Sabtu, 27 Desember 2008

Politisi dan Pers

Kasus Wartawan Menjadi Anggota DPR 2004-2009


Pendahuluan:

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang, ada sekitar 120 wartawan atau mantan wartawan di seluruh Indonesia ikut berkompetisi menjadi calon anggota legislatif. Ada wajah lama yang kembali mencalonkandiri atau dicalegkan parpol, seperti Cyprianus Aoer, Alfridel Djinu, Yoseph Umar Hadi, Panda Nababan dari PDI P, dan Effendy Chorie (PKB). Ada pula wajah-wajah baru yang mencoba menjadi politisi yang katanya sebagai panggilan seperti Helmi Fauzi dan Hamid Basyaib (PDI P), Bruno Kakawao (PKPI), Teguh Djuwarno (PAN), Mutia Hafild (Partai Golkar). Terdapat juga nama Manuel Kasiepo (PDI P). Dari kalangan kolumnis terdapat nama Zuhairi Misrawi (PDI P), Abdul Rohim Ghozali (PAN).

Munculnya wartawan sebagai caleg mendapat perhatian publik yang kurang lebih sama dengan kehadiran artis dan aktivis pada kontestasi Pemilu 2009. Wartawan, artis dan aktivis seolah dianggap sekelompok manusia yang kurang elok masuk dunia politik di parlemen yang penuh intrik. Wartawan seharusnya independen, artis sejatinya menghibur masyarakat, dan aktivis pantasnya berjuang secara imparsial dan tak mengharap kekuasaan. Itulah sorotan publik dengan kacamata yang kurang positif, yang pada intinya makhluk jenis wartawan, artis, dan aktivis tak pantas berada di lembaga legislatif.

Fenomena wartawan menjadi politikus bukanlah hal baru. Sejarah mencatat para jurnalis perintis menggunakan surat kabarnya sebagai bagian propaganda politik untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Pada masa kemerdekaan, kita melihat sejumlah surat kabar dan wartawan ikut dalam politik melawan rekolonialisasi sekutu. Pada periode 1950-1960-an, ada banyak wartawan menjadi anggota partai politik dan ada beberapa wartawan menjadi duta besar. BM Diah, misalnya, adalah salah satu dari sejumlah wartawan yang menjadi duta bangsa.
Semasa Orde Baru hingga Orde Reformasi kita mengenal sejumlah wartawan senior yang juga diangkat jadi duta besar, seperti Sabam Siagian (Australia), Djafar Assegaff (Vietnam), dan Susanto Pudjomartono (Rusia). Mantan Wakil Presiden Adam Malik dan mantan Menteri Penerangan dan Ketua DPR/MPR Harmoko juga adalah wartawan senior. Pada era reformasi, kian banyak wartawan masuk dunia politik dan beberapa menjadi anggota parlemen. Nama-nama seperti Hery Akhmadi, Cyprianus Aoer, Aco Manafe, Panda Nababan (PDI Perjuangan), Effendie Choirie (PKB), Djoko Susilo (PAN), Benny Harman (PKPI), Max Sopacoa (PD), Antoni Z Abidin, Bambang Sadono (Golkar) adalah sebagian dari sejumlah wartawan yang banting setir masuk dunia politik. Mereka adalah para anggota DPR RI periode 2004-2009.

Mengapa kehadiran wartawan di parlemen menarik perhatian? Hal itu tak lepas posisi wartawan sebagai bagian masyarakat media atau pers yang dalam negara demokrasi dianggap sebagai salah satu dari empat pilarnya. Pilar lain demokrasi adalah eksekutuf, yudikatif, dan legislatif. Menjadi wartawan sebagai penyampai berita dan pengritik pemerintah, sebenarnya sudah cukup, karena mereka telah menjalankan peran sebagai salah satu pilar demokrasi. Namun, toh tiap lima tahun sekali, sesuai periode pemilu di Indonesia, selalu ada migrasi profesi, dari wartawan ke poltitisi atau anggota parlemen.

Tilisan “Government and Media Relations” ini mengajukan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan yang kemudian mengemuka, antara lain adalah 1) Mengapa sejumlah wartawan pindah profesi menjadi politikus di Senayan? 2) Apa kelebihan wartawan sehingga dianggap layak masuk ke dunia politik terutama menjadi anggota DPR? 3) Adakah peluang ‘menggiurkan’ atau ‘menantang’ dalam dunia politik yang membuat mereka pindah profesi? 4) Adakah kontribusi positif kepada demokrasi kita dari masuknya wartawan ke politik formal. 5) Bagaimana komunikasi politik wartawan anggota DPR dengan sesama anggota DPR, pemerintah, dan masyarakat? 6) Betulkah mereka telah memberikan perbedaan signifikan (dalam arti positif) dibandingkan profesi lain terhadap kinerja parlemen di masa lalu?

Agar pembahasan “Government and Media Relations” ini lebih fokus, maka yang kami dipilih sebagai obyek pengamatan, adalah para wartawan yang terjun menjadi anggota DPR periode 2004-2009. Mengapa periode 2004-2009? Karena anggota DPR periode ini tengah berjalan dan hampir selesai masa tugasnya, sehingga lebih mudah data yang akan kita peroleh untuk diteliti dan dianalisa.

2. Kerangka Teori:
Pers merupakan pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy). Anggapan umum yang selama ini beredar di tengah-tengah masyarakat mengatakan demikian. Bahkan pernyataan "media merupakan kekuatan keempat setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif" telah menjadi aksioma politik, sebuah kebenaran cara berpikir politis yang tidak perlu dibantah lagi. Meski demikian, media atau pers tak hidup di ruang hampa. Ia berada dalam sebuah negara yang mempunyai sistem tertentu.

Dalam karyanya yang ditulis tiga dasa warsa lampau Fred Siebert dan rekan-rekan mengemukakan ada empat teori utama tentang hubungan antara pemerintah dan pers: 1) teori otoriter bahwa kekuasaan pemerintah harus dipusatkan pada satu orang atau elit, dan pers harus berfungsi sebagai alat kontrol sosial untuk memelihara ketertiban dan pemerintahan golongan elit; 2) teori libertarian yang berargumentasi bahwa pers harus berjalan dengan cara laissez faire, tidak dikekang, untuk menciptakan pluralisme titik pandang yang memberikan pengujian independen terhadap pemerintah dan peluang untuk menelaah semua opini secara bebas dan terbuka; 3) teori komunis yang melihat pers sebagai alat untuk menyampaikan kebijakan sosial untuk kepentingan ideologi dan tujuan yang diwakili oleh partai komunis; dan 4) teori pertanggungjawaban sosial yang menerima prinsip pers bebas, tetapi pers yang melaksanakan pelayanan masyarakat melalui kritik sosial dan pendidikan masyarakat yang bertanggungjawab, dengan anggapan bahwa jaminan atas pers bebas adalah jaminan kepada warga negara nasion, bukan yang pada dasarnya merupakan perlindungan atas hak pemilikan bagi pemilikan pers[1]

Teori pers libertarian paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia ini. Hal ini tak lepas dari kemenangan kapitalisme atas komunisme pascaperang dingin akhir 1980an. Sistem Pers Bebas menurut Walter Lippman[2] sesungguhnya merupakan ekspresi suatu kebenaran yang muncul dari cara “Free reporting” dan “Free discussion” dan sama sekali bukan dari apa yang disajikan secara sempurna dan instan yang diucapkan oleh seseorang. Pada sistem ini, pers layak disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Karena kebebasannya, pers mampu menjadi “wacthdog” pemerintah.

Kini, di tengah tekanan kapitalisasi dan iklim kebebasan, peran sentral pers dalam konteks demokrasi dan politik masih kokoh. Pers yang terletak pada dua entitas—organisasi pemberitaan (news organization) dan organisasi bisnis (business organization)—diharapkan mampu menyeimbangkan perannya sebagai pilar keempat demokrasi.

Menarik menyimak pemikiran yang diungkapkan oleh pakar media politik asal Amerika Serikat (AS), Timothy E Cook[3] (1998). Dia menyebut term media sebagai political actor (aktor politik) atau institusi politik. Cook berargumen bahwa media merupakan salah satu aktor atau institusi politik yang dapat menggunakan haknya sendiri secara independen, ”political actor / institution in its own right.” Selama ini ketika berbicara tentang media dan politik, kita kerap terjebak pada tataran komunikasi politik. Artinya, dalam perspektif ini media hanya dijadikan salah satu medium pasif bagi para spin doctor untuk menyampaikan pesan-pesan (kampanye) politik demi meraih kekuasaan.

Dalam sistem yang kini dianut Indonesia memungkinkan institusi media dan awak media menjadi sangat berperan dalam perubahan, dan karenanya sangat dikenal oleh masyarakat. Institusi media mungkin lebih dikenal publik daripada para wartawan yang tiap hari bekerja mengais berita. Interaksi antara partai politik dan media menjadikan dua pelaku demokrasi yang sama-sama mengklaim penyambung lidah masyarakat itu berinteraksi saling menghormati dan menguntungkan. Mereka saling mengagumi satu sama lain, meski terkadang saling mengritisi. Banyaknya anggota DPR yang terkuak skandalnya-- baik korupsi maupun perselingkuhan seks—tak lepas dari peran wartawan. Sebaliknya, banyak kejadian yang mungkin tak terungkap, meski bisa diungkap ke publik, karena para politisi mampu “membeli” atau “memelihara” wartawan. Simbiosis mutualisma atau perselingkuhan antara wartawan dan politisi ini tentu sangat [4]merugikan publik, baik sebagai konstituen partai politik, maupun pembaca media yang berhak untuk mendapatkan informasi.

Bill Kovach, kurator Nieman Foundation on Journalism, Universitas Harvard, salah satu guru wartawan yang paling dihormati dari Amerika Serikat, berpendapat mengenai makna informasi buat seorang politikus dan seorang wartawan. Kovach menutip Presiden Jimmy Carter (1975), "Ketika Anda memiliki kekuasaan, Anda menggunakan informasi untuk membuat orang mengikuti kepemimpinan Anda. Namun kalau Anda wartawan, Anda menggunakan informasi untuk membantu orang mengambil sikap mereka sendiri."[5]

Informasi yang sama dipakai untuk dua tujuan yang berbeda. Bahkan berlawanan. Inilah yang membuat Kovach mengambil sikap teguh untuk independen dari dunia politik maupun politisi. Kovach setia pada jurnalisme dan tak pernah mau menerima tawaran masuk ke dunia politik.
Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Sembilan elemen jurnalisme Kovack dan Tom Rosenstiel sangat terkenal di kalangan jurnalis. Delapan elemen lainnya adalah; kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi; praktisi jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber berita; jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan; jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat; jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting menarik dan relevan; jurnalisme harus menyiarkan berita komprehensif dan proporsional; dan praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka[6].

Loyalitas utama seorang wartawan adalah kepada warga masyarakat tempatnya berada. Wartawan bisa melayani warga dengan sebaik-baiknya apabila mereka bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Independen baik dari institusi pemerintah, bisnis, sosial maupun politik. Wartawan bahkan harus independen dari pemilik media tempatnya bekerja.

3. Pembahasan: Politisi Wartawan atau Wartawan Politisi?
Dalam buku “Wajah DPR dan DPD 2004-2009” terbitan PT. Kompas Media Nusantara (2006), terdapat sekitar 23 mantan waratawan[7]. Mereka berasal dari enam partai yaitu Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia. Di antara wartawan yang menjadi politisi Senayan 2004-2009, ada yang telah lama meninggalkan profesi wartawan, ada pula yang masih berstatus wartawan ketika migrasi menjadi politisi.

Wartawan termasuk warga negara biasa yang punya hak politik dan sering diharapkan ikut memimpin masyarakatnya. Mereka sah melakukannya. Cyprianus Aoer sangat memrihatinkan warga Flores karena kurang diperjuangkan di Jakarta. Tidakkah pilihan Aoer sah untuk terjun ke Parlemen?Bisa jadi alasan wartawan lainnya terjun ke parlemen berbeda. Ada yang seperti Aoer untuk memperjuangkan daerah asalnya, ada pula yang ingin memperjuangkan suatu isu tertentu misalnya pemberantasan korupsi atau transparansi pemerintahan.

Bagi Andreas Harsono[8], mantan wartawan The Jakarta Post yang kini mengelola Yayasan Pantau, suatu lembaga nirlaba untuk kemajuan jurnalisme, keterlibatan wartawan dalam politik memang kadang tak terhindarkan. Namun, sebaiknya diberlakukan sebagai one-way ticket. Artinya, seorang wartawan boleh menjadi politikus tetapi ia sebaiknya jangan kembali menjadi wartawan. Aoer boleh masuk parlemen tapi jangan kembali ke Suara Pembaruan. Djoko Susilo boleh menjadi politikus handan di Komisi I DPR namun jangan kembali ke Jawa Pos. Bila seorang wartawan masuk politik menjadi anggota DPR, ia akan mempunyai sikap yang berbeda terhadap informasi, sehingga lebih baik bila ia tak kembali ke media. Praktik bolak-balik ini akan menimbulkan citra kurang baik dari masyarakat tehadap media di Indonesia, apalagi pada masa demokratisasi sekarang ini, di mana warga butuh informasi yang bermutu untuk mengambil sikap terhadap berbagai isu penting di Indonesia.

Pandangan Andreas Harsono di atas memang sangat ideal. Namun bagi kalangan wartawan yang kini menduduki kursi empuk di Senayan, tentu tak semua menerima pendapat Andreas. Banyak alasan yang bisa dikemukakan mengapa seseorang melakukan ganti profesi dan kembali lagi ke pekerjaan semula. Ada yang memajukan alasan ingin melakukan perubahan dari dalam, sampai yang terus terang sekedar mencari jabatan. Wajar saja wartawan sebagai korps keempat pilar demokrasi tampil sebagai anggota legislatif karena peran atau profesi apa pun punya peran sosial kemasyarakatan. Yang penting wartawan sebagai anggota DPR tidak semata membawa ambisi politik, tetapi juga membawa tekad untuk membawa perubahan dan kesegaran baru[9].

Lain Andreas lain pula Arswendo Atmowiloto[10], wartawan sekaligus budayawan. Sebuah karya jurnalistik, kata Arswendo, baik tulisan maupun gambar pada derajat tertentu mampu menyodorkan informasi menjadi fakta yang menggugah publik. “Wartawan lebih powerful daripada anggota DPR,“ ujarnya. Wartawan, lanjut Arswendo, bisa menulis tentang banyak hal dan menggerakkan banyak orang untuk melihat realita sosial yang ada dan melakukan perubahan ke arah yang lebih positif. Hal ini yang belum mampu dilakukan bahkan oleh anggota DPR sekalipun. Karya-karya jurnalistik di Indonesia seharusnya dapat memotret realita sosial yang ada sehingga dapat memberikan dampak luas bagi masyarakat. Karya-karya jurnalistik yang lebih peka dan humanis akan membawa dampak sosial kepada masyarakat luas.
Sudah bagus berperan sebagai wartawan tetapi mengapa malah pindah profesi sebagai politisi? Adalah hak setiap warga untuk berpolitik dan berganti profesi. Apa kelebihan para jurnalis ini sehingga bisa masuk dunia politik? Betulkah kehadiran para mantan jurnalis ini memberi kontribusi positif bagi dunia politik partai saat ini? Ataukah ia akan ”larut dan hanyut” gelombang perpolitikan parlemen seperti banyak dikritik? Dunia kewartawanan dan politik dapat dikatakan merupakan dua hal yang jauh berbeda. Salah satu fungsi wartawan adalah melakukan kontrol terhadap pejabat publik dan politisi. Namun, kedua profesi yang bertolak belakang itu dapat dijalani dengan baik oleh orang yang tak mudah “larut dan hanyut”.

Dibandingkan profesi lain, wartawan dianggap memiliki kelebihan dalam melobi orang lain, terutama orang penting, termasuk pejabat publik. Sebagian wartawan juga dikenal pandai berargumentasi, lihai bersilat lidah, dan—ini tak kalah penting—kemudahan akses pada informasi dan media massa. Bagi sebagian wartawan itu, dunia politik adalah bagian kehidupan sehari-hari saat menjadi jurnalis. Bagi partai politik, mungkin wartawan dianggap bisa menjadi pasukan segar untuk bertarung tahun depan.

Apakah fenomena wartawan menjadi politikus tak lebih dari para pihak yang ingin masuk politik kekuasaan untuk kepentingan sendiri atau partainya? Ini mengingatkan kita pada Friedrich Nietzsche soal the will to power. Bahasa mudahnya, ini tak lebih dari sekadar ”’mencari perbaikan nasib” saja. Masyarakat punya harapan besar jika para mantan wartawan ini bisa menjalankan fungsi legislatif dengan lebih baik—fungsi pengawasan terhadap pemerintah, pembuatan UU, budgeting dan lain-lain.

Kinerja 23 orang wartawan di tengah 550 orang anggota DPR ternyata tak bagus-bagus amat. Bahkan Anthony Zeidra Abidin, anggota Komisi IX, saat ini menjadi pesakitan karena diduga terlibat dalam skandal aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp. 500 juta. Bagaimana bisa wartawan yang mengerti hukum dan menjunjung etika dalam tugasnya, justru hanyut dan tenggelam di dasar sungai bernama kejahatan kerah putih? Memang tak semua wartawan menjunjung tinggi etika dalam menjalankan tugasnya, misalnya menerima amplop[11]. Ada media yang melarang keras wartawannya menerima amplop seperti harian Kompas dan majalah / koran Tempo. Organisasi jurnalis yang mengharamkan amplop bahkan berkampanye untuk itu keluar lembaga sendiri adalah AJI (Aliansi Jurnalis Independen)[12]

.Selain Anthony Z Abidin yang jelas-jelas sudah mendekam di penjara dan kasusnya tengah disidangkan. Ada nama lain, yaitu Bambang Sadono, yang justru mengadu nasib ingin meraih kursi gubernur Jawa Tengah, namun gagal. Kita tak tahu pasti apa alasan Bambang Sadono ingin menjadi gubernur, meski alasan yang standar selalu mengatakan akan membangun Jawa Tengah lebih bagus lagi, seperti yang bisa kita saksikan dalam kampanye pilgub yang dimenangkan Bibit Waluyo-Rustriningsih yang diusung PDI P.

Apa hebat dan uniknya wartawan yang menjadi politisi kalau dia tidak bisa membawa warna baru dunia politik di Indonesia. Publik sebenarnya mencatat tingkah laku yang tak terpuji para anggota DPR. Contohnya Panda Nababan.. Apa yang dia bawa dari Sinar Harapan atau majalah Forum ke PDI P sebagai jurnalis yang pernah mendapat Hadiah Adinegoro untuk karya investigasinya? Menularkan semangat? Membagi ilmu? Menyuarakan pembaruan? Nothing. Ternyata, yang dilakukan dia malah ikut-ikutan membagi-bagikan travel check BII dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Goeltom.[13]

Jika ada yang mesti diapresiasi dari beberapa wartawan yang kini aktif di DPR, setidaknya ada dua. Mereka adalah Djoko Susilo, Ketua Komisi I, dan Effendy Choirei, anggota Komisi I. Joko dan Choirie sangat aktif mengritisi pemerintah terutama soal anggaran militer dan politik luar negeri. Joko juga menjadi Wakil Ketua ASEAN Inter-Parliamanetary Myanmar Caucus (AIPMC) yang berpusat di Kuala Lumpur. Kaukus ini sangat tegas dan kritis terhadap pemerintah Indonesia dan junta militer Burma (Myanmar) agar segera mengakhiri penindasan terhadap rakyat negara itu dan membebaskan tokoh pro demokrasi Aung San Suu Kyi.

Dalam berkomunikasi politik dengan kolega maupun mitra mereka, para wartawan anggota DPR tampaknya tak menunjukkan keberbedaan mereka dibanding yang bukan berasal dari kalangan wartawan. Logikanya, wartawan yang kaya data dan mudah mendapat akses ke mana pun, memiliki ‘peluru’ untuk ‘ditembakkan’ ke pemerintah sebagai mitra. Mereka semestinya mempunyai kelebihan di atas rata-rata anggota DPR lainnya. Kenyataannya, modalitas awal ini tak dimanfaatkan. Mereka tak ada bedanya dengan anggota DPR lainnya yang berasal dari partai politik. Tugas utama DPR yaitu pengawasan, budgeting, dan legislasi, seharusnya tak menyulitkan mereka yang berlatar belakang wartawan.

Wartawan atau politisi? Siapapun dari profesi apapun, ketika mereka sudah berada di DPR maka mereka adalah politisi. Sebagai politisi, logika profesi asal mereka acap kali ditinggalkan. Politisi biasanya bekerja dengan alasan atau cara kerja politik. Dalam politik keputusan lahir dari sebuah kompromi atau pemaksaan kehendak mayoritas. Contoh nyata, rekomendasi DPR[14] yang menyatakan bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah disebabkan bencana alam bukan kesalahan manusia. Dengan keputusan yang dipengaruhi Lapindo ini, jelas yang diuntungkan adalah Lapindo karena menimpakan penyelesaian masalah kepada pemerintah. DPR dalam hal ini tak menggunakan logika dan nurani – apalagi tersentuh oleh ribuan korban bencana ini. Mereka murni menjadi politisi yang kompromistis demi menyelamatkan Lapindo. Entah keuntungan apa yang didapat para anggota DPR.

Berbondong-bondongnya wartawan pindah ke Senayan tampaknya tak berdampaknya secara signifikan bagi demokratisasi di Indonesia. Pasalnya para wartawan yang bermigrasi dari jurnalis menjadi politisi itu, ketika di tempat yang baru tak memaksimalkan modalitas yang ada seperti kaya data, kritis, akses luas dan ahli lobi, umumnya mereka malah tenggelam atau hanyut dalam langgam irama anggota DPR lainnya. Hanya beberapa nama yang mampu menduduki Ketua Komisi atau Ketua Fraksi, selebihnya anggota biasa. Dari 23 orang mantan wartawan, juga hanya sedikit yang namanya sering muncul menghiasi media karena kritis terhadap pemerintah atau vokal terhadap suatu masalah bangsa. Karena dampak migrasi wartawan ke anggota dewan tak cukup signifikan bagi demokratisasi di Indonesia, maka sejujurnya kehadiran mereka tak lebih dan tak kurang seperti kehadiran para artis dan selebriti ke Senayan. Seperti kita tahu, artis yang ‘manggung’ di Senayan, mereka tak seatraktif di panggung yang sebenarnya, bahkan ada yang suaranya, seperti iklan, “nyaris tak terdengar!”

4. Kesimpulan
Munculnya fenomena “caleg impor” pada Pemilu 2009 bisa dipahami dalam dua hal. Pertama adalah miskinnya kader di partai-partai politik peserta pemilu tahun depan. Kedua memberikan kesempatan kepada kalangan berkualitas di luar partai untuk ikut menjalankan kettanegaraan. “Caleg impor” yang dimaksud adalah mereka dicalonkan sebagai anggota DPR namun buka dari kader partai. Mereka diandalkan keahliannya untuk mendulang suara atau pada saat mereka menjadi legislator. Masuk dalam kategori “caleg impor” antara lain artis atau selebriti, aktivis (mahasisw atau LSM), pakar atau akademisi, dan wartawan.

Mengingat pada periode 2004-2009 ada 23 orang wartawan yang bermigrasi menjadi ‘anggota dewan”. Dan kehadiran mereka tidaklah terlalu menonjol atau mempengruhi secara signifikan kiprah DPR dalam sistem demokrasi kita. Bahkan ada satu anggota DPR dari kalangan wartawan yang menjadi pesakitan karena kasus korupsi. Maka tak bisa dimungkiri, kehadiran mantan wartawan di DPR belum mampu mewarnai kinerja lembaga itu. Yang terjadi justru mereka hanyut dan terwarnai oleh warna DPR yang telah lama coreng-moreng. Wartawan, akademisi, aktivis, bahkan artis atau selebriti sebenarnya menjadi tak penting ketika mereka sudah menjadi anggota DPR. Bukan dari mana asal profesi sebelumnya, melainkan mampukah untuk tak tergoda oleh sistem yang korup.

Daftar Bahan Bacaan:
Komunikasi Politik, Dan Nimmo, cetakan keenam Juni 2005, PT Remaja Rosdakarya
Diktat kuliah “Government and Media Relations”, Prof. Dr. Harsono Suwardi, MA
Governing with The News-The Media as a Political Institution, University of Chicago, 1998
Blog Andreas Harsono, “Wartawan atau Politikus?” 7 Juni 2004.
Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovack dan Tom Rosenstiel, edisi ketiga, Yayasan Pantau 2006
Wajah DPR dan DPD 2004-2009, PT. Kompas Media Nusantara (2006)
www.Inilah.com, 27 Maret 2008
Majalah Tempo, 2 Maret 2008
[1] Fred Siebert dalam Komunikasi Politik, Dan Nimmo, cetakan keenam Juni 2005, PT Remaja Rosdakarya, hal 259
[2] Diktat kuliah “Government and Media Relations”, Prof. Dr. Harsono Suwardi, MA, hal 23
[3] Governing with The News-The Media as a Political Institution, University of Chicago, 1998

[5] Blog Andreas Harsono, “Wartawan atau Politikus?” 7 Juni 2004.
[6] Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovack dan Tom Rosenstiel, edisi ketiga, Yayasan Pantau 2006, hal 6
[7] . Antony Zeidra Abidin, Bambang Sadono, Irsyad Sudiro, Musfihin Dahlan, Slamet Effendy Yusuf, (Partai Golkar); Agung Sasongko, Cyprianus Aoer, Heri Achmadi, Jacobus Mayongpadang, Panda Nababan, Rendhi Lamadjido, Supomo SW, Widada Bujuwiryono, Yoseph Umarhadi (PDI P); Max Sopacoa (PD); Dedy Djamaluddin Malik, Djoko Susilo, Totok Daryanto (PAN); Effendy Choirie, Masduki Baidlowi (PKB); Herman Benediktus Kabur (PKPI)
[8] Blog Andreas Harsono, “Wartawan atau Politisi?”, 7 Juni 2004
[9] Blog Andreas Harsono, “Wartawan atau Politikus?” 7 Juni 2004.
[10] www.Inilah.com, 27 Maret 2008
[11] Biasanya berupa uang atau hadiah barang lainnya yang diberikan sebelum atau sesudah liputannya dimuat atau ditayangkan.
[12] AJI dideklarasikan di Sirnagalih, Bogor, pada 7 Agustus 1994 oleh 58 jurnalis se Indonesia, menyusul pembredelan majalah Tempo, editor dan tabloid Detik. AJI kini beranggotakan lebih dari 500 jurnalis.
[13] Tempo Interaktif, 23 Agustus 2008
[14] Rapat Paripurna DPR, 19 Februari 2008. DPR menyebutkan lumpur yang muncrat merupakan fenomena alam (Tempo, 2 Maret 2008)

Perselingkuhan Lembaga Survei dan Konsultan Politik

Employees of the Center must avoid conflicts of interest or the appearance of conflicts of interest. They should never engage in any activity that might compromise or appear to compromise the Center's credibility or its reputation for independence or impartiality. All employees are required to seek prior approval from a supervisor before engaging in any activity that may be deemed a potential conflict of interest, including membership in groups, boards and associations that may call into question the Center's credibility or its reputation for impartiality. (Pew Research Center Code of Ethics on Conflicts of Interest)

Iklan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 16 Desember 2008 yang menegaskan bahwa “Di Negara Demokrasi Lembaga Survei (Peneliti/Pollster) dapat merangkap sebagai Konsultan Politik” sungguh sangat provokatif. Siapa sebenarnya yang ingin diprovokasi? Para calon klien? Para pesaing? Atau lembaga semacam KPU dan pemerintah?

Setelah saya membuka dua situs Pew Research Center dan Rasmussen, jelas kiranya bahwa Komunikasi Politik hanya atau terutama mengakui Pollster ini dibanding Campaign Pollster semacam LSI milik Denny J.A. Begitu banyak macam poling yang telah dilakukan Pew Research Center dan Rasmussen yang menurut saya sangat independen, atas inisiatif sendiri, dan bukan pesanan partai atau kandidat. Rasmussen terakhir (22/12) membuat poling tentang dinasti politik di AS, di mana 47% mengaku khawatir. Sementara Pew Research Center mensurvei tingkat kepercayaan publik atas transisi dari Bush ke Obama (23/12). Penjelasan tentang kebijakan Obama (72% disetujui), Pemilihan kabinet (71% disetujui), Banyaknya orang-orang di zaman Clinton (63% bagus).

Seperti kita ketahui, di negeri-negeri yang menganut sistem demokratis, metode survei digunakan untuk mengetahui pendapat publik. Atas dasar asumsi, pendapat publik amat penting bagi pembuat kebijakan, berbagai teknik canggih telah dikembangkan para ilmuwan politik. Studi tentang pendapat umum di Amerika Serikat (AS) telah mengalami perkembangan pesat sejak 1950-an, terutama untuk mengetahui sikap dan preferensi politik masyarakat umum. Pada era 1970-an, metode ini kian populer untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan publik terhadap pendapat umum atau sebaliknya, bagaimana pendapat umum memengaruhi kebijakan publik.

Selain munculnya lembaga pengumpul jajak pendapat, marak pula kehadiran konsultan politik. Seorang konsultan politik adalah seorang profesional kampanye yang terlibat dalam pemberian nasihat dan jasa-jasa kepada para kontestan pemilu, baik berupa jajak pendapat, produksi, dan penciptaan media. Di sinilah kadang konflik interes terjadi, bisa seorang pollster sekaligus konsultan politik.

Fenomena konsultan politik seperti di AS ini juga telah merambah ke tanah air, terutama sejak diterapkannya sistem pemilihan presiden secara langsung pada 2004. Setelah itu, sejak 2005 ketika pemilihan kepala daerah juga dilakukan secara langsung, ‘industri’ tim sukses dan survei ini kian marak.

Konsultan politik harus bersikap profesional dan bersikap jujur tentang aneka kelemahan dari survei yang dilakukan atau dilakukan pihak lain. Mereka juga harus mau bersikap jujur untuk memberitahukan siapa yang mensponsorisurvei dan jajak pendapat yang mereka lakukan. Di AS misalnya, salah satu kode etik yang disepakati melalui Asosiasi Amerika untuk Penelitian Pendapat Publik (American Association for Public Opinion Reserarch) telah mencantumkan keharusan bagi lembaga yang melakukan penelitian pendapat publik. Konsultan politik yang profesional adalah yang mampu mengantarkan kliennya ke tujuan dengan cara-cara yang cerdas, bermartabat, dan efisien.

Kembali soal iklan LSI di atas, tampaknya ini merupakan bagian dari upaya Denny J.A. ingin menguasai pasar pollster dan konsultan politik di Indonesia untuk mencapai rekor dunia. Entah apanya yang paling di dunia.

Dalam setahun terakhir ini banyak survei politik dilakukan lembaga yang sudah dikenal masyarakat seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indo Barometer. Siapakah mereka itu?

Uniknya, ketiga lembaga ini dahulu berasal dari satu institusi yang sama di bawah Denny JA, yaitu Lembaga Survei Indonesia. Dalam perjalanannya, Syaiful Mujani mengundurkan diri dari LSI dan membentuk LSI baru dengan nama yang sama yaitu Lembaga Survei Indonesia, sedangkan Denny JA dan M. Qodari tetap di LSI dengan nama baru Lingkaran Survei Indonesia, baru kemudian M. Qodari pecah kongsi dengan Denny J.A dan kemudian membentuk Indo Barometer.

LSI Syaiful Mujani dan Indo Barometer M Qodari tampaknya memilih di jalur yang memisahkan antara pollster dengan konsultan politik. Hali itu diyakini akan lebih menghasilkan survei yang akurat dan kredibel. Sementara Denny J.A berpendapat lain. Sah-saja bila lembaga survei bergerak sekaligus konsultan politik partai, kandidat Presiden atau berbagai kandidat dalam Pilkada. Di AS pun sejak 1970-an konsultan politik yang sekaligus melakukan survei tumbuh bak jamur di musim hujan, yang berdampak negatif bagi fungsi mesin partai karena digantikan para konsultan politik profesional.

Nah bagaimana dengan kita? Saya jelas mendukung sikap seperti LSI Syaiful Mujani dan Indo Barometer M. Qodari. Bagaimana pun, demi profesionalitas, kita harus memisahkan antara pekerjaan pollster dengan konsultan politik. Jika kita bekerja dengan kode etik yang jelas, seperti dokter, pengacara atau wartawan, maka profesionalitas kita juga akan terjaga.

Yogyakarta, 23 Desember 2008

Tragedi Lumpur Lapindo

Politik Komunikasi Dalam Kasus Bencana Lumpur Lapindo, Sidoarjo

PENDAHULUAN:

Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – M Jusuf Kalla (SBY-JK) ditandai dengan berbagai bencana besar. Diawali gempa dan tsunami dahsyat di Aceh dan Sumatera Utara pada 26 Desember 2004, kemudian pada 27 Mei 2006 gempa besar menerpa Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Di luar itu bencana banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan, terjadi dalam skala besar, sampai beberapa kali kecelakaan lalu lintas – termasuk hilangnya pesawat Adam Air dan jatuhnya Mandala Air di Polonia Medan – melengkapi masa pemerintahan SBY-JK yang penuh musibah. Umumnya bencana, seperti gempa, tsunami, kebakaran, atau banjir, berlangsung tak lama, termasuk dampak yang ditimbulkan. Namun ada satu tragedi atau bencana di mana sejak prahara itu terjadi sampai hari ini terus berlangsung, begitu juga dampak yang ditimbulkan bagi korban. Bencana atau tragedi itu tak lain adalah muncratnya lumpur panas di area pengeboran PT Lapindo Brantas, Sidoarjo, Jawa Timur, 29 Mei 2006.

Dalam sepekan, lumpur itu menelan 10 hektar kawasan dan melenyapkan jalan tol Gempol-Surabaya yang berjarak 200 meter dari pusat semburan. Hari demi hari, bulan demi bulan, lumpur panas itu telah menggenangi 345 hektar di wilayah desa Jatirejo (3.420 jiwa), Siring (4.240 jiwa), Kedungbendo (22.833 jiwa), dan Renokenongo (4.753 jiwa). Wilayah bencana kemudian meluas hingga membuat mati beberapa desa termasuk Kedungcangkring (3.818 jiwa), Pejarakan (1.609 jiwa), dan Besuki (3.499 jiwa).

Skala bencana yang amat besar ini membuat Kementerian Lingkungan Hidup meminta Lapindo bertanggung jawab pada 9 Juni 2006. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, tak mau ketinggalan, pada 18 Juni 2006, mengatakan Lapindo harus bertanggung jawab. Presiden SBY pada 8 September 2006 membentuk tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo, dengan masa kerja enam bulan. Tim ini kemudian diperpanjang masa tugasnya selama sebulan, kemudian Presiden SBY membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang dikukuhkan melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2007.

Di tengah maraknya aksi menentang kelambatan pemerintah dan Lapindo menangani luapan lumpur dan para korban, DPR menyetujui pembentukan Tim Pengawas Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo, dengan masa kerja tiga bulan. Tim DPR yang bekerja hanya tiga bulan ini – ditengarai hanya bertemu dengan ahli geologi yang pro Lapindo – bisa dipastikan hasilnya menguntungkan Lapindo. Maka tak aneh, pada 19 Februari 2008, dalam rapat paripurna DPR, setelah mendengarkan laporan dari tim tadi, DPR menyebutkan bahwa lumpur yang muncrat merupakan fenomena alam.

Tentang penyebutan bencana alam atau bencana yang diakibatkan kecerobohan manusia (Lapindo) menjadi amat penting di sini, karena konsekuensinya sangat besar dan berarti. Jika dianggap bencana alam maka pemerintahlah yang akan menanggulangi termasuk ganti rugi kepada para korban. Sebaliknya jika dianggap bencana akibat kelalaian manusia saat pengeboran terjadi, maka Lapindo harus bertanggung jawab. Pemerintah tentu tetap berkewajiban membantu memfasilitas para korban memperoleh ganti rugi yang layak, apapun penyebab tragedi lumpur panas itu.

Pada 11 November 2008 Lapindo mengaku telah mengeluarkan dana pembelian tanah/bangunan warga korban sekitar Rp 1,8 triliun, namun menurut Ketua Paguyuban Renokenongo Sunarto ada 465 berkas yang belum dibayar. Presiden SBY terakhir bertemu Lapindo dan perwakilan korban pada 1 Desember 2008. Presiden memanggil Nirwan Bakrie karena kesal penanganan ganti rugi berlarut-larut. “Saya sudah merasa tidak nyaman dengan suasana ini,” ujar SBY. “Saya kecewa, Aceh saja bisa diselesaikan, kenapa ini tidak?” tambah presiden. Sebelumnya pada 27 November 2008, Presiden SBY memanggil Nirwan Bakrie dan mendesak Lapindo melunasi uang muka 20 persen ganti rugi sebesar Rp 49 miliar.

Di sinilah permasalahaannya. Lapindo tak sepenuh hati membayar ganti rugi para korban. Bahkan ketika kekayaan keluarga Bakrie tak tertandingi se-Indonesia, malah se-Asia Tenggara, tetapi tetap saja keluarga ini enggan berbagi. Kini Bakrie berdalih krisis ekonomi global yang menghantam bisnisnya. Masyarakat diminta maklum kepada keluarga Bakrie karena pembayaran kepada para korban yang telah dua setengah tahun berkubang dengan lumpur tersendat-sendat.

Dalam perspektif politik komunikasi, Lapindo berjuang keras dengan segala daya dan upaya termasuk tipu muslihat meyakinkan pemerintah dan masyarakat bahwa penyebab muncratnya lumpur panas karena faktor alam, dipicu oleh gempa Yogyakarta dua hari sebelumnya. Para korban, baik yang langsung terkena lumpur panas maupun mereka yang desanya terisolasi, kurang menganggap penting apa penyebab keluarnya lumpur. Yang penting adalah para korban harus dibayar kerugian mereka akibat lumpur yang menerjang kehidupan mereka.

Lapindo dengan kekuatan modal berupaya menguasai informasi untuk memengaruhi publik, sementara para korban yang tak memiliki apa-apa kecuali semangat bertahan hidup, berhasil menciptakan kejutan-kejutan yang membuat publik dan pemerintah cenderung berpihak kepada mereka. Sesungguhnya, para pemain/pelaku dalam politik komunikasi kasus bencana lumpur Lapindo tak hanya keluarga Bakrie yang kaya raya dan para korban yang miskin berkubang lumpur. Melainkan masih ada sederat pemain/pelaku yang mempunyai kepentingan politik komunikasi publik yang saling berbeda. Dapat disebut di sini para pemain/pelaku lainya adalah kelompok dunia usaha, negara/pemerintah, lembaga kepentingan politik, media massa, dan publik.


PARA PEMAIN/PELAKU:

Begitu bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur terjadi, muncullah para pemain/pelaku utama yang mempunyai kepentingan politik komunikasi sesuai kepentingannya. Setiap kelompok mencakup berbagai kelompok yang dapat mempunyai kepentingan yang berlainan, tetapi dapat mempengaruhi rencana/srategi/tindak politik komunikasi.

Mari kita sebutkan satu persatu siapa saja pemain atau pelaku yang berkepentingan;

Dunia usaha. Dalam kelompok ini terbagi menjadi dua. Pertama PT Lapindo Brantas sendiri yang menjadi “pelaku” utama tragedi lumpur, dan para pengusaha yang pabrik dan tempat usahanya langsung gulung tikar karena diterjang lumpur. Pertarungan dua kepentingan yang berbeda meski keduanya pelaku dunia usaha kurang terekspos di media massa. Berbeda dengan perselisihan antara Lapindo dengan korban masyarakat biasa. Ini bisa terjadi karena suksesnya tim lobi Lapindo meyakinkan para pengusaha pemilik pabrik yang menjadi korban lumpur. Mungkin saja, para pemilik pabrik menyadari atau mengakui bencana ini termasuk bencana alam, sehingga tak menuntut macam-macam terhadap Lapindo.

Negara/pemerintah. Secara nasional pemerintah diwakili oleh Presiden SBY. Namun ada lagi pemain yaitu DPR, Mahkamah Agung, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, dan Pengadilan Negeri. Kelimanya kadang tak sejalan atau mempunyai kepentingan yang sama. Presiden SBY telah kita ketahui sikapnya bagaimana dia geram menyaksikan betapa lambannya penyelesaian ganti rugi yang dilakukan Lapindo terhadap para korban. Di lain pihak, DPR yang notabene adalah wakil rakyat – termasuk rakyat yang tinggal di Sidoarjo – rupanya tak sepenuhnya pro rakyat. DPR ternyata lebih pro Lapindo karena menyimpulkan bahwa bencana lumpur Lapindo adalah karena fenomena alam, bukan kelalaian manusia. DPR sangat gegabah karena hanya mendengar para ahli yang pro Lapindo. Sementara Mahkamah Agung di sini pernah memainkan perannya dalam menolak permohonan uji materi Peraturan Presiden tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang diajukan para korban. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Jakarta Utara juga menolak gugatan Walhi dan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) terhadap Lapindo, Presiden, Menteri Migas, Menteri Lingkungan, pemerintah provinsi Jawa Timur, dan pemerintah kabupaten Sidoarjo.

Lembaga kepentingan politik. Di sini yang paling banyak berperan adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan atau koalisi LSM yang kemudian membentuk jaringan kerja (network). Selain itu, di kelompok ini ada pemain lain yaitu organisasi ahli geologi. Kelompok kepentingan dari kalangan LSM pada mulanya diperankan oleh LSM yang peduli lingkungan seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan Greenpeace Indonesia. Mereka baik sendiri-sendiri maupun bersama para korban melakukan aksi menentang kecerobohan Lapindo dan menuntut perusahaan itu segera mengganti rugi para korban dan memperbaiki lingkungan yang rusak. Beberapa aksi yang menyedot perhatian publik misalnya mereka membawa lumpur dari Sidoarjo dan disebar di depan kantor Menko Kesra tempat Aburizal Bakrie berkantor. Sementara itu, para ahli geologi antara lain Rudi Rubiandini mantan Ketua Tim Investigasi Independen Lumpur Sidoarjo. Menurut Rudi, sesungguhnya saat awal bencana, masih ada kesempatan bagi Lapindo untuk mematikan semburan lumpur. Faktanya, semburan sempat teredam oleh lumpur berat yang dipompa ke dalam sumur. Belum semburan itu benar-benar dimatikan, sumur ditutup dengan semen dan bor dipotong, “Itu tindakan ceroboh dan teledor,” ujar Rudi. Prof. Richard Davies, ahli mud volcano Universitas Durham, Inggris, juga menyebut bencana lumpur Lapindo akibat kecelakaan, seperti yang ditulis di majalah Geological Society of America (GSA) edisi Maret 2008. Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, juga menyebut bukan bencana alam. “Limpur yang digunakan untuk meredam kick terlalu kental sehingga tekanannya membikin dinding sumur pecah,” ujar Andang.

Media. Di sini juga terbelah menjadi dua atau bahkan tiga kelompok. Ada media yang sangat pro Lapindo karena mayoritas sahamnya dimiliki langsung oleh keluarga Bakrie yaitu – TV-One dan ANTV. Ada juga media yang anti-Lapindo, dan media yang berada di tengah (independen). Pada awal 2008 Lapindo melakukan kampanye besar-besaran. Tujuannya satu, meyakinkan publik bahwa bencana lumpur itu adalah karena fenomena alam yang dipicu gempa Yogyakarta. Sejumlah seminar di perguruan tinggi digelar. Iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik ditayangkan. Tak lupa beberapa geolog yang bisa ‘bekerjasama’ dihimpun untuk menyuarakan tragedi ini semata-mata bencana alam. Setidaknya dua stasiun televisi dikuasai Bakrie dan bersuara untuk kepentingan sang pemilik saham. Ada juga beberapa media yang bisa ‘dibeli’ atau ‘dibina’ oleh Lapindo. Salah satunya adalah media internet dan sms Newslink. Media non konvensional ini secara rutin mengirimkan pesan pendek yang isinya baik-baik tentang Lapindo ke sekitar 5.000 orang terpilih. Istilah yang digunakan Newslink bukan lumpur Lapindo melainkan lumpur Sidoarjo. Penyebutan istilah ini menandakan keberpihakan suatu media. Berbeda dengan Newslink, majalah Tempo adalah media independen yang telah beberapa kali menurunkan laporan utama mengenai bencana lumpur Lapindo dan bisnis keluarga Bakrie (“Sidoarjo Kritis” edisi 21-27 Agustus 2006, “Bermain Lumpur Lapindo” edisi 25 Februari-2 Maret 2008, “Siapa Peduli Bakrei” edisi 17-23 November 2008, dan “Korban Lumpur Lapindo Menagih Bukti Bukan Janji” edisi 8-14 Desember 2008). Sebagai media kritis dan independen bahkan menjadi barometer media di Indonesia, Tempo menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah publik dan para korban. Karena kegigihannya, Tempo kemudian digugat Aburizal Bakrie, saat menurunkan laporan utama “Siapa Peduli Bakrei” 17-23 November 2008, dengan gambar sampul wajah Aburizal Bakrie yang penuh angka berjatuhan seolah menandakan keruntuhannya. Salah satu yang menjadi keberatan Bakrie adalah adanya angka tripel 6 yang konon melambangkan setan! Tempo juga mengulas mengapa pemerintah perlu membantu Group Bakrie yang diterjang krisis finansial, sementara pada saat ia menjadi orang terkaya di Asia Tenggara, tak mempunyai itikad yang baik untuk menyelesaikan ganti rugi korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggung jawab kelompok usaha itu.

Korban. Mereka warga Sidoarjo yang secara langsung maupun tak langsung terkena dampak semburan lumpur panas Lapindo. Mereka tinggal di wilayah desa Jatirejo (3.420 jiwa), Siring (4.240 jiwa), Kedungbendo (22.833 jiwa), dan Renokenongo (4.753 jiwa). Wilayah bencana kemudian meluas ke beberapa desa termasuk Kedungcangkring (3.818 jiwa), Pejarakan (1.609 jiwa), dan Besuki (3.499 jiwa). Ketika pada 30 November 2008 seribuan warga Siring, Jatirejo, Kedungbendo, dan Renokenongo berangkat ke Jakarta untuk mengelar unjuk rasa di depan Istana Negara, itu berarti telah dua setengah tahun para korban terkatung-katung. Selama itu banyak korban berjatuhan. Ada yang jadi sakit-sakitan lalu meninggal. Ada yang menjadi stres dan sakit jiwa. Ada pula yang kini menjadi pengemis karena tak ada pilihan. Sungguh lumpur telah mengubur masa depan mereka. Sebagai korban yang tak memiliki apa-apa kecuali semangat bertahan hidup, kadang menimbulkan kreativitas dalam melakukan unjuk rasa. Karena itu tak heran mereka tak bosan-bosannya berunjukrasa dengan berbagai cara dan gaya. Tujuannya satu, agar proses pembayaran ganti rugi dipercepat. Aksi mereka dari unjuk rasa di lokasi lumpur Lapindo sembari menutup jalan akses di situ, demo ke kantor bupati atau gubernur, sampai ‘nglurug’ ke Istana di Jakarta. Demo unik agar media massa memberitakan juga sering dilakukan misalnya mandi lumpur di dekat lokasi semburan, dan menyambangi rumah Aburizal Bakrie di Jakarta. Korban memang tak satu suara alias terpecah dalam beberapa kelompok. Namum mereka tetap didampingi oleh koalisi LSM, terutama yang bergerak di bidang lingkungan dan bantuan hukum.


PEMERINTAH VS LAPINDO:

Lapindo Kian Terdesak:
Sesungguhnya yang membuat akibat dari semburan lumpur Lapindo menjadi lebih parah dan semakin parah lagi adalah kesombongan para pakar geologi Indonesia (terutama yang pro-Lapindo), yang menolak semua tawaran dari luar negeri (ketika itu masih dapat ditangani dengan baik), dengan mengatakan bahwa bangsa Indonesia jangan dihina karena dapat menyelesaikan masalah itu sendiri.
Nasi sudah menjadi bubur. Mari kita simak Laporan dari DEC (Drilling Engineers Club). Laopran ini membawa kabar baik dan menggembirakan terutama buat para korban lumpur panas, dan mungkin juga buat pemerintah. Kabar itu datang dari jauh, negerinya Nelson Mandela, Afrika Selatan. Adalah keputusan AAPG (American Association of Petroleum Geologists) 2008 International Conference & Exhibition yang dilaksanakan di Cape Town, 26-29 Oktober 2008, yang dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia. Pada acara bergengsi ini disampaikan sekitar 600 makalah dalam 97 tema yang berbeda, dan terdapat 6 buah tema khusus yang sangat dianggap penting yaitu “Lusi Mud Volcano: Earthquake or Drilling Trigger”.
Apa keputusan konperensi terpandang bagi para ahli geologi seluruh dunia itu? Ternyata 42 ahli dunia berpendapat lumpur Lapindo Sidoarjo diakibatkan oleh kesalahan pemboran dan hanya 3 ahli yang setuju karena gempa bumi. Peserta konperensi sekitar 90 ahli tersebut tentunya memberikan opini yang netral dan obyektif datang tepat waktu. Pada pertemuan itu ahli geologi pro Lapindo juga hadir, mereka bahkan membagi-bagikan brosur enam halaman berwarna dengan kualitas luks yang menjelaskan tentang seluruh kegiatan yang telah dilakukan di lapangan kepada peserta konferensi.
Selama pertemuan, terdapat 4 (empat) pembicara yaitu :
1. Dr. Adriano Mazzini dari Unversitas Oslo seorang ahli Mud Vulcano yang selama ini sangat yakin dengan teori bahwa lumpur lapindo disebabkan oleh gempa Yogyakarta. 2. Nurrochmat Sawolo sebagai ahli pemboran dari Lapindo yang mengetahui seluk beluk pemboran di sumur Banjarpanji1 sejak persiapan, pelaksanaan sampai semburan terjadi di Sidoardjo, yang dibantu Bambang Istadi.
3. Seorang pembicara dari Universitas Curtin Australia yaitu Dr. Mark Tingay ahli gempa yang berpendapat bahwa energi gempa Yogyakarta terlalu kecil sebagai penyebab terjadinya semburan di Sidoardjo.
4. Prof. Richard Davies dari Universitas Durham Inggris ahli geologi yang bekerjasama dengan ahli pemboran Indonesia yang diwakili oleh Susila Lusiaga dan Rudi Rubiandini dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menyampaikan secara detail dan jelas data-data dan bukti selama proses kejadian dilihat dari sisi operasi pemboran.
Tidak kurang 20 penanya ikut mempertajam materi diskusi yang mengarah pada penyebab yang sebenarnya, kemudian dilanjutkan dengan sesi perdebatan yang melibatkan seluruh opini yang berkembang dan dimoderatori oleh ahli geologi senior dari Australia. Acara berjalan sekitar 2,5 jam tersebut diakhiri dengan voting (pengambilan pendapat) oleh seluruh peserta yang hadir untuk memperoleh kepastian pendapat para ahli dunia tersebut dengan menggunakan metoda langsung angkat tangan.
Hasil dari voting tersebut menghasilkan 3 (tiga) suara yang mendukung gempa Yogya sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara menyatakan pemboran sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara menyatakan kombinasi gempa dan pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) menyatakan belum bisa mengambil opini. Dengan kesimpulan ahli dunia seperti ini, tidak perlu diragukan dan didiskusikan lagi bahwa penyebab semburan lumpur di Sidoardjo adalah akibat kegiatan pemboran.
"Ini merupakan kesimpulan tertinggi tingkat dunia yang tak bisa dibantah," kata Rudi Rubiandini, geolog petroleum dari ITB, salah satu peserta. Rudi berpendapat, pemerintah Indonesia dapat menggunakan hasil konferensi itu sebagai bahan dalam menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Dia menegaskan, lembaga yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur harus bertanggung jawab. Sejauh ini proses hukum kasus Lapindo menemui jalan buntu di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur karena tak cukup bukti.
Bagaimana tanggapan pemerintah dan Lapindo? Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Legowo, mengatakan pemerintah terbuka untuk menerima hasil rekomendasi terbaru itu. "Kami selalu terbuka untuk itu," kata Evita. Sementara itu, Senior Vice President PT Energi Mega Persada Lapindo, Bambang Istadi, menolak kesimpulan konferensi. Alasannya, pendapat tersebut tidak dikeluarkan seluruh geolog dunia. "Itu tidak mempresentasikan pendapat seluruh geolog di dunia," ujar Bambang
Sebelum hasil pertemuan geolog dunia di Cape Town, PT Lapindo Brantas pada 22 Oktober 2008 merilis siara pers, yang menyebutkan bahwa para geolog dalam pertemuan The Geological Society di London, Inggris (sebelum pertemuan Cape Town) menyimpulkan semburan lumpur Lapindo diakibatkan oleh mud volcano. Menurut Rudi, pertemuan London itu tak menghasilkan kesimpulan apa-apa. "Ahli geologi umum itu hanya berdiskusi, tidak menghasilkan kesimpulan." Menanggapi hal ini, Walhi menuding Lapindo telah berbohong kepada publik. "Ini proses pembohongan publik luar biasa," kata Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Walhi Muhammad Teguh Surya.


Pemerintah Menyerah?
Bagaimana membaca krisis keuangan global, menguntungkan atau merugikan Group Bakrie? Krisis finansial dunia ini tentu membuat kekayaan Bakrie terkuras, setidaknya dari orang paling kaya di Indonesia (2007), turun menjadi urutan keenam pada 2008. Namun dengan alasan krisis keuangan global ini pula, membuat PT Lapindo Brantas hanya mampu membayar uang ganti rugi kepada para korban lumpur Lapindo sebesar Rp 30 juta per bulan secara mencicil dan uang sewa rumah sebesar Rp 2,5 juta. Meskipun pemerintah sudah menekan Lapindo supaya harus membayar ganti rugi kepada para korban luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur, tetapi akhirnya pemerintah menyerah.
Ini adalah kompromi antara pemerintah, masyarakat, dan Lapindo, kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto. “Kita sudah tekan Lapindo, kamu harus bisa membayar. Tapi memang dia sudah buka kartu, inilah semampu kami, bayar Rp 30 juta per bulan. Ya sudah harus kita terima," ujar Djoko Kirmanto di Istana Negara Jakarta.
Menurut Djoko, kesepakatan yang dicapai di Sekretariat Negara 2 Desember 2008 --antara warga korban dan Nirwan Bakrie disaksikan Presiden SBY -- itu diterima semua oleh warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas). Sedangkan, kepada warga di luar itu yang menolak kesepakatan tersebut diimbaunya untuk menerima kesepakatan tersebut. Dia khawatir, bila kesepakatan itu ditolak, maka maksimum yang diterima para korban lumpur Lapindo tidak akan lebih dari yang sudah mereka terima. Apalagi, setelah kesepakatan itu, tidak akan ada negosiasi ulang.
Itulah yang bisa dilakukan oleh Lapindo untuk membayar kepada masyarakat. Kesepakatan yang dicapai itu, masih menurut Djoko, sudah sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) No 14 Tahun 2007. Sedangkan, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa yang hadir pada negosiasi itu menjelaskan, pemerintah tidak bisa memaksa Lapindo untuk membayar lebih dari yang disepakati itu. Pasalnya, perusahan milik keluarga Bakrie itu sedang mengalami kesulitan akibat krisis keuangan global saat ini.

Tampaknya usaha Group Bakrie melakukan kampanye besar-besaran ke publik bahwa penyebab bencana lumpur yang muncrat di Sidoarjo adalah karena fenomena alam belaka tak berhasil meyakinkan publik dan pemerintah. Karena itu pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY, tetap konsisten menekan Lapindo membayar ganti rugi kepada para korban. “Beruntung” Lapindo terkena dampak krisis finansial internasional sehingga ada alasan pundi-pundinya berkurang drastis dan pemerintah memaklumi keadaan itu. Konsekuensinya terjadi kesepakatan win-win solution antara Lapindo dan korban yang difasilitasi pemerintah.


KESIMPULAN

Politik komunikasi yang dilakukan Lapindo dengan mengaburkan fakta sebenarnya tentang kejadian muncratnya lumpur panas Lapindo adalah demi kepentingan bisnis Group Bakrie. Meskipiun kelompok usaha ini sangat kaya, bahkan dari sisi politik mempunyai jaringan di pusat kekuasaan, namun mengingat dahsyatnya dampak yang ditimbulkan dari bencana lumpur Lapindo, menjadikan modal kapital dan kekuasaan tetap kurang. Kampanye Bakrie pada mulanya efektif, termasuk mempengaruhi DPR, namun akhirnya tak mampu membendung kenyataan bahwa itu semua karena kecerobohan Lapindo bukan bencana alam.

Pemerintah yang baik tentu akan berpihak kepada rakyatnya, meski sebagai pribadi dan kelompok usaha, Bakrie adalah salah satu penyumbang terbesar bari kemenangan pasangan SBY-JK saat mereka meraih kursi Presiden 2004. Pada akhirnya toh Presiden SBY harus memilih untuk lebih tegas kepada Group Bakrie ketika korban tak tertanggulangi selama dua setengah tahun. Bagi Presiden SBY, menekan Bakrie dan mengahasilkan kesepakatan dengan para korban, selain sudah merupakan tugasnya sebagai presiden, juga credit point tersendiri pada saat menjelang akhir jabatannya. Dalam perspektif komunikasi politik, memerintah adalah kampanye. Artinya, bagi incumbent, melakukan sesuatu yang baik pada masa jabatan berlangsung adalah kampanye untuk pemilu berikutnya.

Kasus Lapindo memberi pelajaran kepada kita bahwa politik komunikasi dunia usaha selalu mencari untung. Politik komunikasi pemerintah adalah menjaga kestabilan dan keamanan demi pelaksanaan pembangunan. Pemerintah tak ingin kasus Lapindo menjadi sumber keresahan. Di luar itu, kelompok penekan seperti LSM selalu mengkritisi jalannya pemerintahan dan dunia usaha agar transparan, akuntable dan good governance (good corporete governance, unuk perusahaan). Media massa yang dianggap sebagai pilar keempat demokrasi, ternyata ada yang masih ideal dan independen, namun banyak yang sudah menjadi institusi bisnis semata-mata. Yang terakhir ini akan membela kepentingan bisnis pemilik modal. Bagaimana dengan publik dan korban? Mereka masih rentan, namun kini mereka bebas bersuara termasuk melakukan aksi unjuk rasa dengan segala cara dan rupa!

Daftar Bacaan:

Fotokopian dan power point bahan kuliah Politik Komunikasi.
“Bermain Lumpur Lapindo” Majalah Tempo edisi 25 Februari-2 Maret 2008
“Mencari Indonesia” Majalah Tempo edisi 27 Oktober-2 November 2008
“Siapa Peduli Bakrei” Majalah Tempo edisi 17-23 November 2008“Korban Lumpur Lapindo Menagih Bukti Bukan Janji” Majalah Tempo edisi 8-14

Senin, 03 November 2008

Stockhlom Syndrome atau Sleeping with Enemy?

Pada sebuah acara debat di SCTV sekitar sebulan lalu, berhadapan dua kelompok aktivis. Kelompok pertama, aktivis calon anggota DPR, Budiman Sujatmiko (PDI-P), Dita Indah Sari (PBR), dan Pius Lustrilanang (Partai Gerindra). Kelompok kedua, aktivis yang masih di ‘jalan’, Yeni Rosa Damayanti (aktivis perempuan), Hendrik Sirait (Ketua PBHI Jakarta), dan Sanggap (mantan aktivis Forkot).

Kelompok pertama menganggap masuknya aktivis ke senayan tak akan mampu mengubah keadaan, dan dipastikan mereka akan larut dalam budaya Senayan, tak mementingkan rakyat melainkan partai dan kekuasaan. Kelompok kedua berdalih justru perjuangan paling tepat adalah di parlemen. “Senayan adalah perluasan medan perjuangan, bukan meninggalkan rakyat di jalan”, kata Dita Indah Sari. Yang menarik adalah ketika Hendrik Sirait menyatakan keberadaan Pius Lustrilanang di Partai Gerindra (kendaraan politik Prabowo Subianto) merupakan praktek Stockhlom Syndrome. Betulkah?

Para psikolog mengidentifikasikan Stockhlom Syndrome sebagai peristiwa di mana korban penculikan, penindasan, atau penganiayaan jatuh cinta kepada orang yang melakukan kekerasan terhadapnya. Menurut teori psikoanalisa, ini adalah salah satu bentuk upaya pembelaan diri sang korban. Sandera memberikan tanda-tanda kesetiaan kepada penyandera, tidak memedulikan bahaya (atau risiko) yang telah dialami sandera itu.

Sindrom ini dinamai berdasarkan kejadian perampokan Kreditbanken di Stockholm. Perampok bank menyandera karyawan bank dari 23 Agustus sampai 28 Agustus pada 1973. Dalam kasus ini, korban menjadi secara emosional menyayangi penyandera, bahkan membela mereka. Istilah sindrom Stockholm pertama kali dicetuskan kriminolog dan psikiater Nils Bejerot, yang membantu polisi saat perampokan. Ada lagi istilah Lima Syndrome. Sindrom Lima adalah kebalikan dari sindrom Stockholm, di mana justru penyandera yang memiliki ketertarikan emosional terhadap sandera-nya. Penyandera menjadi lebih simpatik, dan bahkan merasa membutuhkan sandera-nya.

Apakah hubungan Pius Lustrilanang dan Prabowo Subianto Stockhlom Syndrome? Pius diculik oleh Tim Mawar Kopassus. Ia cukup ‘beruntung’ karena dibebaskan dalam keadaan hidup. Setelah sempat berkampanye anti militerisme di Eropa, Pius kemudian kembali ke Indonesia. Mantan aktivis Aldera ini lalu bergabung dengan PDI-P, PDP dan pada akhirnya menjadi calon anggota DPR dari Partai Gerindra. Pertemuan dengan Prabowo pertama bukan di Partai Gerindra melainkan pada akhir 1999, di Kuala Lumpur. Saat itu mantan komandan Kopassus itu berkata kepada Pius, “Saya hanya prajurit. Tugas saya memenuhi perintah. Diantaranya adalah menculik kamu”.

Kini antara korban dan ‘dalang’ penculikan itu bergabung di partai yang sama. Dalam berbagai kesempatan Pius ‘membela’ Prabowo, misalnya mengatakan bahwa tugas tentara adalah menjaga keutuhan negara, siapa-pun mungkin akan melakukan hal yang sama dilakukan Prabowo. Penghilangan orang secara paksa 1998/1999 bukan tindakan koboi petinggi militer saat itu, tetapi merupakan konsekuensi logis posisi politik TNI sebagai penopang utama rezim Soeharto.

Pius selalu mengedepankan upaya proses KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), karena korban dan keluarga korban mendapat kompensasi, serta pelaku mendapat amnesti. KKR lebih baik ketimbang proses hukum yang akan membuka luka lama bangsa ini. Mengenai keinginan Pansus Penghilangan Orang secara Paksa 1998/1999 memanggil para jenderal, Pius menganggap DPR mengambil alih fungsi Komnas HAM sebagai institusi penyelidik. Sebagai lembaga politi sebaiknya DPR tinggal memutuskan perlu tidaknya dibentuk Pengadilan HAM.

Fenomena Stockhlom Syndrome mungkin bukan monopoli Pius dan aktivis korban penculikan lainnya yang bergabung dengan Partai Gerindra. Hubungan Megawati Soekarnoputri dan Sutiyoso, mantan Pangdam Jaya, pada kasus Penyerangan gedung, PDI 27 Juli 1996 juga mirip Stochlom Syndrome. Megawati dan PDI yang menjadi korban (meski bukan langsung Megawati tetapi massa PDI), kemudian mendukung mati-matian pencalonan Sutiyoso sebagai gubernur DKI Jakarta, demi mengamankan Jakarta mendukung Megawati dalam Pilpres 2004.

Dalam politik ada pameo tak ada musuh abadi dan kawan kekal, yang ada adalah kepentingan. Kasus Pius dan Prabowo dan mungkin Megawati dan Sutiyoso bisa kita baca melalui kacamata ini. Selain kepentingan politik yang dominan bermain dalam hubungan antara pelaku politik, tak dapat dimungkiri unsur Stockhlom Syndrome juga ada di situ. Ada kekaguman satu sama lain antara korban dan pelaku. Tetapi saat ini mereka berpikir ke depan, bersatu dalam satu partai, seraya melupakan masa lalu.

Stochlhom Syndrome atau bukan dalam hubungan antara mantan korban dan pelaku sesungguhnya tak begitu penting. Masalahnya adalah apakah mereka menolak impunity atau tidak. Apakah mereka percaya demokrasi yang anti-kekerasan atau tidak? Selain itu, apakah kemesraan mereka bermanfaat buat korban penculikan lainnya dan bangsa pada umumnya atau tidak? Jika kemesraan itu hanya demi kepentingan mereka sendiri, apalagi untuk menutupi atau menghapus kesalahan masa lalu, maka yang terjadi bukan saja Stockhlom Syndrome, juga sleeping with enemy!

(Tri Agus S Siswowiharjo, mantan aktivis Pijar dan Solidamor)

Minggu, 26 Oktober 2008

Iklan Politik

If there is a whale, there is a wave....

Menjelang pemilu 2009 iklan politik kian marak. Ada yang memperkenalkan partai, ada juga yang memperkenalkan tokoh partai, bahkan bukan siapa-siapa mengaku calon pemimpin bangsa. Layaknya iklan sabun cuci ada yang menyatakan pilihlah saya atau partai kami. Mereka jeli memanfaatkan moment tertentu seperti hari kebangkitan nasional, kemerdekaan sampai hari lebaran. Intinya, iklan politik tak lebih dari iklan produk sabun atau kosmetik. Jika iklan politik dikemas seperti iklan rokok, bisa jadi iklan politik akan jauh lebih inspiratif dan menggugah. Karena tak boleh menunjukkan produknya. Namun tunggu dulu. Di akhir iklan musti ada keterangan penting, peringatan pemerintah; terlalu percaya kepada partai politik dan politisi busuk bisa menyebabkan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Fadjroel Rachman aktivis yang mencalonkan diri menjadi presiden lewat jalur independen suatu saat mendapat tawaran dari Rizal Malarangeng agar bisa kampanye bersama lewat media seperti televisi. Ibarat bus kota, sesama calon kaum muda dilarang saling mendahului. Sungguh ini tawaran yang menarik. Publik akan makin kenal muka-muka baru dan muda calon presiden 2009. Namun dari mana biaya besar bisa dikumpulkan Rizal? Fadjroel kemudian mendiskusikan dengan “tim sukses”. Ternyata hampir semua teman Fadjroel menolak tawaran itu. “Jangan mau dong. Nanti nama kamu bisa jadi Fadjroel Bakrie!...”

Untung Fadjroel tak jadi bergabung bersama membintangi iklan yang selalu berseru If there is a will. There is a way itu. Bukan saja mantan aktivis ITB tersebut tak mau menjadi Bakrie Boys, juga karena garis politik mereka berbeda. Dalam sebuah acara debat Fadjroel mengritik Rizal sang pembawa acara Save Our Nation di Metro TV. “Acara itu kalau masih tetap dibawakan Rizal lebih tepat diganti Sale Our Nation”. Kritikan tajam pengagum mantan Perdana Menteri Sjahrir tersebut tentu terkait peran Rizal dalam tim perunding rebutan blok Migas Cepu antara Pertamina dengan Exxon Mobil yang berakhir dengan “penyerahan” Blok Cepu ke Exxon.

Fadjroel sama seperti Barack Obama, juga memanfaatkan media internet. Dalam sebuah tulisan yang terpampang di Face Book, Fadjroel menulis begini. Kalau Yuddy (Chrisnandy) partainya besar, Celi (Rizal) duitnya besar. Fadjroel jiwa atau orangnya besar. Tentu saja yang dimaksud partai Golkar tempat Yuddy Chrisnandy bernaung, dan duit besar Rizal diduga karena kedekatan dengan orang terkaya di Indonesia, Aburizal Bakrie.

Dalam iklan politik Rizal yang disiarkan di berbagai televisi ia digambarkan sangat bangga pernah ke Ende, Banda Neira tempat para pendiri republik seperti Soekarno dan Hatta dibuang. Lagi-lagi Fadjroel, dengan enteng mengatakan, “Kalau Rizal cuma pernah mengunjungi tempat-tempat bersejarah itu. Saya pernah menghuni sel yang sama saat Bung Karno ditahan di penjara Sukamiskin”.

Sekali lagi untung Fadjroel tak jadi membuat iklan bareng Rizal. Kalau jadi, sekarang tentu ikut kecewa dan sedih karena dampak krisis keuangan global yang dimulai dari Amerika Serikat. Ibarat gempa memang episentrumnya di negeri Paman Sam tersebut. Tapi karena dahsyatnya gempa, seluruh dunia terkena imbasnya, tak kecuali Indonesia. Bakrie yang punya episentrum di Rasuna Said, beberapa saham perusahaannya terjun bebas. Pemerintah SBY-JK kembali (terpaksa atau dipaksa) menolong Bakrie untuk kedua kali. Pertama kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo. Yang kedua ya apa lagi kalau bukan penyelamatan saham Bakrie lewat suspened beberapa hari yang dilagukan BEJ.

If There is a will, there is a way. Semua orang tahu jika ingin menjadi presiden bikinlah partai. Rizal mempunyai keinginan memimpin bangsa ini namun kurang membuka jalan alias ikut babat alas. Berbeda dengan Fadjroel yang berkeringat dan berdarah-darah memperjuangkan agar calon presiden independen bisa bertarung dalam pemilihan presiden. Bangsa ini juga patut berterima kasih kepada Fadjroel dan kawan-kawan yang sukses membuka jalan bagi calon bupati, walikota dan gubernur independen dalam pilkada. Kini tinggal kita tunggu Mahkamah Konstitusi memutuskan apakah calon presiden independen dibolehkan bertarung dalam pemilihan presiden minggu-minggu ini.

If there is a whale, there is a wave....Di mana ada ikan paus di situ ada gelombang. Dan gelombang itu kini menerpa Bakrie, mungkin juga Sutrisno Bachir. Dampaknya iklan politik akan berkurang. Tak sebanyak bulan-bulan lalu. Tiap hari kita dicekoki “hidup adalah perjuangan” sementara kita tahu SB tak cukup berjuang membuat iklan sehingga diprotes Suster Apung.

Hanya mereka yang uangnya tak berseri yang mampu membombardir publik dengan iklan politik. Salah satunya adalah Prabowo Subianto bersama Partai Gerindra. Para pengamat menilai iklan Prabowo cukup efektif dan mampu mendongkrak kepopuleran Prabowo. Pertanyaannya sampai kapan? Menurut Fadlizon, pengurus Gerindra, sampai dilarang KPU.

There is no Rizal on TV anymore. Tak ada lagi perjuangan SB di layar kaca. Yang tersisi hanya auman macan Prabowo. Belum lagi Prabowo akan segera mendapat iklan gratis jika Pansus Penghilangan Orang secara Paksa DPR berhasil memanggil mantan komandan Kopassus tersebut. Kita memang tinggal di republik sinetron. Jadi mereka yang seolah-olah dianiaya atau dizhalimi akan mendapat simpati dari publik.

Jakarta 24 Oktober 2008-10-24
Tri Agus S Siswowiharjo (politshirt@yahoo.com)

Rabu, 16 Juli 2008

Setelah Memilih lalu Menagih

Oleh: Tri Agus S. Siswowiharjo

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Kabupaten Temanggung yang dilaksanakan bersamaan dengan pilkada gubernur Jawa Tengah usai sudah. Pasangan Hasyim Afandi dan Budiarto terpilih untuk memimpin Temanggung periode 2008-2013. Inilah untuk pertama kali dalam sejarah, rakyat Temanggung memilih secara langsung bupati mereka sendiri. Era pemimpin daerah dipilih wakil rakyat (atau wakil partai politik) di DPRD II telah berakhir. Kini rakyat Temanggung sendiri yang menentukan Hasyim Afandi dan Budiarto menjadi bupati dan wakil bupati. Apa makna terpilihnya pasangan HB bagi Temanggung?

Salah satu buah reformasi yang bisa kita nikmati adalah pilkada langsung. Mekanisme ini sungguh lebih demokratis dibanding pemilihan bupati oleh DPRD kabupaten. Wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu, saat duduk di lembaga perwakilan daerah cenderung lebih mewakili partai politik ketimbang rakyat yang memilih mereka. Sistem perwakilan seperti ini menyebabkan jarak antara bupati dan rakyat sangat jauh. Bupati tak merasa dipilih oleh rakyat yang dipimpinnya melainkan oleh perwakilan partai kabupaten itu. Bupati hasil sistem seperti ini mudah ditebak kinerjanya. Ia menjadi lebih ‘akrab’ atau ‘takut’ kepada para wakil rakyat ketimbang rakyat. Karena itu banyak terjadi kasus keakaban antara bupati dan anggota dewan dengan melakukan ‘korupsi berjamaah’ melalui penyelewengan APBD.

Hasyim Afandi dan Budiarto kini menjadi bupati dan wakil bupati terpilih. Terlepas berapa persen yang memilih dan golput, nyatanya pasangan ini mengungguli lainnya dan memenangi pilkada. Artinya rakyat memberi kepercayaan penuh untuk memimpin Temanggung. Rakyat memutuskan mendukung dan memilih pasangan ini setelah mengenal dan menyukai pengalaman dan visi misi dalam membangun kabupaten di lereng Sumbing Sindoro ini. Masa kampanye yang tak terlalu lama telah membulatkan rakyat mendaulat pasangan HB. Tentu saja ini merupakan kepercayaan sekaligus tanggungjawab. Rakyat percaya pasangan HB bisa bertanggungjawab menjalankan visi misi mereka.

Bupati di era otonomi daerah di tingkat kabupaten bisa menjadi berkah, namun bisa juga menjadi musibah. Tentu ini tergantung bagaimana sang bupati mengelola daerahnya. Ia bisa menjadi raja kecil di daerah, tak jarang bisa juga menjadi pahlawan lokal. Ia bisa abadi dikenang seperti Pak Maschoen Sofwan, atau menjadi pesakitan ala Totok Ari Prabowo. Barangkali kisah sukses beberapa daerah di Indonesia patut dipelajari bupati terpilih. Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi sukses mempromosikan anti-korupsi dan meningkatkan efisiensi kerja di kantor pemerintahan, Bupati Sragen, H. Untung Wiyono berhasil melakukan terobosan pelayanan masyarakat dengan menggunakan teknologi informasi, dan Bupati Jembrana, I. Gede Winasa patut dicontoh karena memberikan pelayanan masyarakat dengan gratis dan cepat (kependudukan, pendidikan, kesehatan dan transportasi).

Tantangan di depan mata bupati terpilih sungguh tak kecil. Menjadi bupati di tengah rakyat petani yang kian diterpa globalisasi. Mengurangi angka kemiskinan melalui berbagai program adalah tugas utama bupati. Kemiskinan menurut perspektif ekonomi adalah suatu kondisi di mana pendapatan suatu penduduk atau rumah tangga tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar, pendapatannya terlalu rendah sehingga tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Dari sisi budaya, kemiskinan lebih ditentukan oleh pola perilaku masyarakat miskin, seperti pola hidup subsisten, konsumtif, dan etos kerja rendah. Sementara dari sudut pandang sosial, kemiskinan terjadi karena struktur sosial yang tidak berpihak pada orang miskin. Dengan demikian mereka tersisih akibat terisolasi terhadap akses ekonomi, sosial, dan politik (struktural).

Globalisasi telah mengguncang sektor pertanian nasional kita, termasuk di Temanggung. Petani tak mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan yang makin tinggi, memaksa petani menjual lahannya dan beralih menjadi buruh serabutan di kota-kota seperti Semarang, Yogyakarta, atau Jakarta. Lahan petani makin sempit, membuat petani bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kecenderungan kemerosotan usaha tani menjelma menjadi proses pemiskinan petani. Sesuatu yang seharusnya bisa dicegah oleh pemerintah daerah dengan kebijakan yang pro rakyat.

Kemiskinan telah menjadi sahabat Temanggung sejak lama. Karena miskin, tingkat kesehatan menjadi rendah. Pada awal tahun ini sebanyak 600 anak usia enam bulan hingga lima tahun di Temanggung, mengalami kurang gizi. Kendati belum termasuk dalam kategori gizi buruk, kesehatan mereka sudah harus mendapatkan perhatian karena memiliki berat badan yang kurang dari standar. Jika dibiarkan, maka mereka pun nantinya juga akan rentan menderita gejala berbagai penyakit. Data ini didapatkan dari hasil survei pada tahun 2006, yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap sekitar 60.000 anak usia enam bulan hingga lima tahun di 20 kecamatan di Temanggung.

Rakyat telah memilih, kini waktunya menagih. Ya, sebantar lagi rakyat yang mendukung dan memilih Hasyim Afandi / Budiarto akan tetap bersuara meski berganti nada. Jika dulu percaya dan mendukung, nantinya suara menagih janji. Tentu itu semua butuh waktu. Kita akan memberi kesempatan bupati terpilih mulai bekerja. Pasangan yang diusung partai Golkar dan PAN ini duet mantan pejabat. Hasyim selain pernah menjadi bupati Magelang juga pensiunan kepala Depag Temanggung. Sedangkan Budiarto sebelumnya menjabat kepala Dishubpar. Pengalaman di birokrasi seharusnya menjadi modal yang cukup untuk membangun Temanggung.

Kesuksesan pasangan Hasyim Afandi / Budiarto diharapkan membawa Temanggung ke panggung pentas nasional dalam hal prestasi, bukan korupsi. Kita tunggu berapa persen kemiskinan yang bisa diturunkan, kita lihat berapa lapangan kerja yang bisa diciptakan, kita periksa apa saja pelayanan publik yang bisa digratiskan, kita buktikan bisakah menghemat anggaran birokrasi dan mengalokasikan ke sektor publik, dan kita pelototi berapa persen peningkatan pendapatan rata-rata penduduk Temanggung.

Sekali lagi, kita butuh waktu. Kita tunggu bupati terpili bekerja. Kita telah memilih mereka. Kita mengucapkan selamat dan segera bekerja. Tak lama lagi, kita juga yang akan menagih janji mereka!.

dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat edisi Juli 2008

Nasib Buruh Migran Kita

Oleh : Tri Agus S. Siswowiharjo

Seorang TKI asal Temanggung, Zusniyati Kholifah, ditemukan tewas di Cairo, Mesir. ia diduga bunuh diri dari lantai enam apartemen tempat bekerja. Ceriyati tak tahan tiap hari mengalami siksaan, nekat kabur dari lantai 15 apartemen dan diselamatkan petugas pemadam kebakaran di Kuala Lumpur. Ribuan TKI diusir pemerintah Malaysia karena tak memiliki dokumen. TKW diperkosa dan dibunuh di Arab Saudi, jenasahnya masih belum jelas kapan dikirim ke tanah air. Pejabat KBRI di Kuala Lumpur diduga melakukan korupsi pembuatan paspor TKI. Bandara Soekarno-Hatta masih menjadi tempat paling aman bagi para penipu dan perampok dengan korban para TKI.

Berita di atas pernah menghiasi lembar-lembar di koran kita. Semuanya kisah yang memilukan. Hampir tak ada cerita sukses tentang TKI. Yang ada cerita Ceriyati dan teman seprofesi yang nelangsa di negeri sebrang atau diperas di negeri sendiri. Benarkah nasib para pekerja migran kita yang dijuluki pahlawan devisa hanya selalu sedih, nelangsa dan gagal?

Sungguh TKI kita adalah orang-orang yang berani atau lebih tepat nekat. Bayangkan, dengan kemampuan bahasa asing yang seadanya dan penguasaan profesi yang tak bisa dibilang profesional, mereka berketetapan hati bekerja di luar negeri. Jangan kaget jika Anda kebetulan satu pesawat dengan mereka, pasti akan diminta bantuan untuk menulis dokumen kedatangan di suatu negara. Bagaimana kita membayangkan mereka berkomunikasi dengan para majikan dengan modal bahasa yang minim? Peluang miskomunikasi sudah pasti akan terjadi. Ancaman penyiksaan, perkosaan sampai pembunuhan juga menghampiri mereka. Jika mereka telah melewati itu semua. Artinya mereka beruntung bisa mengumpulkan riyal atai dolar di negeri orang, cerita tak selesai di sini. Ancaman tetap mengintai di tanah air.

Begitu mereka mendarat di Soekarno-Hatta, tanpa kecuali mereka akan dipungut Rp 25 ribu. Padahal sebelum berangkat sudah ada pungutan US$ 15 untuk subsidi. Belum termasuk sekitar Rp 5 juta untuk pengurusan paspor dan administrasi lainnya. Resminya, pengantaran ke daerah seperti Cianjur hanya Rp 185 ribu, namun tak jarang yang apes kehilangan sampai Rp 1 juta. Kalikan saja dengan traffic TKI/TKW yang 500 orang per hari atau 2 ribu orang per hari seperti saat ini. Berapa uang yang dikorupsi atau dirampok dari TKI kita? Para TKI sebelumnya berangkat sudah jor-joran menjual harta benda atau mengijon kiri-kanan. Mereka juga meninggalkan suami/istri dan anak dalam waktu yang sangat lama. Sialnya, biarpun mereka menghasilkan devisa sampai Rp 15 triliun per tahun, keberadaan mereka masih dilihat sebelah mata.

Sungguh sangat ironi. Kita tak bisa memberi mereka keterampilan yang memadai maupun pekerjaan yang layak di tanah air. Ketika mereka di seberang sana, kita juga tak melindungi mereka dari pemberi kerja yang semaunya sendiri. Dan, ketika mereka kembali ke tanah air, kita membiarkan harta mereka yang dikumpulkan dengan susah payah dirampok di negeri sendiri.

dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat edisi Desember 2007

Kontrol Syahwat Belanja!

Oleh Tri Agus S. Siswowiharjo

Ada fenomena menarik setiap bulan puasa di Indonesia. Pada bulan itu, saat sepanjang hari menahan nafsu, termasuk makan dan minum, justru pola konsumsi meningkat tinggi. Harga kebutuhan pokok merangkak naik, begitu juga biaya transportasi baik darat, laut maupun udara melambung tinggi. Puasa berbelanja tampaknya tak menjadi kenyataan karena media (cetak dan elektronik) berhasil memaksa masyarakat untuk membeli bahkan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan kebutuhan untuk puasa dan hari lebaran.

Media menempati posisi yang menentukan sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat konsumen. Menurut cendikiawan Perancis terkemuka, Jean Baudrillard. media berperan sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas. Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya otoritas lain di luar dirinya yang "memaksa" untuk membeli. Hasrat belanja masyarakat merupakan hasil konstruksi yang disengaja.

Bagaimana menghindar dari pola hidup konsumtif yang tak sehat? Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Konsumsi tembakau Temanggung yang tinggi akan sangat berdampak bagi ekonomi masyarakat di kabupaten ini. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumtif.

Budaya ini sangat berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Sudah saatnya kita menjadi konsumen yang cerdas dan kritis. Mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk barang dan jasa yang benar-benar kita perlukan, tak mudah terpengaruh dengan rayuan iklan diskon, sale atau obral.

Setiap tanggal 29 November, masyarakat internasional tanpa dibatasi agama, ras, dan nasionalitas, bersatu merayakan Buy Nothing Day, atau Hari Tanpa Belanja Sedunia. Sebuah gerakan penyadaran atas bahaya penyakit konsumtif terhadap lingkungan hidup dan tereksploitasinya negara-negara berkembang. Peringatan ini telah dirayakan di lebih dari 30 negara, termasuk Indonesia.

Dalam sehari itu, masyarakat sedunia diajak untuk tidak berbelanja. Sebuah penyadaran global agar masyarakat mulai mengkritisi semua proses di balik barang-barang yang dibeli. Apakah pembuatannya telah merusak keselarasan alam; menimbulkan pencemaran, banjir, longsor, dan pemanasan global? Apakah para buruh yang mengerjakan sebuah produk diperlakukan dengan manusiawi dan diberi upah yang layak?

Buy Nothing Day mengingatkan bahwa saat kita membeli dan menikmati suatu barang, pada waktu yang sama telah terjadi perusakan lingkungan hidup dan perlakuan tidak baik terhadap sesama manusia, terutama mereka yang berprofesi sebagai buruh, petani, atau nelayan. Artinya, semakin nafsu belanja kita tak terkendali, semakin rusak pula lingkungan hidup dan semakin membuktikan tipisnya rasa kemanusiaan. Bagaimana dengan Anda?


dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat ediai Oktober 2007

Berharap dari Desa

Oleh Tri Agus S Siswowiharjo

Desa harus jadi kekuatan ekonomi
Agar warganya tak hijrah ke kota
Sepinya desa adalah modal utama
Untuk bekerja dan mengembangkan diri

(Desa, Album Manusia Setengah Dewa, 2004)

Salah satu buah dari reformasi di Indonesia adalah desentralisasi pemerintahan. Otonomi daerah di tingkat kabupaten / kota membuat kompetisi antar daerah memakmurkan warganya. Ada yang sukses, ada pula yang terpeleset menjadi ’raja kecil’ yang pada akhirnya melahirkan koruptor, seperti bupati di Kutai Kartanegara dan Temanggung. Sesungguhnya, salah satu kunci sukses suatu daerah adalah bagaimana memakmurkan warga masyarakat desa.

Dan yang menjadi kunci maju-mundurnya roda ’pemerintahan’ di suatu desa adalah Kepala Desa. Tak dimungkiri, Pak Kades, kini merupakan jabatan yang tak boleh dianggap enteng apalagi dipandang sebelah mata. Di tangan para Kades-lah para camat dan bupati berharap agar pembangunan berjalan lancar di desa-desa. Posisi Kades menjadi cukup strategis. Di beberapa desa di wilayah yang cukup kaya, pemilihan Kades bahkan tak kalah meriahnya dengan Pilkada bupati atau walikota.

Jika dibandingkan dengan era Orde Baru, di mana semua serba ditentukan dari atas, kini pemerintahan desa jauh lebih demokratis. Selain, sejak dulu, telah ada sistem pemilihan langsung yang demokratis, kini desa juga dilengkapi dengan perangkat legislatif semacam DPRD. Jika dahulu Kades menerima tanah bengkok sebagai gaji, kini ada Kades yang telah menerima gaji bulanan yang cukup lumayan, plus berbagai fasilitas misalnya kedaraan roda dua untuk kelancaran tugasnya.

Tugas utama Kades adalah melayani warga. Ia adalah pelayan masyarakat, bukan lagi ’ndoro’ yang minta dilayani. Karena itu Kades harus siap membantu warga dalam urusan KTP sampai perizinan ini dan itu. Kades juga harus menjadi jembatan bagi warga dengan pemerintah setempat. Semua kebijakan boleh jadi lebih efektif disampaiakn melalui Kades. Pendek kata, Kades bisa menjadi kaki tangan warga, sekaligus kepanjangan tangan pemerintah setempat.

Sebagai jabatan yang di bawahnya langsung berhadapan dengan warga, posisi Kades kadang menjadi bahan tarik-menarik secara politik. Mereka kadang berhimpun dalam Persatuan atau Paguyuban Kades dan mampu menggoyang bupati yang main uang.Di Yogyakarta para Kades berdemo mendesak agar keistimewaan DIY tetap terjaga, di Kabupaten Rembang para Kades diminta meningkatkan perolehan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sementara di Temanggung para Kades mempunyai andil ’menitikkan’ Totok!

Kades menjelang dan dan saat Pilkada menjadi rebutan para kandidat yang bertarung.Hal itu sah-sah saja, sejauh tugas-tugas melayani warga tetap berjalan lancar, dan tak menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi warga memilih salah satu kandidat, apalagi dengan paksaan atau politik uang.

Zaman telah berubah. Para Kades kini menjadi motor penggerak pembangunan desa. Pembangunan dari bawah ke atas mensyaratkan pemimpin desa yang inovatif dan kerja keras. Dan kita sebagai warga patut memberi penghargaan bagi mereka. Kita tentu sependapat dengan Iwan Fals. Bahwa Desa adalah kenyataan/ Kota adalah pertumbuhan /Desa dan kota tak terpisahkan/ Tapi desa harus diutamakan.

Dimuat di buletin komunitas temanggung: Stanplat edisi Januari 2008

Pelayanan Publik di Era Otonomi

Oleh Tri Agus s Siswowiharjo

Salah satu buah reformasi adalah desentralisasi pembangunan. Otonomi daerah di tingkat kabupaten / kota bisa menjadi berkah, namun bisa juga menjadi musibah. Tentu ini tergantung bagaimana pejabat mengelola daerahnya. Ia bisa menjadi raja-raja kecil di daerah, tak jarang bisa juga menjadi pahlawan lokal. Yang pasti, kini berbagai daerah berlomba meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dengan berbagai inovasi. Banyak Peraturan Daerah (Perda) dibuat, tapi ada yang justru bertentangan dengan pemerintah pusat, bahkan membuat investor enggan datang. Bagaimana mengelola Temanggung sebagai daerah yang bersahabat dengan para investor?

Barangkali kisah sukses beberapa daerah berikut patut dipelajari. Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi sukses mempromosikan anti-korupsi dan meningkatkan efisiensi kerja di kantor pemerintahan, Gubernur Papua, Barnabas Suebu dengan program desa mandiri, Bupati Sragen, H. Untung Wiyono berhasil melakukan terobosan pelayanan masyarakat dengan menggunakan teknologi informasi, dan Bupati Jembrana, I. Gede Winasa patut dicontoh karena memberikan pelayanan masyarakat dengan gratis dan cepat (kependudukan, pendidikan, kesehatan dan transportasi).

Memberikan kemudahan pembuatan perizinan dan kepastian hukum berusaha adalah kuncinya. Investor tentu tak hanya datang dari luar Temanggung, tetapi juga dari kabupaten sendiri. Mereka yang berani menginvestasikan modalnya untuk bisnis dan diharapkan menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan daerah harus dilayani dengan khusus kalau tak ingin mereka lari keluar daerah. Perilaku lama dengan banyak meja yang harus dilewati serta adanya uang sogokan, jelas sudah bukan zaman lagi.

Pelayanan publik di Kabupaten Jembrana sebelum 2003 cukup memprihatinkan. Perlu waktu lama dan tidak luput dari pungutan liar, sehingga menimbulkan diskriminasi pelayanan. Banyak meja yang harus dilalui, ketidakpastian waktu dan biaya pangurusan perijinan. Selain itu, kurangnya sosialisasi tentang prosedur pengajuan perijinan berdampak pada rendahnya pengurusan perizinan oleh masyarakat. Akibatnya tingkat pencapaian potensi penerimaan Daerah dari sektor pajak dan retribusi daerah menurun.

Kalau Jembrana dan Sragen bisa tentu Temanggung juga bisa. Kuncinya adalah keseriusan pejabat Pemkab Temanggung melayani para investor, dan juga rakyat biasa lainnya dalam mengurus segala perizinan pendirian dari CV, PT, IMB sampai SIUP. Semakin sedikit pintu dan meja yang dilalui sudah barang pasti makin baik hasilnya. Pertanyaannya kini mampu dan maukah para pejabat Temanggung melakukan terobosan yang menguntungkan publik?


dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat

Peduli Lingkungan Sebagian dari Iman

Resensi buku oleh Tri Agus S. Siswoiharjo

Judul : Fikih Lingkungan
Paduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan
Penulis : Prof. Dr. Mujiyono Abdillah, M.A.
Cetakan : I, Mei 2005
Penerbit : UPP AMP YKPN, Yogyakarta
Tebal : x + 124 halaman

Desember 2007 ini Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan internasional membicarakan isu perubahan iklim dunia di Bali. Perhelatan yang dihadiri 50 negara ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkantor di pulau Dewata selama konperensi berlangsung. Ini membuktikan Indonesia sangat serius menangani masalah lingkungan. Namun, benarkah masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam telah berwawasan lingkungan?

Buku karya wong Temanggung ini mungkin bisa sedikit membuka wawasan alternatif kita tentang pelestarian lingkungan dengan pendekatan spiritual Islam. Pendekatan alternatif ini melengkapi pendekatan yang selama ini telah ada yakni pendekatan ilmiah, pendekatan politis, pendekatan sosial, pendekatan budaya, sampai pendekatan teknologi. Karena masyarakat beragama cenderung primordial sehingga pemimpin agama – kyai, da’i atau muballigh - selalu ditaati fatwanya dan diikuti perilakunya untuk pengembangan kesadaran lingkungan.

Islam memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam dan lingkungan merupakan daya dukung lingkungan bagi manusia. Sebab fakta spiritual menunjukkan bahwa Allah swt. Telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, secara yuridis fiqhiyah berpeluang dinyatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam status hukum pelestarian alam hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dua pendekatan yakni ekologis dan spiritual fiqhiyah Islamiyah. (hal 12). Dalam Al Quran banyak ditemui ayat yang secara eksplisit mengenai pelestarian lingkungan. Tugas para pemuka Islam adalah selalu mengatakan kepada umat bahwa pelestarian lingkungan adalah sebagian dari iman.

Menurut Mujiyono fikih lingkungan merupakan seperangkat aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim yang ditetapkan oleh yang berkompeten berdasarkan teks syar’i dengan tujuan untuk mencapai kemashalahatan bersama dan melestarikan lingkungan. Misi fikih lingkungan adalah menjadi perekayasa sosial masyarakat Islam yang memiliki kearifan lingkungan memadai, ecological Islamic law as ecological wisdom of muslim society engineering, sekaligus menjadi pengawas kesadaran ekologis masyarakat Islam, ecological Islamic law as ecological conciousness of muslim society control. (hal 59)

Fikih lingkungan masih memerlukan bukti kehandalannya dalam praktek hidup masyarakat kita sehari-hari. Pemerintah yang mengaku telah serius menangani masalah lingkungan namun tiap tahun kita masih menghadapi problem yang sama di bidang lingkungan. Pembalakan dan pembakaran hutan yang asapnya mencemari negara-negara tetangga, banjir dan longsor tiap musim hujan, kekeringan dan kebakaran saat kemarau, serta udara yang makin kotor dan panas. Mampukah fikih lingkungan menghambat semua kerusakan lingkungan di tanah air yang kian parah?

Tampaknya jawabannya setali tiga uang dengan pertanyaan mampukah spriritual Islam memberantas korupsi. Banyaknya masjid dan pesantren berdiri, partai Islam tumbuh bak jamur di musim hujan, makin banyak perempuan menggunakan jilbab, kelompok radikal Islam makin marak di mana-mana, perda-perda syariat mengepung dari desa ke kota, semua itu tak mampu mengubah perilaku orang Indonesia yang mayoritas Islam tetap korup dan menjadi negara paling korup papan atas di dunia.

dimuat di media komunitas: Stanplat

Orang Miskin Boleh Sakit

Oleh: Tri Agus s. Siswowiharjo

Tujuan pembangunan bidang kesehatan antara lain untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap orang sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kesehatan masyarakat yang mantap dapat dilihat dari menurunnya angka kematian kasar, kematian bayi, dan kematian akibat berbagai macam penyakit menular, serta meningkatnya umur harapan hidup.

Sampai saat ini tujuan mulia itu belum tercapai. Masih jauh panggang dari api. Kesehatan masih menjadi barang mahal. Pada awal tahun ini sebanyak 600 anak usia enam bulan hingga lima tahun di Temanggung, mengalami kurang gizi. Kendati belum termasuk dalam kategori gizi buruk, kesehatan mereka sudah harus mendapatkan perhatian karena memiliki berat badan yang kurang dari standar. Jika dibiarkan, maka mereka pun nantinya juga akan rentan menderita gejala berbagai penyakit. Data ini didapatkan dari hasil survei pada tahun 2006, yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap sekitar 60.000 anak usia enam bulan hingga lima tahun di 20 kecamatan di Kabupaten Temanggung.

Kasus kekurangan gizi di Temanggung adalah satu contoh betapa negara gagal dalam menjamin kesehatan rakyatnya. Sungguh ironi, Temanggung yang subur namun sebagian bayi dan anak-anaknya menderita. Bidang kesehatan, seperti juga pendidikan, sering kali dinilai sebagai beban bagi pemerintah, padahal hanya dengan rakyat yang sehat dan cerdas dijamin bangsa ini maju. Anggaran pendidikan 20 persen dari APBN (sesuai undang-undang) belum terpenuhi sehingga pendidikan gratis untuk seluruh rakyat masih sekadar cita-cita. Begitu juga anggaran kesehatan belum menjangkau ketersediaan puskesmas yang menyediakan dokter dan obat-obatan murah untuk rakyat. Sehat itu memang (masih) mahal.

Kesehatan memang erat kaitannya dengan pendidikan. Kesadaran untuk berInvestasi pada pendidikan dan kesehatan adalah jaminan kesuksesan masa depan. Jika negara belum mampu menjamin pendidikan murah dan obat murah, maka rakyat harus pandai-pandai mengelola keuangan yang minim demi sekolah dan biaya kesehatan. Yang terjadi sering sangat ironis. Ada antrian panjang untuk menerima dana BLT namun para pengantri yang miskin tersebut terlihat merokok. Ada juga banyak rumah yang terlihat mewah lengkap dengan barang elektroniknya, namun menyatu dengan kandang sapi atau ayam.

Orang miskin dilarang sakit. Begitu judul sebuah buku yang tampaknya masih sangat relevan karena biaya kesehatan masih mahal. Namun celakanya orang miskin tak cukup cerdas menjaga kesehatannya dirinya dan lingkungan sekitar, seperti contoh di atas. Karena itu harus ada kewajiban negara menyediakan anggaran yang cukup (dan tak dikorupsi) untuk kesehatan yang menjangkau seluruh pelosok negeri. Di samping itu harus ada kesadaran akan kesehatan bagi orang miskin. Jika antara negara dan rakyat menyadari peran masing-masing, maka jangan takut “orang miskin boleh sakit”.

dimuat di buletin komunitas Temanggung: Stanplat

Kegagalan Negara Menghentikan Pemiskinan Petani

Oleh: Tri Agus S. Siswowiharjo

Kemiskinan menurut perspektif ekonomi adalah suatu kondisi di mana pendapatan suatu penduduk atau rumah tangga tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar, pendapatannya terlalu rendah sehingga tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Dari sisi budaya, kemiskinan lebih ditentukan oleh pola perilaku masyarakat miskin, seperti pola hidup subsisten, konsumtif, dan etos kerja rendah. Sementara dari sudut pandang sosial, kemiskinan terjadi karena struktur sosial yang tidak berpihak pada orang miskin. Dengan demikian mereka tersisih akibat terisolasi terhadap akses ekonomi, sosial, dan politik (struktural).

Petani Indonesia, kini menghadapi proses pemiskinan. Kondisi petani ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Anjloknya harga gabah membuat mereka kian terpukul, karena hasil panen juga digunakan untuk menutupi biaya produksi serta sewa lahan yang kian mahal. Akibatnya, meskipun hasil panen padinya lumayan, pendapatan yang diterima petani penggarap belum mampu mengangkat mereka dari kubangan kemiskinan. Kondisi yang terus dibiarkan ini seolah menjelma menjadi proses pemiskinan terhadap petani.

Mengapa kebijakan pertanian kita tak menguntungkan para petani? Kebijakan pangan mencakup tiga elemen pokok meliputi pasokan (supply), distribusi dan konsumsi pangan. Diperlukan berbagai upaya agar ketiga elemen tersebut dapat terintegrasi sehingga dapat menjamin kontinuitas akses terhadap kecukupan pangan bagi masyarakat yang ada di dalam suatu negara. Kebijakan pangan diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan mendukung ketahanan pangan suatu negara. Dari sisi pasokan misalnya, salah satu instrumen kebijakan yang diterapkan adalah kebijakan harga (price policy). Melalui Inpres No 3 Tahun 2007 tentang kebijakan perberasan, ditentukan bahwa HPP (Harga Pembelian Pemerintah) untuk beras sebesar Rp 4.000/kg dan gabah kering giling (GKG) sebesar Rp 2.600/kg. Dalam Inpres tersebut juga diatur untuk GKG yang akan dibeli Bulog harus memenuhi syarat yaitu kadar air maksimumnya 14 persen dan butir hampa/kotoran maksimum 3 persen. Dalam praktiknya, tidak mudah bagi petani memenuhi persyaratan tersebut. Ini dikarenakan sedang musim hujan, bahkan di beberapa daerah dilanda banjir.

Pemerintah tampaknya tak mampu berbuat banyak karena sistem ekonomi pasar global telah mencengkeramnya. Ini adalah konsekuensi tunduknya ekonomi Indonesia pada mekanisme kapitalisme global. Tata ekonomi global yang berlaku sekarang ini dapat diidentifikasikan sebagai sistem ekonomi kapitalistik. Sistem tersebut memiliki jaringan internasional, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Sistem ini selalu menciptakan hubungan internasional yang tidak seimbang antara negara maju (pusat) dan negara yang sedang berkembang (pinggiran). Pusat selalu berupaya untuk bersahabat dengan para penguasa di negara pinggiran, untuk memperkuat penguasaan “pusat terhadap pinggiran”. Sehubungan dengan itu, perusahaan multinasional yang mendalangi ekonomi kapitalis memainkan peranan besar dalam menguras kekayaan negara sedang berkembang. Dalam kapitalisme, tujuan produksi yang pertama adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan mengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Ideologi pertumbuhan ekonomi tampaknya sudah menjadi “agama” baru dalam zaman modern ini. Hukum penawaran dan permintaan serta hukum pasar bebas (diteguhkan dalam perjanjian GATT/WTO) menjadi dewa penentu tanpa adanya suatu intervensi.

Globalisasi telah mengguncang sektor pertanian kita, termasuk di Temanggung. Petani tak mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan yang makin tinggi, memaksa petani menjual lahannya dan beralih menjadi buruh serabutan di kota-kota. Lahan petani makin sempit, membuat petani bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kecenderungan kemerosotan usaha tani menjelma menjadi proses pemiskinan petani. Sesuatu yang seharusnya bisa dicegah pemerintah, dan kenyataannya pemerintah hanya bisa diam seribu bahasa.

dimuat di buletin komunitas Temanggung: Stanplat

Eit..Temanggung Kena AIDS

Oleh : Tri Agus s. Siswowiharjo

HIV/AIDS yang selama ini mungkin kita bayangkan hanya menimpa kalangan berperilaku seksual berganti-ganti pasangan di kota-kota besar, ternyata kini di depan mata kita, Temanggung. Tak bisa dimungkiri, mobilitas masyarakat Temanggung cukup tinggi. Mereka, para pelajar, mahasiswa, pekerja dan pengusaha, bisa di mana saja dan kapan saja beraktivitas. Bisa di Semarang, Jogyakarta, Jakarta, Batam, Bali, bahkan sampai luar negeri. Namun, ada di antara mereka berperilaku berisiko tertular AIDS. Tentu saja, yang menjadi masalah bukan pada "kelompok" mana tetapi pada "perilaku" yang berganti-ganti pasangan. Contoh cukup menarik terjadi di Papua. Ada tentara, polisi bahkan pendeta terinfeksi virus AIDS. Bisa karena perilaku mereka yang memang menyimpang, tetapi juga karena ’kecelakaan’ terinfeksi karena penggunaan alat-alat tranfusi darah yang tercemar.

Virus tak mengenal profesi. Karena itu, siapa saja bisa terinfeksi virus paling berbahaya ini. Masyarakat Temanggung yang selama ini kita kenal adem ayem dan tidak neko-neko ternyata ada juga yang terinfeksi AIDS bahkan dalam jumlah yang cukup mengkhawatirkan. Apa yang selama ini kita lihat di televisi, kini kita bisa temukan di tetangga atau keluarga kita. Temanggung telah terinfeksi HIV. Sebagai warga Temanggung yang tinggal bersama mereka, apa yang harus kita lakukan saat ini ketika sudah pasti AIDS ada di sekitar kita?

Kita masih ingat slogan zaman dahulu, lebih baik mencegah daripada mengobati. Upaya pencegahan tetap lebih baik dan cost-effective dibandingkan dengan upaya pengobatan. Kampanye bagaimana mencegah AIDS bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk untuk kelompok remaja-mahasiswa perlu terus dilakukan. Sementara itu, pemberian ionformasi yang benar bagaimana hidup dengan mereka yang sudah terinfeksi virus AIDS juga tak kalah pentingnya. Penderita AIDS juga manusia. Mereka warga Temanggung, mereka keluarga kita.

Adalah perilaku yang amat kejam jika kita menambah derita mereka dengan menganggapmereka sampah dan perlu dijauhi. Pemberian semangat hidup kepada mereka yang sudah terinfeksi AIDS adalah obat yang tak kalah ampuh dari obat itu sendiri.

HIV/AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat. Tak peduli umur, jenis kelamin, ras, agama dan status sosial. Hanya mereka yang berperilaku menyimpang dan sembrono menggunakan alat-alat tercemar, berisiko terinfeksi virus maut ini. Karena itu pendekatan yang paling tepat adalah melalui kampanye hidup sehat dan berperilaku tak menyimpang. Bagaimana caranya?

Tidak berganti-ganti pasangan seksual. Pencegahan kontak darah, misalnya pencegahan terhadap penggunaan jarum suntik yang diulang. Dengan formula A-B-C. Abstinentia artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Be Faithful artinya jika sudah menikah hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja. Condom artinya pencegahan dengan menggunakan kondom.

dimuat di buletin komunitas Temanggung: Stanplat