Oleh : Tri Agus S. Siswowiharjo
Seorang TKI asal Temanggung, Zusniyati Kholifah, ditemukan tewas di Cairo, Mesir. ia diduga bunuh diri dari lantai enam apartemen tempat bekerja. Ceriyati tak tahan tiap hari mengalami siksaan, nekat kabur dari lantai 15 apartemen dan diselamatkan petugas pemadam kebakaran di Kuala Lumpur. Ribuan TKI diusir pemerintah Malaysia karena tak memiliki dokumen. TKW diperkosa dan dibunuh di Arab Saudi, jenasahnya masih belum jelas kapan dikirim ke tanah air. Pejabat KBRI di Kuala Lumpur diduga melakukan korupsi pembuatan paspor TKI. Bandara Soekarno-Hatta masih menjadi tempat paling aman bagi para penipu dan perampok dengan korban para TKI.
Berita di atas pernah menghiasi lembar-lembar di koran kita. Semuanya kisah yang memilukan. Hampir tak ada cerita sukses tentang TKI. Yang ada cerita Ceriyati dan teman seprofesi yang nelangsa di negeri sebrang atau diperas di negeri sendiri. Benarkah nasib para pekerja migran kita yang dijuluki pahlawan devisa hanya selalu sedih, nelangsa dan gagal?
Sungguh TKI kita adalah orang-orang yang berani atau lebih tepat nekat. Bayangkan, dengan kemampuan bahasa asing yang seadanya dan penguasaan profesi yang tak bisa dibilang profesional, mereka berketetapan hati bekerja di luar negeri. Jangan kaget jika Anda kebetulan satu pesawat dengan mereka, pasti akan diminta bantuan untuk menulis dokumen kedatangan di suatu negara. Bagaimana kita membayangkan mereka berkomunikasi dengan para majikan dengan modal bahasa yang minim? Peluang miskomunikasi sudah pasti akan terjadi. Ancaman penyiksaan, perkosaan sampai pembunuhan juga menghampiri mereka. Jika mereka telah melewati itu semua. Artinya mereka beruntung bisa mengumpulkan riyal atai dolar di negeri orang, cerita tak selesai di sini. Ancaman tetap mengintai di tanah air.
Begitu mereka mendarat di Soekarno-Hatta, tanpa kecuali mereka akan dipungut Rp 25 ribu. Padahal sebelum berangkat sudah ada pungutan US$ 15 untuk subsidi. Belum termasuk sekitar Rp 5 juta untuk pengurusan paspor dan administrasi lainnya. Resminya, pengantaran ke daerah seperti Cianjur hanya Rp 185 ribu, namun tak jarang yang apes kehilangan sampai Rp 1 juta. Kalikan saja dengan traffic TKI/TKW yang 500 orang per hari atau 2 ribu orang per hari seperti saat ini. Berapa uang yang dikorupsi atau dirampok dari TKI kita? Para TKI sebelumnya berangkat sudah jor-joran menjual harta benda atau mengijon kiri-kanan. Mereka juga meninggalkan suami/istri dan anak dalam waktu yang sangat lama. Sialnya, biarpun mereka menghasilkan devisa sampai Rp 15 triliun per tahun, keberadaan mereka masih dilihat sebelah mata.
Sungguh sangat ironi. Kita tak bisa memberi mereka keterampilan yang memadai maupun pekerjaan yang layak di tanah air. Ketika mereka di seberang sana, kita juga tak melindungi mereka dari pemberi kerja yang semaunya sendiri. Dan, ketika mereka kembali ke tanah air, kita membiarkan harta mereka yang dikumpulkan dengan susah payah dirampok di negeri sendiri.
dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat edisi Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar