Oleh: Tri Agus s. Siswowiharjo
Tujuan pembangunan bidang kesehatan antara lain untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap orang sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kesehatan masyarakat yang mantap dapat dilihat dari menurunnya angka kematian kasar, kematian bayi, dan kematian akibat berbagai macam penyakit menular, serta meningkatnya umur harapan hidup.
Sampai saat ini tujuan mulia itu belum tercapai. Masih jauh panggang dari api. Kesehatan masih menjadi barang mahal. Pada awal tahun ini sebanyak 600 anak usia enam bulan hingga lima tahun di Temanggung, mengalami kurang gizi. Kendati belum termasuk dalam kategori gizi buruk, kesehatan mereka sudah harus mendapatkan perhatian karena memiliki berat badan yang kurang dari standar. Jika dibiarkan, maka mereka pun nantinya juga akan rentan menderita gejala berbagai penyakit. Data ini didapatkan dari hasil survei pada tahun 2006, yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap sekitar 60.000 anak usia enam bulan hingga lima tahun di 20 kecamatan di Kabupaten Temanggung.
Kasus kekurangan gizi di Temanggung adalah satu contoh betapa negara gagal dalam menjamin kesehatan rakyatnya. Sungguh ironi, Temanggung yang subur namun sebagian bayi dan anak-anaknya menderita. Bidang kesehatan, seperti juga pendidikan, sering kali dinilai sebagai beban bagi pemerintah, padahal hanya dengan rakyat yang sehat dan cerdas dijamin bangsa ini maju. Anggaran pendidikan 20 persen dari APBN (sesuai undang-undang) belum terpenuhi sehingga pendidikan gratis untuk seluruh rakyat masih sekadar cita-cita. Begitu juga anggaran kesehatan belum menjangkau ketersediaan puskesmas yang menyediakan dokter dan obat-obatan murah untuk rakyat. Sehat itu memang (masih) mahal.
Kesehatan memang erat kaitannya dengan pendidikan. Kesadaran untuk berInvestasi pada pendidikan dan kesehatan adalah jaminan kesuksesan masa depan. Jika negara belum mampu menjamin pendidikan murah dan obat murah, maka rakyat harus pandai-pandai mengelola keuangan yang minim demi sekolah dan biaya kesehatan. Yang terjadi sering sangat ironis. Ada antrian panjang untuk menerima dana BLT namun para pengantri yang miskin tersebut terlihat merokok. Ada juga banyak rumah yang terlihat mewah lengkap dengan barang elektroniknya, namun menyatu dengan kandang sapi atau ayam.
Orang miskin dilarang sakit. Begitu judul sebuah buku yang tampaknya masih sangat relevan karena biaya kesehatan masih mahal. Namun celakanya orang miskin tak cukup cerdas menjaga kesehatannya dirinya dan lingkungan sekitar, seperti contoh di atas. Karena itu harus ada kewajiban negara menyediakan anggaran yang cukup (dan tak dikorupsi) untuk kesehatan yang menjangkau seluruh pelosok negeri. Di samping itu harus ada kesadaran akan kesehatan bagi orang miskin. Jika antara negara dan rakyat menyadari peran masing-masing, maka jangan takut “orang miskin boleh sakit”.
dimuat di buletin komunitas Temanggung: Stanplat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar