yang tak memiliki kompetensi, dan lebih buruk lagi, tak mempunyai integritas. Institusi survei yang terakhir ini biasanya membuat survei untuk memberi kepuasan pemesan, dan diumumkan ke publik.<br /><br />Menurut Hasan Hasbi dari Cirus Surveyors Group, hasil survei dapat menjadi pintu masuk untuk bisnis yang lebih besar, yaitu konsultan politik. Selalu ada godaan untuk menghibur klien, (Kompas, 16/1/09). Selain itu, KPU yang berencana mengatur lembaga survei, bisa dimaknai dua hal. Pertama, KPU menganggap dirinya bak superbody, ingin mengatur semua hal termasuk di luar kewenangan dan kompetensinya. Kedua, KPU ingin mengalihkan perhatian publik dari kelemahan dan kelambatan mereka mempersiapkan Pemilu 2009.<br /><br />Jika pers telah lama diakui sebagai pilar keempat demokrasi, menurut M Qodari, direktur Indo Barometer, lembaga survei adalah pilar kelima demokrasi. Survey opini publik membantu mendekatkan keputusan-keputusan publik dengan aspirasi publik, dan elit mengetahui keputusan-keputusan yang kurang populer tetapi harus dibuat sehingga perlu dijelaskan kepada publik secara luas. Dengan demikian, pemerintah demokratis akan menjadi semakin legitimate, stabil, bertanggungjawab dan efektif. Survei opini publik menjadi ‘barometer’ aspirasi masyarakat, dan pembuat kebijakan. Tidak perlu menunggu pemilu lima tahun lagi atau referendum untuk mengetahui pendapat masyarakat.<br /><br />Perselingkuhan Lembaga Survei dan Konsultan Politik<br />Selain munculnya lembaga pengumpul jajak pendapat, marak pula kehadiran konsultan politik. Seorang konsultan politik adalah seorang profesional kampanye yang terlibat dalam pemberian nasihat dan jasa-jasa kepada para kontestan pemilu, baik berupa jajak pendapat, produksi, dan penciptaan media. Di sinilah kadang konflik interes terjadi, bisa seorang pollster sekaligus konsultan politik.<br /><br />Fenomena konsultan politik seperti di AS ini juga telah merambah ke tanah air, terutama sejak diterapkannya sistem pemilihan presiden secara langsung pada 2004. Setelah itu, sejak 2005 ketika pemilihan kepala daerah juga dilakukan secara langsung, ‘industri’ tim sukses dan survei ini kian marak.<br /><br />Konsultan politik harus bersikap profesional dan bersikap jujur tentang aneka kelemahan dari survei yang dilakukan atau dilakukan pihak lain. Mereka juga harus mau bersikap jujur untuk memberitahukan siapa yang mensponsorisurvei dan jajak pendapat yang mereka lakukan. Di AS misalnya, salah satu kode etik yang disepakati melalui Asosiasi Amerika untuk Penelitian Pendapat Publik (American Association for Public Opinion Reserarch) telah mencantumkan keharusan bagi lembaga yang melakukan penelitian pendapat publik. Konsultan politik yang profesional adalah yang mampu mengantarkan kliennya ke tujuan dengan cara-cara yang cerdas, bermartabat, dan efisien.<br /><br />Dalam setahun terakhir ini banyak survei politik dilakukan lembaga survei yang sudah dikenal masyarakat seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indo Barometer, Cirus Surveyors Group, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Reform Institute, Paskalis UI, Lembaga Riset Informasi, dan lain-lain.<br /><br />Uniknya, kedua LSI dan Indo Barometer dahulu berasal dari satu institusi yang sama di bawah Denny JA, yaitu Lembaga Survei Indonesia. Dalam perjalanannya, Syaiful Mujani mengundurkan diri dari LSI dan membentuk LSI baru dengan nama yang sama yaitu Lembaga Survei Indonesia, sedangkan Denny JA dan M. Qodari tetap di LSI dengan nama baru Lingkaran Survei Indonesia, baru kemudian M. Qodari pecah kongsi dengan Denny J.A dan kemudian membentuk Indo Barometer.<br /><br />LSI Syaiful Mujani dan Indo Barometer M Qodari tampaknya memilih di jalur yang memisahkan antara pollster dengan konsultan politik. Hal itu diyakini akan lebih menghasilkan survei yang akurat, kredibel, dan independen. Sementara Denny J.A berpendapat lain. Sah-sah saja bila lembaga survei bergerak sekaligus konsultan politik partai, kandidat presiden atau berbagai kandidat dalam pilkada. Di AS pun, ujar Denny J A, sejak 1970-an konsultan politik yang sekaligus melakukan survei tumbuh bak jamur di musim hujan, yang berdampak negatif bagi fungsi mesin partai karena digantikan para konsultan politik profesional.<br /><br />Demi profesionalitas, maka integritas dan kompetensi sebuah lembaga survei harus diutamakan. Independensi juga sangat penting. Karena itu, memisahkan antara pekerjaan pollster dengan konsultan politik adalah sebuah keharusan. Namun karena belum ada asosiasi lembaga survei, perselingkuhan antara pollster dan konsultan politik terus berlangsung. Asosiasi lembaga survei sangat perlu segera dibentuk. Di sanalah diatur kode etik profesi - seperti profesi wartawan, dokter, dan pengacara. Kita berharap kehadiran asosiasi akan memantapkan lembaga survei sebagai pilar kelima demokrasi yang kompeten, kredibel, independen, dan mempunyai integritas. Karena itu, lembaga survei Indonesia, bersatulah!<br /><br />*) penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Komunikasi Politik, Universitas Indonesia<br /><br />Alamat Surat: Apartemen Margonda Residence B 411<br />Jl. Margonda Raya, Depok Jawa Barat<br />HP: 0815 803 1815tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-62630791214339451442008-12-27T02:31:00.000+07:002008-12-27T02:37:35.959+07:00Politisi dan PersKasus Wartawan Menjadi Anggota DPR 2004-2009<br /><br /><br />Pendahuluan:<br /><br />Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang, ada sekitar 120 wartawan atau mantan wartawan di seluruh Indonesia ikut berkompetisi menjadi calon anggota legislatif. Ada wajah lama yang kembali mencalonkandiri atau dicalegkan parpol, seperti Cyprianus Aoer, Alfridel Djinu, Yoseph Umar Hadi, Panda Nababan dari PDI P, dan Effendy Chorie (PKB). Ada pula wajah-wajah baru yang mencoba menjadi politisi yang katanya sebagai panggilan seperti Helmi Fauzi dan Hamid Basyaib (PDI P), Bruno Kakawao (PKPI), Teguh Djuwarno (PAN), Mutia Hafild (Partai Golkar). Terdapat juga nama Manuel Kasiepo (PDI P). Dari kalangan kolumnis terdapat nama Zuhairi Misrawi (PDI P), Abdul Rohim Ghozali (PAN).<br /><br />Munculnya wartawan sebagai caleg mendapat perhatian publik yang kurang lebih sama dengan kehadiran artis dan aktivis pada kontestasi Pemilu 2009. Wartawan, artis dan aktivis seolah dianggap sekelompok manusia yang kurang elok masuk dunia politik di parlemen yang penuh intrik. Wartawan seharusnya independen, artis sejatinya menghibur masyarakat, dan aktivis pantasnya berjuang secara imparsial dan tak mengharap kekuasaan. Itulah sorotan publik dengan kacamata yang kurang positif, yang pada intinya makhluk jenis wartawan, artis, dan aktivis tak pantas berada di lembaga legislatif.<br /><br />Fenomena wartawan menjadi politikus bukanlah hal baru. Sejarah mencatat para jurnalis perintis menggunakan surat kabarnya sebagai bagian propaganda politik untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Pada masa kemerdekaan, kita melihat sejumlah surat kabar dan wartawan ikut dalam politik melawan rekolonialisasi sekutu. Pada periode 1950-1960-an, ada banyak wartawan menjadi anggota partai politik dan ada beberapa wartawan menjadi duta besar. BM Diah, misalnya, adalah salah satu dari sejumlah wartawan yang menjadi duta bangsa.<br />Semasa Orde Baru hingga Orde Reformasi kita mengenal sejumlah wartawan senior yang juga diangkat jadi duta besar, seperti Sabam Siagian (Australia), Djafar Assegaff (Vietnam), dan Susanto Pudjomartono (Rusia). Mantan Wakil Presiden Adam Malik dan mantan Menteri Penerangan dan Ketua DPR/MPR Harmoko juga adalah wartawan senior. Pada era reformasi, kian banyak wartawan masuk dunia politik dan beberapa menjadi anggota parlemen. Nama-nama seperti Hery Akhmadi, Cyprianus Aoer, Aco Manafe, Panda Nababan (PDI Perjuangan), Effendie Choirie (PKB), Djoko Susilo (PAN), Benny Harman (PKPI), Max Sopacoa (PD), Antoni Z Abidin, Bambang Sadono (Golkar) adalah sebagian dari sejumlah wartawan yang banting setir masuk dunia politik. Mereka adalah para anggota DPR RI periode 2004-2009.<br /><br />Mengapa kehadiran wartawan di parlemen menarik perhatian? Hal itu tak lepas posisi wartawan sebagai bagian masyarakat media atau pers yang dalam negara demokrasi dianggap sebagai salah satu dari empat pilarnya. Pilar lain demokrasi adalah eksekutuf, yudikatif, dan legislatif. Menjadi wartawan sebagai penyampai berita dan pengritik pemerintah, sebenarnya sudah cukup, karena mereka telah menjalankan peran sebagai salah satu pilar demokrasi. Namun, toh tiap lima tahun sekali, sesuai periode pemilu di Indonesia, selalu ada migrasi profesi, dari wartawan ke poltitisi atau anggota parlemen.<br /><br />Tilisan “Government and Media Relations” ini mengajukan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan yang kemudian mengemuka, antara lain adalah 1) Mengapa sejumlah wartawan pindah profesi menjadi politikus di Senayan? 2) Apa kelebihan wartawan sehingga dianggap layak masuk ke dunia politik terutama menjadi anggota DPR? 3) Adakah peluang ‘menggiurkan’ atau ‘menantang’ dalam dunia politik yang membuat mereka pindah profesi? 4) Adakah kontribusi positif kepada demokrasi kita dari masuknya wartawan ke politik formal. 5) Bagaimana komunikasi politik wartawan anggota DPR dengan sesama anggota DPR, pemerintah, dan masyarakat? 6) Betulkah mereka telah memberikan perbedaan signifikan (dalam arti positif) dibandingkan profesi lain terhadap kinerja parlemen di masa lalu?<br /><br />Agar pembahasan “Government and Media Relations” ini lebih fokus, maka yang kami dipilih sebagai obyek pengamatan, adalah para wartawan yang terjun menjadi anggota DPR periode 2004-2009. Mengapa periode 2004-2009? Karena anggota DPR periode ini tengah berjalan dan hampir selesai masa tugasnya, sehingga lebih mudah data yang akan kita peroleh untuk diteliti dan dianalisa.<br /><br />2. Kerangka Teori:<br />Pers merupakan pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy). Anggapan umum yang selama ini beredar di tengah-tengah masyarakat mengatakan demikian. Bahkan pernyataan "media merupakan kekuatan keempat setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif" telah menjadi aksioma politik, sebuah kebenaran cara berpikir politis yang tidak perlu dibantah lagi. Meski demikian, media atau pers tak hidup di ruang hampa. Ia berada dalam sebuah negara yang mempunyai sistem tertentu.<br /><br />Dalam karyanya yang ditulis tiga dasa warsa lampau Fred Siebert dan rekan-rekan mengemukakan ada empat teori utama tentang hubungan antara pemerintah dan pers: 1) teori otoriter bahwa kekuasaan pemerintah harus dipusatkan pada satu orang atau elit, dan pers harus berfungsi sebagai alat kontrol sosial untuk memelihara ketertiban dan pemerintahan golongan elit; 2) teori libertarian yang berargumentasi bahwa pers harus berjalan dengan cara laissez faire, tidak dikekang, untuk menciptakan pluralisme titik pandang yang memberikan pengujian independen terhadap pemerintah dan peluang untuk menelaah semua opini secara bebas dan terbuka; 3) teori komunis yang melihat pers sebagai alat untuk menyampaikan kebijakan sosial untuk kepentingan ideologi dan tujuan yang diwakili oleh partai komunis; dan 4) teori pertanggungjawaban sosial yang menerima prinsip pers bebas, tetapi pers yang melaksanakan pelayanan masyarakat melalui kritik sosial dan pendidikan masyarakat yang bertanggungjawab, dengan anggapan bahwa jaminan atas pers bebas adalah jaminan kepada warga negara nasion, bukan yang pada dasarnya merupakan perlindungan atas hak pemilikan bagi pemilikan pers<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br /><br />Teori pers libertarian paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia ini. Hal ini tak lepas dari kemenangan kapitalisme atas komunisme pascaperang dingin akhir 1980an. Sistem Pers Bebas menurut Walter Lippman<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a> sesungguhnya merupakan ekspresi suatu kebenaran yang muncul dari cara “Free reporting” dan “Free discussion” dan sama sekali bukan dari apa yang disajikan secara sempurna dan instan yang diucapkan oleh seseorang. Pada sistem ini, pers layak disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Karena kebebasannya, pers mampu menjadi “wacthdog” pemerintah.<br /><br />Kini, di tengah tekanan kapitalisasi dan iklim kebebasan, peran sentral pers dalam konteks demokrasi dan politik masih kokoh. Pers yang terletak pada dua entitas—organisasi pemberitaan (news organization) dan organisasi bisnis (business organization)—diharapkan mampu menyeimbangkan perannya sebagai pilar keempat demokrasi.<br /><br />Menarik menyimak pemikiran yang diungkapkan oleh pakar media politik asal Amerika Serikat (AS), Timothy E Cook<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> (1998). Dia menyebut term media sebagai political actor (aktor politik) atau institusi politik. Cook berargumen bahwa media merupakan salah satu aktor atau institusi politik yang dapat menggunakan haknya sendiri secara independen, ”political actor / institution in its own right.” Selama ini ketika berbicara tentang media dan politik, kita kerap terjebak pada tataran komunikasi politik. Artinya, dalam perspektif ini media hanya dijadikan salah satu medium pasif bagi para spin doctor untuk menyampaikan pesan-pesan (kampanye) politik demi meraih kekuasaan.<br /><br />Dalam sistem yang kini dianut Indonesia memungkinkan institusi media dan awak media menjadi sangat berperan dalam perubahan, dan karenanya sangat dikenal oleh masyarakat. Institusi media mungkin lebih dikenal publik daripada para wartawan yang tiap hari bekerja mengais berita. Interaksi antara partai politik dan media menjadikan dua pelaku demokrasi yang sama-sama mengklaim penyambung lidah masyarakat itu berinteraksi saling menghormati dan menguntungkan. Mereka saling mengagumi satu sama lain, meski terkadang saling mengritisi. Banyaknya anggota DPR yang terkuak skandalnya-- baik korupsi maupun perselingkuhan seks—tak lepas dari peran wartawan. Sebaliknya, banyak kejadian yang mungkin tak terungkap, meski bisa diungkap ke publik, karena para politisi mampu “membeli” atau “memelihara” wartawan. Simbiosis mutualisma atau perselingkuhan antara wartawan dan politisi ini tentu sangat <a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a>merugikan publik, baik sebagai konstituen partai politik, maupun pembaca media yang berhak untuk mendapatkan informasi.<br /><br />Bill Kovach, kurator Nieman Foundation on Journalism, Universitas Harvard, salah satu guru wartawan yang paling dihormati dari Amerika Serikat, berpendapat mengenai makna informasi buat seorang politikus dan seorang wartawan. Kovach menutip Presiden Jimmy Carter (1975), "Ketika Anda memiliki kekuasaan, Anda menggunakan informasi untuk membuat orang mengikuti kepemimpinan Anda. Namun kalau Anda wartawan, Anda menggunakan informasi untuk membantu orang mengambil sikap mereka sendiri."<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a><br /><br />Informasi yang sama dipakai untuk dua tujuan yang berbeda. Bahkan berlawanan. Inilah yang membuat Kovach mengambil sikap teguh untuk independen dari dunia politik maupun politisi. Kovach setia pada jurnalisme dan tak pernah mau menerima tawaran masuk ke dunia politik.<br />Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Sembilan elemen jurnalisme Kovack dan Tom Rosenstiel sangat terkenal di kalangan jurnalis. Delapan elemen lainnya adalah; kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi; praktisi jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber berita; jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan; jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat; jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan; jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional; dan praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a>.<br /><br />Loyalitas utama seorang wartawan adalah kepada warga masyarakat tempatnya berada. Wartawan bisa melayani warga dengan sebaik-baiknya apabila mereka bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Independen baik dari institusi pemerintah, bisnis, sosial maupun politik. Wartawan bahkan harus independen dari pemilik media tempatnya bekerja.<br /><br />3. Pembahasan: Politisi Wartawan atau Wartawan Politisi?<br />Dalam buku “Wajah DPR dan DPD 2004-2009” terbitan PT. Kompas Media Nusantara (2006), terdapat sekitar 23 mantan waratawan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a>. Mereka berasal dari enam partai yaitu Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia. Di antara wartawan yang menjadi politisi Senayan 2004-2009, ada yang telah lama meninggalkan profesi wartawan, ada pula yang masih berstatus wartawan ketika migrasi menjadi politisi.<br /><br />Wartawan termasuk warga negara biasa yang punya hak politik dan sering diharapkan ikut memimpin masyarakatnya. Mereka sah melakukannya. Cyprianus Aoer sangat memrihatinkan warga Flores karena kurang diperjuangkan di Jakarta. Tidakkah pilihan Aoer sah untuk terjun ke Parlemen?Bisa jadi alasan wartawan lainnya terjun ke parlemen berbeda. Ada yang seperti Aoer untuk memperjuangkan daerah asalnya, ada pula yang ingin memperjuangkan suatu isu tertentu misalnya pemberantasan korupsi atau transparansi pemerintahan.<br /><br />Bagi Andreas Harsono<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a>, mantan wartawan The Jakarta Post yang kini mengelola Yayasan Pantau, suatu lembaga nirlaba untuk kemajuan jurnalisme, keterlibatan wartawan dalam politik memang kadang tak terhindarkan. Namun, sebaiknya diberlakukan sebagai one-way ticket. Artinya, seorang wartawan boleh menjadi politikus tetapi ia sebaiknya jangan kembali menjadi wartawan. Aoer boleh masuk parlemen tapi jangan kembali ke Suara Pembaruan. Djoko Susilo boleh menjadi politikus handan di Komisi I DPR namun jangan kembali ke Jawa Pos. Bila seorang wartawan masuk politik menjadi anggota DPR, ia akan mempunyai sikap yang berbeda terhadap informasi, sehingga lebih baik bila ia tak kembali ke media. Praktik bolak-balik ini akan menimbulkan citra kurang baik dari masyarakat tehadap media di Indonesia, apalagi pada masa demokratisasi sekarang ini, di mana warga butuh informasi yang bermutu untuk mengambil sikap terhadap berbagai isu penting di Indonesia.<br /><br />Pandangan Andreas Harsono di atas memang sangat ideal. Namun bagi kalangan wartawan yang kini menduduki kursi empuk di Senayan, tentu tak semua menerima pendapat Andreas. Banyak alasan yang bisa dikemukakan mengapa seseorang melakukan ganti profesi dan kembali lagi ke pekerjaan semula. Ada yang memajukan alasan ingin melakukan perubahan dari dalam, sampai yang terus terang sekedar mencari jabatan. Wajar saja wartawan sebagai korps keempat pilar demokrasi tampil sebagai anggota legislatif karena peran atau profesi apa pun punya peran sosial kemasyarakatan. Yang penting wartawan sebagai anggota DPR tidak semata membawa ambisi politik, tetapi juga membawa tekad untuk membawa perubahan dan kesegaran baru<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a>.<br /><br />Lain Andreas lain pula Arswendo Atmowiloto<a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a>, wartawan sekaligus budayawan. Sebuah karya jurnalistik, kata Arswendo, baik tulisan maupun gambar pada derajat tertentu mampu menyodorkan informasi menjadi fakta yang menggugah publik. “Wartawan lebih powerful daripada anggota DPR,“ ujarnya. Wartawan, lanjut Arswendo, bisa menulis tentang banyak hal dan menggerakkan banyak orang untuk melihat realita sosial yang ada dan melakukan perubahan ke arah yang lebih positif. Hal ini yang belum mampu dilakukan bahkan oleh anggota DPR sekalipun. Karya-karya jurnalistik di Indonesia seharusnya dapat memotret realita sosial yang ada sehingga dapat memberikan dampak luas bagi masyarakat. Karya-karya jurnalistik yang lebih peka dan humanis akan membawa dampak sosial kepada masyarakat luas.<br />Sudah bagus berperan sebagai wartawan tetapi mengapa malah pindah profesi sebagai politisi? Adalah hak setiap warga untuk berpolitik dan berganti profesi. Apa kelebihan para jurnalis ini sehingga bisa masuk dunia politik? Betulkah kehadiran para mantan jurnalis ini memberi kontribusi positif bagi dunia politik partai saat ini? Ataukah ia akan ”larut dan hanyut” gelombang perpolitikan parlemen seperti banyak dikritik? Dunia kewartawanan dan politik dapat dikatakan merupakan dua hal yang jauh berbeda. Salah satu fungsi wartawan adalah melakukan kontrol terhadap pejabat publik dan politisi. Namun, kedua profesi yang bertolak belakang itu dapat dijalani dengan baik oleh orang yang tak mudah “larut dan hanyut”.<br /><br />Dibandingkan profesi lain, wartawan dianggap memiliki kelebihan dalam melobi orang lain, terutama orang penting, termasuk pejabat publik. Sebagian wartawan juga dikenal pandai berargumentasi, lihai bersilat lidah, dan—ini tak kalah penting—kemudahan akses pada informasi dan media massa. Bagi sebagian wartawan itu, dunia politik adalah bagian kehidupan sehari-hari saat menjadi jurnalis. Bagi partai politik, mungkin wartawan dianggap bisa menjadi pasukan segar untuk bertarung tahun depan.<br /><br />Apakah fenomena wartawan menjadi politikus tak lebih dari para pihak yang ingin masuk politik kekuasaan untuk kepentingan sendiri atau partainya? Ini mengingatkan kita pada Friedrich Nietzsche soal the will to power. Bahasa mudahnya, ini tak lebih dari sekadar ”’mencari perbaikan nasib” saja. Masyarakat punya harapan besar jika para mantan wartawan ini bisa menjalankan fungsi legislatif dengan lebih baik—fungsi pengawasan terhadap pemerintah, pembuatan UU, budgeting dan lain-lain.<br /><br />Kinerja 23 orang wartawan di tengah 550 orang anggota DPR ternyata tak bagus-bagus amat. Bahkan Anthony Zeidra Abidin, anggota Komisi IX, saat ini menjadi pesakitan karena diduga terlibat dalam skandal aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp. 500 juta. Bagaimana bisa wartawan yang mengerti hukum dan menjunjung etika dalam tugasnya, justru hanyut dan tenggelam di dasar sungai bernama kejahatan kerah putih? Memang tak semua wartawan menjunjung tinggi etika dalam menjalankan tugasnya, misalnya menerima amplop<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a>. Ada media yang melarang keras wartawannya menerima amplop seperti harian Kompas dan majalah / koran Tempo. Organisasi jurnalis yang mengharamkan amplop bahkan berkampanye untuk itu keluar lembaga sendiri adalah AJI (Aliansi Jurnalis Independen)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a><br /><br />.Selain Anthony Z Abidin yang jelas-jelas sudah mendekam di penjara dan kasusnya tengah disidangkan. Ada nama lain, yaitu Bambang Sadono, yang justru mengadu nasib ingin meraih kursi gubernur Jawa Tengah, namun gagal. Kita tak tahu pasti apa alasan Bambang Sadono ingin menjadi gubernur, meski alasan yang standar selalu mengatakan akan membangun Jawa Tengah lebih bagus lagi, seperti yang bisa kita saksikan dalam kampanye pilgub yang dimenangkan Bibit Waluyo-Rustriningsih yang diusung PDI P.<br /><br />Apa hebat dan uniknya wartawan yang menjadi politisi kalau dia tidak bisa membawa warna baru dunia politik di Indonesia. Publik sebenarnya mencatat tingkah laku yang tak terpuji para anggota DPR. Contohnya Panda Nababan.. Apa yang dia bawa dari Sinar Harapan atau majalah Forum ke PDI P sebagai jurnalis yang pernah mendapat Hadiah Adinegoro untuk karya investigasinya? Menularkan semangat? Membagi ilmu? Menyuarakan pembaruan? Nothing. Ternyata, yang dilakukan dia malah ikut-ikutan membagi-bagikan travel check BII dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Goeltom.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a><br /><br />Jika ada yang mesti diapresiasi dari beberapa wartawan yang kini aktif di DPR, setidaknya ada dua. Mereka adalah Djoko Susilo, Ketua Komisi I, dan Effendy Choirei, anggota Komisi I. Joko dan Choirie sangat aktif mengritisi pemerintah terutama soal anggaran militer dan politik luar negeri. Joko juga menjadi Wakil Ketua ASEAN Inter-Parliamanetary Myanmar Caucus (AIPMC) yang berpusat di Kuala Lumpur. Kaukus ini sangat tegas dan kritis terhadap pemerintah Indonesia dan junta militer Burma (Myanmar) agar segera mengakhiri penindasan terhadap rakyat negara itu dan membebaskan tokoh pro demokrasi Aung San Suu Kyi.<br /><br />Dalam berkomunikasi politik dengan kolega maupun mitra mereka, para wartawan anggota DPR tampaknya tak menunjukkan keberbedaan mereka dibanding yang bukan berasal dari kalangan wartawan. Logikanya, wartawan yang kaya data dan mudah mendapat akses ke mana pun, memiliki ‘peluru’ untuk ‘ditembakkan’ ke pemerintah sebagai mitra. Mereka semestinya mempunyai kelebihan di atas rata-rata anggota DPR lainnya. Kenyataannya, modalitas awal ini tak dimanfaatkan. Mereka tak ada bedanya dengan anggota DPR lainnya yang berasal dari partai politik. Tugas utama DPR yaitu pengawasan, budgeting, dan legislasi, seharusnya tak menyulitkan mereka yang berlatar belakang wartawan.<br /><br />Wartawan atau politisi? Siapapun dari profesi apapun, ketika mereka sudah berada di DPR maka mereka adalah politisi. Sebagai politisi, logika profesi asal mereka acap kali ditinggalkan. Politisi biasanya bekerja dengan alasan atau cara kerja politik. Dalam politik keputusan lahir dari sebuah kompromi atau pemaksaan kehendak mayoritas. Contoh nyata, rekomendasi DPR<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a> yang menyatakan bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah disebabkan bencana alam bukan kesalahan manusia. Dengan keputusan yang dipengaruhi Lapindo ini, jelas yang diuntungkan adalah Lapindo karena menimpakan penyelesaian masalah kepada pemerintah. DPR dalam hal ini tak menggunakan logika dan nurani – apalagi tersentuh oleh ribuan korban bencana ini. Mereka murni menjadi politisi yang kompromistis demi menyelamatkan Lapindo. Entah keuntungan apa yang didapat para anggota DPR.<br /><br />Berbondong-bondongnya wartawan pindah ke Senayan tampaknya tak berdampaknya secara signifikan bagi demokratisasi di Indonesia. Pasalnya para wartawan yang bermigrasi dari jurnalis menjadi politisi itu, ketika di tempat yang baru tak memaksimalkan modalitas yang ada seperti kaya data, kritis, akses luas dan ahli lobi, umumnya mereka malah tenggelam atau hanyut dalam langgam irama anggota DPR lainnya. Hanya beberapa nama yang mampu menduduki Ketua Komisi atau Ketua Fraksi, selebihnya anggota biasa. Dari 23 orang mantan wartawan, juga hanya sedikit yang namanya sering muncul menghiasi media karena kritis terhadap pemerintah atau vokal terhadap suatu masalah bangsa. Karena dampak migrasi wartawan ke anggota dewan tak cukup signifikan bagi demokratisasi di Indonesia, maka sejujurnya kehadiran mereka tak lebih dan tak kurang seperti kehadiran para artis dan selebriti ke Senayan. Seperti kita tahu, artis yang ‘manggung’ di Senayan, mereka tak seatraktif di panggung yang sebenarnya, bahkan ada yang suaranya, seperti iklan, “nyaris tak terdengar!” <br /> <br />4. Kesimpulan<br />Munculnya fenomena “caleg impor” pada Pemilu 2009 bisa dipahami dalam dua hal. Pertama adalah miskinnya kader di partai-partai politik peserta pemilu tahun depan. Kedua memberikan kesempatan kepada kalangan berkualitas di luar partai untuk ikut menjalankan kettanegaraan. “Caleg impor” yang dimaksud adalah mereka dicalonkan sebagai anggota DPR namun buka dari kader partai. Mereka diandalkan keahliannya untuk mendulang suara atau pada saat mereka menjadi legislator. Masuk dalam kategori “caleg impor” antara lain artis atau selebriti, aktivis (mahasisw atau LSM), pakar atau akademisi, dan wartawan.<br /><br />Mengingat pada periode 2004-2009 ada 23 orang wartawan yang bermigrasi menjadi ‘anggota dewan”. Dan kehadiran mereka tidaklah terlalu menonjol atau mempengruhi secara signifikan kiprah DPR dalam sistem demokrasi kita. Bahkan ada satu anggota DPR dari kalangan wartawan yang menjadi pesakitan karena kasus korupsi. Maka tak bisa dimungkiri, kehadiran mantan wartawan di DPR belum mampu mewarnai kinerja lembaga itu. Yang terjadi justru mereka hanyut dan terwarnai oleh warna DPR yang telah lama coreng-moreng. Wartawan, akademisi, aktivis, bahkan artis atau selebriti sebenarnya menjadi tak penting ketika mereka sudah menjadi anggota DPR. Bukan dari mana asal profesi sebelumnya, melainkan mampukah untuk tak tergoda oleh sistem yang korup.<br /><br />Daftar Bahan Bacaan:<br />Komunikasi Politik, Dan Nimmo, cetakan keenam Juni 2005, PT Remaja Rosdakarya<br />Diktat kuliah “Government and Media Relations”, Prof. Dr. Harsono Suwardi, MA<br />Governing with The News-The Media as a Political Institution, University of Chicago, 1998<br />Blog Andreas Harsono, “Wartawan atau Politikus?” 7 Juni 2004.<br />Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovack dan Tom Rosenstiel, edisi ketiga, Yayasan Pantau 2006<br />Wajah DPR dan DPD 2004-2009, PT. Kompas Media Nusantara (2006)<br />www.Inilah.com, 27 Maret 2008<br />Majalah Tempo, 2 Maret 2008<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Fred Siebert dalam Komunikasi Politik, Dan Nimmo, cetakan keenam Juni 2005, PT Remaja Rosdakarya, hal 259<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Diktat kuliah “Government and Media Relations”, Prof. Dr. Harsono Suwardi, MA, hal 23<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> Governing with The News-The Media as a Political Institution, University of Chicago, 1998<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref4" name="_ftn4"></a><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Blog Andreas Harsono, “Wartawan atau Politikus?” 7 Juni 2004.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovack dan Tom Rosenstiel, edisi ketiga, Yayasan Pantau 2006, hal 6<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> . Antony Zeidra Abidin, Bambang Sadono, Irsyad Sudiro, Musfihin Dahlan, Slamet Effendy Yusuf, (Partai Golkar); Agung Sasongko, Cyprianus Aoer, Heri Achmadi, Jacobus Mayongpadang, Panda Nababan, Rendhi Lamadjido, Supomo SW, Widada Bujuwiryono, Yoseph Umarhadi (PDI P); Max Sopacoa (PD); Dedy Djamaluddin Malik, Djoko Susilo, Totok Daryanto (PAN); Effendy Choirie, Masduki Baidlowi (PKB); Herman Benediktus Kabur (PKPI)<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Blog Andreas Harsono, “Wartawan atau Politisi?”, 7 Juni 2004<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> Blog Andreas Harsono, “Wartawan atau Politikus?” 7 Juni 2004.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> www.Inilah.com, 27 Maret 2008<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Biasanya berupa uang atau hadiah barang lainnya yang diberikan sebelum atau sesudah liputannya dimuat atau ditayangkan.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> AJI dideklarasikan di Sirnagalih, Bogor, pada 7 Agustus 1994 oleh 58 jurnalis se Indonesia, menyusul pembredelan majalah Tempo, editor dan tabloid Detik. AJI kini beranggotakan lebih dari 500 jurnalis.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Tempo Interaktif, 23 Agustus 2008<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Rapat Paripurna DPR, 19 Februari 2008. DPR menyebutkan lumpur yang muncrat merupakan fenomena alam (Tempo, 2 Maret 2008)tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-64065030711752455782008-12-27T02:22:00.000+07:002008-12-27T02:25:18.708+07:00Perselingkuhan Lembaga Survei dan Konsultan Politik<span style="font-family:times new roman;"><em>Employees of the Center must avoid conflicts of interest or the appearance of conflicts of interest. They should never engage in any activity that might compromise or appear to compromise the Center's credibility or its reputation for independence or impartiality. All employees are required to seek prior approval from a supervisor before engaging in any activity that may be deemed a potential conflict of interest, including membership in groups, boards and associations that may call into question the Center's credibility or its reputation for impartiality. (Pew Research Center Code of Ethics on Conflicts of Interest)</em></span><br /><br />Iklan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 16 Desember 2008 yang menegaskan bahwa “Di Negara Demokrasi Lembaga Survei (Peneliti/Pollster) dapat merangkap sebagai Konsultan Politik” sungguh sangat provokatif. Siapa sebenarnya yang ingin diprovokasi? Para calon klien? Para pesaing? Atau lembaga semacam KPU dan pemerintah?<br /><br />Setelah saya membuka dua situs Pew Research Center dan Rasmussen, jelas kiranya bahwa Komunikasi Politik hanya atau terutama mengakui Pollster ini dibanding Campaign Pollster semacam LSI milik Denny J.A. Begitu banyak macam poling yang telah dilakukan Pew Research Center dan Rasmussen yang menurut saya sangat independen, atas inisiatif sendiri, dan bukan pesanan partai atau kandidat. Rasmussen terakhir (22/12) membuat poling tentang dinasti politik di AS, di mana 47% mengaku khawatir. Sementara Pew Research Center mensurvei tingkat kepercayaan publik atas transisi dari Bush ke Obama (23/12). Penjelasan tentang kebijakan Obama (72% disetujui), Pemilihan kabinet (71% disetujui), Banyaknya orang-orang di zaman Clinton (63% bagus).<br /><br />Seperti kita ketahui, di negeri-negeri yang menganut sistem demokratis, metode survei digunakan untuk mengetahui pendapat publik. Atas dasar asumsi, pendapat publik amat penting bagi pembuat kebijakan, berbagai teknik canggih telah dikembangkan para ilmuwan politik. Studi tentang pendapat umum di Amerika Serikat (AS) telah mengalami perkembangan pesat sejak 1950-an, terutama untuk mengetahui sikap dan preferensi politik masyarakat umum. Pada era 1970-an, metode ini kian populer untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan publik terhadap pendapat umum atau sebaliknya, bagaimana pendapat umum memengaruhi kebijakan publik.<br /><br />Selain munculnya lembaga pengumpul jajak pendapat, marak pula kehadiran konsultan politik. Seorang konsultan politik adalah seorang profesional kampanye yang terlibat dalam pemberian nasihat dan jasa-jasa kepada para kontestan pemilu, baik berupa jajak pendapat, produksi, dan penciptaan media. Di sinilah kadang konflik interes terjadi, bisa seorang pollster sekaligus konsultan politik.<br /><br />Fenomena konsultan politik seperti di AS ini juga telah merambah ke tanah air, terutama sejak diterapkannya sistem pemilihan presiden secara langsung pada 2004. Setelah itu, sejak 2005 ketika pemilihan kepala daerah juga dilakukan secara langsung, ‘industri’ tim sukses dan survei ini kian marak.<br /><br />Konsultan politik harus bersikap profesional dan bersikap jujur tentang aneka kelemahan dari survei yang dilakukan atau dilakukan pihak lain. Mereka juga harus mau bersikap jujur untuk memberitahukan siapa yang mensponsorisurvei dan jajak pendapat yang mereka lakukan. Di AS misalnya, salah satu kode etik yang disepakati melalui Asosiasi Amerika untuk Penelitian Pendapat Publik (American Association for Public Opinion Reserarch) telah mencantumkan keharusan bagi lembaga yang melakukan penelitian pendapat publik. Konsultan politik yang profesional adalah yang mampu mengantarkan kliennya ke tujuan dengan cara-cara yang cerdas, bermartabat, dan efisien.<br /><br />Kembali soal iklan LSI di atas, tampaknya ini merupakan bagian dari upaya Denny J.A. ingin menguasai pasar pollster dan konsultan politik di Indonesia untuk mencapai rekor dunia. Entah apanya yang paling di dunia.<br /><br />Dalam setahun terakhir ini banyak survei politik dilakukan lembaga yang sudah dikenal masyarakat seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indo Barometer. Siapakah mereka itu?<br /><br />Uniknya, ketiga lembaga ini dahulu berasal dari satu institusi yang sama di bawah Denny JA, yaitu Lembaga Survei Indonesia. Dalam perjalanannya, Syaiful Mujani mengundurkan diri dari LSI dan membentuk LSI baru dengan nama yang sama yaitu Lembaga Survei Indonesia, sedangkan Denny JA dan M. Qodari tetap di LSI dengan nama baru Lingkaran Survei Indonesia, baru kemudian M. Qodari pecah kongsi dengan Denny J.A dan kemudian membentuk Indo Barometer.<br /><br />LSI Syaiful Mujani dan Indo Barometer M Qodari tampaknya memilih di jalur yang memisahkan antara pollster dengan konsultan politik. Hali itu diyakini akan lebih menghasilkan survei yang akurat dan kredibel. Sementara Denny J.A berpendapat lain. Sah-saja bila lembaga survei bergerak sekaligus konsultan politik partai, kandidat Presiden atau berbagai kandidat dalam Pilkada. Di AS pun sejak 1970-an konsultan politik yang sekaligus melakukan survei tumbuh bak jamur di musim hujan, yang berdampak negatif bagi fungsi mesin partai karena digantikan para konsultan politik profesional.<br /><br />Nah bagaimana dengan kita? Saya jelas mendukung sikap seperti LSI Syaiful Mujani dan Indo Barometer M. Qodari. Bagaimana pun, demi profesionalitas, kita harus memisahkan antara pekerjaan pollster dengan konsultan politik. Jika kita bekerja dengan kode etik yang jelas, seperti dokter, pengacara atau wartawan, maka profesionalitas kita juga akan terjaga.<br /><br />Yogyakarta, 23 Desember 2008tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-48999149965079647842008-12-27T02:19:00.000+07:002008-12-27T02:20:53.590+07:00Tragedi Lumpur LapindoPolitik Komunikasi Dalam Kasus Bencana Lumpur Lapindo, Sidoarjo<br /><br />PENDAHULUAN:<br /><br />Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – M Jusuf Kalla (SBY-JK) ditandai dengan berbagai bencana besar. Diawali gempa dan tsunami dahsyat di Aceh dan Sumatera Utara pada 26 Desember 2004, kemudian pada 27 Mei 2006 gempa besar menerpa Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Di luar itu bencana banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan, terjadi dalam skala besar, sampai beberapa kali kecelakaan lalu lintas – termasuk hilangnya pesawat Adam Air dan jatuhnya Mandala Air di Polonia Medan – melengkapi masa pemerintahan SBY-JK yang penuh musibah. Umumnya bencana, seperti gempa, tsunami, kebakaran, atau banjir, berlangsung tak lama, termasuk dampak yang ditimbulkan. Namun ada satu tragedi atau bencana di mana sejak prahara itu terjadi sampai hari ini terus berlangsung, begitu juga dampak yang ditimbulkan bagi korban. Bencana atau tragedi itu tak lain adalah muncratnya lumpur panas di area pengeboran PT Lapindo Brantas, Sidoarjo, Jawa Timur, 29 Mei 2006.<br /><br />Dalam sepekan, lumpur itu menelan 10 hektar kawasan dan melenyapkan jalan tol Gempol-Surabaya yang berjarak 200 meter dari pusat semburan. Hari demi hari, bulan demi bulan, lumpur panas itu telah menggenangi 345 hektar di wilayah desa Jatirejo (3.420 jiwa), Siring (4.240 jiwa), Kedungbendo (22.833 jiwa), dan Renokenongo (4.753 jiwa). Wilayah bencana kemudian meluas hingga membuat mati beberapa desa termasuk Kedungcangkring (3.818 jiwa), Pejarakan (1.609 jiwa), dan Besuki (3.499 jiwa).<br /><br />Skala bencana yang amat besar ini membuat Kementerian Lingkungan Hidup meminta Lapindo bertanggung jawab pada 9 Juni 2006. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, tak mau ketinggalan, pada 18 Juni 2006, mengatakan Lapindo harus bertanggung jawab. Presiden SBY pada 8 September 2006 membentuk tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo, dengan masa kerja enam bulan. Tim ini kemudian diperpanjang masa tugasnya selama sebulan, kemudian Presiden SBY membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang dikukuhkan melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2007.<br /><br />Di tengah maraknya aksi menentang kelambatan pemerintah dan Lapindo menangani luapan lumpur dan para korban, DPR menyetujui pembentukan Tim Pengawas Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo, dengan masa kerja tiga bulan. Tim DPR yang bekerja hanya tiga bulan ini – ditengarai hanya bertemu dengan ahli geologi yang pro Lapindo – bisa dipastikan hasilnya menguntungkan Lapindo. Maka tak aneh, pada 19 Februari 2008, dalam rapat paripurna DPR, setelah mendengarkan laporan dari tim tadi, DPR menyebutkan bahwa lumpur yang muncrat merupakan fenomena alam.<br /><br />Tentang penyebutan bencana alam atau bencana yang diakibatkan kecerobohan manusia (Lapindo) menjadi amat penting di sini, karena konsekuensinya sangat besar dan berarti. Jika dianggap bencana alam maka pemerintahlah yang akan menanggulangi termasuk ganti rugi kepada para korban. Sebaliknya jika dianggap bencana akibat kelalaian manusia saat pengeboran terjadi, maka Lapindo harus bertanggung jawab. Pemerintah tentu tetap berkewajiban membantu memfasilitas para korban memperoleh ganti rugi yang layak, apapun penyebab tragedi lumpur panas itu.<br /><br />Pada 11 November 2008 Lapindo mengaku telah mengeluarkan dana pembelian tanah/bangunan warga korban sekitar Rp 1,8 triliun, namun menurut Ketua Paguyuban Renokenongo Sunarto ada 465 berkas yang belum dibayar. Presiden SBY terakhir bertemu Lapindo dan perwakilan korban pada 1 Desember 2008. Presiden memanggil Nirwan Bakrie karena kesal penanganan ganti rugi berlarut-larut. “Saya sudah merasa tidak nyaman dengan suasana ini,” ujar SBY. “Saya kecewa, Aceh saja bisa diselesaikan, kenapa ini tidak?” tambah presiden. Sebelumnya pada 27 November 2008, Presiden SBY memanggil Nirwan Bakrie dan mendesak Lapindo melunasi uang muka 20 persen ganti rugi sebesar Rp 49 miliar.<br /><br />Di sinilah permasalahaannya. Lapindo tak sepenuh hati membayar ganti rugi para korban. Bahkan ketika kekayaan keluarga Bakrie tak tertandingi se-Indonesia, malah se-Asia Tenggara, tetapi tetap saja keluarga ini enggan berbagi. Kini Bakrie berdalih krisis ekonomi global yang menghantam bisnisnya. Masyarakat diminta maklum kepada keluarga Bakrie karena pembayaran kepada para korban yang telah dua setengah tahun berkubang dengan lumpur tersendat-sendat.<br /><br />Dalam perspektif politik komunikasi, Lapindo berjuang keras dengan segala daya dan upaya termasuk tipu muslihat meyakinkan pemerintah dan masyarakat bahwa penyebab muncratnya lumpur panas karena faktor alam, dipicu oleh gempa Yogyakarta dua hari sebelumnya. Para korban, baik yang langsung terkena lumpur panas maupun mereka yang desanya terisolasi, kurang menganggap penting apa penyebab keluarnya lumpur. Yang penting adalah para korban harus dibayar kerugian mereka akibat lumpur yang menerjang kehidupan mereka.<br /><br />Lapindo dengan kekuatan modal berupaya menguasai informasi untuk memengaruhi publik, sementara para korban yang tak memiliki apa-apa kecuali semangat bertahan hidup, berhasil menciptakan kejutan-kejutan yang membuat publik dan pemerintah cenderung berpihak kepada mereka. Sesungguhnya, para pemain/pelaku dalam politik komunikasi kasus bencana lumpur Lapindo tak hanya keluarga Bakrie yang kaya raya dan para korban yang miskin berkubang lumpur. Melainkan masih ada sederat pemain/pelaku yang mempunyai kepentingan politik komunikasi publik yang saling berbeda. Dapat disebut di sini para pemain/pelaku lainya adalah kelompok dunia usaha, negara/pemerintah, lembaga kepentingan politik, media massa, dan publik.<br /><br /><br />PARA PEMAIN/PELAKU:<br /><br />Begitu bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur terjadi, muncullah para pemain/pelaku utama yang mempunyai kepentingan politik komunikasi sesuai kepentingannya. Setiap kelompok mencakup berbagai kelompok yang dapat mempunyai kepentingan yang berlainan, tetapi dapat mempengaruhi rencana/srategi/tindak politik komunikasi.<br /><br />Mari kita sebutkan satu persatu siapa saja pemain atau pelaku yang berkepentingan;<br /><br />Dunia usaha. Dalam kelompok ini terbagi menjadi dua. Pertama PT Lapindo Brantas sendiri yang menjadi “pelaku” utama tragedi lumpur, dan para pengusaha yang pabrik dan tempat usahanya langsung gulung tikar karena diterjang lumpur. Pertarungan dua kepentingan yang berbeda meski keduanya pelaku dunia usaha kurang terekspos di media massa. Berbeda dengan perselisihan antara Lapindo dengan korban masyarakat biasa. Ini bisa terjadi karena suksesnya tim lobi Lapindo meyakinkan para pengusaha pemilik pabrik yang menjadi korban lumpur. Mungkin saja, para pemilik pabrik menyadari atau mengakui bencana ini termasuk bencana alam, sehingga tak menuntut macam-macam terhadap Lapindo.<br /><br />Negara/pemerintah. Secara nasional pemerintah diwakili oleh Presiden SBY. Namun ada lagi pemain yaitu DPR, Mahkamah Agung, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, dan Pengadilan Negeri. Kelimanya kadang tak sejalan atau mempunyai kepentingan yang sama. Presiden SBY telah kita ketahui sikapnya bagaimana dia geram menyaksikan betapa lambannya penyelesaian ganti rugi yang dilakukan Lapindo terhadap para korban. Di lain pihak, DPR yang notabene adalah wakil rakyat – termasuk rakyat yang tinggal di Sidoarjo – rupanya tak sepenuhnya pro rakyat. DPR ternyata lebih pro Lapindo karena menyimpulkan bahwa bencana lumpur Lapindo adalah karena fenomena alam, bukan kelalaian manusia. DPR sangat gegabah karena hanya mendengar para ahli yang pro Lapindo. Sementara Mahkamah Agung di sini pernah memainkan perannya dalam menolak permohonan uji materi Peraturan Presiden tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang diajukan para korban. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Jakarta Utara juga menolak gugatan Walhi dan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) terhadap Lapindo, Presiden, Menteri Migas, Menteri Lingkungan, pemerintah provinsi Jawa Timur, dan pemerintah kabupaten Sidoarjo.<br /><br />Lembaga kepentingan politik. Di sini yang paling banyak berperan adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan atau koalisi LSM yang kemudian membentuk jaringan kerja (network). Selain itu, di kelompok ini ada pemain lain yaitu organisasi ahli geologi. Kelompok kepentingan dari kalangan LSM pada mulanya diperankan oleh LSM yang peduli lingkungan seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan Greenpeace Indonesia. Mereka baik sendiri-sendiri maupun bersama para korban melakukan aksi menentang kecerobohan Lapindo dan menuntut perusahaan itu segera mengganti rugi para korban dan memperbaiki lingkungan yang rusak. Beberapa aksi yang menyedot perhatian publik misalnya mereka membawa lumpur dari Sidoarjo dan disebar di depan kantor Menko Kesra tempat Aburizal Bakrie berkantor. Sementara itu, para ahli geologi antara lain Rudi Rubiandini mantan Ketua Tim Investigasi Independen Lumpur Sidoarjo. Menurut Rudi, sesungguhnya saat awal bencana, masih ada kesempatan bagi Lapindo untuk mematikan semburan lumpur. Faktanya, semburan sempat teredam oleh lumpur berat yang dipompa ke dalam sumur. Belum semburan itu benar-benar dimatikan, sumur ditutup dengan semen dan bor dipotong, “Itu tindakan ceroboh dan teledor,” ujar Rudi. Prof. Richard Davies, ahli mud volcano Universitas Durham, Inggris, juga menyebut bencana lumpur Lapindo akibat kecelakaan, seperti yang ditulis di majalah Geological Society of America (GSA) edisi Maret 2008. Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, juga menyebut bukan bencana alam. “Limpur yang digunakan untuk meredam kick terlalu kental sehingga tekanannya membikin dinding sumur pecah,” ujar Andang.<br /><br />Media. Di sini juga terbelah menjadi dua atau bahkan tiga kelompok. Ada media yang sangat pro Lapindo karena mayoritas sahamnya dimiliki langsung oleh keluarga Bakrie yaitu – TV-One dan ANTV. Ada juga media yang anti-Lapindo, dan media yang berada di tengah (independen). Pada awal 2008 Lapindo melakukan kampanye besar-besaran. Tujuannya satu, meyakinkan publik bahwa bencana lumpur itu adalah karena fenomena alam yang dipicu gempa Yogyakarta. Sejumlah seminar di perguruan tinggi digelar. Iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik ditayangkan. Tak lupa beberapa geolog yang bisa ‘bekerjasama’ dihimpun untuk menyuarakan tragedi ini semata-mata bencana alam. Setidaknya dua stasiun televisi dikuasai Bakrie dan bersuara untuk kepentingan sang pemilik saham. Ada juga beberapa media yang bisa ‘dibeli’ atau ‘dibina’ oleh Lapindo. Salah satunya adalah media internet dan sms Newslink. Media non konvensional ini secara rutin mengirimkan pesan pendek yang isinya baik-baik tentang Lapindo ke sekitar 5.000 orang terpilih. Istilah yang digunakan Newslink bukan lumpur Lapindo melainkan lumpur Sidoarjo. Penyebutan istilah ini menandakan keberpihakan suatu media. Berbeda dengan Newslink, majalah Tempo adalah media independen yang telah beberapa kali menurunkan laporan utama mengenai bencana lumpur Lapindo dan bisnis keluarga Bakrie (“Sidoarjo Kritis” edisi 21-27 Agustus 2006, “Bermain Lumpur Lapindo” edisi 25 Februari-2 Maret 2008, “Siapa Peduli Bakrei” edisi 17-23 November 2008, dan “Korban Lumpur Lapindo Menagih Bukti Bukan Janji” edisi 8-14 Desember 2008). Sebagai media kritis dan independen bahkan menjadi barometer media di Indonesia, Tempo menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah publik dan para korban. Karena kegigihannya, Tempo kemudian digugat Aburizal Bakrie, saat menurunkan laporan utama “Siapa Peduli Bakrei” 17-23 November 2008, dengan gambar sampul wajah Aburizal Bakrie yang penuh angka berjatuhan seolah menandakan keruntuhannya. Salah satu yang menjadi keberatan Bakrie adalah adanya angka tripel 6 yang konon melambangkan setan! Tempo juga mengulas mengapa pemerintah perlu membantu Group Bakrie yang diterjang krisis finansial, sementara pada saat ia menjadi orang terkaya di Asia Tenggara, tak mempunyai itikad yang baik untuk menyelesaikan ganti rugi korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggung jawab kelompok usaha itu.<br /><br />Korban. Mereka warga Sidoarjo yang secara langsung maupun tak langsung terkena dampak semburan lumpur panas Lapindo. Mereka tinggal di wilayah desa Jatirejo (3.420 jiwa), Siring (4.240 jiwa), Kedungbendo (22.833 jiwa), dan Renokenongo (4.753 jiwa). Wilayah bencana kemudian meluas ke beberapa desa termasuk Kedungcangkring (3.818 jiwa), Pejarakan (1.609 jiwa), dan Besuki (3.499 jiwa). Ketika pada 30 November 2008 seribuan warga Siring, Jatirejo, Kedungbendo, dan Renokenongo berangkat ke Jakarta untuk mengelar unjuk rasa di depan Istana Negara, itu berarti telah dua setengah tahun para korban terkatung-katung. Selama itu banyak korban berjatuhan. Ada yang jadi sakit-sakitan lalu meninggal. Ada yang menjadi stres dan sakit jiwa. Ada pula yang kini menjadi pengemis karena tak ada pilihan. Sungguh lumpur telah mengubur masa depan mereka. Sebagai korban yang tak memiliki apa-apa kecuali semangat bertahan hidup, kadang menimbulkan kreativitas dalam melakukan unjuk rasa. Karena itu tak heran mereka tak bosan-bosannya berunjukrasa dengan berbagai cara dan gaya. Tujuannya satu, agar proses pembayaran ganti rugi dipercepat. Aksi mereka dari unjuk rasa di lokasi lumpur Lapindo sembari menutup jalan akses di situ, demo ke kantor bupati atau gubernur, sampai ‘nglurug’ ke Istana di Jakarta. Demo unik agar media massa memberitakan juga sering dilakukan misalnya mandi lumpur di dekat lokasi semburan, dan menyambangi rumah Aburizal Bakrie di Jakarta. Korban memang tak satu suara alias terpecah dalam beberapa kelompok. Namum mereka tetap didampingi oleh koalisi LSM, terutama yang bergerak di bidang lingkungan dan bantuan hukum.<br /><br /><br />PEMERINTAH VS LAPINDO:<br /><br />Lapindo Kian Terdesak:<br />Sesungguhnya yang membuat akibat dari semburan lumpur Lapindo menjadi lebih parah dan semakin parah lagi adalah kesombongan para pakar geologi Indonesia (terutama yang pro-Lapindo), yang menolak semua tawaran dari luar negeri (ketika itu masih dapat ditangani dengan baik), dengan mengatakan bahwa bangsa Indonesia jangan dihina karena dapat menyelesaikan masalah itu sendiri.<br />Nasi sudah menjadi bubur. Mari kita simak Laporan dari DEC (Drilling Engineers Club). Laopran ini membawa kabar baik dan menggembirakan terutama buat para korban lumpur panas, dan mungkin juga buat pemerintah. Kabar itu datang dari jauh, negerinya Nelson Mandela, Afrika Selatan. Adalah keputusan AAPG (American Association of Petroleum Geologists) 2008 International Conference & Exhibition yang dilaksanakan di Cape Town, 26-29 Oktober 2008, yang dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia. Pada acara bergengsi ini disampaikan sekitar 600 makalah dalam 97 tema yang berbeda, dan terdapat 6 buah tema khusus yang sangat dianggap penting yaitu “Lusi Mud Volcano: Earthquake or Drilling Trigger”.<br /> Apa keputusan konperensi terpandang bagi para ahli geologi seluruh dunia itu? Ternyata 42 ahli dunia berpendapat lumpur Lapindo Sidoarjo diakibatkan oleh kesalahan pemboran dan hanya 3 ahli yang setuju karena gempa bumi. Peserta konperensi sekitar 90 ahli tersebut tentunya memberikan opini yang netral dan obyektif datang tepat waktu. Pada pertemuan itu ahli geologi pro Lapindo juga hadir, mereka bahkan membagi-bagikan brosur enam halaman berwarna dengan kualitas luks yang menjelaskan tentang seluruh kegiatan yang telah dilakukan di lapangan kepada peserta konferensi.<br /> Selama pertemuan, terdapat 4 (empat) pembicara yaitu :<br />1. Dr. Adriano Mazzini dari Unversitas Oslo seorang ahli Mud Vulcano yang selama ini sangat yakin dengan teori bahwa lumpur lapindo disebabkan oleh gempa Yogyakarta. 2. Nurrochmat Sawolo sebagai ahli pemboran dari Lapindo yang mengetahui seluk beluk pemboran di sumur Banjarpanji1 sejak persiapan, pelaksanaan sampai semburan terjadi di Sidoardjo, yang dibantu Bambang Istadi.<br />3. Seorang pembicara dari Universitas Curtin Australia yaitu Dr. Mark Tingay ahli gempa yang berpendapat bahwa energi gempa Yogyakarta terlalu kecil sebagai penyebab terjadinya semburan di Sidoardjo.<br />4. Prof. Richard Davies dari Universitas Durham Inggris ahli geologi yang bekerjasama dengan ahli pemboran Indonesia yang diwakili oleh Susila Lusiaga dan Rudi Rubiandini dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menyampaikan secara detail dan jelas data-data dan bukti selama proses kejadian dilihat dari sisi operasi pemboran.<br /> Tidak kurang 20 penanya ikut mempertajam materi diskusi yang mengarah pada penyebab yang sebenarnya, kemudian dilanjutkan dengan sesi perdebatan yang melibatkan seluruh opini yang berkembang dan dimoderatori oleh ahli geologi senior dari Australia. Acara berjalan sekitar 2,5 jam tersebut diakhiri dengan voting (pengambilan pendapat) oleh seluruh peserta yang hadir untuk memperoleh kepastian pendapat para ahli dunia tersebut dengan menggunakan metoda langsung angkat tangan.<br /> Hasil dari voting tersebut menghasilkan 3 (tiga) suara yang mendukung gempa Yogya sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara menyatakan pemboran sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara menyatakan kombinasi gempa dan pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) menyatakan belum bisa mengambil opini. Dengan kesimpulan ahli dunia seperti ini, tidak perlu diragukan dan didiskusikan lagi bahwa penyebab semburan lumpur di Sidoardjo adalah akibat kegiatan pemboran.<br /> "Ini merupakan kesimpulan tertinggi tingkat dunia yang tak bisa dibantah," kata Rudi Rubiandini, geolog petroleum dari ITB, salah satu peserta. Rudi berpendapat, pemerintah Indonesia dapat menggunakan hasil konferensi itu sebagai bahan dalam menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Dia menegaskan, lembaga yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur harus bertanggung jawab. Sejauh ini proses hukum kasus Lapindo menemui jalan buntu di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur karena tak cukup bukti.<br />Bagaimana tanggapan pemerintah dan Lapindo? Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Legowo, mengatakan pemerintah terbuka untuk menerima hasil rekomendasi terbaru itu. "Kami selalu terbuka untuk itu," kata Evita. Sementara itu, Senior Vice President PT Energi Mega Persada Lapindo, Bambang Istadi, menolak kesimpulan konferensi. Alasannya, pendapat tersebut tidak dikeluarkan seluruh geolog dunia. "Itu tidak mempresentasikan pendapat seluruh geolog di dunia," ujar Bambang<br />Sebelum hasil pertemuan geolog dunia di Cape Town, PT Lapindo Brantas pada 22 Oktober 2008 merilis siara pers, yang menyebutkan bahwa para geolog dalam pertemuan The Geological Society di London, Inggris (sebelum pertemuan Cape Town) menyimpulkan semburan lumpur Lapindo diakibatkan oleh mud volcano. Menurut Rudi, pertemuan London itu tak menghasilkan kesimpulan apa-apa. "Ahli geologi umum itu hanya berdiskusi, tidak menghasilkan kesimpulan." Menanggapi hal ini, Walhi menuding Lapindo telah berbohong kepada publik. "Ini proses pembohongan publik luar biasa," kata Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Walhi Muhammad Teguh Surya.<br /><br /><br />Pemerintah Menyerah?<br />Bagaimana membaca krisis keuangan global, menguntungkan atau merugikan Group Bakrie? Krisis finansial dunia ini tentu membuat kekayaan Bakrie terkuras, setidaknya dari orang paling kaya di Indonesia (2007), turun menjadi urutan keenam pada 2008. Namun dengan alasan krisis keuangan global ini pula, membuat PT Lapindo Brantas hanya mampu membayar uang ganti rugi kepada para korban lumpur Lapindo sebesar Rp 30 juta per bulan secara mencicil dan uang sewa rumah sebesar Rp 2,5 juta. Meskipun pemerintah sudah menekan Lapindo supaya harus membayar ganti rugi kepada para korban luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur, tetapi akhirnya pemerintah menyerah.<br />Ini adalah kompromi antara pemerintah, masyarakat, dan Lapindo, kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto. “Kita sudah tekan Lapindo, kamu harus bisa membayar. Tapi memang dia sudah buka kartu, inilah semampu kami, bayar Rp 30 juta per bulan. Ya sudah harus kita terima," ujar Djoko Kirmanto di Istana Negara Jakarta.<br />Menurut Djoko, kesepakatan yang dicapai di Sekretariat Negara 2 Desember 2008 --antara warga korban dan Nirwan Bakrie disaksikan Presiden SBY -- itu diterima semua oleh warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas). Sedangkan, kepada warga di luar itu yang menolak kesepakatan tersebut diimbaunya untuk menerima kesepakatan tersebut. Dia khawatir, bila kesepakatan itu ditolak, maka maksimum yang diterima para korban lumpur Lapindo tidak akan lebih dari yang sudah mereka terima. Apalagi, setelah kesepakatan itu, tidak akan ada negosiasi ulang.<br />Itulah yang bisa dilakukan oleh Lapindo untuk membayar kepada masyarakat. Kesepakatan yang dicapai itu, masih menurut Djoko, sudah sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) No 14 Tahun 2007. Sedangkan, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa yang hadir pada negosiasi itu menjelaskan, pemerintah tidak bisa memaksa Lapindo untuk membayar lebih dari yang disepakati itu. Pasalnya, perusahan milik keluarga Bakrie itu sedang mengalami kesulitan akibat krisis keuangan global saat ini.<br /><br />Tampaknya usaha Group Bakrie melakukan kampanye besar-besaran ke publik bahwa penyebab bencana lumpur yang muncrat di Sidoarjo adalah karena fenomena alam belaka tak berhasil meyakinkan publik dan pemerintah. Karena itu pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY, tetap konsisten menekan Lapindo membayar ganti rugi kepada para korban. “Beruntung” Lapindo terkena dampak krisis finansial internasional sehingga ada alasan pundi-pundinya berkurang drastis dan pemerintah memaklumi keadaan itu. Konsekuensinya terjadi kesepakatan win-win solution antara Lapindo dan korban yang difasilitasi pemerintah.<br /><br /><br />KESIMPULAN<br /><br />Politik komunikasi yang dilakukan Lapindo dengan mengaburkan fakta sebenarnya tentang kejadian muncratnya lumpur panas Lapindo adalah demi kepentingan bisnis Group Bakrie. Meskipiun kelompok usaha ini sangat kaya, bahkan dari sisi politik mempunyai jaringan di pusat kekuasaan, namun mengingat dahsyatnya dampak yang ditimbulkan dari bencana lumpur Lapindo, menjadikan modal kapital dan kekuasaan tetap kurang. Kampanye Bakrie pada mulanya efektif, termasuk mempengaruhi DPR, namun akhirnya tak mampu membendung kenyataan bahwa itu semua karena kecerobohan Lapindo bukan bencana alam.<br /><br />Pemerintah yang baik tentu akan berpihak kepada rakyatnya, meski sebagai pribadi dan kelompok usaha, Bakrie adalah salah satu penyumbang terbesar bari kemenangan pasangan SBY-JK saat mereka meraih kursi Presiden 2004. Pada akhirnya toh Presiden SBY harus memilih untuk lebih tegas kepada Group Bakrie ketika korban tak tertanggulangi selama dua setengah tahun. Bagi Presiden SBY, menekan Bakrie dan mengahasilkan kesepakatan dengan para korban, selain sudah merupakan tugasnya sebagai presiden, juga credit point tersendiri pada saat menjelang akhir jabatannya. Dalam perspektif komunikasi politik, memerintah adalah kampanye. Artinya, bagi incumbent, melakukan sesuatu yang baik pada masa jabatan berlangsung adalah kampanye untuk pemilu berikutnya.<br /><br />Kasus Lapindo memberi pelajaran kepada kita bahwa politik komunikasi dunia usaha selalu mencari untung. Politik komunikasi pemerintah adalah menjaga kestabilan dan keamanan demi pelaksanaan pembangunan. Pemerintah tak ingin kasus Lapindo menjadi sumber keresahan. Di luar itu, kelompok penekan seperti LSM selalu mengkritisi jalannya pemerintahan dan dunia usaha agar transparan, akuntable dan good governance (good corporete governance, unuk perusahaan). Media massa yang dianggap sebagai pilar keempat demokrasi, ternyata ada yang masih ideal dan independen, namun banyak yang sudah menjadi institusi bisnis semata-mata. Yang terakhir ini akan membela kepentingan bisnis pemilik modal. Bagaimana dengan publik dan korban? Mereka masih rentan, namun kini mereka bebas bersuara termasuk melakukan aksi unjuk rasa dengan segala cara dan rupa!<br /><br />Daftar Bacaan:<br /><br />Fotokopian dan power point bahan kuliah Politik Komunikasi.<br />“Bermain Lumpur Lapindo” Majalah Tempo edisi 25 Februari-2 Maret 2008<br />“Mencari Indonesia” Majalah Tempo edisi 27 Oktober-2 November 2008<br /> “Siapa Peduli Bakrei” Majalah Tempo edisi 17-23 November 2008“Korban Lumpur Lapindo Menagih Bukti Bukan Janji” Majalah Tempo edisi 8-14tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-42381237541141705252008-11-03T17:47:00.000+07:002008-11-03T17:49:46.107+07:00Stockhlom Syndrome atau Sleeping with Enemy?Pada sebuah acara debat di <span style="font-family:arial;"><em>SCTV</em></span> sekitar sebulan lalu, berhadapan dua kelompok aktivis. Kelompok pertama, aktivis calon anggota DPR, Budiman Sujatmiko (PDI-P), Dita Indah Sari (PBR), dan Pius Lustrilanang (Partai Gerindra). Kelompok kedua, aktivis yang masih di ‘jalan’, Yeni Rosa Damayanti (aktivis perempuan), Hendrik Sirait (Ketua PBHI Jakarta), dan Sanggap (mantan aktivis Forkot).<br /><br />Kelompok pertama menganggap masuknya aktivis ke senayan tak akan mampu mengubah keadaan, dan dipastikan mereka akan larut dalam budaya Senayan, tak mementingkan rakyat melainkan partai dan kekuasaan. Kelompok kedua berdalih justru perjuangan paling tepat adalah di parlemen. “Senayan adalah perluasan medan perjuangan, bukan meninggalkan rakyat di jalan”, kata Dita Indah Sari. Yang menarik adalah ketika Hendrik Sirait menyatakan keberadaan Pius Lustrilanang di Partai Gerindra (kendaraan politik Prabowo Subianto) merupakan praktek Stockhlom Syndrome. Betulkah?<br /><br />Para psikolog mengidentifikasikan Stockhlom Syndrome sebagai peristiwa di mana korban penculikan, penindasan, atau penganiayaan jatuh cinta kepada orang yang melakukan kekerasan terhadapnya. Menurut teori psikoanalisa, ini adalah salah satu bentuk upaya pembelaan diri sang korban. Sandera memberikan tanda-tanda kesetiaan kepada penyandera, tidak memedulikan bahaya (atau risiko) yang telah dialami sandera itu.<br /><br />Sindrom ini dinamai berdasarkan kejadian perampokan Kreditbanken di Stockholm. Perampok bank menyandera karyawan bank dari 23 Agustus sampai 28 Agustus pada 1973. Dalam kasus ini, korban menjadi secara emosional menyayangi penyandera, bahkan membela mereka. Istilah sindrom Stockholm pertama kali dicetuskan kriminolog dan psikiater Nils Bejerot, yang membantu polisi saat perampokan. Ada lagi istilah Lima Syndrome. Sindrom Lima adalah kebalikan dari sindrom Stockholm, di mana justru penyandera yang memiliki ketertarikan emosional terhadap sandera-nya. Penyandera menjadi lebih simpatik, dan bahkan merasa membutuhkan sandera-nya.<br /><br />Apakah hubungan Pius Lustrilanang dan Prabowo Subianto Stockhlom Syndrome? Pius diculik oleh Tim Mawar Kopassus. Ia cukup ‘beruntung’ karena dibebaskan dalam keadaan hidup. Setelah sempat berkampanye anti militerisme di Eropa, Pius kemudian kembali ke Indonesia. Mantan aktivis Aldera ini lalu bergabung dengan PDI-P, PDP dan pada akhirnya menjadi calon anggota DPR dari Partai Gerindra. Pertemuan dengan Prabowo pertama bukan di Partai Gerindra melainkan pada akhir 1999, di Kuala Lumpur. Saat itu mantan komandan Kopassus itu berkata kepada Pius, “Saya hanya prajurit. Tugas saya memenuhi perintah. Diantaranya adalah menculik kamu”.<br /><br />Kini antara korban dan ‘dalang’ penculikan itu bergabung di partai yang sama. Dalam berbagai kesempatan Pius ‘membela’ Prabowo, misalnya mengatakan bahwa tugas tentara adalah menjaga keutuhan negara, siapa-pun mungkin akan melakukan hal yang sama dilakukan Prabowo. Penghilangan orang secara paksa 1998/1999 bukan tindakan koboi petinggi militer saat itu, tetapi merupakan konsekuensi logis posisi politik TNI sebagai penopang utama rezim Soeharto.<br /><br />Pius selalu mengedepankan upaya proses KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), karena korban dan keluarga korban mendapat kompensasi, serta pelaku mendapat amnesti. KKR lebih baik ketimbang proses hukum yang akan membuka luka lama bangsa ini. Mengenai keinginan Pansus Penghilangan Orang secara Paksa 1998/1999 memanggil para jenderal, Pius menganggap DPR mengambil alih fungsi Komnas HAM sebagai institusi penyelidik. Sebagai lembaga politi sebaiknya DPR tinggal memutuskan perlu tidaknya dibentuk Pengadilan HAM.<br /><br />Fenomena Stockhlom Syndrome mungkin bukan monopoli Pius dan aktivis korban penculikan lainnya yang bergabung dengan Partai Gerindra. Hubungan Megawati Soekarnoputri dan Sutiyoso, mantan Pangdam Jaya, pada kasus Penyerangan gedung, PDI 27 Juli 1996 juga mirip Stochlom Syndrome. Megawati dan PDI yang menjadi korban (meski bukan langsung Megawati tetapi massa PDI), kemudian mendukung mati-matian pencalonan Sutiyoso sebagai gubernur DKI Jakarta, demi mengamankan Jakarta mendukung Megawati dalam Pilpres 2004.<br /><br />Dalam politik ada pameo tak ada musuh abadi dan kawan kekal, yang ada adalah kepentingan. Kasus Pius dan Prabowo dan mungkin Megawati dan Sutiyoso bisa kita baca melalui kacamata ini. Selain kepentingan politik yang dominan bermain dalam hubungan antara pelaku politik, tak dapat dimungkiri unsur Stockhlom Syndrome juga ada di situ. Ada kekaguman satu sama lain antara korban dan pelaku. Tetapi saat ini mereka berpikir ke depan, bersatu dalam satu partai, seraya melupakan masa lalu.<br /><br />Stochlhom Syndrome atau bukan dalam hubungan antara mantan korban dan pelaku sesungguhnya tak begitu penting. Masalahnya adalah apakah mereka menolak impunity atau tidak. Apakah mereka percaya demokrasi yang anti-kekerasan atau tidak? Selain itu, apakah kemesraan mereka bermanfaat buat korban penculikan lainnya dan bangsa pada umumnya atau tidak? Jika kemesraan itu hanya demi kepentingan mereka sendiri, apalagi untuk menutupi atau menghapus kesalahan masa lalu, maka yang terjadi bukan saja Stockhlom Syndrome, juga sleeping with enemy!<br /><br />(Tri Agus S Siswowiharjo, mantan aktivis Pijar dan Solidamor)tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-80764365114919940902008-10-26T10:22:00.000+07:002008-10-26T10:23:33.906+07:00Iklan PolitikIf there is a whale, there is a wave....<br /><br />Menjelang pemilu 2009 iklan politik kian marak. Ada yang memperkenalkan partai, ada juga yang memperkenalkan tokoh partai, bahkan bukan siapa-siapa mengaku calon pemimpin bangsa. Layaknya iklan sabun cuci ada yang menyatakan pilihlah saya atau partai kami. Mereka jeli memanfaatkan moment tertentu seperti hari kebangkitan nasional, kemerdekaan sampai hari lebaran. Intinya, iklan politik tak lebih dari iklan produk sabun atau kosmetik. Jika iklan politik dikemas seperti iklan rokok, bisa jadi iklan politik akan jauh lebih inspiratif dan menggugah. Karena tak boleh menunjukkan produknya. Namun tunggu dulu. Di akhir iklan musti ada keterangan penting, peringatan pemerintah; terlalu percaya kepada partai politik dan politisi busuk bisa menyebabkan korupsi, kolusi dan nepotisme.<br /><br />Fadjroel Rachman aktivis yang mencalonkan diri menjadi presiden lewat jalur independen suatu saat mendapat tawaran dari Rizal Malarangeng agar bisa kampanye bersama lewat media seperti televisi. Ibarat bus kota, sesama calon kaum muda dilarang saling mendahului. Sungguh ini tawaran yang menarik. Publik akan makin kenal muka-muka baru dan muda calon presiden 2009. Namun dari mana biaya besar bisa dikumpulkan Rizal? Fadjroel kemudian mendiskusikan dengan “tim sukses”. Ternyata hampir semua teman Fadjroel menolak tawaran itu. “Jangan mau dong. Nanti nama kamu bisa jadi Fadjroel Bakrie!...”<br /><br />Untung Fadjroel tak jadi bergabung bersama membintangi iklan yang selalu berseru If there is a will. There is a way itu. Bukan saja mantan aktivis ITB tersebut tak mau menjadi Bakrie Boys, juga karena garis politik mereka berbeda. Dalam sebuah acara debat Fadjroel mengritik Rizal sang pembawa acara Save Our Nation di Metro TV. “Acara itu kalau masih tetap dibawakan Rizal lebih tepat diganti Sale Our Nation”. Kritikan tajam pengagum mantan Perdana Menteri Sjahrir tersebut tentu terkait peran Rizal dalam tim perunding rebutan blok Migas Cepu antara Pertamina dengan Exxon Mobil yang berakhir dengan “penyerahan” Blok Cepu ke Exxon.<br /><br />Fadjroel sama seperti Barack Obama, juga memanfaatkan media internet. Dalam sebuah tulisan yang terpampang di Face Book, Fadjroel menulis begini. Kalau Yuddy (Chrisnandy) partainya besar, Celi (Rizal) duitnya besar. Fadjroel jiwa atau orangnya besar. Tentu saja yang dimaksud partai Golkar tempat Yuddy Chrisnandy bernaung, dan duit besar Rizal diduga karena kedekatan dengan orang terkaya di Indonesia, Aburizal Bakrie.<br /><br /> Dalam iklan politik Rizal yang disiarkan di berbagai televisi ia digambarkan sangat bangga pernah ke Ende, Banda Neira tempat para pendiri republik seperti Soekarno dan Hatta dibuang. Lagi-lagi Fadjroel, dengan enteng mengatakan, “Kalau Rizal cuma pernah mengunjungi tempat-tempat bersejarah itu. Saya pernah menghuni sel yang sama saat Bung Karno ditahan di penjara Sukamiskin”.<br /><br />Sekali lagi untung Fadjroel tak jadi membuat iklan bareng Rizal. Kalau jadi, sekarang tentu ikut kecewa dan sedih karena dampak krisis keuangan global yang dimulai dari Amerika Serikat. Ibarat gempa memang episentrumnya di negeri Paman Sam tersebut. Tapi karena dahsyatnya gempa, seluruh dunia terkena imbasnya, tak kecuali Indonesia. Bakrie yang punya episentrum di Rasuna Said, beberapa saham perusahaannya terjun bebas. Pemerintah SBY-JK kembali (terpaksa atau dipaksa) menolong Bakrie untuk kedua kali. Pertama kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo. Yang kedua ya apa lagi kalau bukan penyelamatan saham Bakrie lewat suspened beberapa hari yang dilagukan BEJ.<br /><br /> If There is a will, there is a way. Semua orang tahu jika ingin menjadi presiden bikinlah partai. Rizal mempunyai keinginan memimpin bangsa ini namun kurang membuka jalan alias ikut babat alas. Berbeda dengan Fadjroel yang berkeringat dan berdarah-darah memperjuangkan agar calon presiden independen bisa bertarung dalam pemilihan presiden. Bangsa ini juga patut berterima kasih kepada Fadjroel dan kawan-kawan yang sukses membuka jalan bagi calon bupati, walikota dan gubernur independen dalam pilkada. Kini tinggal kita tunggu Mahkamah Konstitusi memutuskan apakah calon presiden independen dibolehkan bertarung dalam pemilihan presiden minggu-minggu ini.<br /><br />If there is a whale, there is a wave....Di mana ada ikan paus di situ ada gelombang. Dan gelombang itu kini menerpa Bakrie, mungkin juga Sutrisno Bachir. Dampaknya iklan politik akan berkurang. Tak sebanyak bulan-bulan lalu. Tiap hari kita dicekoki “hidup adalah perjuangan” sementara kita tahu SB tak cukup berjuang membuat iklan sehingga diprotes Suster Apung.<br /><br />Hanya mereka yang uangnya tak berseri yang mampu membombardir publik dengan iklan politik. Salah satunya adalah Prabowo Subianto bersama Partai Gerindra. Para pengamat menilai iklan Prabowo cukup efektif dan mampu mendongkrak kepopuleran Prabowo. Pertanyaannya sampai kapan? Menurut Fadlizon, pengurus Gerindra, sampai dilarang KPU.<br /><br />There is no Rizal on TV anymore. Tak ada lagi perjuangan SB di layar kaca. Yang tersisi hanya auman macan Prabowo. Belum lagi Prabowo akan segera mendapat iklan gratis jika Pansus Penghilangan Orang secara Paksa DPR berhasil memanggil mantan komandan Kopassus tersebut. Kita memang tinggal di republik sinetron. Jadi mereka yang seolah-olah dianiaya atau dizhalimi akan mendapat simpati dari publik.<br /><br />Jakarta 24 Oktober 2008-10-24<br />Tri Agus S Siswowiharjo (politshirt@yahoo.com)tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-43821529382534774042008-07-16T10:58:00.000+07:002008-07-16T11:01:01.299+07:00Setelah Memilih lalu MenagihOleh: Tri Agus S. Siswowiharjo<br /><br />Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Kabupaten Temanggung yang dilaksanakan bersamaan dengan pilkada gubernur Jawa Tengah usai sudah. Pasangan Hasyim Afandi dan Budiarto terpilih untuk memimpin Temanggung periode 2008-2013. Inilah untuk pertama kali dalam sejarah, rakyat Temanggung memilih secara langsung bupati mereka sendiri. Era pemimpin daerah dipilih wakil rakyat (atau wakil partai politik) di DPRD II telah berakhir. Kini rakyat Temanggung sendiri yang menentukan Hasyim Afandi dan Budiarto menjadi bupati dan wakil bupati. Apa makna terpilihnya pasangan HB bagi Temanggung?<br /><br />Salah satu buah reformasi yang bisa kita nikmati adalah pilkada langsung. Mekanisme ini sungguh lebih demokratis dibanding pemilihan bupati oleh DPRD kabupaten. Wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu, saat duduk di lembaga perwakilan daerah cenderung lebih mewakili partai politik ketimbang rakyat yang memilih mereka. Sistem perwakilan seperti ini menyebabkan jarak antara bupati dan rakyat sangat jauh. Bupati tak merasa dipilih oleh rakyat yang dipimpinnya melainkan oleh perwakilan partai kabupaten itu. Bupati hasil sistem seperti ini mudah ditebak kinerjanya. Ia menjadi lebih ‘akrab’ atau ‘takut’ kepada para wakil rakyat ketimbang rakyat. Karena itu banyak terjadi kasus keakaban antara bupati dan anggota dewan dengan melakukan ‘korupsi berjamaah’ melalui penyelewengan APBD.<br /><br />Hasyim Afandi dan Budiarto kini menjadi bupati dan wakil bupati terpilih. Terlepas berapa persen yang memilih dan golput, nyatanya pasangan ini mengungguli lainnya dan memenangi pilkada. Artinya rakyat memberi kepercayaan penuh untuk memimpin Temanggung. Rakyat memutuskan mendukung dan memilih pasangan ini setelah mengenal dan menyukai pengalaman dan visi misi dalam membangun kabupaten di lereng Sumbing Sindoro ini. Masa kampanye yang tak terlalu lama telah membulatkan rakyat mendaulat pasangan HB. Tentu saja ini merupakan kepercayaan sekaligus tanggungjawab. Rakyat percaya pasangan HB bisa bertanggungjawab menjalankan visi misi mereka.<br /><br />Bupati di era otonomi daerah di tingkat kabupaten bisa menjadi berkah, namun bisa juga menjadi musibah. Tentu ini tergantung bagaimana sang bupati mengelola daerahnya. Ia bisa menjadi raja kecil di daerah, tak jarang bisa juga menjadi pahlawan lokal. Ia bisa abadi dikenang seperti Pak Maschoen Sofwan, atau menjadi pesakitan ala Totok Ari Prabowo. Barangkali kisah sukses beberapa daerah di Indonesia patut dipelajari bupati terpilih. Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi sukses mempromosikan anti-korupsi dan meningkatkan efisiensi kerja di kantor pemerintahan, Bupati Sragen, H. Untung Wiyono berhasil melakukan terobosan pelayanan masyarakat dengan menggunakan teknologi informasi, dan Bupati Jembrana, I. Gede Winasa patut dicontoh karena memberikan pelayanan masyarakat dengan gratis dan cepat (kependudukan, pendidikan, kesehatan dan transportasi).<br /><br />Tantangan di depan mata bupati terpilih sungguh tak kecil. Menjadi bupati di tengah rakyat petani yang kian diterpa globalisasi. Mengurangi angka kemiskinan melalui berbagai program adalah tugas utama bupati. Kemiskinan menurut perspektif ekonomi adalah suatu kondisi di mana pendapatan suatu penduduk atau rumah tangga tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar, pendapatannya terlalu rendah sehingga tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Dari sisi budaya, kemiskinan lebih ditentukan oleh pola perilaku masyarakat miskin, seperti pola hidup subsisten, konsumtif, dan etos kerja rendah. Sementara dari sudut pandang sosial, kemiskinan terjadi karena struktur sosial yang tidak berpihak pada orang miskin. Dengan demikian mereka tersisih akibat terisolasi terhadap akses ekonomi, sosial, dan politik (struktural).<br /><br />Globalisasi telah mengguncang sektor pertanian nasional kita, termasuk di Temanggung. Petani tak mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan yang makin tinggi, memaksa petani menjual lahannya dan beralih menjadi buruh serabutan di kota-kota seperti Semarang, Yogyakarta, atau Jakarta. Lahan petani makin sempit, membuat petani bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kecenderungan kemerosotan usaha tani menjelma menjadi proses pemiskinan petani. Sesuatu yang seharusnya bisa dicegah oleh pemerintah daerah dengan kebijakan yang pro rakyat.<br /><br />Kemiskinan telah menjadi sahabat Temanggung sejak lama. Karena miskin, tingkat kesehatan menjadi rendah. Pada awal tahun ini sebanyak 600 anak usia enam bulan hingga lima tahun di Temanggung, mengalami kurang gizi. Kendati belum termasuk dalam kategori gizi buruk, kesehatan mereka sudah harus mendapatkan perhatian karena memiliki berat badan yang kurang dari standar. Jika dibiarkan, maka mereka pun nantinya juga akan rentan menderita gejala berbagai penyakit. Data ini didapatkan dari hasil survei pada tahun 2006, yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap sekitar 60.000 anak usia enam bulan hingga lima tahun di 20 kecamatan di Temanggung.<br /><br />Rakyat telah memilih, kini waktunya menagih. Ya, sebantar lagi rakyat yang mendukung dan memilih Hasyim Afandi / Budiarto akan tetap bersuara meski berganti nada. Jika dulu percaya dan mendukung, nantinya suara menagih janji. Tentu itu semua butuh waktu. Kita akan memberi kesempatan bupati terpilih mulai bekerja. Pasangan yang diusung partai Golkar dan PAN ini duet mantan pejabat. Hasyim selain pernah menjadi bupati Magelang juga pensiunan kepala Depag Temanggung. Sedangkan Budiarto sebelumnya menjabat kepala Dishubpar. Pengalaman di birokrasi seharusnya menjadi modal yang cukup untuk membangun Temanggung.<br /><br />Kesuksesan pasangan Hasyim Afandi / Budiarto diharapkan membawa Temanggung ke panggung pentas nasional dalam hal prestasi, bukan korupsi. Kita tunggu berapa persen kemiskinan yang bisa diturunkan, kita lihat berapa lapangan kerja yang bisa diciptakan, kita periksa apa saja pelayanan publik yang bisa digratiskan, kita buktikan bisakah menghemat anggaran birokrasi dan mengalokasikan ke sektor publik, dan kita pelototi berapa persen peningkatan pendapatan rata-rata penduduk Temanggung.<br /><br />Sekali lagi, kita butuh waktu. Kita tunggu bupati terpili bekerja. Kita telah memilih mereka. Kita mengucapkan selamat dan segera bekerja. Tak lama lagi, kita juga yang akan menagih janji mereka!.<br /><br />dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat edisi Juli 2008tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-19430547596817977162008-07-16T10:55:00.000+07:002008-07-16T10:58:12.467+07:00Nasib Buruh Migran KitaOleh : Tri Agus S. Siswowiharjo<br /><br />Seorang TKI asal Temanggung, Zusniyati Kholifah, ditemukan tewas di Cairo, Mesir. ia diduga bunuh diri dari lantai enam apartemen tempat bekerja. Ceriyati tak tahan tiap hari mengalami siksaan, nekat kabur dari lantai 15 apartemen dan diselamatkan petugas pemadam kebakaran di Kuala Lumpur. Ribuan TKI diusir pemerintah Malaysia karena tak memiliki dokumen. TKW diperkosa dan dibunuh di Arab Saudi, jenasahnya masih belum jelas kapan dikirim ke tanah air. Pejabat KBRI di Kuala Lumpur diduga melakukan korupsi pembuatan paspor TKI. Bandara Soekarno-Hatta masih menjadi tempat paling aman bagi para penipu dan perampok dengan korban para TKI.<br /><br />Berita di atas pernah menghiasi lembar-lembar di koran kita. Semuanya kisah yang memilukan. Hampir tak ada cerita sukses tentang TKI. Yang ada cerita Ceriyati dan teman seprofesi yang nelangsa di negeri sebrang atau diperas di negeri sendiri. Benarkah nasib para pekerja migran kita yang dijuluki pahlawan devisa hanya selalu sedih, nelangsa dan gagal?<br /><br />Sungguh TKI kita adalah orang-orang yang berani atau lebih tepat nekat. Bayangkan, dengan kemampuan bahasa asing yang seadanya dan penguasaan profesi yang tak bisa dibilang profesional, mereka berketetapan hati bekerja di luar negeri. Jangan kaget jika Anda kebetulan satu pesawat dengan mereka, pasti akan diminta bantuan untuk menulis dokumen kedatangan di suatu negara. Bagaimana kita membayangkan mereka berkomunikasi dengan para majikan dengan modal bahasa yang minim? Peluang miskomunikasi sudah pasti akan terjadi. Ancaman penyiksaan, perkosaan sampai pembunuhan juga menghampiri mereka. Jika mereka telah melewati itu semua. Artinya mereka beruntung bisa mengumpulkan riyal atai dolar di negeri orang, cerita tak selesai di sini. Ancaman tetap mengintai di tanah air.<br /><br />Begitu mereka mendarat di Soekarno-Hatta, tanpa kecuali mereka akan dipungut Rp 25 ribu. Padahal sebelum berangkat sudah ada pungutan US$ 15 untuk subsidi. Belum termasuk sekitar Rp 5 juta untuk pengurusan paspor dan administrasi lainnya. Resminya, pengantaran ke daerah seperti Cianjur hanya Rp 185 ribu, namun tak jarang yang apes kehilangan sampai Rp 1 juta. Kalikan saja dengan traffic TKI/TKW yang 500 orang per hari atau 2 ribu orang per hari seperti saat ini. Berapa uang yang dikorupsi atau dirampok dari TKI kita? Para TKI sebelumnya berangkat sudah jor-joran menjual harta benda atau mengijon kiri-kanan. Mereka juga meninggalkan suami/istri dan anak dalam waktu yang sangat lama. Sialnya, biarpun mereka menghasilkan devisa sampai Rp 15 triliun per tahun, keberadaan mereka masih dilihat sebelah mata.<br /><br />Sungguh sangat ironi. Kita tak bisa memberi mereka keterampilan yang memadai maupun pekerjaan yang layak di tanah air. Ketika mereka di seberang sana, kita juga tak melindungi mereka dari pemberi kerja yang semaunya sendiri. Dan, ketika mereka kembali ke tanah air, kita membiarkan harta mereka yang dikumpulkan dengan susah payah dirampok di negeri sendiri.<br /><br /> dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat edisi Desember 2007tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-79484186475037826952008-07-16T10:53:00.000+07:002008-07-16T10:55:19.808+07:00Kontrol Syahwat Belanja!Oleh Tri Agus S. Siswowiharjo<br /><br />Ada fenomena menarik setiap bulan puasa di Indonesia. Pada bulan itu, saat sepanjang hari menahan nafsu, termasuk makan dan minum, justru pola konsumsi meningkat tinggi. Harga kebutuhan pokok merangkak naik, begitu juga biaya transportasi baik darat, laut maupun udara melambung tinggi. Puasa berbelanja tampaknya tak menjadi kenyataan karena media (cetak dan elektronik) berhasil memaksa masyarakat untuk membeli bahkan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan kebutuhan untuk puasa dan hari lebaran.<br /><br />Media menempati posisi yang menentukan sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat konsumen. Menurut cendikiawan Perancis terkemuka, Jean Baudrillard. media berperan sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas. Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya otoritas lain di luar dirinya yang "memaksa" untuk membeli. Hasrat belanja masyarakat merupakan hasil konstruksi yang disengaja.<br /><br />Bagaimana menghindar dari pola hidup konsumtif yang tak sehat? Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Konsumsi tembakau Temanggung yang tinggi akan sangat berdampak bagi ekonomi masyarakat di kabupaten ini. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumtif.<br /><br />Budaya ini sangat berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Sudah saatnya kita menjadi konsumen yang cerdas dan kritis. Mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk barang dan jasa yang benar-benar kita perlukan, tak mudah terpengaruh dengan rayuan iklan diskon, sale atau obral.<br /><br />Setiap tanggal 29 November, masyarakat internasional tanpa dibatasi agama, ras, dan nasionalitas, bersatu merayakan Buy Nothing Day, atau Hari Tanpa Belanja Sedunia. Sebuah gerakan penyadaran atas bahaya penyakit konsumtif terhadap lingkungan hidup dan tereksploitasinya negara-negara berkembang. Peringatan ini telah dirayakan di lebih dari 30 negara, termasuk Indonesia.<br /><br />Dalam sehari itu, masyarakat sedunia diajak untuk tidak berbelanja. Sebuah penyadaran global agar masyarakat mulai mengkritisi semua proses di balik barang-barang yang dibeli. Apakah pembuatannya telah merusak keselarasan alam; menimbulkan pencemaran, banjir, longsor, dan pemanasan global? Apakah para buruh yang mengerjakan sebuah produk diperlakukan dengan manusiawi dan diberi upah yang layak?<br /><br />Buy Nothing Day mengingatkan bahwa saat kita membeli dan menikmati suatu barang, pada waktu yang sama telah terjadi perusakan lingkungan hidup dan perlakuan tidak baik terhadap sesama manusia, terutama mereka yang berprofesi sebagai buruh, petani, atau nelayan. Artinya, semakin nafsu belanja kita tak terkendali, semakin rusak pula lingkungan hidup dan semakin membuktikan tipisnya rasa kemanusiaan. Bagaimana dengan Anda?<br /><br /><br /> dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat ediai Oktober 2007tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-58164958038831298042008-07-16T10:50:00.000+07:002008-07-16T10:52:15.055+07:00Berharap dari DesaOleh Tri Agus S Siswowiharjo<br /><br />Desa harus jadi kekuatan ekonomi<br />Agar warganya tak hijrah ke kota<br />Sepinya desa adalah modal utama<br />Untuk bekerja dan mengembangkan diri <br /> <br />(Desa, Album Manusia Setengah Dewa, 2004)<br /><br />Salah satu buah dari reformasi di Indonesia adalah desentralisasi pemerintahan. Otonomi daerah di tingkat kabupaten / kota membuat kompetisi antar daerah memakmurkan warganya. Ada yang sukses, ada pula yang terpeleset menjadi ’raja kecil’ yang pada akhirnya melahirkan koruptor, seperti bupati di Kutai Kartanegara dan Temanggung. Sesungguhnya, salah satu kunci sukses suatu daerah adalah bagaimana memakmurkan warga masyarakat desa.<br /><br />Dan yang menjadi kunci maju-mundurnya roda ’pemerintahan’ di suatu desa adalah Kepala Desa. Tak dimungkiri, Pak Kades, kini merupakan jabatan yang tak boleh dianggap enteng apalagi dipandang sebelah mata. Di tangan para Kades-lah para camat dan bupati berharap agar pembangunan berjalan lancar di desa-desa. Posisi Kades menjadi cukup strategis. Di beberapa desa di wilayah yang cukup kaya, pemilihan Kades bahkan tak kalah meriahnya dengan Pilkada bupati atau walikota.<br /><br />Jika dibandingkan dengan era Orde Baru, di mana semua serba ditentukan dari atas, kini pemerintahan desa jauh lebih demokratis. Selain, sejak dulu, telah ada sistem pemilihan langsung yang demokratis, kini desa juga dilengkapi dengan perangkat legislatif semacam DPRD. Jika dahulu Kades menerima tanah bengkok sebagai gaji, kini ada Kades yang telah menerima gaji bulanan yang cukup lumayan, plus berbagai fasilitas misalnya kedaraan roda dua untuk kelancaran tugasnya.<br /><br />Tugas utama Kades adalah melayani warga. Ia adalah pelayan masyarakat, bukan lagi ’ndoro’ yang minta dilayani. Karena itu Kades harus siap membantu warga dalam urusan KTP sampai perizinan ini dan itu. Kades juga harus menjadi jembatan bagi warga dengan pemerintah setempat. Semua kebijakan boleh jadi lebih efektif disampaiakn melalui Kades. Pendek kata, Kades bisa menjadi kaki tangan warga, sekaligus kepanjangan tangan pemerintah setempat.<br /><br />Sebagai jabatan yang di bawahnya langsung berhadapan dengan warga, posisi Kades kadang menjadi bahan tarik-menarik secara politik. Mereka kadang berhimpun dalam Persatuan atau Paguyuban Kades dan mampu menggoyang bupati yang main uang.Di Yogyakarta para Kades berdemo mendesak agar keistimewaan DIY tetap terjaga, di Kabupaten Rembang para Kades diminta meningkatkan perolehan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sementara di Temanggung para Kades mempunyai andil ’menitikkan’ Totok!<br /><br />Kades menjelang dan dan saat Pilkada menjadi rebutan para kandidat yang bertarung.Hal itu sah-sah saja, sejauh tugas-tugas melayani warga tetap berjalan lancar, dan tak menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi warga memilih salah satu kandidat, apalagi dengan paksaan atau politik uang.<br /><br />Zaman telah berubah. Para Kades kini menjadi motor penggerak pembangunan desa. Pembangunan dari bawah ke atas mensyaratkan pemimpin desa yang inovatif dan kerja keras. Dan kita sebagai warga patut memberi penghargaan bagi mereka. Kita tentu sependapat dengan Iwan Fals. Bahwa Desa adalah kenyataan/ Kota adalah pertumbuhan /Desa dan kota tak terpisahkan/ Tapi desa harus diutamakan.<br /><br />Dimuat di buletin komunitas temanggung: Stanplat edisi Januari 2008tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-81882856754456851232008-07-16T10:45:00.000+07:002008-07-16T10:47:46.248+07:00Pelayanan Publik di Era OtonomiOleh Tri Agus s Siswowiharjo<br /><br />Salah satu buah reformasi adalah desentralisasi pembangunan. Otonomi daerah di tingkat kabupaten / kota bisa menjadi berkah, namun bisa juga menjadi musibah. Tentu ini tergantung bagaimana pejabat mengelola daerahnya. Ia bisa menjadi raja-raja kecil di daerah, tak jarang bisa juga menjadi pahlawan lokal. Yang pasti, kini berbagai daerah berlomba meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dengan berbagai inovasi. Banyak Peraturan Daerah (Perda) dibuat, tapi ada yang justru bertentangan dengan pemerintah pusat, bahkan membuat investor enggan datang. Bagaimana mengelola Temanggung sebagai daerah yang bersahabat dengan para investor?<br /><br />Barangkali kisah sukses beberapa daerah berikut patut dipelajari. Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi sukses mempromosikan anti-korupsi dan meningkatkan efisiensi kerja di kantor pemerintahan, Gubernur Papua, Barnabas Suebu dengan program desa mandiri, Bupati Sragen, H. Untung Wiyono berhasil melakukan terobosan pelayanan masyarakat dengan menggunakan teknologi informasi, dan Bupati Jembrana, I. Gede Winasa patut dicontoh karena memberikan pelayanan masyarakat dengan gratis dan cepat (kependudukan, pendidikan, kesehatan dan transportasi).<br /><br />Memberikan kemudahan pembuatan perizinan dan kepastian hukum berusaha adalah kuncinya. Investor tentu tak hanya datang dari luar Temanggung, tetapi juga dari kabupaten sendiri. Mereka yang berani menginvestasikan modalnya untuk bisnis dan diharapkan menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan daerah harus dilayani dengan khusus kalau tak ingin mereka lari keluar daerah. Perilaku lama dengan banyak meja yang harus dilewati serta adanya uang sogokan, jelas sudah bukan zaman lagi.<br /><br />Pelayanan publik di Kabupaten Jembrana sebelum 2003 cukup memprihatinkan. Perlu waktu lama dan tidak luput dari pungutan liar, sehingga menimbulkan diskriminasi pelayanan. Banyak meja yang harus dilalui, ketidakpastian waktu dan biaya pangurusan perijinan. Selain itu, kurangnya sosialisasi tentang prosedur pengajuan perijinan berdampak pada rendahnya pengurusan perizinan oleh masyarakat. Akibatnya tingkat pencapaian potensi penerimaan Daerah dari sektor pajak dan retribusi daerah menurun.<br /><br />Kalau Jembrana dan Sragen bisa tentu Temanggung juga bisa. Kuncinya adalah keseriusan pejabat Pemkab Temanggung melayani para investor, dan juga rakyat biasa lainnya dalam mengurus segala perizinan pendirian dari CV, PT, IMB sampai SIUP. Semakin sedikit pintu dan meja yang dilalui sudah barang pasti makin baik hasilnya. Pertanyaannya kini mampu dan maukah para pejabat Temanggung melakukan terobosan yang menguntungkan publik?<br /><br /><br /> dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplattassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-50032491449854237092008-07-16T10:43:00.001+07:002008-07-16T10:45:31.035+07:00Peduli Lingkungan Sebagian dari ImanResensi buku oleh Tri Agus S. Siswoiharjo<br /><br />Judul : Fikih Lingkungan<br /> Paduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan<br />Penulis : Prof. Dr. Mujiyono Abdillah, M.A.<br />Cetakan : I, Mei 2005<br />Penerbit : UPP AMP YKPN, Yogyakarta<br />Tebal : x + 124 halaman<br /><br />Desember 2007 ini Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan internasional membicarakan isu perubahan iklim dunia di Bali. Perhelatan yang dihadiri 50 negara ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkantor di pulau Dewata selama konperensi berlangsung. Ini membuktikan Indonesia sangat serius menangani masalah lingkungan. Namun, benarkah masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam telah berwawasan lingkungan?<br /><br />Buku karya wong Temanggung ini mungkin bisa sedikit membuka wawasan alternatif kita tentang pelestarian lingkungan dengan pendekatan spiritual Islam. Pendekatan alternatif ini melengkapi pendekatan yang selama ini telah ada yakni pendekatan ilmiah, pendekatan politis, pendekatan sosial, pendekatan budaya, sampai pendekatan teknologi. Karena masyarakat beragama cenderung primordial sehingga pemimpin agama – kyai, da’i atau muballigh - selalu ditaati fatwanya dan diikuti perilakunya untuk pengembangan kesadaran lingkungan.<br /><br />Islam memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam dan lingkungan merupakan daya dukung lingkungan bagi manusia. Sebab fakta spiritual menunjukkan bahwa Allah swt. Telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, secara yuridis fiqhiyah berpeluang dinyatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam status hukum pelestarian alam hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dua pendekatan yakni ekologis dan spiritual fiqhiyah Islamiyah. (hal 12). Dalam Al Quran banyak ditemui ayat yang secara eksplisit mengenai pelestarian lingkungan. Tugas para pemuka Islam adalah selalu mengatakan kepada umat bahwa pelestarian lingkungan adalah sebagian dari iman.<br /><br />Menurut Mujiyono fikih lingkungan merupakan seperangkat aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim yang ditetapkan oleh yang berkompeten berdasarkan teks syar’i dengan tujuan untuk mencapai kemashalahatan bersama dan melestarikan lingkungan. Misi fikih lingkungan adalah menjadi perekayasa sosial masyarakat Islam yang memiliki kearifan lingkungan memadai, ecological Islamic law as ecological wisdom of muslim society engineering, sekaligus menjadi pengawas kesadaran ekologis masyarakat Islam, ecological Islamic law as ecological conciousness of muslim society control. (hal 59)<br /><br />Fikih lingkungan masih memerlukan bukti kehandalannya dalam praktek hidup masyarakat kita sehari-hari. Pemerintah yang mengaku telah serius menangani masalah lingkungan namun tiap tahun kita masih menghadapi problem yang sama di bidang lingkungan. Pembalakan dan pembakaran hutan yang asapnya mencemari negara-negara tetangga, banjir dan longsor tiap musim hujan, kekeringan dan kebakaran saat kemarau, serta udara yang makin kotor dan panas. Mampukah fikih lingkungan menghambat semua kerusakan lingkungan di tanah air yang kian parah?<br /><br />Tampaknya jawabannya setali tiga uang dengan pertanyaan mampukah spriritual Islam memberantas korupsi. Banyaknya masjid dan pesantren berdiri, partai Islam tumbuh bak jamur di musim hujan, makin banyak perempuan menggunakan jilbab, kelompok radikal Islam makin marak di mana-mana, perda-perda syariat mengepung dari desa ke kota, semua itu tak mampu mengubah perilaku orang Indonesia yang mayoritas Islam tetap korup dan menjadi negara paling korup papan atas di dunia. <br /><br />dimuat di media komunitas: Stanplattassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-17736847270461624682008-07-16T10:41:00.000+07:002008-07-16T10:43:10.790+07:00Orang Miskin Boleh SakitOleh: Tri Agus s. Siswowiharjo<br /><br /> Tujuan pembangunan bidang kesehatan antara lain untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap orang sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kesehatan masyarakat yang mantap dapat dilihat dari menurunnya angka kematian kasar, kematian bayi, dan kematian akibat berbagai macam penyakit menular, serta meningkatnya umur harapan hidup.<br /><br />Sampai saat ini tujuan mulia itu belum tercapai. Masih jauh panggang dari api. Kesehatan masih menjadi barang mahal. Pada awal tahun ini sebanyak 600 anak usia enam bulan hingga lima tahun di Temanggung, mengalami kurang gizi. Kendati belum termasuk dalam kategori gizi buruk, kesehatan mereka sudah harus mendapatkan perhatian karena memiliki berat badan yang kurang dari standar. Jika dibiarkan, maka mereka pun nantinya juga akan rentan menderita gejala berbagai penyakit. Data ini didapatkan dari hasil survei pada tahun 2006, yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap sekitar 60.000 anak usia enam bulan hingga lima tahun di 20 kecamatan di Kabupaten Temanggung.<br /><br />Kasus kekurangan gizi di Temanggung adalah satu contoh betapa negara gagal dalam menjamin kesehatan rakyatnya. Sungguh ironi, Temanggung yang subur namun sebagian bayi dan anak-anaknya menderita. Bidang kesehatan, seperti juga pendidikan, sering kali dinilai sebagai beban bagi pemerintah, padahal hanya dengan rakyat yang sehat dan cerdas dijamin bangsa ini maju. Anggaran pendidikan 20 persen dari APBN (sesuai undang-undang) belum terpenuhi sehingga pendidikan gratis untuk seluruh rakyat masih sekadar cita-cita. Begitu juga anggaran kesehatan belum menjangkau ketersediaan puskesmas yang menyediakan dokter dan obat-obatan murah untuk rakyat. Sehat itu memang (masih) mahal.<br /><br />Kesehatan memang erat kaitannya dengan pendidikan. Kesadaran untuk berInvestasi pada pendidikan dan kesehatan adalah jaminan kesuksesan masa depan. Jika negara belum mampu menjamin pendidikan murah dan obat murah, maka rakyat harus pandai-pandai mengelola keuangan yang minim demi sekolah dan biaya kesehatan. Yang terjadi sering sangat ironis. Ada antrian panjang untuk menerima dana BLT namun para pengantri yang miskin tersebut terlihat merokok. Ada juga banyak rumah yang terlihat mewah lengkap dengan barang elektroniknya, namun menyatu dengan kandang sapi atau ayam.<br /><br />Orang miskin dilarang sakit. Begitu judul sebuah buku yang tampaknya masih sangat relevan karena biaya kesehatan masih mahal. Namun celakanya orang miskin tak cukup cerdas menjaga kesehatannya dirinya dan lingkungan sekitar, seperti contoh di atas. Karena itu harus ada kewajiban negara menyediakan anggaran yang cukup (dan tak dikorupsi) untuk kesehatan yang menjangkau seluruh pelosok negeri. Di samping itu harus ada kesadaran akan kesehatan bagi orang miskin. Jika antara negara dan rakyat menyadari peran masing-masing, maka jangan takut “orang miskin boleh sakit”.<br /><br /> dimuat di buletin komunitas Temanggung: Stanplattassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-57723274679471848942008-07-16T10:38:00.000+07:002008-07-16T10:40:54.999+07:00Kegagalan Negara Menghentikan Pemiskinan PetaniOleh: Tri Agus S. Siswowiharjo<br /><br />Kemiskinan menurut perspektif ekonomi adalah suatu kondisi di mana pendapatan suatu penduduk atau rumah tangga tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar, pendapatannya terlalu rendah sehingga tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Dari sisi budaya, kemiskinan lebih ditentukan oleh pola perilaku masyarakat miskin, seperti pola hidup subsisten, konsumtif, dan etos kerja rendah. Sementara dari sudut pandang sosial, kemiskinan terjadi karena struktur sosial yang tidak berpihak pada orang miskin. Dengan demikian mereka tersisih akibat terisolasi terhadap akses ekonomi, sosial, dan politik (struktural).<br /><br />Petani Indonesia, kini menghadapi proses pemiskinan. Kondisi petani ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Anjloknya harga gabah membuat mereka kian terpukul, karena hasil panen juga digunakan untuk menutupi biaya produksi serta sewa lahan yang kian mahal. Akibatnya, meskipun hasil panen padinya lumayan, pendapatan yang diterima petani penggarap belum mampu mengangkat mereka dari kubangan kemiskinan. Kondisi yang terus dibiarkan ini seolah menjelma menjadi proses pemiskinan terhadap petani.<br /><br />Mengapa kebijakan pertanian kita tak menguntungkan para petani? Kebijakan pangan mencakup tiga elemen pokok meliputi pasokan (supply), distribusi dan konsumsi pangan. Diperlukan berbagai upaya agar ketiga elemen tersebut dapat terintegrasi sehingga dapat menjamin kontinuitas akses terhadap kecukupan pangan bagi masyarakat yang ada di dalam suatu negara. Kebijakan pangan diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan mendukung ketahanan pangan suatu negara. Dari sisi pasokan misalnya, salah satu instrumen kebijakan yang diterapkan adalah kebijakan harga (price policy). Melalui Inpres No 3 Tahun 2007 tentang kebijakan perberasan, ditentukan bahwa HPP (Harga Pembelian Pemerintah) untuk beras sebesar Rp 4.000/kg dan gabah kering giling (GKG) sebesar Rp 2.600/kg. Dalam Inpres tersebut juga diatur untuk GKG yang akan dibeli Bulog harus memenuhi syarat yaitu kadar air maksimumnya 14 persen dan butir hampa/kotoran maksimum 3 persen. Dalam praktiknya, tidak mudah bagi petani memenuhi persyaratan tersebut. Ini dikarenakan sedang musim hujan, bahkan di beberapa daerah dilanda banjir.<br /><br />Pemerintah tampaknya tak mampu berbuat banyak karena sistem ekonomi pasar global telah mencengkeramnya. Ini adalah konsekuensi tunduknya ekonomi Indonesia pada mekanisme kapitalisme global. Tata ekonomi global yang berlaku sekarang ini dapat diidentifikasikan sebagai sistem ekonomi kapitalistik. Sistem tersebut memiliki jaringan internasional, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Sistem ini selalu menciptakan hubungan internasional yang tidak seimbang antara negara maju (pusat) dan negara yang sedang berkembang (pinggiran). Pusat selalu berupaya untuk bersahabat dengan para penguasa di negara pinggiran, untuk memperkuat penguasaan “pusat terhadap pinggiran”. Sehubungan dengan itu, perusahaan multinasional yang mendalangi ekonomi kapitalis memainkan peranan besar dalam menguras kekayaan negara sedang berkembang. Dalam kapitalisme, tujuan produksi yang pertama adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan mengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Ideologi pertumbuhan ekonomi tampaknya sudah menjadi “agama” baru dalam zaman modern ini. Hukum penawaran dan permintaan serta hukum pasar bebas (diteguhkan dalam perjanjian GATT/WTO) menjadi dewa penentu tanpa adanya suatu intervensi.<br /><br />Globalisasi telah mengguncang sektor pertanian kita, termasuk di Temanggung. Petani tak mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan yang makin tinggi, memaksa petani menjual lahannya dan beralih menjadi buruh serabutan di kota-kota. Lahan petani makin sempit, membuat petani bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kecenderungan kemerosotan usaha tani menjelma menjadi proses pemiskinan petani. Sesuatu yang seharusnya bisa dicegah pemerintah, dan kenyataannya pemerintah hanya bisa diam seribu bahasa.<br /><br />dimuat di buletin komunitas Temanggung: Stanplattassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-41300504108777343442008-07-16T10:34:00.000+07:002008-07-16T10:38:14.960+07:00Eit..Temanggung Kena AIDSOleh : Tri Agus s. Siswowiharjo<br /><br />HIV/AIDS yang selama ini mungkin kita bayangkan hanya menimpa kalangan berperilaku seksual berganti-ganti pasangan di kota-kota besar, ternyata kini di depan mata kita, Temanggung. Tak bisa dimungkiri, mobilitas masyarakat Temanggung cukup tinggi. Mereka, para pelajar, mahasiswa, pekerja dan pengusaha, bisa di mana saja dan kapan saja beraktivitas. Bisa di Semarang, Jogyakarta, Jakarta, Batam, Bali, bahkan sampai luar negeri. Namun, ada di antara mereka berperilaku berisiko tertular AIDS. Tentu saja, yang menjadi masalah bukan pada "kelompok" mana tetapi pada "perilaku" yang berganti-ganti pasangan. Contoh cukup menarik terjadi di Papua. Ada tentara, polisi bahkan pendeta terinfeksi virus AIDS. Bisa karena perilaku mereka yang memang menyimpang, tetapi juga karena ’kecelakaan’ terinfeksi karena penggunaan alat-alat tranfusi darah yang tercemar.<br /><br />Virus tak mengenal profesi. Karena itu, siapa saja bisa terinfeksi virus paling berbahaya ini. Masyarakat Temanggung yang selama ini kita kenal adem ayem dan tidak neko-neko ternyata ada juga yang terinfeksi AIDS bahkan dalam jumlah yang cukup mengkhawatirkan. Apa yang selama ini kita lihat di televisi, kini kita bisa temukan di tetangga atau keluarga kita. Temanggung telah terinfeksi HIV. Sebagai warga Temanggung yang tinggal bersama mereka, apa yang harus kita lakukan saat ini ketika sudah pasti AIDS ada di sekitar kita?<br /><br />Kita masih ingat slogan zaman dahulu, lebih baik mencegah daripada mengobati. Upaya pencegahan tetap lebih baik dan cost-effective dibandingkan dengan upaya pengobatan. Kampanye bagaimana mencegah AIDS bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk untuk kelompok remaja-mahasiswa perlu terus dilakukan. Sementara itu, pemberian ionformasi yang benar bagaimana hidup dengan mereka yang sudah terinfeksi virus AIDS juga tak kalah pentingnya. Penderita AIDS juga manusia. Mereka warga Temanggung, mereka keluarga kita.<br /><br />Adalah perilaku yang amat kejam jika kita menambah derita mereka dengan menganggapmereka sampah dan perlu dijauhi. Pemberian semangat hidup kepada mereka yang sudah terinfeksi AIDS adalah obat yang tak kalah ampuh dari obat itu sendiri.<br /><br />HIV/AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat. Tak peduli umur, jenis kelamin, ras, agama dan status sosial. Hanya mereka yang berperilaku menyimpang dan sembrono menggunakan alat-alat tercemar, berisiko terinfeksi virus maut ini. Karena itu pendekatan yang paling tepat adalah melalui kampanye hidup sehat dan berperilaku tak menyimpang. Bagaimana caranya?<br /><br />Tidak berganti-ganti pasangan seksual. Pencegahan kontak darah, misalnya pencegahan terhadap penggunaan jarum suntik yang diulang. Dengan formula A-B-C. Abstinentia artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Be Faithful artinya jika sudah menikah hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja. Condom artinya pencegahan dengan menggunakan kondom.<br /><br />dimuat di buletin komunitas Temanggung: Stanplattassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-65772528272464261862008-07-16T10:18:00.000+07:002008-07-16T10:23:48.763+07:00Coup '65: PKI, FPI & IFCOleh: Tri Agus S. Siswowiharjo<br /><br />Empat puluh tahun sudah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Paska<br />peristiwa Gerakan 30 September (G30S), ribuan bahkan jutaan orang yang diduga anggota atau<br />simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai. Sementara itu ribuan orang digiring dan dibuang ke penjara-penjara tanpa proses pengadilan. Negara yang seharusnya melindungi warganya telah gagal, bahkan membiarkan atau merekayasa pembantaian itu. Apa yang terjadi empat puluh tahun lalu kini terulang. Sekelompok masyarakat atas nama Tuhan dan Islam menyerang kelompok lain yang berbeda keyakinan.<br /><br />Minggu lalu Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta menolak gugatan perwakilan (class action)<br />yang diajukan korban terhadap para mantan Presiden Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid,<br />Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hakim memutuskan menolak gugatan korban karena apa yang terjadi pada waktu itu (pembantai dan pemenjaraan) adalah kebijakan negara sehingga gugatan itu selayaknya diajukan melalui pengadilan tata usaha negara.<br /><br />Pada sidang-sidang gugatan class action hingga vonis dijatuhkan, para penggugat yang umumnya<br />usianya telah lanjut, selalu diteror oleh massa organisasi Islam. Mereka yang umumnya anak muda itu seperti melanjutkan para orang tua atau seniornya yang empat puluh tahun lalu membantai orang yang diduga anggota atau simpatisan PKI. Siklus kekejaman, tidak toleran secara turun-temurun terhadap pemeluk atau penganut keyakinan lain, kembali berulang. Kali ini menimpa warga Ahmadiyah dan pemeluk Kristen. Beberapa masjid, rumah dan kampus Ahmadiyah dirusak bahkan dijarah massa atas nama Tuhan. Sementara dengan dalih Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, beberapa ‘gereja’ di Jawa Barat ditutup secara paksa oleh massa Islam, termasuk FPI.<br /><br />Bersamaan peringatan 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965, Sekretatis Jenderal Iraq Freedom<br />Congress (IFC) datang ke Jakarta. Tamu dari Irak barangkali bisa memberi pelajaran kepada kita tentang dunia yang majemuk dan plural. Berita yang selama ini kita dengar tentang Irak melalui media massa adalah pertempuran antara kelompok fundamentalis dan pemerintahan boneka Amerika Serikat di sana. Seolah-olah hanya ada dua kekuatan besar yang bertempur yaitu AS dan sekutu melawan kelompok-kelompok Islam fundamentalis yang ingin mengusir tentara penjajahan.<br /><br />Opini dunia yang coba digiring oleh AS “with us or against us” seakan memperoleh bukti di Irak.<br />Di Iraq saat ini sedang tumbuh kekuatan-kekuatan masyarakat sipil yang juga ingin mengusir tentara pendudukan AS dan sekutunya, namun juga sama sekali tidak menghendaki Irak jatuh ketangan kelompok-kelompok Islam garis keras. Maret lalu kelompok masyarakat sipil ini mendeklarasikan pembentukan IFC yang dimotori oleh serikat-serikat buruh, kelompok-kelompok perempuan, gerakan mahasiswa, intelektual, seniman, wartawan dan berbagai unsur masyarakat lainnya termasuk dari kalangan komunis. Mereka diikat oleh sebuah cita-cita yang sama yaitu Irak yang merdeka, sekuler, non etnis, independen dan demokratis. Mereka berjuang menegakkan kedaulatan rakyat Irak yang bebas dari kekuasaan AS dan sekutunya, dan dari kekuatan-kekuatan Islam garis keras.<br /><br />Kedatangan aktivis dari IFC ini bermaksud ingin mengabarkan bahwa suara yang menghendaki<br />pemerintahan demokratis sebagai reperesentasi dari rakyat Irak ternyata eksis. Mereka ingin<br />membangun hubungan baik dan kerja sama dengan gerakan-gerakan rakyat di Indonesia. Indonesia dan Irak mempunyai pengalaman pernah dikuasai oleh rezim otoriter militeristik seperti pada zaman Soeharto dan Sadham Husein.<br /><br />Cukup beruntung bagi Indonesia, kini bisa menghirup sistem demokrasi bahkan mempunyai presiden yang dipilih rakyat secara langsung. Rakyat Irak masih berjuang menentang hegemoni tentara pendudukan AS dan Islam fundamentalis. Namun ancaman terhadap demokrasi di Indonesia kini ada di sekeliling kita. Penyerangan terhadap Ahmadiyah, Nasrani dan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan beberapa contoh. Seorang kawan aktivis perempuan (ber-KTP Islam) yang menemani tamu dari IFC mengatakan, “Kalau Indonesia jatuh ke tangan fundamentalis Islam, hanya ada dua pilihan – pindah warga negara atau pindah agama. Dan saya siap pindah agama!”<br /><br />Sumber, ip : Paras Demokrasi, September, 30 2005 @ 05:35 pm<br /><br />By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Coup '65<br />http://www.laksamana.net/read.php?gid=94<br />http://www.progind.net Thursday, 24/Apr/2008 20:34 / Page 2tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-87556096696844875472008-06-30T12:42:00.000+07:002008-06-30T12:57:37.951+07:00CITRA MANTAN TNI SEBAGAI KANDIDAT PRESIDEN RIOleh: Tri Agus S. Siswowiharjo<br /><br />Pendahuluan:<br /><br />Salah satu pekerjaan rumah perjuangan reformasi sejak digulirkan pada tahun 1998 adalah mereposisi peran Tentara Nasional Indonesia (TNI). TNI diarahkan menjadi profesional sebagai kekuatan pertahanan, tak bermain di ranah politik dan berada di bawah supremasi sipil. Upaya-upaya membangun TNI profesional dan supremasi sipil ditempuh melalui semua cara di tingkat legislasi dan institusi. Meski demikian, arah yang sudah cukup bagus tersebut ternyata masih terkesan lamban.<br /><br />Menjadikan TNI sebagai tentara profesional ternyata juga merupakan cita-cita Panglima Besar Jenderal Soedirman. Jenderal asal Purbalingga itu juga telah meletakkan dasar penting ke arah terwujudnya tentara profesional. Menjauhi ranah politik dengan kepatuhan kepada otoritas sipil pada masa itu dan pilihan hidup sederhana bersama rakyat yang selalu dibela, menjadikan perjuangannya dikenang hingga kini. Cita-cita Soedirman jika saat ini dijabarkan lebih lanjut berarti tentara tidak berpolitik, tidak berbisnis, taat kepada hukum lokal, nasional, dan internasional, patuh kepada otoritas sipil yang berdaulat, dan menghargai hak asasi manusia. Tentu itu semua memerlukan ongkos sosial politik yang tak kecil. Negara harus memenuhi dan melengkapi kebutuhan TNI, peralatan atau alutsistanya, ataupun kebutuhan untuk menjadi tentara yang terlatih dan terampil dalam tugas, terutama jaminan kesejahteraan prajuritnya.<br /><br />Pada pidato peringatan Hari TNI 5 Oktober 2007 lalu, Presiden Susilo<br />Bambang Yudhoyono menginstruksikan agar semua jalan baru bagi TNI<br />untuk terlibat dalam dunia politik ditiadakan. Keadaan ini, menurut Cornelis Lay, dosen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada amat berbeda dengan masa Orde Baru, di mana perwira TNI memang diproyeksikan menjadi tentara bisnis atau politik. Kebijakan tentara politik membuat banyak perwira berpangkat letnan kolonel atau kolonel yang menjadi kepala daerah tingkat II. Sedangkan mantan Panglima Kodam (Pangdam) biasanya menjadi gubernur. Tentara bisnis terlihat dari banyaknya perwira TNI yang menjadi komisaris berbagai perusahaan.<br /><br />Politik Orde Baru yang sentralistik dan otoritarian membuat kebijakan "tentara politik dan tentara bisnis" itu dapat dengan mudah dijalankan. Apalagi pada saat yang sama, aktivitas politik masyarakat sipil juga dibatasi dengan politik massa mengambang. Selanjutnya, kebijakan itu membuat para purnawirawan dianggap lebih siap memegang jabatan politik dibandingkan orang sipil.<br /><br />Sekarang situasi sudah berubah. Pemilihan kepala daerah dan presiden yang sebelumnya dilakukan oleh DPRD atau MPR, sekarang dilaksanakan secara langsung. Kondisi ini membuat popularitas seorang calon di mata masyarakat menjadi amat penting bagi pemenang dalam pemilu atau pilkada. Saat yang sama, reformasi TNI membuat kesempatan para perwira saat ini untuk diperhatikan masyarakat menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan para seniornya ketika mereka menduduki jabatan penting di era Orde Baru. Sebab, reformasi TNI telah membatasi kiprah mereka dalam bidang sosial dan politik.<br /><br />Kondisi ini menyulitkan para perwira TNI yang baru menyelesaikan tugasnya di kemiliteran pada era reformasi ketika akan terjun ke politik praktis. Sebab, mereka tidak memiliki banyak waktu untuk mengenalkan diri di masyarakat dan merintis karier serta keterampilan berpolitik praktis seperti yang dahulu dialami para seniornya. Namun, waktu akan membuat kiprah para purnawirawan yang sudah dikenal sejak saat-saat akhir Orde Baru itu semakin berkurang. Peran mereka pada 2009 diperkirakan tidak akan sekuat 2004 dan pada 2014 tidak akan sekuat 2009.<br /><br />Betulkah demikian? Tentu belum bisa kita pastikan, karena ada beberapa sebab yang membuat prediksi di atas meleset. Pertama, politisi sipil ternyata belum terlalu siap berdemokrasi atau kurang percaya diri, sehingga masih saja berusaha menyeret TNI dalam ranah politik, meski hanya sekadar dukungan moril. Para purnawirawan jenderal justru menjadi incaran partai politik, tak peduli yang mengaku berideologi nasional atau Islam Kedua, sistem politik kita makin memungkinkan seseorang purnawirawan baik yang telah mempunyai partai politik sendiri atau pun belum, mempersiapkan diri menjadi presiden Republik Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, Sutiyoso, dan Prabowo Subijanto adalah beberapa nama mantan jenderal TNI yang masuk bursa calon presiden pada 2009.<br /><br /><br />Permasalahan:<br /><br />Makalah ini membahas mengenai citra dan popularitas mantan jenderal TNI. Banyak topik yang bisa dibahas di sini, namun makalah ini harus fokus pada satu topik yang berkaitan dengan pemasaran politik (political marketing). Karena itu sengaja dipilih permasalahan; Mengapa mantan purnawirawan militer masih mendapat tempat di hati para pemilih di Indonesia? Bagaimana peluang mantan jenderal TNI pada pemilihan presiden RI 2009? Masihkah citra dan popularitas mereka tetap stabil sampai menjelang hari pencoblosan?<br /><br /><br />Pembahasan:<br /><br />Sebelum membahas lebih lanjut tentang citra dan peluang mantan TNI dalam pentas politik pemilu 2009, ada baiknya menengok sebentar sejarah kekaryaan TNI (dulu ABRI). Dari kilas balik ini kita akan mengetahui pengalaman kalangan TNI di pentas politik di masa lalu meski sistem politik waktu itu belum demokratis seperti sekarang ini.<br /><br />Istilah kekaryaan pertama kali muncul sekitar 1958, ketika terjadi nasionalisasi perusahaan swasta Belanda dan Inggris. AH Nasution yang waktu itu sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, berinisiatif untuk mengambil tindakan strategis. Langkah ini dilakukan karena Partai Komunis Indonesia (PKI) mencoba merebut posisi-posisi kosong di perusahaan swasta tersebut. Beberapa perwira segera ditempatkan sebagai manajer menggantikan orang Belanda. Saat itu, lahirlah apa yang disebut dengan “Operasi Kekaryaan TNI”.<br /><br />Dalam Seminar TNI AD III tahun 1972, muncul sebuah kesepakatan mengenai motivasi dan intensitas hadirnya peran kekaryaan TNI-ABRI dalam kehidupan politik di Indonesia. Forum sepakat untuk menegaskan peran kekaryaan ABRI terdorong untuk mengamankan dan menyelamatkan kemerdekaan, kedaulatan dan integritas RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Intensitas kekaryaan dipandang terkait dengan tingkat dan luasnya ancaman terhadap nilai-nilai nasional.<br /><br />Pada masa menjelang dan setelah peristiwa G30S, ABRI mengambil inisiatif dengan menempatkan perwira TNI pada jabatan sipil yang kosong. Maka tak heran kalau jabatan gubernur, bupati, duta besar, menteri, dan jabatan-jabatan puncak di banyak departemen banyak diisi oleh perwira TNI. Sementara itu peran sipil hanya diposisikan sebagai pendukung. Dasar pemikiran kekaryaan adalah untuk memberikan peluang bagi personel TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil, tetapi dengan syarat apabila mereka dibutuhkan atau diminta oleh pihak nonmiliter dan mendapat persetujuan dari pimpinan TNI. Semua dilakukan menurut mekanisme yang berlaku pada setiap jabatan.<br /><br />Pada masa Ord Baru, salah satu wujud fungsi TNI sebagai kekuatan sosial politik adalah dengan menugaskan prajurit dalam lembaga pemerintah di luar militer. Maka tidaklah aneh jika di setiap lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif banyak ditemukan tentara yang menduduki jabatan penting. Menduduki suatu jabatan penting bukan otomatis sebagai pengambil keputusan. Karena, mereka masih harus selalu berkoordinasi dengan pimpinan TNI. Maka, bukan suatu yang aneh ketika soal perizinan, kontrak bisnis, dan keputusan tender pun harus melalui jalur birokrasi di tubuh TNI.<br /><br />Jumlah personel TNI yang terjun dalam tugas kekaryaan mengalami pasang surut. Pada tahun 1968, 34 persen jabatan menteri dipegang TNI. Persentasi ini menyusut pada tahun 1995, yang tinggal 24 pesen. Untuk jabatan gubernur pada awal pemerintahan Orde Baru, 70 persen dijabat oleh militer, sedangkan pada 1995 masih menyisakan 40 persen. Begitu pula dengan jabatan duta besar, pada tahun 1968 sekitar 44 persen jabatan diisi oleh tentara, dan 27 tahun kemudian tinggal 17 persen.<br /><br />Lain halnya dengan kedudukan militer di lembaga legislatif. Tahun 1960, 12 persen dari 283 anggota DPR Gotong Royong berasal dari lingkungan militer. Meski demikian pada tahun 1967 jumlah anggota TNI di legislatif mencapai 43 orang. Setahun kemudian jumlah anggota militer di parlemen mencapai 75 orang. Melalui UU Nomor 2 Tahun 1985 komposisi anggota TNI di DPR menjadi 100 orang.<br /><br />Pada era reformasi, segala bentuk penyimpangan dalam tugas kekaryaan yang merupakan perwujudan dari salah satu dwifungsi ABRI mulai terkuak. Peran sosial politik yang dirasa dominan makin mendapat sorotan yang pada akhirnya adanya tuntutan untuk penghapusan dwifungsi ABRI. Salah satu reaksi dari TNI adalah dengan melikuidasi jabatan kepala sosial politik dan menggantinya menjadi kepala staf teritorial. Secara kuantitas, anggota TNI yang yang di legislatif dikurangi menjadi 38 personel.<br /><br />Panglima TNI Wiranto mengeluarkan perintah kepada sekitar 4.000 perwira yang menduduki jabatan sipil untuk memilih pensiun dini dan tetap di jabatan sipilnya atau kembali ke Mabes TNI. Kemudian pada tahun 2000, 127 jenderal aktif mendadak dipensiunkan. Hal ini merupakan dampak dari penyempitan beberapa lembaga pemerintah yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid. Pada akhirnya, TNI harus rela bahwa untuk urusan politik praktis di parlemen diserahkan sepenuhnya kepada kalangan sipil. Meskipun harus tetap diakui bahwa peranan purnawirawan militer masih cukup kentara di lembaga legislatif ini.<br /><br />Komposisi Militer di Jabatan Pemerintahan (dalam persen)<br />Jabatan 1968 1995 2002<br />Kabinet 34 24 20<br />Gubernur 70 40 28<br />Duta Besar 44 17 12<br /><br />(Kompas, 16 Agustus 2004)<br /><br />Komposisi Militer Aktif dan Purnawirawan dalam Jabatan Pemerintahan (dalam persen)<br />Tahun 1968 1995 2002 (purnawirawn<br />Kabinet 30 24 20<br />Gubernur 70 40 28<br />Duta Besar 44 17 12<br /><br />(Kompas, 16 Agustus 2004)<br /><br />Setelah sempat terpuruk akibat citra buruknya, kandidat presiden dengan latar belakang militer mulai dinantikan kehadirannya pada menjelang pemilu 2004. Cerminan ketegasan, dan kedisiplinan, tampaknya diperlukan untuk menghadirkan perubahan pada kondisi bangsa.<br /><br />Pemilu legislatif 5 April 2004 rupanya bukan hanya menghasilkan perubahan peta kekuatan partai politik baru, tetapi juga mengubah persepsi sebagian besar publik perkotaan terhadap calon pemimpin mendatang. Sosok pemimpin yang berlatar belakang militer dan akademisi menjadi harapan yang ingin diwujudkan.<br /><br />Jajak Pendapat 2004<br /><br />Hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 6-8 April 2004 di 32 ibu kota provinsi menunjukkan mantan tentara masih menjadi idola untuk memimpim negeri ini. Figur berlatar belakang militer ternyata dapat diterima sebagian besar responden (58,7%) untuk menjadi presiden yang dipilih pada tahun itu juga. Setelah mantan tentara, kepercayaan publik dipercayakan kepada tokoh-tokoh politik dari kalangan perguruan tinggi. Menyusul di belakang tentara dan akademisi antara lain agamawan, pengusaha, kemudian tokoh dari keluarga Soekarno dan Soeharto.<br /><br />Munculnya sosok presiden dari kalangan berlatar belakang militer dan akademisi yang terekam dalam benak publik perkotaan pada 2004 tersebut sebenarnya tak berdiri sendiri. Kemunculan pemimpin yang diidamkan sedikit banyak dipengaruhi oleh munculnya dua partai fenomenal yaitu Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mampu bersaing di papan tengah dalam perolehan suara di pemilu legislatif 2004. Fenomena kedua partai tersebut jelas mencitrakan adanya perubahan politik disertai dengan pemimpin yang bersih dari korupsi, disiplin, tertib, dan tegas sehingga diharapkan mampu membereskan berbagai masalah bangsa.<br /><br />Fenomena populernya tokoh berlatar belakan prajurit ternyata bertolak belakang dari kondisi saat reformasi mulai digulirkan pada 1998. Setelah mundurnya Presiden Soeharto, gerakan antimiliter begitu menguat membuat citra TNI benar-benar terpuruk di mata publik. Jajak pendapat Kompas pada 6 September 1998, sebanyak 62 persen responden menilai citra militer buruk. Buruknya citra militer ini pun akhirnya berdampak pada sikap ‘alergi’ publik terhadap tokoh-tokoh politik dari kalangan bersenjata ini. Tak heran apabila penolakan publik terhadap tokoh-tokoh dari militer untuk duduk di struktur lembaga tinggi negara pun cukup tinggi. Saat itu tak kurang 59 persen responden menolak presiden dari militer, baik masih aktif atau purnawirawan. Hanya 35 persen yang masih mengidolakan sosok militer layak memimpin Indonesia pada 1998. Pada jajak pendapat Kompas September 2003, peningkatan citra militer mulai terasa dengan 63 persen responden menilai citra TNI membaik dan berkontribusi pada preferensi masyarakat akan sosok pemimpin negeri ini.<br /><br />Kecenderungan lemahnya kemampuan sipil mengelola republik ini, atau dengan kata lain kegagagalan Presiden B.J. Habibie, Abdurahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri, menjadikan posisi kekuatan militer kembali mendapatkan tempat. Naik turunnya citra TNI dan penerimaan mantan tentara tak lepas dari pandangan ketegasan dan kedisiplinan yang melekat pada tentara, ditambah lemahnya atau kegagalan beberapa tokoh sipil yang telah diberi kesempatan memimpin negeri ini.<br /><br />Dalam pemilu presiden/wakil presiden mendatang, tertarik atau tidak tertarikkah Anda untuk memilih calon presiden yang berasal dari latar belakang:<br />Tertarik Tidak Tertarik Tidak Jawab<br />Militer 58,7 % 21,8 % 19,5 %<br />Akademisi 40,1 % 37,1 % 22,8 %<br />Agamawan 32,6 % 46,8 % 20,6 %<br />Pengusaha 20,7 % 57,3 % 22,0 %<br />Keturunan Soekarno 18,2 % 58,4 % 23,4 %<br />Keturunan Soeharto 13,1 % 63,5 % 23,4 %<br />N: 2.006 (Litbang Kompas)<br /><br />Jakak Pendapat 2007<br /><br />Dikotomi sipil dan militer dalam kepemimpinan nasional memang harus<br />diakhiri. Sebab, yang lebih dipentingkan adalah pemimpin yang kuat dan<br />bukan latar belakangnya. Namun, tetap sulit untuk meninggalkan TNI. Sejarah membuktikan, dari institusi tersebut banyak lahir calon pemimpin.<br /><br />Masyarakat juga masih memberi perhatian besar terhadap calon pemimpin berlatar belakang TNI. Ini terlihat, misalnya, ketika Sutiyoso menyatakan diri akan maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2009, 1 Oktober 2007 lalu. Meski mantan Pangdam Jaya ini belum punya kendaraan politik untuk mewujudkan niatnya, beberapa media massa memberi tempat pada peristiwa itu dan ini merupakan pemasaran politik sendiri bagi Sutiyoso.<br /><br />Besarnya perhatian terhadap kiprah para purnawirawan seiring dengan makin positifnya persepsi masyarakat terhadap kiprah TNI di panggung politik. Hal ini, antara lain, tercermin dalam jajak pendapat Kompas yang dimuat 8 Oktober 2007, di mana sebanyak 46,6 persen responden memilih tokoh militer sebagai presiden dan 43,5 persen lainnya memilih tokoh sipil.<br /><br />Padahal, pada jajak pendapat Kompas tahun 1998, sebanyak 64,1 persen<br />responden menolak kemungkinan militer sebagai presiden. Bahkan, pada<br />jajak pendapat tahun 2000, hanya 5,3 persen responden yang menginginkan jabatan setingkat menteri diduduki purnawirawan TNI.<br /><br />Jika kita dicermati, purnawirawan yang sekarang meramaikan wacana<br />panggung kepemimpinan nasional umumnya para senior Presiden Yudhoyono<br />yang merupakan alumnus Akabri 1973. Mereka juga sudah aktif atau<br />setidaknya namanya mulai disebut di panggung politik sejak Orde Baru.<br />Ini terlihat dari sosok Wiranto dan Sutiyoso yang adalah alumnus Akademi Militer Nasional 1968. Ada lagi sosok yang lebih muda, Prabowo Subijanto. Sedangkan perwira TNI yang memasuki masa purnawirawan atau menduduki<br />jabatan penting pada era reformasi, belum terlalu terdengar di panggung politik. Mereka, misalnya, mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto (alumnus Akabri 1971) atau mantan KSAD Ryamizard Ryacudu (alumnus Akabri 1974).<br /><br />Pada saat yang sama, purnawirawan yang menduduki jabatan penting di<br />daerah, seperti gubernur, juga tampak berkurang. Dari enam provinsi di<br />Pulau Jawa, hanya Jawa Timur yang sekarang dipimpin purnawirawan,<br />yaitu Imam Utomo. Padahal, pada masa Orde Baru, dari lima provinsi<br />yang ada di Pulau Jawa, hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin oleh orang sipil, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono.<br /><br />Jajak Pendapat Januari 2008<br /><br />Bangsa Indonesia mudah sekali lupa. Selain itu juga dikenal sebagai masyarakat yang mudah memaafkan terhadap kesalahan masa lalu seseorang atau institusi. Itulah yang terjadi ketika era reformasi menginjak umur yang ke 10 tahun pada 2008.<br /><br />Penunjukkan dan pengangkatan Mayjen TNI Achmad Tanribali Lamo menjadi Pejabat Sementara Gubernur Sulawesi Selatan pada awal 2008 bisa ditafsirkan beragam. Di satu sisi ada yang menganggap ini merupakan langkah mundur bagi proses demokrasi di Indonesia terutama reformasi di tubuh TNI. Hal ini sekaligus juga menggambarkan ketidakkonsistenan dalam memosisikan TNI. Dulu TNI diminta mundur dari wilayah politik, sekarang diundang masuk.<br /><br />Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah militer memang merupakan pihak yang mampu menyelesaikan konflik, terutama yang mengarah pada kekerasan dan perusakan? Jika memang iya, apakah harus dengan menjabat sebagai kepala daerah dan bukan tetap pada jalur profesionalnya?<br /><br />Terhadap pertanyaan ini, dalam jajak pendapat Kompas, publik di 10 kota yang dijajaki pendapatnya pada 23-24 Januari 2008 lalu menyatakan yakin dengan kemampuan pejabat dari mititer atau TNI yang ditunjuk akan dapat meredakan konflik. Hal ini disampaikan oleh lebih dari separuh responden (62,6 persen). Hanya sepertiga responden (33,5 persen) yang menyatakan tidak yakin militer mampu meredakan konflik. Responden yang berada di wilayah konflik saat ini pun memiliki sikap afirmatif yang sama. Sebanyak 82,5 persen responden di Kota Makassar setuju seandainya anggota militer ditempatkan sebagai pejabat sementara kepala daerah di wilayah konflik pilkada.<br /><br />Namun sikap publik seperti di atas hanya respon sesaat terhadap situasi aktual yang dihadapi di daerah-daerah konflik pilkada. Gagasan ideal masyarakat terhadap reformasi TNI belumlah pupus. Tuntutan agar sipil lebih diutamakan dalam jabatan publik tetap menjadi keinginan yang tertanam kuat. Terbukti, hanya 37,7 persen responden yang menginginkan posisi jabatan kepala daerah dipegang oleh orang berlatar belakang militer. Sebaliknya, 53,6 persen lebih memilih pejabat dari kalangan sipil.<br /><br />Mengapa publik saat ini kian permisif terhadap kehadiran TNI? Sikap afirmatif publik terhadap kehadiran militer tersebut bukan tanpa landasan. Setelah reformasi bergulir, citra TNI semakin baik dalam proses demokrasi di negeri ini. Hal ini disebabkan TNI melepaskan dwifungsi ABRI-nya dengan meninggalkan parlemen dan tidak lagi mengisi jabatan pimpinan di pemerintahan. Citra TNI di mata publik melonjak hampir dua kali lipat dari 31,5 persen pada tahun 1998 menjadi 57,8 persen pada tahun 2001.<br /><br />Secara umum responden jajak pendapat Januari 2008 puas terhadap kinerja TNI (56,6 persen). Kepuasan tertinggi terutama terkait dengan kinerja TNI dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan negara kesatuan RI (61,6 persen) dan peran mereka dalam membantu masyarakat di wilayah yang terkena bencana alam (70,2 persen).<br /><br />Jika kinerja TNI dinilai memuaskan, sebaliknya kepuasan terhadap kinerja dan kepemimpinan dari kalangan sipil masih jauh dari harapan. Sejauh ini publik belum puas dengan kinerja kalangan sipil dalam berbagai hal, baik itu dalam mendukung reformasi dan demokrasi, meningkatkan perekonomian, menjamin keamanan dan ketertiban, meningkatkan pelayanan publik, ataupun menjalankan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Kepuasan yang menurun terhadap kepemimpinan kalangan sipil berpotensi membuka peluang tumbuhnya harapan baru yang diletakkan ke pundak militer.<br /><br />Hasil Jajak Pendapat Kompas<br />“Setuju atau tidak setujukah Anda terhadap langkah pemerintah menempatkan orang berlatar belakang TNI sebagai pejabat kepala daerah di wilayah konflik pilkada?” (dalam persen)<br />Kota Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu<br />Jakarta 69,0 27,9 3,1<br />Yogyakarta 56,4 38,6 5,1<br />Surabaya 71,6 23,6 4,8<br />Medan 65,6 31,3 3,1<br />Padang 87,5 8,3 4,2<br />Banjarmasin 50,0 42,9 7,1<br />Pontianak 66,7 29,2 4,1<br />Makassar 80,7 12,3 7,0<br />Manado 87,0 8,7 4,3<br />Jayapura 76,0 24,0 0<br />Kompas, 4 Februari 2008<br />“Sejauh ini, puas atau tidak puaskah Anda terhadap kinerja dan kepemimpinan dari kalangan sipil dalam beberapa hal berikut?” (dalam persen)<br />Pertanyaan Puas Tidak puas Tidak Tahu<br />Mendukung reformasi dan demokrasi 38,4 58,7 2,9<br />Meningkatkan perekonomian 20,7 78,6 0,7<br />Menjamin Keamanan dan Ketertiban 44,9 53,6 1,5<br />Meningkatkan Pelayanan Publik 45,8 52,7 1,5<br />Menjalankan Pemerintahan Bersih dari KKN 21,8 75,1 3,1<br />Kompas, 4 Februari 2008<br /><br />Meskipun beberapa jajak pendapat menunjukkan bahwa citra TNI makin baik dan pemimpin dari kalangan tentara makin menjadi idola, namun ujicoba di beberapa pilkada tampaknya calon dari kalangan berlatar belakang militer masih belum banyak bersinar.<br />Di beberapa pilkada yang diikuti perwira TNI yang tidak aktif lagi ternyata tak menjamin kemenangan. Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara misalnya, calon dari punawirawan dikalahkan popularitas artis dan kesolidan partai politik. Karena itu, para tetinggi TNI-AD gerah dan membuat pernyataan yang cukup keras. Jangan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah jika tidak siap.<br />"Perwira yang tidak aktif lagi tetap membawa nama baik TNI. Jika memang tidak siap maju ke pilkada, sebaiknya jangan mencalonkan diri karena akan memalukan korps TNI-AD," ujar Kepala Staf TNI-AD (Kasad) Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo.<br />Dalam pilkada yang berlangsung di beberapa daerah, terdapat sejumlah perwira TNI mencalonkan diri, dinyatakan kalah dan itu sangat memprihatinkan. Beberapa mantan perwira yang kalah di pilkada antara lain Agum Gumelar mantan Pangdam VII/Wirabuana, yang gagal dalam Pilkada Jawa Barat. Kasad sudah menginstruksikan kepada Staf Ahli di Mabes TNI-AD untuk mengkaji kekalahan mantan perwira di pilkada, di antaranya kekalahan Mayjen TNI (Purn) Tri Tamtomo, mantan Pangdam Bukit Barisan, yang kalah dalam Pilkada Sumatera Utara. Hasil kajian tersebut nantinya akan menjadi pembelajaran bagi TNI-AD.<br /><br />Citra Tentara Demokratis<br /><br />Ketika para mantan tentara menjadi capres dan cawapres yaitu jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto dan Agum Gumelar, nyaris mereka menghilangkan kesan sebagai purnawirawan alias mantan tentara. Sengaja mereka meminta pangkat ‘jenderal (purn)” tak dicantumkan dan sebaliknya memasang gelar H (haji), DR atau SH. Dalam berbagai pertemuan di depan rakyat maupun media berbagai olah tubuh yang berbau militer sengaja mereka simpan. Susilo Bambang Yudhoyono terkenal dengan gerak tangan saat bicara, tak pernah menunjuk seperti umumnya tentara dengan tongkat komandonya, dan sering mengutip atau menggunakan bahasa asing terutama Inggris.<br /><br />Begitu juga Wiranto, dalam website resminya, ia tampak berpeci sedang menandatangani dokumen, duduk berwibawa, mengesankan sedang bertugas di kursi kepresidenan. Sementara itu Agum Gumelar yang berpasangan dengen Hamzah Haz penampilan fisiknya sportif dan santai. Baik Wiranto maupun Agum seolah menyembunyikan asal-usul mereka dari kalangan tentara yang selama ini dicap sebagai kaku, dan anti-demokrasi.<br /><br />Kesuksesan pasangan SBY-JK memenangkan pemilihan presiden 2004 tentu tak lepas dari latar belakang sosok seorang tentara namun kemudian ditambah predikat intelektual, pemikir, teraniaya, ganteng dan lain-lain. Bersama SBY sekian jenderal ikut mendukung langkahnya menuju RI 1 pada 2004. Tercatat antara lain Moh Ma’ruf, Widodo AS, EE Mangindaan, Sudi Silalahi, Djali Yusuf, dan Suratto Siswodiharjo. Di kubu Wiranto juga ada taburan jenderal seperti Fahrul Razy, Suaidi Marasabessy, Tulus Sihombing, Sonny Sumarsono, dan Nurfaizy. Sementara di gerbong Agum Gumelar ada M. Yunus Yosfiah dan Abdul Wahab Mokodongan.<br /><br />Menurut Ikrar Nusa Bhakti , pengamat politik dari LIPI, calon presiden dari kalangan militer yang melibatkan tim sukses dari kalangan militer lantaran kesamaan almamater dan sebagai keluarga besar TNI. Para capres berharap, terlibatan para purnawirawan mampu membawa gerbong besar mereka di masa lalu. Kelebihan yang diambil dari para prunawirawan adalah penguasaan mereka terhadap medan perpolitikan di Indonesia. Umumnya mereka sebelumnya aktif di bidang sosial politik ABRI. Sehingga mereka paham memperoleh informasi dan memanfaatkannya untuk propaganda.<br /><br />Kelebihan yang hendak diperoleh dari para purnawirawan itu adalah efektifnya pelaksanaan tugas dengan sistem komando. Dari atas hingga bawah, terdapat satu bahasa yang dapat sama-sama dipahami untuk kemudian diterjemahkan pelaksanaannya di lapangan. Tidak ada kemungkinan perdebatan yang panjang mengenai hal yang tak perlu.<br /><br />Kampanye Capres 2004<br />Mari sejenak kita menengok kampanye capres dan cawapres pada 2004 berlangsung pada 1 Juni – 1 Juli. Meskipun kurang ramai dari segi respon masyarakat, dibanding kampanye parpol Pemilu 2004, namun dari segi kreativitas dan inovasi, kampanye capres jauh lebih menarik. Dengan sistem pemilihan langsung, setiap capres musti berkampanye sebaik mungkin agar memperoleh suara sebanyak mungkin.<br /><br />Kampanye parpol digerakkan semata-mata oleh pengurus partai dari pusat dan daerah yang sering disebut sebagai divisi pemenangan pemilu partai. Untuk kampanye capres, mesin penggeraknya adalah “tim sukses” yang khusus dibentuk dari lintas parpol dan individu sampai para profesional. Tim sukses inilah yang bertugas memoles capres agar rapi, cakap, ramah, murah senyum, dekat dengan rakyat. Tim sukses-lah yang mengatur jadwal kampanye, merumuskan strategi dan inovasi kampanye, menggalang dana, sampai mendekati media, termasuk dalam hal iklan media.<br /><br />Persaingan iklan di media, berarti perang slogan. Agar menarik dan segera diidentifikasi khalayak, iklan disertai dengan slogan bombastis, ringkas, padat, dan yang paling penting, mudah diingat. Pasangan Wiranto-Solahuddin muncul dengan slogan “Bersatu Untuk Maju”. Melalui berbagai iklan, sosok militer dalam diri Wiranto hilang sama sekali. Wiranto berhasil disulap menjadi sipil yang murah senyum dan dekat dengan rakyat. Megawati memilih memamerkan kesuksesan pemerintahnya sebagai materi iklan. “Telah teruji, telah terbukti” begitu slogan Mega-Hasyim. Amien-Siswono dalam berbagai versi iklan mempopulerkan slogan “Jujur, cerdas, berani”. Pasangan ini bahkan memakai almarhum aktivis Munir sebagai bintang iklannya. Pasangan SBY-JK, yang keluar sebagai pemenang, mengusung slogan “Bersama Kita Bisa”. Dan terakhir, pasangan Hamzah-Agum yang berbagai iklannya tampak kaku, menyeru dengan slogan “Percaya untuk Maju”.<br /><br />Kampanye negatif tak terhindarkan dalam pemilu capres 2004. Para capres dan cawapres harus siap merah telinga dan tahan emosi menghadapi isu-isu miring. Bagi lawan politik dan orang-orang yang tak suka, kelemahan kecil seorang capres/cawapres bisa digarap menjadi kampanye negatif untuk menggembosinya. Meskipun isu yang dihembuskan belum tentu benar, namun jika digarap secara teliti dan disebar terus menerus, akan bisa mempengaruhi kredibiltas dan popularitas capres. Perkembangan teknologi internet, milis, SMS, dan VCD/DVD menambah mudah aksi-aksi propaganda itu dilakukan.<br /><br />SBY dan Wiranto adalah dua capres yang sering menjadi sasaran kampanye negatif terutama karena mereka berasal dari kalangan militer. Misalnya selebaran gelap muncul di Kabupaten Jember, isinya mangajak kaum muslim tak memilih SBY-JK. Alasannya mayoritas caleg Partai Demokrat, pendukung utama paangan ini, beragama non-Islam . Melalui internet juga beredar analisis tentang SBY dan perannya dalam konflik di Ambon.<br /><br />Menjelang dan selama kampanye capres 2004, media tiba-tiba mendapat isu menarik tentang Wiranto dan keterlibatannya dalam Pam Swakarsa. Organisasi ini didirikan untuk membantu mengamankan Sidang Umum MPR 1998, khususnya untuk menghadapi demonstrasi mahasiswa. Media sangat antusias menangkap isu yang dilontarkan Mayor Jendral Kivlan Zen, yang diketahui sebagai mantan koordinator pembentukan Pam Swakarsa. Kivlan Zen yang kecewa karena uang pembentukan Pam Swakarsa belum dibayar Wiranto, saat itu Panglima TNI, ternyata dekat dengan Prabowo Subianto, rival Wiranto di Angkatan Darat dan konvensi Partai Golkar. Kiprah Kivlan Zen ini ditengarai sebagai kampanye negatif melalui media untuk menyudutkan Wiranto.<br /><br />Usai persoalan Pam Swakarsa, Wiranto kembali ‘diserang’ dengan beredarnya VCD anti-Wiranto bersampul pagelaran Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Dalam VCD itu mulanya delapan menit lagu Menuju Bintang yang dinyanyikan Fery, juara AFI. Setelah itu muncul gambar tragedi Semanggi dan Trisakti dan wajah Wiranto. Disusul kemudian teks berjalan dengan kalimat “Adili Jendral (purn) Wiranto. Tolak Capres dari militer” “Anda ingin peristiwa Semanggi dan Trisakti terulang kembali? Jika iya maka: pilih SBY atau Wiranto sebagai presiden kita. Dijamin Indonesia banjir darah.”<br /><br />Kini, menjelang pemilu 2009, setidaknya ada empat mantan jenderal yang tampak punya keinginan kuat ingin maju menjadi presiden. Mereka adalah Susilo Bambang Yuudhoyono, kini masih menjadi presiden (incumbent), Wiranto (Partai Hati Nurani Rakyat / Hanura), Sutiyoso, dan Prabowo Subijanto (Partai Gerinda). Saat ini mereka rajin memopulerkan diri dengan berbagai cara. Presiden SBY melalui kebijakan-kebijakan merupakan kampanye tersendiri, meski kebijakan menaikkan harga BBM merupakan tindakan yang sangat tidak populer. Sementara Wiranto dengan rangkaian iklannya “menyerang” pemerintah melalui isu kemiskinan yang makin meningkat meski data yang digunakan berbeda dengan pemerintah. Isu kenaikan harga BBM juga dimanfaatkan Wiranto dengan membuat iklan tentang perlunya seorang pemimpin yang tak ingkar janji. Perdebatan mengenai etis atau tidak iklan politik Wiranto, menjadi iklan tersendiri bagi Wiranto.<br /><br />Iklan politik Wiranto di sejumlah media massa membuat orang-orang dekat Presiden SBY meradang. Iklan tersebut dinilai tidak beretika. "Seharusnya semua harus dengan etika politik yang baik," ujar Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng. Andi cukup memaklumi manuver-manuver politik menjelang Pemilu 2009. Banyak tokoh yang mencari celah untuk melemahkan pihak tertentu demi mengambil keuntungan politik. Namun, Andi menyesalkan manuver yang ditempuh Wiranto tidak didasarkan kepada fakta yang benar. "Memancing di air keruh, ambisi pribadi. Dia itu seharusnya kalau mau bikin iklan harus ada kutipan dari mulut SBY," imbuhnya.<br /><br />Wakil Presiden Jusuf Kalla menuding iklan yang ditampilkan Wiranto itu dilakukan untuk menyerang dan menjatuhkan pemerintah menjelang Pemilu 2009. "Pemerintah, yang sulit itu kalau sudah menjelang pemilu. Ada dua indikatornya, kemiskinan dan pengangguran," imbuhnya. Dalam iklan Wiranto disebut bahwa saat ini banyak rakyat makan nasi aking akibat tak mampu membeli beras. Iklan tersebut menyoroti tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia dan terkesan menghakimi pemerintah SBY-JK yang dinilai tidak mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.<br /><br />Sejauh ini Sutiyoso telah memiliki website, menerbitkan beberapa buku, dan kini Bang Yos Center menempati markas di Jl. Proklamasi, depan bioskop Megaria Menteng, Jakarta Pusat. Di sana terpampang baliho besar sekali bergambar Sutiyoso dengan tulisan “Lebih Tegas dan Berani!” Berjuang demi rakyat! Sedangkan Prabowo melalui organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) membuat iklan dan memasangnya di beberapa stasiun TV tentang pesan dirinya agar bangsa Indonesia mencintai dan menggunakan produk pertanian dalam negeri. Minumlah susu buatan Indonesia. Makanlah buah-buahan dari petani kita. Agar Indonesia kembali menjadi macan Asia!<br /><br />Ketiga penantang SBY tak satu pun yang membanggakan masa lalu mereka, melalui berbagai produk iklannya, tentang diri mereka saat bertugas sebagai militer. Mereka hanya berseru pemimpin harus tegas dan berani. Mereka menyadari saat bertugas menjadi seorang tentara atau jenderal, justeru citra tak sedap selalu melekat pada masa lalu mereka. Wiranto tak bisa dilepaskan dari peristiwa pelanggaran HAM berat di Timor Timur, dan peristiwa Semanggi I dan II. Prabowo sebagai rival Wiranto juga mempunya ‘cacat sejarah’ sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap penculikan beberapa aktivis pada akhir menjelang Soeharto jatuh. Sutiyoso juga mempunyai sejarah kelam di dunia militer, yaitu saat menjadi Pangdam Jaya, sebagai orang yang bertanggungjawab dalam peristiwa 27 Juli 1996.<br /><br />Dalam survei parpol Kompas saat ditanya siapakah tokoh nasional yang Anda anggap paling layak untuk menjadi presiden mendatang?” Sebanyak 30 persen responden tak menjawab, sementara 20 persen menjawab tidak ada. Sutiyoso mendapat dukungan tertinggi yaitu 10 persen, jauh di atas SBY, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Hamengku Buwono X, masing-masing memperoleh dukungan 5 persen.<br /><br /><br />Kesimpulan:<br /><br />Bangsa Indonesia selain cepat lupa, juga pemaaf. Karena itu kesalahan seberat apapun yang dilakukan institusi atau pejabat di masa lalu, mudah untuk dilupakan. Apalagi jika mereka yang mempunyai masa lalu kelam berusaha terus menerus mengubah citra tentang dirinya yang sudah berubah total. Dari seoranng jenderal menjadi seorang sipil yang demokratis atau intelektual.<br /><br />Melalui berbagai survei di atas terbukti bahwa citra TNI dan para jenderal sempat terpuruk setelah era reformasi. Namun itu tak lama. Citra TNI dan kepemimpinan mantan tentara kembali menjadi harapan masyarakat manakala tiga orang presiden dari kalangan sipil terbukti tidak mampu memberikan perubahan atau kesejahteraan yang lebih baik. Karena itu pada pemilu 2004, kepemimpinan nasional kembali dipegang mantan tentara.<br /><br />Bagaimana pemilu 2009. Tampaknya empat orang mantan jenderal akan meramaikan pentas pemilihan presiden. Mereka telah mempersiapkan diri dengan matang. Sebagai incumbent, Presiden SBY berkampanye melalui kebijakan-kebijakannya. Sedangkan ketiga mantan jendral penantang SBY, yang mengaku lebih tegas dan berani, saat ini terus menyerang melalui berbagai kegiatan dan iklan di media massa. Pemilu masih jauh namun genderang perang telah lama ditabuh.<br /><br />Tentu saja yang menjadi juri dan menentukan siapa pemenangnya adalah para pemilih pada pemilu 2009 nanti. Siapa saja boleh beriklan, mencitrakan diri lebih indah dari aslinya, namun pemilih kadang mempunyai logikanya sendiri. Kemenangan SBY pada pemilu 2004 lalu tak terlepas dari popularitas SBY yang salah satunya dipicu oleh ‘serangan’ yang dilakukan pemerintahan Megawati.<br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka:<br />1. Media dan Pemilu 2004, Lukas Luwarso, Samsuri dan Tri Agus S Siswoiharjo, Seapa-Jakarta 2004.<br />2. Sang Kandidat, Analisa Psikologi Politik Lima Kandidat Presiden dan Wakil Presiden RI Pemilu 2004. Kompas Gramedia<br />3. Okezone, 23 Mei 2008<br />4. Okezone, 28 Mei 2008<br />5. Kompas, 12 April 2004<br />6. Kompas, 27 Mei 2004<br />7. Kompas, 1 Juli 2004<br />8. Kompas, 16 Agustus 2004<br />9. Kompas, 5 Oktober 2007<br />10. Kompas, 7 Nopember 2007<br />11. Kompas, 4 Februari 2008<br />12. Kompas, 19 april 2008<br />13. Koran Tempo, 11 Juni 2004<br />14. Suara Pembaruan, 26 April 2008tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-69721724926986947142008-05-13T13:25:00.000+07:002008-05-13T13:26:46.653+07:00IKLAN NEGATIF BERGUNA BAGI PUBLIK?Oleh : Tri Agus Susanto*<br /><br />Pemilihan umum (pemilu) 2009 sudah di depan mata. Persiapan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus berpacu dengan waktu. Berbagai peraturan baru dibuat KPU. Salah satu yang baru dibanding pemilu 1999 dan 2004, adalah masa kampanye yang lebih panjang. Pada Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, partai politik dapat berkampanye selain rapat umum sejak tiga hari penetapan sebagai peserta Pemilu 2009 hingga tiga hari sebelum pemungutan suara.<br /><br />Seperti pada dua pemilu lalu, masa kampanye memunculkan berbagai masalah. Salah satu yang ingin dibahas di sini adalah maraknya kampanye negatif antar partai politik atau calon presiden. Masa kampanye yang tak sampai satu bulan saja menimbulkan banyak kampanye negatif, bagaimana dengan Pemilu 2009 yang masa kampanyenya delapan bulan?<br /><br />Sesungguhnya tak ada definisi yang diterima secara universal tentang iklan negatif. Namun pada dasarnya ia lebih berfokus terhadap pesaing daripada terhadap kandidat. Ini berarti, iklan negatif berkonsentrasi pada apa yang salah pada pesaing, baik secara personal atau dalam hal sikap terhadap isu atau kebijakan. Kendati banyak ahli sepakat bahwa iklan negatif adalah tidak etis, namun ada banyak peneliti berpendapat bahwa iklan negatif justru menyajikan kepada pemilih informasi yang baik dan solid sebagai dasar pengambil keputusan. Karena itu tak salah jika para konsultan politik sering menamakan iklan negatif sebagai “comparative” atau “contrast” yang membantu pemilih menilai kekuatan dan kelemahan para kandidat.<br /><br />Kampanye Capres 2004<br />Kampanye capres dan cawapres pada 2004 berlangsung pada 1 Juni – 1 Juli. Meskipun kurang ramai dari segi respon masyarakat, dibanding kampanye parpol Pemilu 2004, namun dari segi kreativitas dan inovasi, kampanye capres jauh lebih menarik. Dengan sistem pemilihan langsung, setiap capres musti berkampanye sebaik mungkin agar memperoleh suara sebanyak mungkin.<br /><br />Kampanye parpol digerakkan semata-mata oleh pengurus partai dari pusat dan daerah yang sering disebut sebagai divisi pemenangan pemilu partai. Untuk kampanye capres, mesin penggeraknya adalah “tim sukses” yang khusus dibentuk dari lintas parpol dan individu sampai para profesional. Tim sukses inilah yang bertugas memoles capres agar rapi, cakap, ramah, murah senyum, dekat dengan rakyat. Tim sukses-lah yang mengatur jadwal kampanye, merumuskan strategi dan inovasi kampanye, menggalang dana, sampai mendekati media, termasuk dalam hal iklan media.<br /><br />Persaingan iklan di media, berarti perang slogan. Agar menarik dan segera diidentifikasi khalayak, iklan disertai dengan slogan bombastis, ringkas, padat, dan yang paling penting, mudah diingat. Pasangan Wiranto-Solahuddin muncul dengan slogan “Bersatu Untuk Maju”. Melalui berbagai iklan, sosok militer dalam diri Wiranto hilang sama sekali. Wiranto berhasil disulap menjadi sipil yang murah senyum dan dekat dengan rakyat. Megawati memilih memamerkan kesuksesan pemerintahnya sebagai materi iklan. “Telah teruji, telah terbukti” begitu slogan Mega-Hasyim. Amien-Siswono dalam berbagai versi iklan mempopulerkan slogan “Jujur, cerdas, berani”. Pasangan ini bahkan memakai almarhum aktivis Munir sebagai bintang iklannya. Pasangan SBY-JK, yang keluar sebagai pemenang, mengusung slogan “Bersama Kita Bisa”. Dan terakhir, pasangan Hamzah-Agum yang berbagai iklannya tampak kaku, menyeru dengan slogan “Percaya untuk Maju”.<br /><br />Kampanye negatif tak terhindarkan dalam pemilu capres 2004. Para capres dan cawapres harus siap merah telinga dan tahan emosi menghadapi isu-isu miring. Bagi lawan politik dan orang-orang yang tak suka, kelemahan kecil seorang capres/cawapres bisa digarap menjadi kampanye negatif untuk menggembosinya. Meskipun isu yang dihembuskan belum tentu benar, namun jika digarap secara teliti dan disebar terus menerus, akan bisa mempengaruhi kredibiltas dan popularitas capres. Perkembangan teknologi internet, milis, SMS, dan VCD/DVD menambah mudah aksi-aksi propaganda itu dilakukan.<br /><br />SBY dan Wiranto adalah dua capres yang sering menjadi sasaran kampanye negatif. Misalnya selebaran gelap muncul di Kabupaten Jember, isinya mangajak kaum muslim tak memilih SBY-JK. Alasannya mayoritas caleg Partai Demokrat, pendukung utama paangan ini, beragama non-Islam (Koran Tempo, 11 Juni 2004). Melalui internet juga beredar analisis tentang SBY dan perannya dalam konflik di Ambon.<br /><br />Menjelang dan selama kampanye capres 2004, media tiba-tiba mendapat isu menarik tentang Wiranto dan keterlibatannya dalam Pam Swakarsa. Organisasi ini didirikan untuk membantu mengamankan Sidang Umum MPR 1998, khususnya untuk menghadapi demonstrasi mahasiswa. Media sangat antusias menangkap isu yang dilontarkan Mayor Jendral Kivlan Zen, yang diketahui sebagai mantan koordinator pembentukan Pam Swakarsa. Kivlan Zen yang kecewa karena uang pembentukan Pam Swakarsa belum dibayar Wiranto, saat itu Panglima TNI, ternyata dekat dengan Prabowo Subianto, rival Wiranto di Angkatan Darat dan konvensi Partai Golkar. Kiprah Kivlan Zen ini ditengarai sebagai kampanye negatif melalui media untuk menyudutkan Wiranto.<br /><br />Usai persoalan Pam Swakarsa, Wiranto kembali ‘diserang’ dengan beredarnya VCD anti-Wiranto bersampul pagelaran Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Dalam VCD itu mulanya delapan menit lagu Menuju Bintang yang dinyanyikan Fery, juara AFI. Setelah itu muncul gambar tragedi Semanggi dan Trisakti dan wajah Wiranto. Disusul kemudian teks berjalan dengan kalimat “Adili Jendral (purn) Wiranto. Tolak Capres dari militer” “Anda ingin peristiwa Semanggi dan Trisakti terulang kembali? Jika iya maka: pilih SBY atau Wiranto sebagai presiden kita. Dijamin Indonesia banjir darah.”<br /><br />Berguna bagi publik?<br />Akhir tahun lalu beberapa media nasional dan daerah memasang iklan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto. Dalam iklan itu dicantumkan jumlah rakyat miskin Indonesia 49,5 persen. Wiranto mengaku tak bermaksud mendiskriditkan pihak mana pun. “Iklan itu adalah ajakan kepada seluruh elemen bangsa untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan,” ujar Wiranto (Kompas, 21/12/2007). Iklan itu menjadi polemik menarik. Dari soal data yang digunakan sampai dugaan upaya kampanye negatif menyerang pemerintah. Dalam hal ini Presdien SBY berkilah bahwa perhitungan yang benar adalah menggunakan data BPS 2007, jumlah orang miskin Indonesia adalah 16,5 persen.<br /><br />Makin maraknya iklan politik pada Pemilu 2009 telah diprediksi Indra Abidin ketua International Advertising Association (IAA). Survei Nielsen Media Research Indonesia menunjukkan pada Januari-Maret 2008, belanja iklan pemerintah, parpol meningkat 62 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2007. Sebagai catatan, belanja iklan pada Pemilu 1999 hanya berkisar Rp 35,69 miliar, kemudian belanja iklan dan kampanye Pemilu 2004 menembur Rp 3 triliun (Kompas, 25/4/2007).<br /><br />Di tengah meningkatnya iklan politik, praktisi periklanan dan media dituntut untuk taat kepada etika moral dan tanggungjawab profesi. Mereka harus berani memilah dan memilih materi iklan yang mencerdaskan bukan mencederai akal sehat pemilih. Menyerang pesaing mungkin bisa dibenarkan dan akan berguna bagi calon pemilih asal dengan argumentasi yang masuk akal. Semua akan terpulang kepada pemilih yang makin cerdas menentukan mana iklan politik mencerahkan atau hanya dialamatkan kepada perasaan, menyederhanakan persoalan karena keterbatasan waktu dan dana, menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui publik, sampai memakai manipulasi teknologi.<br /><br />Dengan demikian, iklan negatif, sejauh mempunyai argumentasi yang tepat, faktual dan cerdas, sebenarnya bisa jadi bermanfaat bagi calon pemilih. Karena pemilih butuh pembanding untuk menilai kekuatan dan kelemahan kandiddat.<br /><br />Sedang mengikuti Program Pascasarjana Magister Manajemen Komunikasi Politik, Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia NPM : 0706185055tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-71188313498040085182008-05-06T19:16:00.000+07:002008-05-06T19:18:12.017+07:00Menunggu Referendum Dagelan di BurmaOleh: Tri Agus S. Siswowiharjo*<br /><br />Pada 10 Mei 2008, jika tak berubah karena badai yang menewaskan 20.000 orang lebih, junta militer Burma (Myanmar) mengadakan referendum. Rakyat akan menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ atas rancangan konstitusi baru. Menurut junta militer, referendum akan mengakhiri ketiadaan konstitusi sejak Myanmar dikuasai militer pada 1962.<br /><br />Bagi rakyat Myanmar referendum kali ini mengingatkan pada pemilu 27 Mei 1990 yang dimenangi partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi tersebut sukses merebut 80 persen kursi di parlemen. Namun kemenangan itu dianulir junta militer. Akankah sejarah berulang pada Mei 2008?<br /><br />Uni Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara barat lainnya terus melakukan berbagai tekanan. Dari embargo ekonomi, embargo senjata sampai menolak pemberian visa para pejabat militer. Puncak kecaman terjadi September 2007 saat junta militer meredam demonstrasi damai yang dipelopori para biksu. Meskipun negeri itu tertutup dan tak ada kebebasan pers namun berkat teknologi seperti telepon genggam dan internet, penindasan terhadap para biksu itu segera menduniai, dan masyarakat internasional mengecam junta militer.<br /><br />Junta militer menyadari dunia tak sabar melihat demokratisasi di Myanmar. Karena itu mereka menjawab dengan referendum yang menjanjikan segera diakhiri pemerintahan militer, melalui pemilu ‘demokratis’ pada tahun 2010. Betulkah referendum merupakan pintu ke arah demokratisasi di Myanmar?<br /><br />Jika referendum memenuhi syarat-syarat yang berlaku internasional, mungkin referendum penting bagi demokratisasi. Namun referendum kali ini sungguh mengandung tiga hal yang sangat tidak demokratis. Pertama, penyusunan draf konstitusi tak melibatkan kekuatan politik lain selain militer. Kedua, draf konstitusi hanya menguntungkan militer. Ketiga, pelaksanaan referendum tak mencerminkan asas transparansi dan kebebasan, karena tak dimungkinkan kampanye bagi yang tak menyetujui draf konstitusi baru tersebut. Pelaksana referendum, bukanlah lembaga independen, mereka bahkan menggunakan berbagai cara untuk menekan rakyat memilih ‘ya’, sementara beberapa aktivis yang mencoba memberi pendidikan politik agar rakyat kritis ditangkap aparat militer. Karena itu wajar banyak masyarakat berpendapat apa pun yang dipilih pasti akan keluar hasil ‘ya’.<br /><br />Mari kita ambil contoh draf konstitusi setebal 194 halaman dan terdiri dari 457 pasal tersebut. Ada pasal pengganjal Suu Kyi untuk berpolitik karena ia menikah dengan warga asing. Larangan tak masuk akal itu menutup kemungkinan Suu Kyi menjadi presiden, bahkan menjadi anggota parlemen. Pasal lain, memberi jaminan bagi militer mendapatkan jatah 25 persen kursi di parlemen. Ini persis militer Indonesia era Orde Baru. Selain itu, militer juga bisa mengambilalih kekuasaan saat negara dalam keadaan darurat. Presiden dapat menyerahkan wewenangnya kepada pemimpin militer dalam waktu tak lebih dari setahun bila muncul keadaan darurat. Dinyatakan pula amandemen terhadap konstitusi hanya bisa dilakukan atas persetujuan 75 persen anggota parlemen. Amandemen tersebut hampir tak mungkin, dan tentunya harus mendapatkan dukungan dari militer.<br /><br />Junta militer melarang pemantau internasional. Artinya kemungkinan terjadi kecurangan sangat besar. Kalau pun tak ada kecurangan namum rakyat memilih ‘tidak’, satu pertanyaan muncul: maukah junta militer menerima kekalahan? Bukankah pada pemilu 1990 mereka menolak kemenangan telak NLD.<br /><br />Tampaknya dunia sekali lagi berharap banyak kepada citizen journalist, mereka pemakai telpon seluler dan internet. Mereka akan menjadi mata dan telinga masyarakat internasional yang mendambakan perubahan di Myanmar. Junta militer tentu tak ingin ‘kecolongan’ untuk kedua kali seperti September 2007. Pelarangan membawa telpon seluler di tempat pemungutan suara, mungkin diberlakukan.<br /><br />Beberapa skenario pasca-referendum<br />Beberapa skenario mungkin terjadi. Pertama referendum lancar, mayoritas memilih ‘ya’. Artinya tetap tak ada perubahan. Kedua, referendum lancar, mayoritas memilih ‘tidak’. Jika junta militer menerima kekalahan, masih terbuka kemungkinan referendum berikutnya setelah perubahan draf konstitusi atau kemungkinan perundingan dengan oposisi yang lebih seimbang. Jika junta militer menolak kekalahan, berarti pengulangan sejarah 1990, dan demokrasi semakin jauh panggang dari api. Ketiga, referendum diboikot rakyat. Hanya minoritas yang menggunakan suaranya dan terjadi kekacauan di beberapa kota. Jika skenario ini yang terjadi, junta militer akan tetap mengamankan referendum sembari menumpas rakyat yang anti-referendum.<br /><br />Ketiga skenario di atas memang tak ada yang menjadikan referendum legitimed, sebab sejak dari awal memang tak ada unsur demokrasi di dalamnya. Ini referendum dagelan penuh akal-akalan. Yang kita kehendaki semoga rakyat memilih ‘tidak’ dan tak ada jatuh korban. Rakyat sudah lelah menunggu perubahan. Demokrasi adalah salah satu syarat menuju masyarakat yang lebih sejahtera. Adalah tanggungjawab masyarakat internasional jika kegagalan sekali lagi menimpa rakyat Myanmar. Para pemimpin dunia dan ASEAN jauh lebih bertanggungjawab karena mereka bisa melakukan upaya yang lebih kongkret untuk menyalamatkan rakyat Myanmar. Para pemimpin ASEAN termasuk Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah gagal mengajak para pemimpin junta militer ke arah demokrasi. Kini menjadi tugas rakyat Indonesia menyelamatkan rakyat Myanmar dari penindasan militer di abad modern ini. Gunakan kebebasanmu untuk membantu rakyat kami, begitu kata Suu Kyi kepada masyarakat internasional.<br /><br />*} Penulis adalah aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma (KMSuB) dan Alternative ASEAN Network on Burma (ALTSEAN-Burma), tinggal di Depok, Jawa Barat.<br /><br />Tri Agus S Siswowiharjo:<br />Alamat email: <a href="mailto:politshirt@yahoo.com">politshirt@yahoo.com</a> dan <a href="mailto:tass@kmsub.org">tass@kmsub.org</a><br />Website: <a href="http://www.kmsub.org/">www.kmsub.org</a><br />Blog: <a href="http://tassblog.blogspot.com/">http://tassblog.blogspot.com/</a><br />Mobile phone: 0815 803 1815tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-72494974694968523702008-03-13T11:31:00.000+07:002008-05-13T18:28:02.625+07:00SUPERSEMAROleh BUDIARTO SHAMBAZY <br /><br />Kompas Selasa, 11 Maret 2008 01:27 WIB<br /><br />Saat membacakan pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 19 September 1995, Tri Agus Siswowihardjo memelésétkan Supersemar jadi ”Sudah Persis Seperti Marcos”. Tri Agus diadili karena mengkritik Orde Baru. Ferdinand Marcos adalah Presiden Filipina yang kabur ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS). Ia terlibat korupsi dan membunuh Senator Benigno Aquino, suami Presiden Ny Corry Aquino.<br /><br />Selain pelésétan Supersemar, pleidoi Tri memopulerkan ”Su-dah Ha-rus To-bat”. Singkatan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) ia sulap menjadi ”S Dalang Segala Bencana”.<br />Lalu, kata ”hakim” ia pelésétkan jadi ”Hubungi Aku Kalau Ingin Menang” dan ”jaksa” jadi ”Jika Anda Kesulitan Suaplah Aku”. Singkatan Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) ia urai jadi ”Kasih Uang Habis Perkara”.<br /><br />Anda ingat bagaimana nama seorang menteri Orde Baru (Orba) dipelésétkan jadi ”Hari- hari Omong Kosong”. Nama seorang presiden pun jadi ”Bicara Jago, Habis Bicara Bingung”.<br />Pelésétan bagian dari bahasa politik yang tumbuh subur jika rakyat tertekan. Ia beredar dari mulut ke mulut dan amat menyehatkan karena jadi pelampiasan frustrasi.<br /><br />Ambil contoh Malaysia, yang baru saja pemilu yang sejak 1957 selalu dimenangi koalisi Barisan Nasional (BN). Partai dominan di BN adalah United Malay National Organisation (UMNO).<br />Pelésétan UMNO yang kini populer adalah ”U Must Not Object ” (Anda Tak Boleh Keberatan). Maklum, rakyat telah bosan menyaksikan tingkah laku para politisi UMNO. Sinisme itu tercermin juga dari pelésétan maskapai Malaysia Airline System (MAS), yang diubah jadi ”Mana Ada Sistem?”. Dulu Garuda Indonesia Airways (GIA) diledek ”Garuda Insya Allah” karena suka telat.<br /><br />Sebagian kalangan menilai proyek mobil nasional Proton gagal karena memboroskan uang rakyat. Proton dipelésétkan jadi ”Possibly the Riskiest Option To drive On road Nowdays” (Pilihan yang Mungkin Paling Berbahaya untuk Dikendarai di Jalan Saat Ini).<br />Orba dulu punya proyek mercu suar Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN). Ada yang menyebutnya ”Industri Penerima Tamu Negara” karena pabriknya hanya jadi ”tujuan wisata” tamu asing yang berkunjung ke sini. Di Thailand pesawat IPTN dijuluki ”Gone with the Wind”, merujuk ke film Hollywood. Soalnya cat pesawat yang dikerjakan asal-asalan itu cepat terkelupas diterpa angin tiap kali mengangkasa. Berhubung IPTN bermarkas di Bandung, orang Priangan punya istilah sendiri. IPTN bagi mereka singkatan ”Ieu Pesawat Teu Ngapung-ngapung” (Pesawatnya Enggak Bisa Terbang).<br /><br />Negara tetangga, Singapura, dikenal tempat yang tak murah. Pemerintah rajin membangun apartemen-apartemen yang dikelola House Development Board (HDB). Bagi sebagian rakyat, HDB singkatan ”Highly Dangerous Building” (Gedung Amat Berbahaya). Soalnya ngeri tinggal di lantai 30-an apartemen mereka. Rakyat negeri mini itu dimanjakan berbagai fasilitas umum kelas satu berbiaya mahal. Maka, Public Utilities Board (PUB) dipelésétkan jadi ”Pay Until Broke” (Bayar Terus sampai Bangkrut). Salah satu PUB yang ngetop adalah Electronic Road Pricing (ERP) yang diberlakukan di jalan-jalan protokol, seperti Orchard Road. Berhubung mahal, ERP diubah jadi ”Everyday Rob People” (Tiap Hari Merampok Rakyat). Partai yang selalu memenangi pemilu di sana People’s Action Party (PAP). Kalangan yang sinis menyebutnya Pay And Pay (Bayar Terus). Dan, Anda pasti tahu, Singapura menerapkan aturan denda yang kesohor ke berbagai penjuru dunia sehingga dilédék dengan ”Fine City”. Artinya bisa dua: kota yang teratur atau sedikit-sedikit main denda.<br /><br />Kini ke AS. Serbuan pasukan ke Irak menewaskan ribuan serdadu, membuat sebagian rakyat kritis terhadap militer yang tak jera merekrut remaja dengan aneka iming-iming.<br />Maka, singkatan Navy (Angkatan Laut) dipelésétkan jadi ”Never Again Volunteer Yourself” (Kapok Jadi Relawan). Marine (Marinir) sama dengan ”Muscles Are Required Intelligence Not Essential” (Otot Dibutuhkan, Inteligensia Tidak). Singkatan Army (Angkatan Darat) jadi ”Aren’t Ready to be Marines Yet” (Belum Siap Jadi Marinir). Maklum, Marinir lebih bergengsi dibandingkan dengan Angkatan Darat. Setelah 9/11, pemerintah mendirikan Department of Homeland Security. Untuk memperketat keamanan bandara ada Federal Air Transportation Airport Security Service alias FATASS (Bokong Raksasa).<br /><br />Bangsa ini pun gemar pemelésétan politik. Undang-Undang Dasar (UUD ’45) diubah ”Ujung-ujungnya Duit Empat Liem”, istilah bisnis Ali-Baba yang merujuk ke Liem Swie Liong.<br />Setelah mundur dari jabatan wapres, Bung Hatta mengubah ”Dwi Tunggal” jadi ”Dwi Tanggal”. Persis kayak gigi anak-anak yang suka ”tanggal” (copot). Bung Karno tak habis mengerti ada istilah Orba dan Orde Lama (Orla). Kepada pers, ia bilang cuma tahu ada ”Ordasi” (Orde Berdasi) dan ”Orplinplan” (Orde Plin-plan).<br /><br />Hari ini pas 42 tahun Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Tahun 1975 saya berdarmawisata ke Dieng, Jawa Tengah, dan mampir ke Goa Semar. Saya shock, penjaga goa potongan tubuh dan wajahnya mirip Semar. Sejak saat itu saya percaya Supersemar singkatan ”Sudah Persis Seperti Semar”. Supersemar: Sulit Dipercaya, Seram, dan Top Markotop!tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-67785026365343143192008-02-09T02:11:00.000+07:002008-02-09T02:49:02.181+07:00Pledoi Tri Agus S Siswowihardjo (1995)************************************************* <br />JAMAN EDAN: SAK BEJA BEJANE WONG WARAS ISIH LUWIH BEJA WONG EDAN NING KUASA<br /> <br />Pleidoi Tri Agus S. Siswowihardjo Dibacakan didepan sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat<br /><br /> "UNTUK DEMOKRATISASI DAN PEMBAHARUAN"<br /> ***************************************************<br />BAB I : PENDAHULUAN<br />- Ucapan Terimakasih - Pengantar Ke arah Pembahasan Perkara - 50 thn RI<br />BAB II : AKU DAN PIJAR<br />- Aku dan Didaktika - Aku dan Pers Mahasiswa - Aku dan Pijar - Aku dan KDP<br />BAB III: KACAU DAN SOEHARTO<br />- Dari 1966 - 1995 - Berbagai kekacauan : Politik, Ekonomi, Hukum, dll.<br />BAB IV : PENUTUP<br />- Bantahan terhadap tuntutan - Konklusi - Permohonan - Himbauan<br /> ******************************************** <br />BAB I PENDAHULUAN<br />Majelis Hakim, Jaksa Penuntut, Tim Pembela, dan kawan-kawan pro demokrasi, juga para intel dan petugas keamanan<br />Sebelum saya membacakan isi dari pleidoi ini, saya ingin mengingatkan hadirin sekalian bunyi hukum resmi yang berlaku di negeri ini.<br />Dua Pasal<br />Pasal 1 (satu) :<br /> Soeharto tidak pernah mengacaukan negeri ini<br />Pasal 2 (dua) :<br /> Kalau Soeharto mengacaukan negeri ini, lihat pasal 1 (satu)<br />Tibalah saatnya saya membacakan pembelaan pada persidangan yang mengundang dan mengandung ironi ini. Namun, sebelum saya membahas materi pleidoi lebih lanjut, saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada para saksi, baik saksi jaksa maupun saksi ahli. Terima kasih dan penghargaan yang tinggi juga saya sampaikan kepada Tim Pembela yang tergabung dalam Komite Pembelaan untuk Kebebasan Berpendapat yang dibantu dengan setia dan berdedikasi oleh Beta Ramses dan N. Riyanti. Bagus !<br /><br />Kepada segenap aktivis pro demokrasi yang tetap konsisten pada perjuangan demokratisasi, saya bangga dengan perhatian dan dukungan kawan-kawan semua. Terima kasih khusus saya sampaikan kepada 21 mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Indonesia dan Nuku Soleiman, berkat kalian kami (saya dan 3 kawan AJI) lebih mendapat tempat di hati petugas Rutan Salemba maupun penghuni lainnya. Itulah sebabnya, saya berpesan untuk Sri Bintang Pamungkas, Bondan Gunawan dan mungkin kawan-kawan yang hadir disini , jangan khawatir jika terpaksa harus "kost" dipondok Salemba Indah.<br /><br />Khusus kepada majelis hakim di PN Jakarta Pusat yang memimpin persidangan ini, saya cukup salut karena ternyata mampu menggelar persidangan dengan cepat, efesien dan murah sesuai harapan KUHAP, meskipun terkesan diburu-buru waktu. Saya berdoa agar majelis hakim yang "otaknya di MA" dan "perut nya di Departemen Kehakiman" itu tetap terjaga kemerdekaan dan kemandiriannya dan terbuka hati nuraninya.<br /><br />Terakhir, tak lupa saya mengucapkan Selamat Hari Raya Proklamasi yang ke 50 kepada anda semua. Semoga semangat merdeka dan akar kerakyatan mampu mempercepat terjadinya SUKSESI demi demokratisasi.<br /><br />Majelis hakim yang saya hormati.<br />Sebagai bahan pertimbangan dalam menilai, menyimpulkan dan memutuskan perkara ini, maka dalam kesempatan pembelaaan ini perkenankanlah saya menyampaikan beberapa hal, berupa fakta dan pendapat baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan perkara ini.<br />Tuntutan 4 tahun penjara untuk saya, terus terang sudah saya duga sebelumnya. Sejak semula telah dapat kita rasakan adanya invisible hands yang mengatur persidangan ini. Saya tidak terkejut dan heran terhadap apa yang akan menimpa pada diri saya. Ini semua merupakan resiko hidup di jaman orde edan ini, apa lagi sebagai warga negara yang mencoba kritis terhadap penguasa.<br /><br />Saya justru bangga, karena bisa menunjukkan bahwa sesungguhnya penguasa takut terhadap kritik rakyatnya. Lebih bangga lagi, saya bukanlah orang pertama dan terakhir yang menjadi korban orde baru yang kini makin lama dan tua. Masih ada, bahkan banyak orang akan menyusul seperti saya. Lebih-lebih bangga lagi, kejadian yang menimpa saya tepat disaat bangsa kita memperingati 50 persen merdeka, di tahun Indonesia Cemas.<br /><br />Memenjarakan saya atau kawan-kawan pro demokrasi lainnya dengan maksud agar jera, kapok tak mau melakukan aktivitas pro demokrasi, adalah perbuatan sia-sia, tidak produktif, dan tidak populer. Menurut saya 4 tahun hanya karena mengutip ucapan Adnan Buyung Nasution dalam sebuah acara dan memuatnya dalam Kabar dari Pijar adalah sebuah ironi. Betapa tidak, disaat keterbukaan di gembar-gemborkan, disaat pesta akbar di rayakan, ternyata ada beberapa anak negeri yang mencintai bangsanya dengan keyakinan politikny a, justru dipenjara.<br /><br />Majelis hakim dan hadirin yang saya hormati.<br />Untuk menghantar ke pokok pleidoi, baiklah sepintas saya uraikan kejadian sebelum dan sesudah terbitnya Kabar dari Pijar edisi No. 002 bulan Juni 1994. Begitu majalah Tempo, Editor dan DeTik di breidel, pada 21 Juni 1994, sehari kemudian terjadi demonstrasi ratusan mahasiswa, wartawan, seniman, aktivis LSM dan kelompok masyarakat lainnya. Ada yang berangkat dari kantor redaksi Detik di jalan Gondangdia Lama, ada pula yang berangkat dari gedung LBH. Semua menuju kesatu sasaran: Departemen Penerangan RI di ja lan Merdeka Barat. Keesokan harinya, tgl 23 Juni 1994, terjadi lagi unjuk rasa di kantornya Harmoko yang baru-baru ini memplesetkan Surat Al Fatihah, dengan jumlah massa lebih besar.<br />Pada malam harinya, di kantor YLBHI Jl. Diponegoro 74 diselenggarakan "malam tirakatan". Tentu saja acara ini sehubungan dengan "meninggalnya" atau lebih tepatnya "dibunuhnya" tiga media massa: Tempo, Detik dan Editor. Demonstrasi dan malam tirakatan itu saya ikuti dari awal sampai akhir. Untuk lebih menggambarkan kejadian malam itu berikut saya ingin mengingatkan:<br />Malam kemarin (Kamis, 23 Juni 1994) dikantor LBH di gelar "Malam Tirakatan" kasus pembreidelan Tempo, Editor dan Detik. Acara yang dimulai Jam 20.00 WIB itu di hadiri oleh ratusan eksponen pro-demokrasi. Tampak ditengah peserta tirakatan ala lesehan itu Adnan Buyung Nasution, Dr. T. Mulya Lubis dan Drs. Mulyana W. Kusuma sebagai tuan rumah, Eros Djarot dan Christine Hakim dengan "pasukannya" dari Detik, Idrus F Sahab dari Editor serta beberapa wartawan Tempo. selain itu hadir Daniel Dhakidae (Kompas/Fordem) , Zulkarnaen dan Dedi Triawan (Walhi), Agus Lenon (PIPHAM), Sunarti (SBSI), Semsar Siahaan (pelukis), Syamsunar (FAMI), Bob Reinaldy (FKPMJ), Yuli (PRD) dan Beathor (PIJAR).<br />Acara non-formal yang agak kaku ini dibuka Mulyana. Menurut direktur YLBHI itu, malam tirakatan bertujuan mempertegas sikap bahwa musibah atas Tempo, Editor dan Detik bukanlah musibah pers semata, tetapi merupakan tragedi nasional yang menimpa demokrasi Indonesia.<br />Masing-masing wakil dari ketiga media massa memberikan pernyataan. Eros Djarot kurang setuju jika ada yang mengucapkan duka cita atas musibah detiknya. "Bagi kami tidak sekedar Detik hidup lagi", ujarnya. Kini yang kami perjuangkan, tambahnya, adalah pencabutan Lembaga SIUPP yang jelas-jelas ilegal, sebab bertentangan dengan Undang-Undang No. 21 tahun 1982 Tentang Pers.<br />Wakil dari Tempo dan Editor menyatakan salut dan terima kasih atas solidaritas hadirin atas musibah demokrasi ini. Mereka sepakat dan berharap agar momentum ini menjadi bola salju yang semakin besar sehingga kekuatan anti demokrasi yang menguasai negeri ini akan terlibas.<br />"Tentang SIUPP yang ilegal itu, Luhut Pangaribuan sedang menyiapkan para Advokad untuk menuntut agar Mahkamah Agung menguji produk-produk hukum yang saling bertentangan", kata DR. Todung Mulya Lubis. Untuk itu, lanjut Mulya, kami dan teman-temaan Advokad akan melakukan demonstrasi alegoris, pawai bertoga dari LBH ke gedung Mahkamah Agung.<br /><br />Daniel Dhakidae, pengamat pers yang ogah disebut pengamat, memandang keputusan pembreidelan atas tiga media massa adalah penghinaan terhadap bangsa Indonesia. "Mana buktinya media massa mengganggu stabilitas nasional?", tanya wartawan senior Kompas ini. Dari FAMI tampil Samsunar asal Jombang. "Sudah jelas, petani digusur, mahasiswa, buruh ditindas, kini pers dibungkam, hanya ada satu kata: Lawan!", ujar Sam lantang.<br />Wakil dari PRD mengingatkan agar jangan ada kesan media massa mengemis SIUPP. Kebebasan itu hak milik kita, bukan pemberian penguasa. Selain itu, PRD telah menyiapkan massanya untuk aksi mogok makan demi perjuangan pro demokrasi. Dari PIJAR, Beathor menegaskan bahwa lawan kita semakin jelas yaitu penguasa tua dan pikun. Sehingga ujar "demonstran karir" ini lewat momentum tragedi pers ini agar diperkokoh persatuan antar kelompok pro demokrasi dari aliran manapun.<br /><br />Sambutan terakhir malam tirakatan disampaikan oleh DR. H. Adnan Buyung Nasution. Setengah menyimpulkan apa yang telah diungkapkan oleh pembicara sebelumnya, Abang Buyung mengatakan bahwa negeri ini kian kacau. Penguasa menafsirkan hukum dengan bahasa kekuasannya. Sehingga ketidak teraturan hukum terus menerus terjadi di negeri ini. "Coba kita bandingkan kasus Edi Tansil dengan pembreidelan tiga media massa", kata Abang. Edi Tansil yang mengeruk duit 1,3 trilyun rupiah dengan bantuan Sudomo, perusahannya m asih terus berjalan. Ketiga media massa yang kesalahannya tak dijelaskan secara rinci dihantam dengan pembreidelan yang menyengsarakan orang banyak dan menambah sakitnya deokrasi Indonesia. Semuanya kacau, tak jelas. Pada akhir sambutannya Abang Buyung menyimpulkan, "Negeri ini telah dikcaukan oleh seorang yang namanya Soeharto". Tirakatan kemudian ditutup dengan "doa politik" yang dipimpin oleh Gufron dari SBSI.<br /><br />Itulah sesungguhnya yang terjadi di malam tirakatan, Kamis 23 Juni 1994. Beberapa fakta yang terungkap dalam persidangan di bawah sumpah mengatakan:<br /><br />1. Saksi Eros Djarot, Ir. MS. Zulkarnaen, dan Sunarti membenarkan melihat saya hadir pada malam acara itu.<br />2. Saksi Eros Djarot, Ir. MS. Zulkarnaen dan Sunarti membenarkan bahwa Adnan Buyung Nasution memberikan sambutan, namun tidak mendengar kalimat "Negeri ini telah dikacaukan oleh seorang yang namanya Soeharto".<br />3. Adnan Buyung Nasution tidak ingat lagi, situasi waktu itu sedang panas, marah. Ia marah pada sistem yang satu ini, kacau dalam arti ada ketidak aturan, kacau, lalu orang bertanya siapa yang membuat kacau, ya jawabnya Suharto, dia penguasa tertinggi.<br />4. Saksi Adnan Buyung Nasution mengatakan: "Suasana emosional waktu itu. Saya sendiri juga ikut marah sampai emosional. Saya marah pada Soeharto tapi bukan berarti saya membenci saudara Soeharto. Saya marah pada sistem, karena sudah mengkhianati cita-cita orde baru, karena telah melanggar prinsip negara hukum, tidak konsisten dengan cita-cita orde baru. Dan itu produknya adalah pencabutan SIUPP. Tindakan itu sewenang-wenang, mengada-ngada".<br />5. Saksi Adnan Buyung Nasution mengatakan: "Karena saya pidato tidak dengan teks tapi pidato atau pernyataan spontan, ekspresi, sikap, ungkapan perasaan dan pikiran saya yang marah pada saat itu bahwa di negeri ini bisa terjadi segala sesuatu tanpa ada aturan main lagi, aturan main dalam arti konstitusi hukum, itu yang saya kemukakan, toh tidak mustahil saya katakan begitu menyinggumg kata presiden Soeharto, tidak mustahil.<br />6. Saksi Adnan Buyung Nasution mengatakan: "Karena kata-kata saya diambil sepotong-sepotong, jadi bisa saja saya katakan "tidak", kalau saya katakan "tidak" berarti saya akan memberatkan saudara (terdakwa/saya), dan saya tidak mau memberatkan saudara, apa yang sudah ditulis adalah kebenaran sebenarnya".<br />7. Saksi ahli Atmakusumah mengatakan: "Jurnalism advocacy biasanya menggunakan bahasa yang menyengat dan menggigit, atau keras. Mengapa mereka melakukan cara penyajian demikian. Penerbitan-penerbitan seperti itu meminta perhatian lebih, yang lebih mendalam dari pembacanya, mereka ingin melakukan perubahan-perubahan, mereka ingin meminta perhatian dari masyarakat pembacanya, kepada siapa saja, agar berusaha melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan misi mereka".<br />8. Saksi ahli Atmakusumah mengatakan: "Jurnalism advocacy itu ingin menggugah hati pembacanya, ada maksud ingin perubahan atau penyadaran atau semacam warning, bahwa ada sesuatu yang harus diubah, semacam early warning, supaya apa yang tertulis itu jangan terulang, jangan terus menerus begitu, seperti yang diinginkan oleh media seperti itu".<br />9. Saksi ahli Ariel Heriyanto mengatakan: "Dia mengutip karena disini ada yang dijadikan sumbernya, jadi penulis tidak mewakilkan suaranya tetapi suara orang lain yaitu orang yang dikutip".<br />10. Saksi ahli Ariel Heriyanto mengatakan: "Kalau dikatakan menghina, maka yang menghina adalah orang yang dikutip, yang menjadi sumbernya. Kalau ini melucu, apa yang melucu, bukan orang yang menulis tapi apa yang ditulis, jadi ada berbicara tentang orang lain yang mengatakan".<br /><br />Tapi meskipun sudah gamblang terungkap dipersidangan bahwa saya tidak merekayasa atau mengada-ada dengan menulis/mengutip orang lain atas kemauannya sendiri, namun Jaksa Penuntut Umum tetap menyimpulkan bahwa kalimat Adnan Buyung: "Negeri ini telah dikacaukan oleh seorang yang bernama Soeharto" seolah-olah diucapkan oleh DR. Adnan Buyung Nasution, SH., pada malam tirakatan 23 Juni 1994.<br /><br />Selain itu, Jaksa Penuntut Umum menyimpulkan bahwa saya dengan sengaja menghina Presiden Soeharto, dengan cara menuliskan kalimat Adnan Buyung Nasution: "Negeri ini telah dikacaukan oleh seorang yang bernama Soeharto". Saya tegaskan disini, kalau memang saya ingin menghina Soeharto mengapa cuma dengan mengutip kata Adnan Buyung Nasution seperti itu? Saya punya segudang kata hinaan untuk Soeharto, tapi saya menunggu momentum untuk menggunakan kata-kata itu.<br /><br />Dalam hukum sudah jamak dikenal "asas praduga bersalah". Tapi dalam sejarah berkuasanya orde baru belum pernah orang yang didakwa mengkritik atau menentang penguasa dinyatakan bebas. Jadi saya menghadapi semua itu dengan sersan. Serius tapi santai. Pada mulanya saya sempat akan dibela oleh LHI (Lembaga Hukum Indonesia) pimpinan Arwah Setiawan. Tetapi karena pak Arwah sudah menjadi Arwah betulan, rencana itu urung. Tiba-tiba beberapa kawan dari LBH (Lembaga Bantuan Humor) mencoba mendampingi saya. Akhirnya s aya didampingi Komite Pembelaan untuk Kebebasan Berpendapat yang sama-sama kita lihat kebebasan mereka berpendapat dalam perkara ini.<br /><br /> BAB II PIJAR DAN KABAR DARI PIJAR<br />Majelis hakim, jaksa Penuntut Umum, tim pembela serta kawan-kawan aktivis demokrasi yang saya hormati.<br />Menilai, menyimpulkan dan memutuskan perkara saya tanpa menghubungkan keberadaan saya di PIJAR merupakan tindakan gegabah. Oleh sebab itu, kiranya penting ditelah keberadaan saya di PIJAR sebelum dan sesudah terbitnya Kabar dari Pijar edisi 002 Juni 1994 yang menghantarkan saya kegerbang Rumah Tahanan Salemba.<br /><br />Menjadi mahasiswa IKIP Jakarta merupakan kebanggaan saya, meskipun saya kurang tertarik menjadi guru. Bukan saya takut menjadi seperti Umar Bakri atau Pak Guru Sarmun yang sudah tak lagi digugu dan ditiru, tetapi saya khawatir akan menjadi orang yang tak merdeka, tidak mempunyai otonomi. Apalagi, gelar pahlawan tanpa tanda jasa lebih terasa ejekan yang "terus menerus", bukan penghormatan. Dengan pahlawan tanpa tanda jasa, seolah-olah guru memang tak berhak memperoleh tanda jasa itu.<br /><br />Saya memilih jurusan PMP karena ingin memahami dan mendalami kesenjangan antara Pancasila sebagai cita-cita ideal dengan praktek-praktek yang justru melanggar Pancasila. Saya ingin melihat Pancasila bukan sekedar slogan dan pembenaran bagi praktek otoriter dari si kuasa, tapi adalah kenyataan yang hidup di masyarakat.<br /><br />Perkenalan saya dengan aktivitas kritis mahasiswa sekaligus perkenalan saya dengan Soeharto, berawal ketika saya menjadi anggota unit pers mahasiswa IKIP Jakarta yang menerbitkan majalah Didaktika tahun 1986. Para senior saya mengatakan bahwa "musuh" pertama kita adalah Soeharto. Saya langsung protes kepada para senior, musuh saya dari dulu sampai sekarang bukan Soeharto tetapi "bangun pagi". Kepada saya juga dikenakan undang-undang yang isinya dua pasal seperti saya kutip pada awal pleidoi ini.<br /><br />Aktivitas pers mahasiswa membuat pergaulan saya semakin luas, tak hanya kalangan aktivis pers mahasiswa, tetapi juga wartawan, tokoh pers, seniman, intelektual, politisi, serta tokoh pendidikan.<br /><br />Pada tahun 1989 bersama puluhan aktivis mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta saya ikut mendirikan PIJAR. Organisasi ini selain mengembangkan keterampilan teknis jurnalistik/pers mahasiswa, juga concern pada masalah demokrasi dan hak azasi manusia. PIJAR secara tegas menyebut dirinya sebagai organisasi politik yang memperjuangkan tuntutan dan aspirasi anggotanya dan rakyat banyak. PIJAR adalah singkatan dari Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi. Mengapa re formasi, bukan transportasi? Sebab jika untuk transportasi maka singkatannya menjadi PIJAT.<br /><br />PIJAR sering diplesetkan "berpikir jarang". Tak apa-apa. yang penting tindakan, pikiran dan ucapan kami tentang demokratisasi dan HAM di Indonesia dan Timor Leste tetap didengar. Meski untuk itu harus dibayar dengan pemenjaraan beberapa aktivis PIJAR. Penjara bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti tapi adalah membuktikan bahwa sebesar apapun resiko yang dihadapi, perbaikan dan pembaharuan tetap harus diperjuangkan<br /><br />Bersama-sama kelompok pro-demokrasi lainnya PIJAR bahu membahu melawan sentralisasi kekuasaan, penyeragaman pikiran, pengendalian kemajemukan dan pemasungan kesadaaran kritis. Kabar dari Pijar (KDP) yang diterbitkan oleh PIJAR, dimaksudkan sebagai sarana informasi dan komunikasi antara aktivis PIJAR dan aktivis pro-demokrasi lainnya. Koran bawah tanah, pers alternatif, atau (samizdat ?) seperti KDP sangat diperlukan di tengah represi penguasa terhadap pers dan rakyat kritis pada umumnya. Terus terang, jurna lisme yang dikembangkan KDP adalah jurnalisme perlawanan. PIJAR telah lama tiba pada suatu titik, dimana tidak ada pilihan lain kecuali terus maju memperjuangkan kehidupan yang demokratis dan adil bagi kita semua. Dan pada titik itu juga, kami sampai pada kesimpulan bahwa untuk mencapai taraf kehidupan demokrasi, perbaikan hak asasi, dan kesejahteraan rakyat yang lebih baik; perubahan struktur dan personal adalah suatu prasyarat yang terlebih dulu harus dicapai.<br /><br /> BAB III SOEHARTO DAN KACAU<br />Majelis hakim, jaksa Penuntut Umum, tim pembela serta kawan-kawan aktivis demokrasi yang saya hormati.<br />Tahun 1995 ini sungguh tahun istimewa, selain 50 tahun HUT Proklamasi kemerdekaan, juga bertepatan dengan kekuasaan Soeharto 30 tahun, dan 20 tahun penyerangan dan pendudukan Indonesia atas Timor Leste yang sampai saat ini belum diakui PBB, dunia Internasional, dan rakyat Timor Leste sendiri.<br /><br />Mengapa saya harus berbicara soal Soeharto yang oleh kalangan aktivis pro-demokrasi diplesetkan menjadi "SUdah HARus TObat" itu, karena integritas jaksa sudah dipengaruhi oleh kalangan elit tertentu, bisa jadi yang benci Soeharto, bisa juga justru "menjilat" Soeharto, dengan menghadapkan kembali PIJAR dengan Soeharto setelah kasus Nuku Soleiman dengan SDSB (Soeharto Dalang Segala Bencana)-nya.<br /><br />Sebenarnya saya sudah akrab dengan Soeharto. Kalau orang-orang mungkin bangga diundang Soeharto di cendana untuk mengikuti acara ulang tahun setiap tgl 8 Juni, entah sampai kapan. Saya dan aktivis pro-demokrasi di IKIP Jakarta pernah 2 kali (tahun 1991 dan 1992) menyelenggarakan acara ulang tahun pria tua ompong peot dan pikun yang lahir di Godean, Yogyakarta pada tahun 1921 itu.<br /><br />Dalam acara itu kami mengundang sekitar 90 orang yang namanya Soeharto. Kami sengaja mengundang Soeharto-Soeharto itu lewat surat yang alamatnya kami dapatkan dari buku telpon. Dari separuh yang datang pada umumnya mereka orang Jawa dan bekerja di swasta. Ada juga purnawirawan ABRI dan seorang dokter. Saya sempat berdialog dengan mereka. Ada yang menyesal mempuyai nama Soeharto, tentu saja ada juga yang bangga.<br /><br />Ketika terjadi pembantaian dilapangan Tian Nan Men yang dilakukan Li Peng atas gerakan pro-demokrasi di China, kemudian terjadi penggantian puluhan nama Li Peng di Hongkong sebagai protes terhadap keberadaan Li Peng. Para Soeharto-Soeharto disini memang tak mengganti nama beramai-ramai. Namun ketika Soeharto tak semakin terkontrol dalam menjalankan pemerintahan disini. Ketika sentralisasi kekuasaan di tangan satu orang, dan kemudian melahirkan tindakan sewenang-wenang, maka meraka malu mempunyai nama Soehar to. Padahal dalam ajaran kepada anak-anaknya, dalam "Butir-Butir Budaya Jawa" Suharto menyatakan "Ojo rumongso bener dhewe, jalaran ing donya iki ora ana sing bener dhewe" (Jangan merasa engkau yang paling benar, sebab di dunia ini tidak ada yang paling benar). "Ojo kumingsun" (Jangan merasa benar dan berkuasa sendiri).<br /><br />Berbagai kekecewaan ternyata tak hanya diakui dan dirasakan oleh Soeharto-Soeharto tadi. Melainkan seluruh rakyat yang mendambakan perubahan baik politik maupun ekonomi. Lamanya memerintah Republik ini menimbulkan kebosanan baik terhadap sistem yang semakin personal maupun terhadap Soeharto sendiri. Tak heran jika ada statemen yang mengatakan: "Tidak benar Soeharto ingin menjadi presiden seumur hidup. Yang benar Ia ingin menjadi presiden sampai mati". Kalau ada pertanyaan mengapa presiden tak ganti-ganti? Bagaimana bisa diganti kalau persyaratannya berat yaitu: 1) Ia harus orang Islam, 2) Dari ABRI, 3) Dari Jawa, dan yang paling penting, 4) Berpengalaman menjadi presiden. Tak heran pula banyak orang senang dengan humor seperti ini:<br />"Tiga orang arkeolog dari Amerika, Inggris dan Indonesia tersesat di piramida kuno di Mesir. Tiba-tiba sebuah mummi yang usianya sudah ribuan tahun bangkit, dan megeluarkan suara yang menakutkan.<br />"Hai manusia, siapakah kalian dan dari mana asalnya ?" "Namaku george, dari Amerika", kata si Amerika. "Hah.... Amerika? Aku tak kenal negerimu!" "Amerika adalah negara adi kuasa saat ini", tambah si Amerika "Aku tak kenal negerimu. Hei, kamu dari mana?", tanya mummi kepada bule satu lagi. "Aku dari Inggris, tuan mummi", jawab arkelog Inggris itu. "Inggris? Di mana pula negeri itu?" "Inggris adalah negeri yang jajahannya ada di seluruh penjuru mata angin", ujar Si Inggris menyombongkan diri. "Maaf, aku tak kenal bangsamu. Hei, kamu yang pendek sawo matang, dari mana asalmu ?", tanya mummi. "Tuan mummi, saya Danang Kukuh Wardoyo dari Indonesia", jawab Danang kalem. "Haaaaaaah...! Kamu dari Indonesia...? Eh, ngomong-ngomong Soeharto masih jadi Raja Jawa, nggak ?", tanya mummi yang membuat si Amerika dan Inggris melongok-longok dan bengong.<br /><br />Sekarang, marilah kita menjawab mengapa Soeharto lekat dengan kata kacau. Dalam buku "Indonesian Politics Under Soeharto" yang ditulis oleh Michael R. J. Vatikiotis, terbit di Inggris tahun 1993, dijelaskan, ketika beberapa mahasiswa memberi tahu Sri Sultan Hamengkubuwono IX bahwa Soehartolah yang kini menguasai keamanan negeri ini, dengan tersenyum Sri Sultan berkomentar: "Apakah ia masih mempunyai kebiasaan mencuri?"<br /><br />Itulah "kekacauan" pertama dari seorang yang bernama Soeharto. Untuk membahas "kekacauan" lebih lanjut kita tak perlu mengundang penyanyi "Imaniar" yang kini jadi janda muda itu. Namun agar pembahasan kekacauan ini tidak malah tambah kacau, maka perlu dijelaskan di sini pengertian dari kacau tersebut. Kekacauan (disorder) merupakan suatu keadaan tidak adanya keteraturan, tidak adanya pelembagaan. Yang ada adalah personalisasi kekuasaan. Kekuasaan yang tunduk pada pribadi sesorang. Ketidak teraturan yang ter cipta karena pribadi seseorang itu jelas merupakan pelanggaran terhadap konsep negara hukum. Tindakan sewenang-wenang dengan mengabaikan hukum yang berlaku, pada dasarnya disebabkan karena kekuasaan tidak terkontrol. Itulah penyebab kekacauan di negeri ini.<br />Bagaimana kekacauaan itu berawal? Jenderal Soeharto pemegang Supersemar: ---kini ada yang memplesetkan "SUdah PERsis SEperti MARcos"--- mendapatkan kekuasaan dalam krisis politik 30 tahun lalu, didukung oleh angkatan darat. Sebagai seorang militer tulen, tentu saja Ia menggunakan kekuatan militer sebagai senjata utamanya. Begitu Soeharto berkuasa, lebih dari satu setengah juta orang terbunuh dan kurang lebih sejumlah yang sama dipenjara antara Oktober 1965 dan Oktober 1966. Kebanyakan tetap dipenjara samp ai akhir 1970-an tanpa diadili. Bahkan setelah dibebaskan, mereka tetap menjadi warga negara kelas dua. Selama periode yang sama, tidak kurang dari 1.000 orang diadili. Mereka hadir dalam pengadilan-pengadilan militer, dimana hanya terdapat kesempatan sedikit untuk menerima pengadilan yang adil. Beberapa diantaranya dijatuhi hukuman mati dan bahkan sampai 1990 Soeharto memerintahkan eksekusi terhadap orang-orang yang telah dipenjara selama lebih dari 25 tahun.<br />Pada pertengahan tahun 70-an, tepatnya 7 Desember 1975 Indonesia dikecam dan dipermalukan di mata dunia akibat tindakan inkonstitusional pemerintahan orde baru pimpinan Soeharto yang menyerang dan menduduki Timor Timur. Akibat penyerangan dan pendudukan itu, ratusan ribu korban telah jatuh di kedua belah pihak, baik para martir-martir bangsa Timor Timur yang gugur selama penyerangan dan pendudukan, maupun prajurit-prajurit Indonesia yang gugur demi menebus ambisi, kecurigaan dan kesalah pahaman segelintir pemimpim orde baru atas bangsa Tim-Tim. Orang Timor mempelesetkan TimTim menjdi "Timor Leste Ingin Merdeka Tapi Indonesia Melarang".<br /><br />Sampai sekarang data yang pasti mengenai jumlah korban sebenarnya belum ada, tapi minimal, seperti yang pernah dikatakan oleh Abilio Soares, Gubernur Timor timur saat ini, "sebanyak 200.000 rakyat Timor Timur kehilangan jiwanya" (wawancara Abilio Soares dengan Editor dan Forum Kedilan, Maret/April 1994). George T. Aditjondro mencatat, pada tahun 1974 penduduk Timor Timur 668.771 orang. Namun, pada 1978 berkurang menjadi 329.771 orang (lihat "Misteri di Kota Ningi", dalam buku Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarm a).<br /><br />Sampai saat ini Timor Timur menjadi batu kerikil yang tajam bagi diplomasi Indonesia di dunia internasional. Pengakuan Menlu Ali Alatas tersebut menegaskan bahwa soal Timor Timur bukanlah sesederhana seperti yang digembar-gemborkan pemerintah Soeharto. Peristiwa Dili 1991, Liquisa 1994, demonstrasi mahasiswa Timor Timur saat KTT APEC November 1994, ketegangan hubungan Indonesia dengan Australia, menunjukkan betapa soal Timor Timur belun selesai.<br /><br />Sebelum meninggalkan "kekacauan" di Timor Timur marilah kita dengarkan kisah jam malam di Dili.<br />"Suatu malam di ibu kota Timor Timur itu sedang diberlakukan jam malam. Siapa saja yang masih berkeliaran di jalan di atas jam sepuluh malam akan di tembak di tempat. Kopral Salimin dan Kardiman, keduanya tentara Indonesia, sedang ngobrol tepat jam setengah sepuluh. Tiba-tiba terdengar: "Dor!" Ternyata Salimin baru saja menembak seorang pemuda. "Kamu ini bagaimana, sekarang kan masih jam setengah sepuluh, kok kamu kamu sudah menembak?", tanya Kardiman. "Emang gue pikirin", jawab Salimin. "Saya kan tahu dia. Dia itu Gomes rumahnya di Tasi Tolu di pinggir kota. Saya yakin perjalanan dari sini ke rumahnya pasti lebih dari setengah jam", lanjut Salimin tenang.<br /><br />Majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum, tim pembela serta kawan-kawan aktivis demokrasi yang saya hormati.<br />Seiring dengan perjalanan waktu, ternyata politik kekerasan masih terus digunakan untuk membungkam suara kritis rakyat maupun kriminilitas. Di tahun 1980-an, ribuan orang yang diduga penjahat kambuhan, residivis atau preman bergelimpangan diseluruh negeri. Tiap hari kita mendengar kabar ditemukannya mayat bertatto dalam karung, bersimbah darah tertimpa timah panas. Petrus (penembak misterius) gentayangan diseluruh negeri "wild wild Indonesia", esoknya masyarakat menemukan "matius" (mayat misterius).<br /><br />Dalam tragedi ini, Soeharto membela diri dengan mengatakan: "Itu untuk shock therapy, supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya" (lihat, Soeharto: Tindakan, Ucapan dan Perbuatan).<br />Sementara itu LB. Moerdani yang waktu itu Pangab membantah dengan menyatakan mereka adalah korban perang antar geng. Terlepas dari kecaman dunia internasional dan masyarakat yang sadar hukum di dalam negeri yang tertuju pada Soeharto dan LB. Moerdani. Ketika itu di masyarakat beredar "joke" begini: "Kalau anda punya karung, juallah kepada LB. Moerdani, berapa jumlah dan harganya, pasti dibeli".<br /><br />Peristiwa Tanjung Priok 1984 sampai kini masih tetap menjadi misteri terutama mengenai jumlah korban. Begitu juga tragedi di Aceh, Lampung, Haur Koneng, Nipah dan terakhir di Timika, Irian Jaya. Jelas menunjukkan kekuatan militer adalah jawaban dari setiap perbedan pendapat atau sekedar tuntutan rakyat untuk mempertahankan tanah miliknya.<br />Dengan contoh diatas, Soeharto bagaikan" Rambo" bagi rakyat sendiri. Tentang Rambo, berikut dialog sesama Rambo : Sylvester "Rambo" Stalone dikalahkan Seharto dalam adu golf di Rawamangun (21-10-94) "Anda hebat, saya kagum dengan anda" kata Soeharto kepada Stallone. "Saya justru kagum kepada anda, jawab Stallone. "Saya cuma main film tak satupun korban jatuh. Andalah Rambo sesungguhnya, saya tahu beberapa jumlah korban setelah anda berkuasa," lanjut Stallone.<br /><br />Setelah kita melihat "Kekacauan" sebagai akibat dari diterapkannya stabilitas keamanan kaku yang menelan kurban ribuan rakyat, marilah kita kini membahas kekuasaan militer yang digunakan untuk konsolidasi politik.<br /><br />Tampilnya jenderal Soeharto dalam puncak kekuasaan di Indonesia pada 1965, dibarengi dengan naiknya militer dalam panggung politik di Indonesia. Sipil dianggap telah gagal menjalankan demokrasi di sini, hanya melahirkan perpecahan antar golongan dan daerah. Maka, begitu militer tampil, terjadilah penghijauan (militerisasi) dimana-mana. Dalam guyonannya, George Aditjondro didepan seminar 'bermasalah' tahun lalu, mengatakan: "Kalau jaman kolonial Belanda dulu Indonesia dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal . Kini dijaman Orde Baru, banyak Jenderal jadi Gubernur".<br /><br />Pemerintahan yang didominasi oleh militer, meski tidak bisa dikatakan bahwa negara secara keseluruhan adalah junta aparat militer, memang juga merekrut orang-orang sipil kedalam posisi manajemen. Maka tampaklah apa yang kemudian dikenal dengan nama "Mafia Barkeley" yang merancang kebijakan ekonomi. Orang-orang yang mempunyai dukungan politik dalam struktur sosial, secara sistematis disingkirkan dari pemerintahan. Pokoknya siapa yang dianggap bisa mempolitisir kelompok-kelompok sosial dicegah dengan segala cara.<br /><br />Maka mulailah era "pembangunan adalah panglima". Dengan memberikan prioritas pada bidang ekonomi, konsekuensinya adalah depolitisasi dengan segala macam atribut: mayoritas tunggal, massa mengambang, dan sebagainya. Wadah-wadah tunggal dalam berbagai sektor dibentuk untuk mendukung negara, sekaigus mengharamkan organisasi alternatif. KNPI, SPSI, HKTI, HNSI, PWI dan wadah tunggal lainnya bertindak sebagai intrumen patronase dan mobilisasi. Peneguhan untuk memantapkan sistem ini terjadi pada tahun 1985, ketika diresmikan lima paket undang-undang politik.<br /><br />Majelis hakim, jaksa Penuntut Umum, tim pembela serta kawan-kawan aktivis demokrasi yang saya hormati.<br />"Pembangunan masih harus dilanjutkan", demikian berulang kali diucapkann Presiden Soeharto. Tapi dalam kenyataannya, pembangunan ekonomi tak dapat dielakkan membawa kesenjangan antara pusat dan daerah, pengusaha kuat dan lemah, dan ketimpangan sosial. Angka pendapatan perkapita menurut Bank Dunia sudah US$ 884 dolar dan tingkat pertumbuhan ekonomi 5% sampai 7% pertahun, namun kemiskinan, keterbelakangan dan ketidak adilan pembagian pendapatan nasioal tetap menjadi masalah besar.<br /><br />Selama ini pembagunan lebih banyak dinikmati oleh segolongan pengusaha saja. Kepincangan pembagian kue telah terjadi selama ini. Sekitar 20% penduduk kaya di Indonesia ternyata telah menikmati rejeki 60% dari produk nasional bruto. Sedang 60% penduduk miskin haya kebagian 20% (data PDBI).<br /><br />Masih dari data PDBI, total omset 116 konglomerat Indonesia mencapai 144,5 trilyun rupiah dengan total aset 300 trilyun rupiah. Dibandingkan dengan produk nasional bruto saat ini, ini berarti 48% dan 76%. Bisa dibayangkan bagaimana 30 juta pengusaha menengah dan kecil lainnya memperebutkan serpihan-serpihan kue tersebut.<br /><br />Sudah bukan rahasia lagi, membesarnya konglomerat adalah karena akses yang sangat dekat dengan penguasa. Sentralisasi kekuasaan berdampak buruk bagi rakyat. Terjadinya kolusi antara pengusaha dengan penguasa, memunculkan manusia hibrida baru bernama penguasaha. Praktek-praktek monopoli, oligopoli, kartel atas komoditi yang sangat dibutuhkan rakyat misalnya: kertas, semen, terigu dan tekstil seakan tak terkendali. Sementara itu penyakit akut bernama korupsi terus menggerogoti negeri ini.<br /><br />Majalah berpengaruh yang terbit di jerman, Der Spiegel, awal Juli lalu melaporkan hasil penelitian "Trasparancy International", sebuah lembaga penelitian di negara tempat Habibie menuntut ilmu, bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup diantara 41 negara lain di dunia.<br /><br />Mengapa korupsi sukar diberantas di Indonesia? Karena perilaku kotor tersebut memperoleh teladan dari pemimpinnya sendiri. Sogok-sogokan, suap-suapan, tilep-tilepan menjadi perilaku yang dianggap wajar jika ingin berhasil. Seorang Siswono Yudohusodo menteri yang suka berpuisi itu dengan sinis mensinyalir bahwa saat ini terjadi: "Amenangi Wolak-waliking jaman, mengalami kemelut perubahan jaman". Kata mantan aktivis GMNI: "Ibu Pertiwi meratap sedih melihat anak negeri ini banyak berubah. Nilai-nilai bergeser dan membuat ukuran-ukuran menjadi kacau. Cerdik semakin dekat dengan licik. Jujur semakin dekat dengan bodoh. Ada senyum yang penuh dengan prasangka, ada kebaikan antara pengusaha dan peguasa yang sarat pamrih" (Kompas, Tajuk Recana 2 Juni 1995).<br /><br />Ya, memang kita sudah memasuki wolak-waliking jaman, jungkir baliknya perubahan jaman. Orang kritis seperti Bambang Warih Kusuma, dianggap tidak sopan. Orang yang sangat mencintai bangsanya namun tak suka penguasanya, seperti Yenni Rosa Damayanti, dicerca dengan tak nasionalis. Orang Kritis terhadap penguasa seperti Sri Bintang Pamugkas dibilang menjual negara. Seorang office boy yang bekerja di AJI yang tak mengerti apa-apa dipenjara 1,8 tahun dengan tuduhan menghina pemerintah. Sementara, orang yang berta nggung jawab terhadap pembunuhaan ribuan rakyat Timor-Timur mejadi pahlawan. Orang yang memalukan bangsanya dengan pelecehan seksual di Selandia Baru dilindungi seperti tak pernah melakukan apa-apa. Orang dituduh menghina Agama seperti Permadi, Arswendo diseret kepengadilan, sementara Harmoko yang memplesetkan AL-Quran tak diperlakukan hal yang sama.<br /><br />Jaman edan telah datang bersama dengan era gobalisasi ekonomi dan abad komunikasi. Sentralisasi kekuasaan yang menjurus personifikasi kekuasaan juga merambat ditubuh ABRI. ABRI yang sejatinya milik rakyat, justru kini kian jauh dari rakyat. ABRI kian jauh dari cita-cita panglima Soedirman, Ia justru menjadi alat kekuasaan atau pegusaha besar. Promosi pangkat yang tak masuk akal. Semuanya tergantung Soeharto. Prestasi buat tentara saat ini tidaklah penting, lebih utama adalah loyalitas dan kedekatan dengan S oeharto. Tak heran jika di sekeliling Soeharto adalah mereka-mereka bekas ajudan yang belum tentu berprestasi. Wanjakti sebagai salah satu forum kenaikan pangkat telah lama dianggap tak ada oleh seorang Soeharto, petinggi ABRI.<br /><br />Dibidang hukum, kekacauannya tak kalah mengerikan dibandingkan dengan bidang lainnya. Disatu sisi kemajuan jaman tak bisa dijangkau dengan produk-produk hukum yang telah usur. Disisi lain, memang cita-cita negara hukum masih hanya mimpi, justru negara kekuasaanlah yang menjadi realita. Institusi Yudikatif yang merdeka, dengan mudah dapat dipengaruhi eksekutif hanya dengan sebuah kata himbauan. Putusan-putusan yang selalu merugikan rakyat kecil misalnya dalam kasus Kedung Ombo, Hanock ohe dan kasus-kasus pol itik, membuktikan bahwa kekuasaan kehakiman telah dikacaukan oleh kekuasaan eksekutif.<br /><br />Sudah bukan rahasia lagi saat ini hakim maupun jaksa berkolusi dengan preman. Plesetan tentang Hakim: "Hubungi Aku Kalau Ingin Menang", atau Jaksa: "Jika Anda Kesulitan Suaplah Aku", dan KUHP: "Kasih Uang Habis Perkara", membuktikan dunia hukum kita kacau.<br />Bagaimana kekacauan akan kita akhiri bersama ? Karena sumber kekacauan adalah Soeharto sebagai pemimpin negari ini maka tiada kata lain selain harus ada SUKSESI. Kekuasaan cederung korup dan kekuasaan yang mutlak cenderung untuk korup secara mutlak (Lord Acton). Kita harus menghentikan kultus individu. Dan ingatlah hormat dan cita kasih kita pada seorang pemimpin tidak boleh berlebihan sehingga dapat mematikan akal sehat kita.<br /><br /> BAB IV PENUTUP<br />Majelis hakim yang terhormat, tim pembela serta pendukung demokrasi yang saya cintai.<br />Sampailah saya pada akhir pledoi ini.<br /><br />A. Kesimpulan:<br />Melalui kesaksian Adnan Buyung Nasution sendiri, saksi ahli Ariel Heryanto dan Atmakusumah, jelas saya hanya mengutip kalimat dari Adnan Buyung Nasution yang diucapkan di tirakatan pada tanggal 23 Juni 1994.<br /><br />Saya hanya melaporkan, menuliskan adanya kekacauan terutama pada kasus pembredelan Tempo, Editor, dan Detik. Namun ternyata, dalam pledooi justru saya dapat menunjukkan kekacauan yang sudah menjurus ke jaman edan.<br /><br />B. Permohonan :<br />Kepada majelis yang menyidangkan perkara saya saat ini. Saya tak mengharapkan apa-apa. Jika majelis menjatuhkan hukuman terhadap saya tinggi, saya tak membenci anda sekalian. Kalau majelis menjatuhkan hukuman pada saya rendah, saya juga tak akan memuji-muji anda sekalian. Saya hanya berpesan anda agar anda bertanggung jawab terhadp Tuhan YME dan hati nurani, bukan kepada atasan. Untuk itu saya mencatat sebagian perjalanan hidup saya ini, dan anda sekalian ikut terlibat di dalamnya.<br /><br />C. Himbauan :<br />Saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa saya bukanlah orang terakhir yang mengalami pemenjaraan Orde baru seperti sekarang ini. Masih akan ada lagi calon-calon penghina Soeharto. Hal itu akan terjadi, karena memang pada dasarnya Soeharto patut dihina. Untuk itu saya berpesan, agar anda latihan dulu. Anda boleh menghina Soeharto sepuas-puasnya dengan meneriakkan yel-yel : "Ganti Soeharto !" , "Soeharto Goblok !", dll, tanpa kena jerat pasal 134 KUHP. Bagaimana caranya ? Tontonlah sepakbola antara Medan Jaya melaw an manapun, dimana salah seorang pemainnya bernama Soeharto. Anda akan beruntung, beli satu tiket bisa menonton bola, karate, bahkan bisa menghina Soeharto sepuas-puasnya. Terima kasih.<br /><br />Pondok Salemba Indah, 1 September 1995<br /><br /><br /> Tri Agus S. Siswowihardjo<br /><br />Keterangan: Pada akhir persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Tri Agus S Siswowihardjo divonis 2 (dua) tahun penjara. Keputusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan kasasi Mahkamah Agung, tetap memvonis 2 (dua) tahun. Selama dua tahun (9 Februari 1995 – 9 Februari 1997) Tri Agus S Siswowihardjo menjalani pemenjaraan di Rutan Polres Jakarta Pusat, Rutan Salemba, LP Cipinang, LP Cirebon, Jawa Barat dan LP Subang, Jawa Barat.tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-43234192787926804112008-01-22T18:04:00.000+07:002008-01-22T18:07:49.803+07:00MENGAPA JUNTA MILITER BURMA BISA BERTAHAN LAMA DI PANGGUNG KEKUASAANMENGAPA JUNTA MILITER BURMA BISA BERTAHAN LAMA<br />DI PANGGUNG KEKUASAAN <br /><br />Pendahuluan:<br /><br />Dunia menyaksikan aksi yang dimotori para biksu dan aktivis Gerakan 88 pada September 2007 di Burma. Gerakan itu sendiri ditumpas dengan tindakan represif junta militer. Menurut pengakuan resmi junta militer, setidaknya 15 orang tewas, termasuk biksu dan seorang wartawan asal Jepang. Sementara para aktivis percaya, lebih dari 70 orang tewas. Ratusan bahkan ribuan biksu ditangkap dan ditahan di beberapa kampus dan biara. Apa yang terjadi di Burma membuat dunia marah. Aksi solidaritas dan dukungan terhadap perubahan politik di Burma digelar di kota-kota di seluruh dunia, dari Oslo sampai Solo, termasuk di Jakarta.<br /><br />Pertumpahan darah dalam usaha mengakhiri otorianisme di negeri seribu pagoda kali ini bukanlah yang pertama. Sejak militer berkuasa pada 1962, setidaknya ada tiga pembantaian dan penangkapan besar-besaran terhadap aktivis pro demokrasi. Pertama, aksi up rising pada 8 Agustus 1988 (dikenal dengan aksi 8888) diduga militer menewaskan 3.000 aktivis mahasiswa. Kedua, usai partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi memenangkan secara mutlak pemilu 1990, junta menangkapi mahasiswa, aktivis, bahkan anggota parlemen terpilih. Ribuan aktivis dipenjara, banyak yang tewas dalam penjara yang kondisinya sangat buruk. Ketiga, aksi September 2007 yang dipelopori para biksu, menyusul kenaikan BBM sebesar 500 persen.<br /><br />Mengapa reaksi dunia begitu keras terhadap punguasa Burma, sehingga aksi solidaritas merata di seluruh belahan dunia? Sebenarnya tak sulit menjawab dua pertanyaan di atas. Peristiwa demo September 2007 oleh para biksu dan aktivis ditonton langsung oleh jutaan pemirsa di berbagai penjuru dunia. Sedangkan peristiwa 1988 baru tersiar dalam bentuk foto dan tayangan video, dalam hitungan hari, minggu, bahkan bulan. Hampir mustahil untuk mengungkapkan kebenaran ketika mata-mata pemerintah berkeliaran di mana-mana. Pengawasan yang ketat terhadap media massa terus dilakukan junta militer. Wartawan, terutama wartawan asing, sulit untuk bisa mencari berita di negara paling tertutup di dunia itu.<br />Namun, berkat teknologi baru dan kerja keras aktivis, serta orang biasa yang peduli dan berani, semua ketertutupan itu bisa dibuka. Keberadaan internet, sambungan satelit, dan telepon kamera secara tidak langsung membantu perjuangan para aktivis untuk mengabarkan apa yang sedang terjadi di Burma saat ini. Menurut Dominic Faulder, wartawan Inggris yang bertugas di Bangkok, Thailand, situasi saat ini sangat berbeda. “Sekarang, seluruh warga bisa menjadi wartawan. Mereka melaporkan apa yang sedang terjadi dengan menggunakan telepon dan video yang tidak dapat dilakukan pada 1998," tambah Faulder.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a><br />Berkat teknologi warga Kota Rangoon bisa menjadi wartawan. Mereka menjadi citizen journalist yang melaporkan secara langsung peristiwa yang terjadi di jalanan, termasuk foto dan video, kepada jaringan berita internasional, seperti CNN dan BBC. Laporan warga juga disebarluaskan oleh Democratic Voice of Burma (DVB) yang berada di Oslo, Norwegia. Jaringan berita yang dijalankan oleh para pelarian Burma itu kini menjadi sumber berita bagi jutaan warga Burma di luar negeri. Menurut Pemimpin Redaksi DVB Aye Chan Naing jaringan berita yang didirikan pada 1992 itu memperoleh foto dan gambar secara langsung tentang situasi di Burma. Gambar-gambar dramatis tentang bentrokan aparat dan pengunjuk rasa dikirim melalui email (surat elektronik) oleh warga dan aktivis di dalam negeri.<br />Vincent Brossel, Direktur Desk Asia organisasi Reporters Without Borders mengatakan junta militer Burma mulai mengendus cara-cara para aktivis dan berusaha mencegah aliran berita dari dalam negeri. Mereka memperlambat koneksi internet dan berusaha mematikan pelayanan telepon seluler. Junta militer Burma sudah tidak bisa lagi membendung arus informasi dari dalam negeri ke seluruh penjuru dunia. Sudah tidak ada lagi yang bisa ditutupi di era informasi seperti sekarang ini, termasuk perilaku otoriter penguasa.<br />Junta militer tak tinggal diam. Mereka lalu merusak kabel bawah air ini untuk menghentikan jaringan internet. Sebelum perusakan jaringan internet, junta Burma menuduh media asing menerbitkan "kebohongan" soal penumpasan aksi protes antijunta. "Media Barat tertentu dan media antipemerintah menyiarkan berita utama dan berita yang menyimpang guna mendorong protes massa," tulis media cetak pemerintah, New Light of Myanmar, di tajuknya.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a><br />Selain jaringan internet dilumpuhkan, sejumlah media cetak juga diberangus. Langkah ini bagian dari upaya menghentikan seluruh informasi soal aksi protes di Burma tidak saja bagi dunia luar, tetapi juga di dalam negeri. Warung internet yang ada di Rangoon juga diberangus, kata Aung Zaw<a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn3" name="_ftnref3">[3]</a> dari majalah Irrawaddy, majalah kelompok perlawanan yang berbasis di Chiang Mai, Thailand. Militer menyerbu Myanmar Info-Tech yang banyak memasok foto dan video soal aksi protes, kata Aung Saw kepada wartawan Kompas di Bangkok. Pemberangusan ini diharapkan dapat menghentikan pengiriman foto dan video oleh wartawan, aktivis, dan bloger ke luar Burma kian berkurang atau berhenti total.<br />Tekanan juga dilakukan junta atas para penerbit surat kabar swasta. Media massa dipaksa tutup karena menolak menyiarkan propaganda militer. Sembilan surat kabar mingguan ditutup di Rangoon. Selain karena dipaksa militer, juga karena jaringan distribusi yang lumpuh akibat kerusuhan.<br />Kebrutalan militer Burma tak berhenti di situ. Selain merusak jaringan dan penyediaan warung internet, junta juga memerintahkan tentara untuk secara khusus memukul dan merampas siapa saja yang membawa kamera video atau telepon seluler (ponsel) berkamera di tengah aksi brutal tentara menghalau para pemrotes. Wartawan kantor berita APF Jepang, Kenji Nagai, yang tewas saat mengambil gambar aksi brutal junta, merupakan korban dari sikap militer memukul siapa saja yang membawa kamera video. Nagai tewas dengan luka tembak menembus bagian bawah dada. Dia sedang menenteng kamera video saat ditembak.<br />Biksu adalah pelopor aksi yang dipicu oleh kenaikan BBM 500 persen, namun ada sejumlah organisasi massa dan mahasiswa. Mereka tergabung dalam sebuah kelompok besar yang diberi nama Mahasiswa Generasi 88. Beberapa orang yang aktif dalam organisasi itu pernah terlibat dalam aksi unjuk rasa besar-besaran pada 1988. Organisasi yang bergabung dalam Mahasiswa Generasi 88 antara lain All Burma Students Democratic Front (ABSDF), Democratic People for a New Society (DPNS), National League for Democracy (Liberated Area) atau NLD-LA, National Coalition Government of the Union of Burma (NCGUB), Arakan Liberation Party (ALP), Federation of Trade Union-Burma (FTUB), dan Democratic Alliance of Burma (DAB).<a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn4" name="_ftnref4">[4]</a><br />Biksu, aktivis Generasi 88 serta masyarakat lain yang menjadi citizen journalist telah menoreh sejarah bahwa perlawanan rakyat Burma itu masih ada. Sejak junta militer berkuasa pada 1962, perlawanan tak hanya sampai pada up rising 8 Agustus 1988 dan kemenangan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada 1990, tetapi pada September 2007 dunia menyaksikan masih ada benih-benih perlawanan terhadap rezim anti demokrasi di Burma.<br />Pada 8 Agustus 1988, para mahasiswa memimpin pemberontakan dan para biksu memberikan dukungan. Sekarang para biksu berada di depan, kita seakan berharap junta segera tumbang. Tampaknya terlalu banyak faktor yang dipertaruhkan dalam menghadapi junta militer. Dari Jakarta sampai New York, bahkan Beijing, hanya seruan yang bisa dilakukan agar para penguasa di sana menahan diri dan mencari sebuah penyelesaian politik untuk kembali melakukan rekonsiliasi nasional.<br />Berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia pada 1998, di mana gerakan mahasiswa dan rakyat didukung dunia internasional, mampu melengserkan Soeharto, tampaknya, kita bakal kecewa menunggu junta militer Burma jatuh. Harapan itu kian jauh manakala China, India bahkan Rusia masih setia berada di belakang junta. Selama masih ada negara kuat yang membela, dan di internal junta masih kukuh bersatu, demokrasi dan hak asasi manusia masih merupakan barang haram. Media massa dan peran wartawan warga memang mampu membuka mata dunia, namum itu belum cukup untuk menggulingkan junta dan mengubah Burma menjadi negara demokratis.<br /><br />Permasalahan:<br /><br />Makalah ini tak akan membahas mengenai peran media massa, melainkan tentang bagaimana junta militer mempertahankan kekuasaan mereka. Banyak topik yang bisa dibahas di sini, namun makalah ini harus fokus pada satu atau dua topik. Karena itu sengaja dipilih permasalahan; Mengapa junta militer bisa bertahan lama dan tetap berkuasa di Burma? Apa yang membedakan karakteristik junta militer Burma dengan rezim-rezim militer negara lainnya, terutama di Indonesia?<br /><br />Pembahasan:<br /><br />Penulisan makalah berdasarkan studi pustaka ini akan diawali dengan penjabaran tentang istilah, lalu dibahas beberapa teori yang mendukung, sekilas militer Burma, peluang dan tantangan demokratisasi, dan kesimpulan.<br /><br />Sebelum masuk lebih jauh ke pembahasan ini ada baiknya dijelaskan beberapa istilah di bawah ini. Pertama, makalah ini menggunakan istilah Burma, bukan Myanmar untuk menyebut sebuah negara di Asia Tenggara yang kini sedang bergejolak. Pada mulanya nama resmi negeri ini adalah Union of Burma, yang merdeka dari Inggris pada 4 Januari 1948. Namun pada 1989, junta militer – tentu saja tanpa persetujuan rakyat – mengubah mana negeri ini menjadi Myanmar. Burma sendiri diambil dari nama suku bangsa mayoritas dalam bahasa Inggris, sementara Myanmar adalah pengucapan lokal dari istilah Burma. Selain nama negara, junta juga mengubah nama kota terbesar (dulu ibukota) Rangoon menjadi Yangon. Meski secara resmi di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Myanmar dan ASEAN dipakai, namun Amerika Serikat, Uni Eropa dan kelompok oposisi pro-demokrasi (termasuk Aung San Suu Kyi) dan aktivis solidaritas internasional tetap menggunakan istilah Burma.<br /><br />Kedua, istilah Junta militer berasal dari bahasa Spanyol yang berarti dewan militer. Menurut Oxford Concise Dictionary of Politics<a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn5" name="_ftnref5">[5]</a> junta mengacu pada abad 16 saat komite konsultasi pemerintah yang dijabat oleh para jenderal. Pada era modern sekarang istilah ini mengacu kepada dewan militer yang menguasai sebuah negara menyusul kudeta, sebelum konstitusi baru berlaku. Di Amerika Latin biasanya diketuai oleh Panglima Angkatan Bersenjata yang membawahi ketiga angkatan yakni darat, laut dan udara. Begitu juga di Thailand dan Pakistan yang baru-baru ini mengambil kekuasaan.<br /><br />Ketiga, statistik Burma<a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn6" name="_ftnref6">[6]</a>. Saat ini negeri seluas 676.578 kilometer persegi ini, berpenduduk 53 juta (Juli 2007), mayoritas beragama Budha (89%) ditambah Kristen (4%), Islam (4%) dan lainnya (3%). Pada 2005 PDB per Kapita 1.691 dolar Amerika Serikat. Etnik yang menghuni negeri ini mayoritas Burma (68%), disusul Shan (9%), Kayin (7%), Rakhine (4%), Mon (2%), selain itu masih ada Karen, Kareni, Kayah, dan Kachin. Berikut statistik pengungsi Burma<a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn7" name="_ftnref7">[7]</a>. Di Burma sendiri atau Internal Displaced Persons (IDP) sejumlah 500.000 orang. Di Thailand, 10 kamp pengungsi 154.000, di luar kamp pengungsi 200.000, dan pekerja imigran 2.000.000 orang. Di Bangladesh 200.000 orang (mayoritas etnis Rohingya yang beragama Islam), di India 60.000 orang dan Malaysia 20.000 orang. Selain itu beberapa negara yang menampung pekerja migran maupun aktivis Burma adalah Jepang, Australia, Amerika serikat dan Uni Eropa.<br /><br />Kerangka Teori<br /><br />Eric A. Nordlinger, menjelaskan fenomena campur tangan militer dalam politik. “Seorang pretorian coba menunjukkan kalau mereka adalah perwira yang bertanggung jawab dan berjiwa nasional. Rasa kebangsaan yang mementingkan orang banyak ini menyebabkan mereka tidak punya pilihan lain kecuali mempertahankan konstitusi dan negara dari pengaruh pemerintahan sipil yang sangat labil. Pihak militer menganggap bahwa mereka perlu menentukan apakah konstitusi telah diubah atau kepentingan negara telah terancam dan menentukan apakah campur tangan dibutuhkan atau tidak.” (Nordlimer, 1990:30)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn8" name="_ftnref8">[8]</a> Amos Perlmutter membagi militer pretorian menjadi dua yaitu, modern pretorian dan historical pretorian (Perlmutter, 1969:383)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn9" name="_ftnref9">[9]</a> Sementara Samuel Huntington mengungkap sebab terjunnya militer dalam politik dengan cara mengamati beberapa tindakan kudeta dalam suatu sistem politik (Sjamsuddin, etall, 1980) <a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn10" name="_ftnref10">[10]</a>.<br /><br />Militer pretorian adalah militer yang memekarkan peranannya dengan menyalahi etika profesionalisme militer. Yaitu dengan memainkan fungsi pertahanan keamanan sekaligus fungsi sosial politik. Tentu saja peranan militer ini berbeda dengan militer revolusioner yang memainkan fungsi hankam dan sosial politik atas dasar kebutuhan revolusi. Dan, jauh berbeda dengan militer profesional di barat yang memainkan peran hankam dengan bermodalkan keahlian, tanggung jawab dan karakter korporasi.<br /><br />Sekilas Burma:<br />Burma dikuasai secara penuh oleh kolonial Inggris sejak 1885. Negara itu kemudian dijadikan sebagai sebuah provinsi dari India yang juga dijajah Inggris. Pada 1937, Inggris memisahkan Burma dari India. Selama Perang Dunia Kedua, Burma diduduki Jepang melawan tentara sekutu dan dibantu Burma Independence Army (BIA), Tentara Kemerdekaan Burma yang dilatih oleh tentara Jepang. Hal ini sama dengan yang dilakukan Jepang di Indonesia dengan mendirikan antara lain Peta.<br /><br />Pada Maret 1945, beberapa tentara dari Burma Independence Army yang dipimpin Jenderal Aung San – ayah Aung San Suu Kyi – mengubah tentara ini menjadi pendukun Anti-Fascist People’s Freedom League (AFPFL), sebuah gerakan perlawanan anti Jepang. Kekuatan koalisi ini didukung oleh kelompok etnis termasuk Karen dan lainnya, pada akhirnya mampu merebut kemerdekaan dari Jepang.<br /><br />Setelah bebas dari tentara Jepang, Aung San mewakili kelompok perlawanan dan pemerintah Inggris di Burma menyepakati perjanjian di mana Inggris memberi kemerdekaan kepada Burma yang secara efektif pada 4 Januari 1948. Namun sebelum Burma merdeka, Aung San dan enam orang pendiri negeri ini dibunuh pada 19 Juli 1947.<a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn11" name="_ftnref11">[11]</a> Konstitusi Burma merdeka menganut bikameral dengan perdana menteri yang memimpin kabinet. Wilayah yang mayoritas etnik seperti Shan, Kachin, Kayin, Kaya, dan Chin memiliki otonomi sendiri, meskipun tetap mengakui Union of Burma yang berpusat di Rangoon. Dari 1948 sampai 1962 pemerintahan sipil Burma dilakukan secara demokratis berdasarkan perwakilan rakyat. Meski demikian, konflik internal terus berlangsung berdasar alasan politik, sosial, dan etnik.<br /><br />Pada 1962<a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn12" name="_ftnref12">[12]</a>, pemerintahan sipil pimpinan Perdana Menteri U Nu dikudeta oleh kekuatan militer yang dipimpin Jenderal Ne Win. Ne Win kemudian memilih jalan sosialis “Burmees Way to Socialism” dan menjauhkan Burma dari dunia internasional. Selain itu, Ne Win juga mengembangkan pemerintahan militer yang anti-asing (A xenophobic military government). Ne Win membubarkan semua partai politik, lalu mendirikan Burma Sosialist Programme Party sebagai partai tunggal negeri itu. Selama Ne Win berkuasa perlawanan dari partai Komunis Burma dan kelompok-kelompok etnis terus berlangsung. Situasi ekonomi memburuk, meski pemerintah menasionalisasi beberapa perusaan asing dan swasta. Negara menuju kepada kebangkrutan. Menurut Ne Win The Bumese Way to socialism merupakan gabungan dari Budhism, Marxism, xenophobia, nasionalist dan megalomania. <a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn13" name="_ftnref13">[13]</a><br /><br />Pada 1987, ekonomi Burma ambruk. Nilai mata uang jatuh, banyak tabungan masyarakat di bank dihapus. Burma yang sebelumnya tingkat kesejahteraan di Asia berada di bawah Jepang, antara lain karena menjadi negara pengekspor beras terbesar sedunia, terjun bebas menjadi negara termiskin dan terkorup di dunia. Muncullah aksi-aksi demonstrasi menentang pemerintah yang gagal. Demostrasi terjadi di beberapa kota termasuk di Rangoon. Kali ini aktivis mahasiswa bersama biksu memimpin gerakan. Namun gerakan ini diakhiri dengan pembantaian pada 8 Agustus 1988, atau dikenal 8.8.88, di mana sekitar 3.000 aktivis tewas. Saat menyampaikan pengunduran dirinya, Ne Win mengatakan “Jika tentara diturunkan menghadapi pengunjuk rasa mereka akan menggunakan senjatanya. Diarahkan langsung membidik sasaran. Tentara tidak mengenal tradisi menembak ke udara” (1988)<a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn14" name="_ftnref14">[14]</a> Militer kemudian membentuk SLORC (State Law and Order Restoration Council). SLORC memerintah dengan darurat militer dan terus mematahkan gerakan anti-pemerintah militer. Pada tahun 1989, junta militer menggati nama negara menjadi Myanmar.<br /><br />SLORC menyetujui pemilihan umum dengan multi partai. Maka pada 27 Mei 1990 digelar pemilu untuk memilih anggota parlemen. Liga Nasional untuk Demokrasi (the National League for Democracy, NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi memenangi 80 persen suara. Junta militer terkejut, partai yang didukungnya kalah telak. SLORC akhirnya tak mengakui hasil pemilu, bahkan menangkapi para anggota parlemen terpilih dan memenjarakan mereka, mengisolasi Aung San Suu Kyi dengan menahannya di rumah, serta memberangus semua gerakan pro-demokrasi baik di kampus maupun di luar kampus. Kebebasan pers, berkumpul dan berpendapat dibatasi.<br /><br />Pada 1997 SLORC mengubah nama menjadi SPDC (State Peace and Development Council). SPDC terdiri dari 19 jenderal – termasuk Angkatan Laut dan Angkatan Udara - dengan empat jenderal Angkatan Darat yang menjadi pengendali utama. Than Swee sejak 1992 menjadi jenderal senior yang merupakan pemimpin junta militer Burma. Sejak 1988 sampai 2007, kekuatan militer meningkat dari 200.000 personel menjadi 480.000 personel.<br /><br />Arogansi junta militer Burma mirip dengan TNI ketika zaman Soeharto. Tatmadaw, sebutan angkatan bersenjata Burma, selalu mengklaim dirinya sebagai institusi yang paling berjasa dalam memperjuangkan atau mempertahankan kemerdekaan. Menonjolkan prestasinya menyelamatkan negara, yang nyaris tercabik-cabik oleh pemberontakan Partai komunis Burma dan lebih dari 50 kelompok etnis sejak tahun 1950an. Di sisi lain sipil di nilai gagal, tak becus memimpin negara, karena konflik di tingkat elit politik. Ketika situasi genting, sipil menyerahkan tanggung jawab pada militer. Seperti dilakukan Perdana Menteri U Nu ketika menunjuk Kepala Staf Angkatan Bersenjata Ne Win sebagai pelaksana sementara PM (1958-1960).<br /><br />Seperti Soeharto menggulingkan Soekarno berbekal Surat Perintah Sebelas Maret 1966, Ne Win juga melakukan hal yang sama terhadap U Nu (yang kebetulan sahabat Soekarno bersama PM Jawaharlal Nehru dari India, PM Chou En Lai dari China dan PM Gamal Abdul-Nasser dari Mesir sebagai tokoh Asia Afrika). Junta militer semakin kuat pada saat yang sama kekuatan sipil makin melemah. Inilah hal utama yang menyebabkan kekuatan sipil tak mampu mengimbangi tentara yang secara sistematis menguasai negara di segala aspek.<br /><br />SPDC meskipun mulai membuka diri terhadap asing antara lain mengundang wisatawan dan investor namun hasilnya hanya untuk kepentingan militer semata. Dua lembaga bisnis yang berkuasa adalah Union of Myanmar Economic Holding (UMEH) dan the Myanman Economic Corporation (MEC). Bisnis yang seluruhnya dikuasai militer itu bergerak di bidang perhotelan, pariwisata, migas, batu mulia, perbankan, perkapalan, real estate dan kehutanan. Beberapa negara yang menjadi pendukung junta militer adalah China, India dan Rusia. Selain itu banyak perusahaan berinvestasi di sana terutama dari Thailand, Singapura, bahkan dari Perancis (Total).<br /><br />Untuk menjelaskan betapa bisnis junta hanya untuk kepentingan militer, berikut data-data anggaran yang dikeluarkan untuk berbagai bidang. Anggaran militer berkisar antara 30-50%. Kesehatan 3%, pendidikan 8%. Pada 1990-1999 Burma menempati urutan lima terbawah dari 128 negara sebagai negara termiskin yang mengalokasikan 3% dari GDP untuk pendidikan, namun pada 1990/2000 menyusut menjadi 0,3% dari GDP untuk pendidikan. WHO menempatkan Burma sebagai negara terburuk kedua setelah Sierra Leone dari 191 negara. UNICEF mencatat 36% anak di bawah 5 tahun menderita kurang makan. HIV/AIDS menjadi ancaman serius, UNAIDS melaporkan rata-rata HIV inveksi di Burma adalah 1,3% bahkan survei lain mencatat 3,46% <a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn15" name="_ftnref15">[15]</a>. UNDP mencatat 75% populasi rakyat Burma hidup di bawah garis kemiskinan.Dengan estimasi GDP US$ 74,3 miliar dan GDP per kapita US$ 1.700. Pada 2003 GDP Burma lebih rendah dari Bangladesh. Laos, Thailand dan Malaysia. Inflasi pada tahun yang sama 49,7%, ini menempatkan diri menjadi negara kedua tertinggi inflasinya dari 176 negara.<br /><br />Di samping masalah-masalah di atas, Burma juga negara yang dikecam dunia karena menggunakan anak di bawah umur untuk tentara, penerapan kerja paksa, pelegalan narkoba, penggunaan sistem perkosaan untuk etnis minoritas. Dengan kata lain sejak mencampakkan pemenang pemilu pada 1990, junta militer makin melanggengkan kekuasaannya dengan berbagai pelanggaran HAM. Termasuk di bidang pendidikan, yaitu menutup universitas yang dianggap pusat gerakan mahasiswa sejak 1988. Hanya universitas yang berbubungan langsung dengan junta militer yang masih dibuka.<br /><br />Ada hubungan antara militer Burma dengan TNI era Soeharto. Pada tahun 1993-1995 hubungan antara Indonesia dan Burma sangat erat terutama militernya. Hubungan ini bisa digambarkan sebagai “Two nation with Common Identity”. Indonesia seperti sebagai big brother bagi Burma. Duta Besar RI di Rangoon pada 1996 A. Poerwanto Lenggono mengatakan junta militer akan mempelajari konstitusi RI UUD 1945, ideologi Pancasila dan Dwifungsi TNI<a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn16" name="_ftnref16">[16]</a>.<br /><br />Aung San Suu Kyi percaya bahwa tak ada pemerintah yang mampu mengadopsi gaya pemerintah lainnya seperti SLORC (SPDC) terhadap Orde Baru. “Indonesia has a national language which is spoken by most of its people but not here in Burma. We do not have a national language.” <a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn17" name="_ftnref17">[17]</a> Selain itu, kata Suu Kyi, Orde Baru dipenuhi oleh teknokrat, ekonom dan insinyur lulusan dari barat. “The SLORC (SPDC) does not trust intellectuals. Intellectuals who are trying to say something rational could be easily accused of planning a plot againt them. They could end up in jail.” <a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn18" name="_ftnref18">[18]</a> Indonesia mempunyai Widjojo Nitisastro dan Mafia Barkley-nya sementara Burma tak punya seorang pun. Karena itu tak heran jika pada suatu masa Orde Baru pernah sukses dengan “Widjojonomic” sementara Burma sebaliknya.<br /><br />Meski sama-sama militer, yang menurut teori masuk dalam kategori pretorian, Orde Baru jauh lebih sukses, termasuk melahirkan kelas menengah baru, masyarakat sipil yang kritis dan media massa, meskipun pada akhirnya mereka justru bersama-sama menjatuhkan Orde Baru. Burma tak melahirkan kelas menengah yang mandiri, media massa dan masyarakat sipil yang kuat, karena telah diberangus sejak 1988 dan sengaja dimandulkan. Burma benar-benar menumpas dan mengharamkan kelas menengah tumbuh. Para aktivis pro-demokrasi Burma tak leluasa bergerak di dalam negeri, mereka lebih leluasa di luar negeri seperti di Thailand.<br /><br />Perbedaan lain antara militer Burma dan Indonesia, TNI lebih terbuka dengan mengikuti undangan atau pelatihan yang dilakukan di negara barat misalnya Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan lainnnya. Dengan munculnya generasi baru perwira yang dipengaruhi cara pandang militer profesional, maka sedikit demi sedikit dapat mewarnai militer di Indonesia. Selain itu, TNI mempunyai kesempatan mengikuti latihan bersama militer dengan negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Philipina, Australia, bahkan dengan Amerika Serikat. Juga, kesempatan TNI bergabung dengan Pasukan PBB melalui keikutsertaan Pasukan Garuda di berbagai wilayah konflik dunia seperti Timur Tengah, Balkan, hingga Kamboja. Pengalaman ini jelas mempengaruhi para perwira yang beruntung mengikuti pasukan PBB termasuk mantan perwira Susilo Bambang Yudhoyono yang kini Presiden RI.<br /><br />Kesimpulan:<br />Letjen (Purn) Agus Widjojo, utusan Presiden RI sempat bertemu PM Thein Sein dan Menteri Tenaga Kerja Aung Kyi yang ditunjuk mewakili junta, ketika kunjungan dalam rangka menghadiri pemakaman mantan PM Soe Win Oktober 2007. Menurut Agus Widjojo, “Belum terlihat indikasi konkret untuk bergerak maju menuju proses demokratisasi.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftn19" name="_ftnref19">[19]</a> Kesimpulan Agus Widjojo mungkin didasari pengamatan bahwa junta masih solid, tak ada tanda-tanda konflik internal, seperti yang dibayangkan banyak pengamat, karena itu junta tetap kurang serius bekerja sama dengan PBB yang mendesak agar proses rekonsiliasi nasional dan demokratisasi harus dipercepat. Junta masih belum tamat selagi kekuatan pro-demokrasi bisa di atasi dengan cara apapun dan beberapa negara kunci – China, India dan Rusia – masih setia menopang roda ekonomi negri itu. Meski Amerika Serikat, Australia dan Uni Eropa menjatuhkan sanksi ekonomi, junta tetap kompak tak kolap.<br /><br />Indonesia sebenarnya mampu, meski belum tentu mau, berperan lebih aktif untuk mempercepat demokratisasi di Burma. Pertama, kedekatan para pejabat RI dan Burma, terutama kalangan militer. Kedua, Indonesia mempunyai pengalaman menyelesaiakan konflik internal di Kamboja dan Philippina Selatan (Mindanau) yang berakhir suskses di meja perundingan. Namun karena Indonesia bersama ASEAN memiliki langkah yang sama; yaitu keras menekan namun tetap mengandeng Burma, sehingga junta militer secara internal ASEAN tetap aman dilindungi oleh kumpulan negara-negara yang lebih dari separuhnya merupakan negara tidak demokratis.<br /><br />Indonesia dan Burma, keduanya memiliki militer yang pretorian. Militer Indonesia bisa dipaksa menjadi profesional karena kombinasi tekanan oposisi (mahasiswa dan aktivis) menduduki DPR RI, perpecahan di kalangan elit (mundurnya beberapa menteri penopang Orde Baru), dan dukungan masyarakat internasional. Burma hanya memiliki unsur yang terakhir. Perubahan harus berasal dari dalam negeri, unsur eksternal hanyalah pendukung perubahan itu.<br /><br />Jakarta, 18 Nopember 2007<br /><br /><br />Daftar Pustaka:<br />Aung San Suu Kyi, Freedom from Fear, Penguin Books, 1995<br />Altsean Burma, From Consensus to Controversi, Bangkok 1997<br />DLA Piper Rudnick Gray Cary, Threat to The Peace, A Call for the UN Security Council to Act in Burma, 2005<br />Diktat Kuliah “Militer dan Politik di Indonesia”, disusun tim dosen Komunikasi Politik, Pascasarjana UI, 2007<br />Ian McLean, Oxford Concise Dictionary of Politics, Oxford University Press, 1996<br />Jan Donkers dan Minka Nijhuis, Burma Behind the Mask, Burma Centrum Netherland, 1996<br />Kompas (11 Oktober 2007, 29 September 2007, dan 29 Oktober 2007)<br />Suara Pembaruan (14 September 2007 dan 28 September 2007)<br />The Nation (18 Oktober 2007)<br />Tempo (18 Nopember 2007)<br /><br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Suara Pembaruan, 28 September 2007<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> Kompas, 29 September 2007<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn3" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref3" name="_ftn3">[3]</a> The Nation, 18 Oktober 2007, “Freedom flows in The Irrawaddy’ wawancara dengan Aung Zaw, editor dan pendiri majalah Irrawaddy<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn4" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref4" name="_ftn4">[4]</a> Suara Pembaruan, 14 September 2007<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn5" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref5" name="_ftn5">[5]</a> Oxford Concise Dictionary of Politcs, Oxford University Press, 1996, hal 261<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn6" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref6" name="_ftn6">[6]</a> Kompas, 11 Oktober 2007<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn7" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref7" name="_ftn7">[7]</a> Tempo, 18 November 2007, hal 133 dikutip dari Burma Human Right Yearbook 2006, Home of Common, Inggris 2007<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn8" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref8" name="_ftn8">[8]</a> Diktat Mata Kuliah “Militer dan Politik di Indonesia”, Manajemen Komunikasi Politik UI, 2007<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn9" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref9" name="_ftn9">[9]</a> ibid<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn10" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref10" name="_ftn10">[10]</a> ibid<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn11" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref11" name="_ftn11">[11]</a> Aung San Suu Kyi, Freedom from Fear, Penguin Book, 1995, hal 35<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn12" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref12" name="_ftn12">[12]</a> Threat to The Peace, A Call for the UN Security Council to Act in Burma, DLA Piper Rudnick Gray Cary, 20 September 2005, hal 8<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn13" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref13" name="_ftn13">[13]</a> Jan Donkers dan Minka Nijhuis, Burma Behind the Mask, Burma Centrum Netherland, 1996, hal 58<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn14" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref14" name="_ftn14">[14]</a> Kompas, 29 Oktober 2007<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn15" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref15" name="_ftn15">[15]</a> Threat to The Peace, A Call for the UN Security Council to Act in Burma, DLA Piper Rudnick Gray Cary, 20 September 2005, hal 25-26<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn16" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref16" name="_ftn16">[16]</a> Andreas Harsono, dalam From Consensus to Controversi, Alternative Asean Network on Burma (Altsean), 1997, hal 57<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn17" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref17" name="_ftn17">[17]</a> Ibid hal 59<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn18" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref18" name="_ftn18">[18]</a> Ibid hal 59<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn19" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=1226244792643661464#_ftnref19" name="_ftn19">[19]</a> Tempo, 18 November 2007tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1226244792643661464.post-58903173903147542742008-01-22T17:58:00.000+07:002008-01-22T18:02:27.231+07:00Menularkan Pengalaman Berdemokrasi ke MyanmarKebrutalan junta Myanmar telah mengundang kecaman dunia. Tidak hanya menyulut ketidakstabilan keamanan, kediktatoran penguasa militer di Myanmar juga menggoyahkan perekonomian negara. Tetapi entah mengapa, kekerasan tiada henti-hentinya melanda negara itu, termasuk serangan bom beruntun beberapa hari terakhir.<br /><br />Pascademonstrasi antikenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) pada September 2007 yang dimotori aktivis prodemokrasi dan biksu, memang belum ada lagi demonstrasi besar-besaran di Myanmar. Bisa jadi karena para aktivis masih banyak yang dipenjarakan.<br />Manajer Kampanye/Program Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma (KMSuB) Tri Agus S.Siswowiharjo yang memiliki banyak kontak ke sana, membenarkan bahwa masih banyak aktivis dan biksu yang ditahan. Sebanyak 106 aktivis perempuan masih dipenjara, dan hanya satu yang dilepas karena mau melahirkan. "Tidak terlampau banyak perubahan terjadi di Myanmar. Suasana mencekam masih ada," tambahnya.<br /><br />Tidak legowo<br />Suka atau tidak, upaya-upaya internasional untuk menekan Myanmar tidak terlampau berhasil. "Ada ketidakrelaan junta untuk menerima perubahan secara legowo," ungkap Tri Agus. Kalau dicermati, sebenarnya desakan internasional sudah ada sejak lama, sejak junta militer menganulir pemilu bulan Mei 1990 yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di bawah pimpinan Aung San Suu Kyi. Sejak itulah, demokrasi di Myanmar sudah sepenuhnya disandera.<br /><br />Tidak hanya demokrasi, rakyat Myanmar pun selama bertahun-tahun disandera junta. Ironisnya, ASEAN jadi ikut "tersandera", ketika Myanmar diputuskan diterima untuk bergabung ke dalam keluarga ASEAN pada 1997. Padahal, ketika awal bergabung dengan ASEAN, Myanmar berjanji membenahi demokrasi.<br />Tetapi, harapan sebatas jadi angan-angan. Mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad, yang memainkan peranan kunci di dalam membawa Myanmar masuk ASEAN pada 1997, ikut kecewa.<br /><br />Sebagai salah satu dari segelintir negara anggota ASEAN yang terbilang demokratis, posisi Indonesia jadi penting. Indonesia, sebagaimana disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam KTT ke-13 ASEAN di Singapura pada November 2007, ingin membagikan pengalaman berdemokrasi. Pertanyaannya, bisakah pelajaran dari Indonesia "mengusik" kesadaran berdemokrasi junta militer?<br /><br />Tidak bisa dimungkiri, Indonesia ketika masih berada di bawah kepemimpinan Soeharto, dianggap big brother oleh negara-negara lain di lingkungan ASEAN. Indonesia sebagai big brother punya kekuatan TNI (dulu ABRI) yang sangat kokoh. Tri Agus berpendapat, keberadaan TNI yang dijadikan role model tidak lepas karena adanya Pancasila, UUD 1945, dan Dwifungsi ABRI. "Itulah yang dicoba Presiden Yudhoyono untuk ditawarkan ke Myanmar tentang bagaimana sebaiknya junta memposisikan diri, yakni dengan ber-dwi fungsi. Ini keliru besar sebenarnya," ungkap Tri Agus menandaskan.<br /><br />Memang tidak secara tegas disebutkan konsep Dwifungsi adalah yang ditawarkan Indonesia kepada Myanmar. Tetapi, arah tawaran itu sangat jelas tergambar ketika Pemerintah Indonesia lebih banyak berkomunikasi dengan kubu Than Shwe ketimbang dengan kelompok prodemokrasi. "Seakan berasumsi kalau Than Shwe bisa diubah, maka perubahan juga akan terjadi di Myanmar. Dominasi militer dimungkinkan berubah dengan Dwifungsi. Sejarahnya di Indonesia kan juga begitu," ungkap Choirul Anam, aktivis HAM yang kini aktif di Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM).<br /><br />Mengacu pengalaman di Indonesia, dwi fungsi ABRI masih memberikan peran politik sipil. Kalangan sipil diperbolehkan ikut bermain politik, meskipun perannya masih minim dan aktornya masih dipilih.<br /><br />Kendati demikian, menurut Anam, tidak ada jaminan demokratisasi dapat bergulir di Myanmar. Ketika konsep Dwifungsi diterapkan, militer tetap diletakkan pada sentral politik di Myanmar. Alhasil, ini tidak mengubah apa-apa. "Bahwa ada sedikit peluang bagi sipil untuk terlibat di politik, barangkali ya. Tetapi sipil mana yang diberi peluang berpolitik? Kalau kroni-kroni junta sendiri yang diajak berpolitik, sementara oposisi dipenjarakan, ya percuma saja," tandas Anam.<br />Apalagi, Dwifungsi ABRI di sini sudah terbukti gagal. Kegagalan militer di Indonesia mewujudkan sistem bernegara yang demokratis sudah terbukti. Meminggirkan militer dan menciptakan supremasi sipil tidak secara otomatis akan mewujudkan sistem bernegara yang demokratis.<br /><br />Pendapat serupa disampaikan oleh Ketua Kaukus Parlemen ASEAN untuk Myanmar Djoko Susilo. Ia berpendapat, sulit untuk menerapkan pengalaman berdemokrasi di Indonesia kepada Myanmar. "Konteksnya berbeda sama sekali," kritik Djoko Susilo. Ketika perubahan politik terjadi di Indonesia pada 1998, gerakan masyarakat sipil Indonesia sudah benar-benar kuat.<br />Tidak bisa dibantah lagi, martabat ASEAN secara keseluruhan terhadap PBB jatuh di saat penyelenggaraan KTT ke-13 ASEAN di Singapura. Hanya didesak PM Thein Sein, ASEAN akhirnya bersepakat tidak menerima Gambari dalam sebuah sesi informal sekalipun. "ASEAN tidak bisa bersikap tegas untuk mengatakan 'tidak' pada desakan Thein Sein. Harusnya ada leadership semacam itu," kata Direktur Eksekutif HRWG Rafendi Djamin, yang ikut hadir di Singapura mengikuti penyelenggaraan KTT. "Indonesia seringkali bilang concern terhadap isu Myanmar. Tetapi, seringkali terjebak di retorika. Apa yang dilakukan Indonesia tidak maksimal dalam menggunakan instrumen-instrumen yang ada, baik instrumen di DK-PBB maupun Dewan HAM," kata Rafendi.<br /><br />Patut Didorong<br />Sebagai anggota Dewan HAM, Indonesia seharusnya bisa berperan aktif menyelesaikan krisis Myanmar dengan cara mengawal pelaksanaan butir-butir resolusi Dewan HAM. Salah satu butir resolusi adalah seruan agar seluruh tahanan politik, khususnya Aung San Suu Kyi, agar dibebaskan. Gagasan kerja sama segitiga (triangular cooperation) di antara ASEAN-PBB-Tiongkok, sebagaimana diusulkan Indonesia dalam KTT ke-13 ASEAN di Singapura, patut pula didorong. Tiongkok dapat diharapkan, karena ia punya pengaruh kuat atas Myanmar.<br />Indonesia, menurut Rafendi, juga diharapkan dapat lebih aktif untuk mendekati Myanmar, misalnya lewat dialog serta pengiriman utusan khusus.<br /><br />"Lebih baik lagi apabila Presiden Yudhoyono dapat pergi mengunjungi Aung San Suu Kyi, serta ketemu dengan kelompok-kelompok demokrasi yang lain. Ruang politik sipil yang lebih besar akan semakin terbuka," kata Rafendi. Indonesia di sisi lain juga harus terus berdemokratisasi. Jangan sampai, Indonesia mencoba menawarkan pelajaran berdemokrasi ke negara tetangga, tetapi dia sendiri masih dalam situasi transisi! [SP/Elly Burhaini Faizal]<br />Last modified: 18/1/08 (Suara Pembaruan)tassbloghttp://www.blogger.com/profile/07622159292026566126noreply@blogger.com0