Rabu, 16 Juli 2008

Setelah Memilih lalu Menagih

Oleh: Tri Agus S. Siswowiharjo

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Kabupaten Temanggung yang dilaksanakan bersamaan dengan pilkada gubernur Jawa Tengah usai sudah. Pasangan Hasyim Afandi dan Budiarto terpilih untuk memimpin Temanggung periode 2008-2013. Inilah untuk pertama kali dalam sejarah, rakyat Temanggung memilih secara langsung bupati mereka sendiri. Era pemimpin daerah dipilih wakil rakyat (atau wakil partai politik) di DPRD II telah berakhir. Kini rakyat Temanggung sendiri yang menentukan Hasyim Afandi dan Budiarto menjadi bupati dan wakil bupati. Apa makna terpilihnya pasangan HB bagi Temanggung?

Salah satu buah reformasi yang bisa kita nikmati adalah pilkada langsung. Mekanisme ini sungguh lebih demokratis dibanding pemilihan bupati oleh DPRD kabupaten. Wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu, saat duduk di lembaga perwakilan daerah cenderung lebih mewakili partai politik ketimbang rakyat yang memilih mereka. Sistem perwakilan seperti ini menyebabkan jarak antara bupati dan rakyat sangat jauh. Bupati tak merasa dipilih oleh rakyat yang dipimpinnya melainkan oleh perwakilan partai kabupaten itu. Bupati hasil sistem seperti ini mudah ditebak kinerjanya. Ia menjadi lebih ‘akrab’ atau ‘takut’ kepada para wakil rakyat ketimbang rakyat. Karena itu banyak terjadi kasus keakaban antara bupati dan anggota dewan dengan melakukan ‘korupsi berjamaah’ melalui penyelewengan APBD.

Hasyim Afandi dan Budiarto kini menjadi bupati dan wakil bupati terpilih. Terlepas berapa persen yang memilih dan golput, nyatanya pasangan ini mengungguli lainnya dan memenangi pilkada. Artinya rakyat memberi kepercayaan penuh untuk memimpin Temanggung. Rakyat memutuskan mendukung dan memilih pasangan ini setelah mengenal dan menyukai pengalaman dan visi misi dalam membangun kabupaten di lereng Sumbing Sindoro ini. Masa kampanye yang tak terlalu lama telah membulatkan rakyat mendaulat pasangan HB. Tentu saja ini merupakan kepercayaan sekaligus tanggungjawab. Rakyat percaya pasangan HB bisa bertanggungjawab menjalankan visi misi mereka.

Bupati di era otonomi daerah di tingkat kabupaten bisa menjadi berkah, namun bisa juga menjadi musibah. Tentu ini tergantung bagaimana sang bupati mengelola daerahnya. Ia bisa menjadi raja kecil di daerah, tak jarang bisa juga menjadi pahlawan lokal. Ia bisa abadi dikenang seperti Pak Maschoen Sofwan, atau menjadi pesakitan ala Totok Ari Prabowo. Barangkali kisah sukses beberapa daerah di Indonesia patut dipelajari bupati terpilih. Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi sukses mempromosikan anti-korupsi dan meningkatkan efisiensi kerja di kantor pemerintahan, Bupati Sragen, H. Untung Wiyono berhasil melakukan terobosan pelayanan masyarakat dengan menggunakan teknologi informasi, dan Bupati Jembrana, I. Gede Winasa patut dicontoh karena memberikan pelayanan masyarakat dengan gratis dan cepat (kependudukan, pendidikan, kesehatan dan transportasi).

Tantangan di depan mata bupati terpilih sungguh tak kecil. Menjadi bupati di tengah rakyat petani yang kian diterpa globalisasi. Mengurangi angka kemiskinan melalui berbagai program adalah tugas utama bupati. Kemiskinan menurut perspektif ekonomi adalah suatu kondisi di mana pendapatan suatu penduduk atau rumah tangga tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar, pendapatannya terlalu rendah sehingga tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Dari sisi budaya, kemiskinan lebih ditentukan oleh pola perilaku masyarakat miskin, seperti pola hidup subsisten, konsumtif, dan etos kerja rendah. Sementara dari sudut pandang sosial, kemiskinan terjadi karena struktur sosial yang tidak berpihak pada orang miskin. Dengan demikian mereka tersisih akibat terisolasi terhadap akses ekonomi, sosial, dan politik (struktural).

Globalisasi telah mengguncang sektor pertanian nasional kita, termasuk di Temanggung. Petani tak mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan yang makin tinggi, memaksa petani menjual lahannya dan beralih menjadi buruh serabutan di kota-kota seperti Semarang, Yogyakarta, atau Jakarta. Lahan petani makin sempit, membuat petani bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kecenderungan kemerosotan usaha tani menjelma menjadi proses pemiskinan petani. Sesuatu yang seharusnya bisa dicegah oleh pemerintah daerah dengan kebijakan yang pro rakyat.

Kemiskinan telah menjadi sahabat Temanggung sejak lama. Karena miskin, tingkat kesehatan menjadi rendah. Pada awal tahun ini sebanyak 600 anak usia enam bulan hingga lima tahun di Temanggung, mengalami kurang gizi. Kendati belum termasuk dalam kategori gizi buruk, kesehatan mereka sudah harus mendapatkan perhatian karena memiliki berat badan yang kurang dari standar. Jika dibiarkan, maka mereka pun nantinya juga akan rentan menderita gejala berbagai penyakit. Data ini didapatkan dari hasil survei pada tahun 2006, yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap sekitar 60.000 anak usia enam bulan hingga lima tahun di 20 kecamatan di Temanggung.

Rakyat telah memilih, kini waktunya menagih. Ya, sebantar lagi rakyat yang mendukung dan memilih Hasyim Afandi / Budiarto akan tetap bersuara meski berganti nada. Jika dulu percaya dan mendukung, nantinya suara menagih janji. Tentu itu semua butuh waktu. Kita akan memberi kesempatan bupati terpilih mulai bekerja. Pasangan yang diusung partai Golkar dan PAN ini duet mantan pejabat. Hasyim selain pernah menjadi bupati Magelang juga pensiunan kepala Depag Temanggung. Sedangkan Budiarto sebelumnya menjabat kepala Dishubpar. Pengalaman di birokrasi seharusnya menjadi modal yang cukup untuk membangun Temanggung.

Kesuksesan pasangan Hasyim Afandi / Budiarto diharapkan membawa Temanggung ke panggung pentas nasional dalam hal prestasi, bukan korupsi. Kita tunggu berapa persen kemiskinan yang bisa diturunkan, kita lihat berapa lapangan kerja yang bisa diciptakan, kita periksa apa saja pelayanan publik yang bisa digratiskan, kita buktikan bisakah menghemat anggaran birokrasi dan mengalokasikan ke sektor publik, dan kita pelototi berapa persen peningkatan pendapatan rata-rata penduduk Temanggung.

Sekali lagi, kita butuh waktu. Kita tunggu bupati terpili bekerja. Kita telah memilih mereka. Kita mengucapkan selamat dan segera bekerja. Tak lama lagi, kita juga yang akan menagih janji mereka!.

dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat edisi Juli 2008

Nasib Buruh Migran Kita

Oleh : Tri Agus S. Siswowiharjo

Seorang TKI asal Temanggung, Zusniyati Kholifah, ditemukan tewas di Cairo, Mesir. ia diduga bunuh diri dari lantai enam apartemen tempat bekerja. Ceriyati tak tahan tiap hari mengalami siksaan, nekat kabur dari lantai 15 apartemen dan diselamatkan petugas pemadam kebakaran di Kuala Lumpur. Ribuan TKI diusir pemerintah Malaysia karena tak memiliki dokumen. TKW diperkosa dan dibunuh di Arab Saudi, jenasahnya masih belum jelas kapan dikirim ke tanah air. Pejabat KBRI di Kuala Lumpur diduga melakukan korupsi pembuatan paspor TKI. Bandara Soekarno-Hatta masih menjadi tempat paling aman bagi para penipu dan perampok dengan korban para TKI.

Berita di atas pernah menghiasi lembar-lembar di koran kita. Semuanya kisah yang memilukan. Hampir tak ada cerita sukses tentang TKI. Yang ada cerita Ceriyati dan teman seprofesi yang nelangsa di negeri sebrang atau diperas di negeri sendiri. Benarkah nasib para pekerja migran kita yang dijuluki pahlawan devisa hanya selalu sedih, nelangsa dan gagal?

Sungguh TKI kita adalah orang-orang yang berani atau lebih tepat nekat. Bayangkan, dengan kemampuan bahasa asing yang seadanya dan penguasaan profesi yang tak bisa dibilang profesional, mereka berketetapan hati bekerja di luar negeri. Jangan kaget jika Anda kebetulan satu pesawat dengan mereka, pasti akan diminta bantuan untuk menulis dokumen kedatangan di suatu negara. Bagaimana kita membayangkan mereka berkomunikasi dengan para majikan dengan modal bahasa yang minim? Peluang miskomunikasi sudah pasti akan terjadi. Ancaman penyiksaan, perkosaan sampai pembunuhan juga menghampiri mereka. Jika mereka telah melewati itu semua. Artinya mereka beruntung bisa mengumpulkan riyal atai dolar di negeri orang, cerita tak selesai di sini. Ancaman tetap mengintai di tanah air.

Begitu mereka mendarat di Soekarno-Hatta, tanpa kecuali mereka akan dipungut Rp 25 ribu. Padahal sebelum berangkat sudah ada pungutan US$ 15 untuk subsidi. Belum termasuk sekitar Rp 5 juta untuk pengurusan paspor dan administrasi lainnya. Resminya, pengantaran ke daerah seperti Cianjur hanya Rp 185 ribu, namun tak jarang yang apes kehilangan sampai Rp 1 juta. Kalikan saja dengan traffic TKI/TKW yang 500 orang per hari atau 2 ribu orang per hari seperti saat ini. Berapa uang yang dikorupsi atau dirampok dari TKI kita? Para TKI sebelumnya berangkat sudah jor-joran menjual harta benda atau mengijon kiri-kanan. Mereka juga meninggalkan suami/istri dan anak dalam waktu yang sangat lama. Sialnya, biarpun mereka menghasilkan devisa sampai Rp 15 triliun per tahun, keberadaan mereka masih dilihat sebelah mata.

Sungguh sangat ironi. Kita tak bisa memberi mereka keterampilan yang memadai maupun pekerjaan yang layak di tanah air. Ketika mereka di seberang sana, kita juga tak melindungi mereka dari pemberi kerja yang semaunya sendiri. Dan, ketika mereka kembali ke tanah air, kita membiarkan harta mereka yang dikumpulkan dengan susah payah dirampok di negeri sendiri.

dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat edisi Desember 2007

Kontrol Syahwat Belanja!

Oleh Tri Agus S. Siswowiharjo

Ada fenomena menarik setiap bulan puasa di Indonesia. Pada bulan itu, saat sepanjang hari menahan nafsu, termasuk makan dan minum, justru pola konsumsi meningkat tinggi. Harga kebutuhan pokok merangkak naik, begitu juga biaya transportasi baik darat, laut maupun udara melambung tinggi. Puasa berbelanja tampaknya tak menjadi kenyataan karena media (cetak dan elektronik) berhasil memaksa masyarakat untuk membeli bahkan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan kebutuhan untuk puasa dan hari lebaran.

Media menempati posisi yang menentukan sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat konsumen. Menurut cendikiawan Perancis terkemuka, Jean Baudrillard. media berperan sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas. Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya otoritas lain di luar dirinya yang "memaksa" untuk membeli. Hasrat belanja masyarakat merupakan hasil konstruksi yang disengaja.

Bagaimana menghindar dari pola hidup konsumtif yang tak sehat? Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Konsumsi tembakau Temanggung yang tinggi akan sangat berdampak bagi ekonomi masyarakat di kabupaten ini. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumtif.

Budaya ini sangat berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Sudah saatnya kita menjadi konsumen yang cerdas dan kritis. Mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk barang dan jasa yang benar-benar kita perlukan, tak mudah terpengaruh dengan rayuan iklan diskon, sale atau obral.

Setiap tanggal 29 November, masyarakat internasional tanpa dibatasi agama, ras, dan nasionalitas, bersatu merayakan Buy Nothing Day, atau Hari Tanpa Belanja Sedunia. Sebuah gerakan penyadaran atas bahaya penyakit konsumtif terhadap lingkungan hidup dan tereksploitasinya negara-negara berkembang. Peringatan ini telah dirayakan di lebih dari 30 negara, termasuk Indonesia.

Dalam sehari itu, masyarakat sedunia diajak untuk tidak berbelanja. Sebuah penyadaran global agar masyarakat mulai mengkritisi semua proses di balik barang-barang yang dibeli. Apakah pembuatannya telah merusak keselarasan alam; menimbulkan pencemaran, banjir, longsor, dan pemanasan global? Apakah para buruh yang mengerjakan sebuah produk diperlakukan dengan manusiawi dan diberi upah yang layak?

Buy Nothing Day mengingatkan bahwa saat kita membeli dan menikmati suatu barang, pada waktu yang sama telah terjadi perusakan lingkungan hidup dan perlakuan tidak baik terhadap sesama manusia, terutama mereka yang berprofesi sebagai buruh, petani, atau nelayan. Artinya, semakin nafsu belanja kita tak terkendali, semakin rusak pula lingkungan hidup dan semakin membuktikan tipisnya rasa kemanusiaan. Bagaimana dengan Anda?


dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat ediai Oktober 2007

Berharap dari Desa

Oleh Tri Agus S Siswowiharjo

Desa harus jadi kekuatan ekonomi
Agar warganya tak hijrah ke kota
Sepinya desa adalah modal utama
Untuk bekerja dan mengembangkan diri

(Desa, Album Manusia Setengah Dewa, 2004)

Salah satu buah dari reformasi di Indonesia adalah desentralisasi pemerintahan. Otonomi daerah di tingkat kabupaten / kota membuat kompetisi antar daerah memakmurkan warganya. Ada yang sukses, ada pula yang terpeleset menjadi ’raja kecil’ yang pada akhirnya melahirkan koruptor, seperti bupati di Kutai Kartanegara dan Temanggung. Sesungguhnya, salah satu kunci sukses suatu daerah adalah bagaimana memakmurkan warga masyarakat desa.

Dan yang menjadi kunci maju-mundurnya roda ’pemerintahan’ di suatu desa adalah Kepala Desa. Tak dimungkiri, Pak Kades, kini merupakan jabatan yang tak boleh dianggap enteng apalagi dipandang sebelah mata. Di tangan para Kades-lah para camat dan bupati berharap agar pembangunan berjalan lancar di desa-desa. Posisi Kades menjadi cukup strategis. Di beberapa desa di wilayah yang cukup kaya, pemilihan Kades bahkan tak kalah meriahnya dengan Pilkada bupati atau walikota.

Jika dibandingkan dengan era Orde Baru, di mana semua serba ditentukan dari atas, kini pemerintahan desa jauh lebih demokratis. Selain, sejak dulu, telah ada sistem pemilihan langsung yang demokratis, kini desa juga dilengkapi dengan perangkat legislatif semacam DPRD. Jika dahulu Kades menerima tanah bengkok sebagai gaji, kini ada Kades yang telah menerima gaji bulanan yang cukup lumayan, plus berbagai fasilitas misalnya kedaraan roda dua untuk kelancaran tugasnya.

Tugas utama Kades adalah melayani warga. Ia adalah pelayan masyarakat, bukan lagi ’ndoro’ yang minta dilayani. Karena itu Kades harus siap membantu warga dalam urusan KTP sampai perizinan ini dan itu. Kades juga harus menjadi jembatan bagi warga dengan pemerintah setempat. Semua kebijakan boleh jadi lebih efektif disampaiakn melalui Kades. Pendek kata, Kades bisa menjadi kaki tangan warga, sekaligus kepanjangan tangan pemerintah setempat.

Sebagai jabatan yang di bawahnya langsung berhadapan dengan warga, posisi Kades kadang menjadi bahan tarik-menarik secara politik. Mereka kadang berhimpun dalam Persatuan atau Paguyuban Kades dan mampu menggoyang bupati yang main uang.Di Yogyakarta para Kades berdemo mendesak agar keistimewaan DIY tetap terjaga, di Kabupaten Rembang para Kades diminta meningkatkan perolehan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sementara di Temanggung para Kades mempunyai andil ’menitikkan’ Totok!

Kades menjelang dan dan saat Pilkada menjadi rebutan para kandidat yang bertarung.Hal itu sah-sah saja, sejauh tugas-tugas melayani warga tetap berjalan lancar, dan tak menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi warga memilih salah satu kandidat, apalagi dengan paksaan atau politik uang.

Zaman telah berubah. Para Kades kini menjadi motor penggerak pembangunan desa. Pembangunan dari bawah ke atas mensyaratkan pemimpin desa yang inovatif dan kerja keras. Dan kita sebagai warga patut memberi penghargaan bagi mereka. Kita tentu sependapat dengan Iwan Fals. Bahwa Desa adalah kenyataan/ Kota adalah pertumbuhan /Desa dan kota tak terpisahkan/ Tapi desa harus diutamakan.

Dimuat di buletin komunitas temanggung: Stanplat edisi Januari 2008

Pelayanan Publik di Era Otonomi

Oleh Tri Agus s Siswowiharjo

Salah satu buah reformasi adalah desentralisasi pembangunan. Otonomi daerah di tingkat kabupaten / kota bisa menjadi berkah, namun bisa juga menjadi musibah. Tentu ini tergantung bagaimana pejabat mengelola daerahnya. Ia bisa menjadi raja-raja kecil di daerah, tak jarang bisa juga menjadi pahlawan lokal. Yang pasti, kini berbagai daerah berlomba meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dengan berbagai inovasi. Banyak Peraturan Daerah (Perda) dibuat, tapi ada yang justru bertentangan dengan pemerintah pusat, bahkan membuat investor enggan datang. Bagaimana mengelola Temanggung sebagai daerah yang bersahabat dengan para investor?

Barangkali kisah sukses beberapa daerah berikut patut dipelajari. Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi sukses mempromosikan anti-korupsi dan meningkatkan efisiensi kerja di kantor pemerintahan, Gubernur Papua, Barnabas Suebu dengan program desa mandiri, Bupati Sragen, H. Untung Wiyono berhasil melakukan terobosan pelayanan masyarakat dengan menggunakan teknologi informasi, dan Bupati Jembrana, I. Gede Winasa patut dicontoh karena memberikan pelayanan masyarakat dengan gratis dan cepat (kependudukan, pendidikan, kesehatan dan transportasi).

Memberikan kemudahan pembuatan perizinan dan kepastian hukum berusaha adalah kuncinya. Investor tentu tak hanya datang dari luar Temanggung, tetapi juga dari kabupaten sendiri. Mereka yang berani menginvestasikan modalnya untuk bisnis dan diharapkan menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan daerah harus dilayani dengan khusus kalau tak ingin mereka lari keluar daerah. Perilaku lama dengan banyak meja yang harus dilewati serta adanya uang sogokan, jelas sudah bukan zaman lagi.

Pelayanan publik di Kabupaten Jembrana sebelum 2003 cukup memprihatinkan. Perlu waktu lama dan tidak luput dari pungutan liar, sehingga menimbulkan diskriminasi pelayanan. Banyak meja yang harus dilalui, ketidakpastian waktu dan biaya pangurusan perijinan. Selain itu, kurangnya sosialisasi tentang prosedur pengajuan perijinan berdampak pada rendahnya pengurusan perizinan oleh masyarakat. Akibatnya tingkat pencapaian potensi penerimaan Daerah dari sektor pajak dan retribusi daerah menurun.

Kalau Jembrana dan Sragen bisa tentu Temanggung juga bisa. Kuncinya adalah keseriusan pejabat Pemkab Temanggung melayani para investor, dan juga rakyat biasa lainnya dalam mengurus segala perizinan pendirian dari CV, PT, IMB sampai SIUP. Semakin sedikit pintu dan meja yang dilalui sudah barang pasti makin baik hasilnya. Pertanyaannya kini mampu dan maukah para pejabat Temanggung melakukan terobosan yang menguntungkan publik?


dimuat di media komunitas Temanggung: Stanplat

Peduli Lingkungan Sebagian dari Iman

Resensi buku oleh Tri Agus S. Siswoiharjo

Judul : Fikih Lingkungan
Paduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan
Penulis : Prof. Dr. Mujiyono Abdillah, M.A.
Cetakan : I, Mei 2005
Penerbit : UPP AMP YKPN, Yogyakarta
Tebal : x + 124 halaman

Desember 2007 ini Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan internasional membicarakan isu perubahan iklim dunia di Bali. Perhelatan yang dihadiri 50 negara ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkantor di pulau Dewata selama konperensi berlangsung. Ini membuktikan Indonesia sangat serius menangani masalah lingkungan. Namun, benarkah masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam telah berwawasan lingkungan?

Buku karya wong Temanggung ini mungkin bisa sedikit membuka wawasan alternatif kita tentang pelestarian lingkungan dengan pendekatan spiritual Islam. Pendekatan alternatif ini melengkapi pendekatan yang selama ini telah ada yakni pendekatan ilmiah, pendekatan politis, pendekatan sosial, pendekatan budaya, sampai pendekatan teknologi. Karena masyarakat beragama cenderung primordial sehingga pemimpin agama – kyai, da’i atau muballigh - selalu ditaati fatwanya dan diikuti perilakunya untuk pengembangan kesadaran lingkungan.

Islam memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam dan lingkungan merupakan daya dukung lingkungan bagi manusia. Sebab fakta spiritual menunjukkan bahwa Allah swt. Telah memberikan fasilitas daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, secara yuridis fiqhiyah berpeluang dinyatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam status hukum pelestarian alam hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dua pendekatan yakni ekologis dan spiritual fiqhiyah Islamiyah. (hal 12). Dalam Al Quran banyak ditemui ayat yang secara eksplisit mengenai pelestarian lingkungan. Tugas para pemuka Islam adalah selalu mengatakan kepada umat bahwa pelestarian lingkungan adalah sebagian dari iman.

Menurut Mujiyono fikih lingkungan merupakan seperangkat aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim yang ditetapkan oleh yang berkompeten berdasarkan teks syar’i dengan tujuan untuk mencapai kemashalahatan bersama dan melestarikan lingkungan. Misi fikih lingkungan adalah menjadi perekayasa sosial masyarakat Islam yang memiliki kearifan lingkungan memadai, ecological Islamic law as ecological wisdom of muslim society engineering, sekaligus menjadi pengawas kesadaran ekologis masyarakat Islam, ecological Islamic law as ecological conciousness of muslim society control. (hal 59)

Fikih lingkungan masih memerlukan bukti kehandalannya dalam praktek hidup masyarakat kita sehari-hari. Pemerintah yang mengaku telah serius menangani masalah lingkungan namun tiap tahun kita masih menghadapi problem yang sama di bidang lingkungan. Pembalakan dan pembakaran hutan yang asapnya mencemari negara-negara tetangga, banjir dan longsor tiap musim hujan, kekeringan dan kebakaran saat kemarau, serta udara yang makin kotor dan panas. Mampukah fikih lingkungan menghambat semua kerusakan lingkungan di tanah air yang kian parah?

Tampaknya jawabannya setali tiga uang dengan pertanyaan mampukah spriritual Islam memberantas korupsi. Banyaknya masjid dan pesantren berdiri, partai Islam tumbuh bak jamur di musim hujan, makin banyak perempuan menggunakan jilbab, kelompok radikal Islam makin marak di mana-mana, perda-perda syariat mengepung dari desa ke kota, semua itu tak mampu mengubah perilaku orang Indonesia yang mayoritas Islam tetap korup dan menjadi negara paling korup papan atas di dunia.

dimuat di media komunitas: Stanplat

Orang Miskin Boleh Sakit

Oleh: Tri Agus s. Siswowiharjo

Tujuan pembangunan bidang kesehatan antara lain untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap orang sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kesehatan masyarakat yang mantap dapat dilihat dari menurunnya angka kematian kasar, kematian bayi, dan kematian akibat berbagai macam penyakit menular, serta meningkatnya umur harapan hidup.

Sampai saat ini tujuan mulia itu belum tercapai. Masih jauh panggang dari api. Kesehatan masih menjadi barang mahal. Pada awal tahun ini sebanyak 600 anak usia enam bulan hingga lima tahun di Temanggung, mengalami kurang gizi. Kendati belum termasuk dalam kategori gizi buruk, kesehatan mereka sudah harus mendapatkan perhatian karena memiliki berat badan yang kurang dari standar. Jika dibiarkan, maka mereka pun nantinya juga akan rentan menderita gejala berbagai penyakit. Data ini didapatkan dari hasil survei pada tahun 2006, yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terhadap sekitar 60.000 anak usia enam bulan hingga lima tahun di 20 kecamatan di Kabupaten Temanggung.

Kasus kekurangan gizi di Temanggung adalah satu contoh betapa negara gagal dalam menjamin kesehatan rakyatnya. Sungguh ironi, Temanggung yang subur namun sebagian bayi dan anak-anaknya menderita. Bidang kesehatan, seperti juga pendidikan, sering kali dinilai sebagai beban bagi pemerintah, padahal hanya dengan rakyat yang sehat dan cerdas dijamin bangsa ini maju. Anggaran pendidikan 20 persen dari APBN (sesuai undang-undang) belum terpenuhi sehingga pendidikan gratis untuk seluruh rakyat masih sekadar cita-cita. Begitu juga anggaran kesehatan belum menjangkau ketersediaan puskesmas yang menyediakan dokter dan obat-obatan murah untuk rakyat. Sehat itu memang (masih) mahal.

Kesehatan memang erat kaitannya dengan pendidikan. Kesadaran untuk berInvestasi pada pendidikan dan kesehatan adalah jaminan kesuksesan masa depan. Jika negara belum mampu menjamin pendidikan murah dan obat murah, maka rakyat harus pandai-pandai mengelola keuangan yang minim demi sekolah dan biaya kesehatan. Yang terjadi sering sangat ironis. Ada antrian panjang untuk menerima dana BLT namun para pengantri yang miskin tersebut terlihat merokok. Ada juga banyak rumah yang terlihat mewah lengkap dengan barang elektroniknya, namun menyatu dengan kandang sapi atau ayam.

Orang miskin dilarang sakit. Begitu judul sebuah buku yang tampaknya masih sangat relevan karena biaya kesehatan masih mahal. Namun celakanya orang miskin tak cukup cerdas menjaga kesehatannya dirinya dan lingkungan sekitar, seperti contoh di atas. Karena itu harus ada kewajiban negara menyediakan anggaran yang cukup (dan tak dikorupsi) untuk kesehatan yang menjangkau seluruh pelosok negeri. Di samping itu harus ada kesadaran akan kesehatan bagi orang miskin. Jika antara negara dan rakyat menyadari peran masing-masing, maka jangan takut “orang miskin boleh sakit”.

dimuat di buletin komunitas Temanggung: Stanplat

Kegagalan Negara Menghentikan Pemiskinan Petani

Oleh: Tri Agus S. Siswowiharjo

Kemiskinan menurut perspektif ekonomi adalah suatu kondisi di mana pendapatan suatu penduduk atau rumah tangga tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar, pendapatannya terlalu rendah sehingga tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Dari sisi budaya, kemiskinan lebih ditentukan oleh pola perilaku masyarakat miskin, seperti pola hidup subsisten, konsumtif, dan etos kerja rendah. Sementara dari sudut pandang sosial, kemiskinan terjadi karena struktur sosial yang tidak berpihak pada orang miskin. Dengan demikian mereka tersisih akibat terisolasi terhadap akses ekonomi, sosial, dan politik (struktural).

Petani Indonesia, kini menghadapi proses pemiskinan. Kondisi petani ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Anjloknya harga gabah membuat mereka kian terpukul, karena hasil panen juga digunakan untuk menutupi biaya produksi serta sewa lahan yang kian mahal. Akibatnya, meskipun hasil panen padinya lumayan, pendapatan yang diterima petani penggarap belum mampu mengangkat mereka dari kubangan kemiskinan. Kondisi yang terus dibiarkan ini seolah menjelma menjadi proses pemiskinan terhadap petani.

Mengapa kebijakan pertanian kita tak menguntungkan para petani? Kebijakan pangan mencakup tiga elemen pokok meliputi pasokan (supply), distribusi dan konsumsi pangan. Diperlukan berbagai upaya agar ketiga elemen tersebut dapat terintegrasi sehingga dapat menjamin kontinuitas akses terhadap kecukupan pangan bagi masyarakat yang ada di dalam suatu negara. Kebijakan pangan diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan mendukung ketahanan pangan suatu negara. Dari sisi pasokan misalnya, salah satu instrumen kebijakan yang diterapkan adalah kebijakan harga (price policy). Melalui Inpres No 3 Tahun 2007 tentang kebijakan perberasan, ditentukan bahwa HPP (Harga Pembelian Pemerintah) untuk beras sebesar Rp 4.000/kg dan gabah kering giling (GKG) sebesar Rp 2.600/kg. Dalam Inpres tersebut juga diatur untuk GKG yang akan dibeli Bulog harus memenuhi syarat yaitu kadar air maksimumnya 14 persen dan butir hampa/kotoran maksimum 3 persen. Dalam praktiknya, tidak mudah bagi petani memenuhi persyaratan tersebut. Ini dikarenakan sedang musim hujan, bahkan di beberapa daerah dilanda banjir.

Pemerintah tampaknya tak mampu berbuat banyak karena sistem ekonomi pasar global telah mencengkeramnya. Ini adalah konsekuensi tunduknya ekonomi Indonesia pada mekanisme kapitalisme global. Tata ekonomi global yang berlaku sekarang ini dapat diidentifikasikan sebagai sistem ekonomi kapitalistik. Sistem tersebut memiliki jaringan internasional, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Sistem ini selalu menciptakan hubungan internasional yang tidak seimbang antara negara maju (pusat) dan negara yang sedang berkembang (pinggiran). Pusat selalu berupaya untuk bersahabat dengan para penguasa di negara pinggiran, untuk memperkuat penguasaan “pusat terhadap pinggiran”. Sehubungan dengan itu, perusahaan multinasional yang mendalangi ekonomi kapitalis memainkan peranan besar dalam menguras kekayaan negara sedang berkembang. Dalam kapitalisme, tujuan produksi yang pertama adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan mengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Ideologi pertumbuhan ekonomi tampaknya sudah menjadi “agama” baru dalam zaman modern ini. Hukum penawaran dan permintaan serta hukum pasar bebas (diteguhkan dalam perjanjian GATT/WTO) menjadi dewa penentu tanpa adanya suatu intervensi.

Globalisasi telah mengguncang sektor pertanian kita, termasuk di Temanggung. Petani tak mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan yang makin tinggi, memaksa petani menjual lahannya dan beralih menjadi buruh serabutan di kota-kota. Lahan petani makin sempit, membuat petani bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kecenderungan kemerosotan usaha tani menjelma menjadi proses pemiskinan petani. Sesuatu yang seharusnya bisa dicegah pemerintah, dan kenyataannya pemerintah hanya bisa diam seribu bahasa.

dimuat di buletin komunitas Temanggung: Stanplat

Eit..Temanggung Kena AIDS

Oleh : Tri Agus s. Siswowiharjo

HIV/AIDS yang selama ini mungkin kita bayangkan hanya menimpa kalangan berperilaku seksual berganti-ganti pasangan di kota-kota besar, ternyata kini di depan mata kita, Temanggung. Tak bisa dimungkiri, mobilitas masyarakat Temanggung cukup tinggi. Mereka, para pelajar, mahasiswa, pekerja dan pengusaha, bisa di mana saja dan kapan saja beraktivitas. Bisa di Semarang, Jogyakarta, Jakarta, Batam, Bali, bahkan sampai luar negeri. Namun, ada di antara mereka berperilaku berisiko tertular AIDS. Tentu saja, yang menjadi masalah bukan pada "kelompok" mana tetapi pada "perilaku" yang berganti-ganti pasangan. Contoh cukup menarik terjadi di Papua. Ada tentara, polisi bahkan pendeta terinfeksi virus AIDS. Bisa karena perilaku mereka yang memang menyimpang, tetapi juga karena ’kecelakaan’ terinfeksi karena penggunaan alat-alat tranfusi darah yang tercemar.

Virus tak mengenal profesi. Karena itu, siapa saja bisa terinfeksi virus paling berbahaya ini. Masyarakat Temanggung yang selama ini kita kenal adem ayem dan tidak neko-neko ternyata ada juga yang terinfeksi AIDS bahkan dalam jumlah yang cukup mengkhawatirkan. Apa yang selama ini kita lihat di televisi, kini kita bisa temukan di tetangga atau keluarga kita. Temanggung telah terinfeksi HIV. Sebagai warga Temanggung yang tinggal bersama mereka, apa yang harus kita lakukan saat ini ketika sudah pasti AIDS ada di sekitar kita?

Kita masih ingat slogan zaman dahulu, lebih baik mencegah daripada mengobati. Upaya pencegahan tetap lebih baik dan cost-effective dibandingkan dengan upaya pengobatan. Kampanye bagaimana mencegah AIDS bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk untuk kelompok remaja-mahasiswa perlu terus dilakukan. Sementara itu, pemberian ionformasi yang benar bagaimana hidup dengan mereka yang sudah terinfeksi virus AIDS juga tak kalah pentingnya. Penderita AIDS juga manusia. Mereka warga Temanggung, mereka keluarga kita.

Adalah perilaku yang amat kejam jika kita menambah derita mereka dengan menganggapmereka sampah dan perlu dijauhi. Pemberian semangat hidup kepada mereka yang sudah terinfeksi AIDS adalah obat yang tak kalah ampuh dari obat itu sendiri.

HIV/AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat. Tak peduli umur, jenis kelamin, ras, agama dan status sosial. Hanya mereka yang berperilaku menyimpang dan sembrono menggunakan alat-alat tercemar, berisiko terinfeksi virus maut ini. Karena itu pendekatan yang paling tepat adalah melalui kampanye hidup sehat dan berperilaku tak menyimpang. Bagaimana caranya?

Tidak berganti-ganti pasangan seksual. Pencegahan kontak darah, misalnya pencegahan terhadap penggunaan jarum suntik yang diulang. Dengan formula A-B-C. Abstinentia artinya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Be Faithful artinya jika sudah menikah hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja. Condom artinya pencegahan dengan menggunakan kondom.

dimuat di buletin komunitas Temanggung: Stanplat

Coup '65: PKI, FPI & IFC

Oleh: Tri Agus S. Siswowiharjo

Empat puluh tahun sudah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Paska
peristiwa Gerakan 30 September (G30S), ribuan bahkan jutaan orang yang diduga anggota atau
simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai. Sementara itu ribuan orang digiring dan dibuang ke penjara-penjara tanpa proses pengadilan. Negara yang seharusnya melindungi warganya telah gagal, bahkan membiarkan atau merekayasa pembantaian itu. Apa yang terjadi empat puluh tahun lalu kini terulang. Sekelompok masyarakat atas nama Tuhan dan Islam menyerang kelompok lain yang berbeda keyakinan.

Minggu lalu Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta menolak gugatan perwakilan (class action)
yang diajukan korban terhadap para mantan Presiden Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hakim memutuskan menolak gugatan korban karena apa yang terjadi pada waktu itu (pembantai dan pemenjaraan) adalah kebijakan negara sehingga gugatan itu selayaknya diajukan melalui pengadilan tata usaha negara.

Pada sidang-sidang gugatan class action hingga vonis dijatuhkan, para penggugat yang umumnya
usianya telah lanjut, selalu diteror oleh massa organisasi Islam. Mereka yang umumnya anak muda itu seperti melanjutkan para orang tua atau seniornya yang empat puluh tahun lalu membantai orang yang diduga anggota atau simpatisan PKI. Siklus kekejaman, tidak toleran secara turun-temurun terhadap pemeluk atau penganut keyakinan lain, kembali berulang. Kali ini menimpa warga Ahmadiyah dan pemeluk Kristen. Beberapa masjid, rumah dan kampus Ahmadiyah dirusak bahkan dijarah massa atas nama Tuhan. Sementara dengan dalih Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, beberapa ‘gereja’ di Jawa Barat ditutup secara paksa oleh massa Islam, termasuk FPI.

Bersamaan peringatan 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965, Sekretatis Jenderal Iraq Freedom
Congress (IFC) datang ke Jakarta. Tamu dari Irak barangkali bisa memberi pelajaran kepada kita tentang dunia yang majemuk dan plural. Berita yang selama ini kita dengar tentang Irak melalui media massa adalah pertempuran antara kelompok fundamentalis dan pemerintahan boneka Amerika Serikat di sana. Seolah-olah hanya ada dua kekuatan besar yang bertempur yaitu AS dan sekutu melawan kelompok-kelompok Islam fundamentalis yang ingin mengusir tentara penjajahan.

Opini dunia yang coba digiring oleh AS “with us or against us” seakan memperoleh bukti di Irak.
Di Iraq saat ini sedang tumbuh kekuatan-kekuatan masyarakat sipil yang juga ingin mengusir tentara pendudukan AS dan sekutunya, namun juga sama sekali tidak menghendaki Irak jatuh ketangan kelompok-kelompok Islam garis keras. Maret lalu kelompok masyarakat sipil ini mendeklarasikan pembentukan IFC yang dimotori oleh serikat-serikat buruh, kelompok-kelompok perempuan, gerakan mahasiswa, intelektual, seniman, wartawan dan berbagai unsur masyarakat lainnya termasuk dari kalangan komunis. Mereka diikat oleh sebuah cita-cita yang sama yaitu Irak yang merdeka, sekuler, non etnis, independen dan demokratis. Mereka berjuang menegakkan kedaulatan rakyat Irak yang bebas dari kekuasaan AS dan sekutunya, dan dari kekuatan-kekuatan Islam garis keras.

Kedatangan aktivis dari IFC ini bermaksud ingin mengabarkan bahwa suara yang menghendaki
pemerintahan demokratis sebagai reperesentasi dari rakyat Irak ternyata eksis. Mereka ingin
membangun hubungan baik dan kerja sama dengan gerakan-gerakan rakyat di Indonesia. Indonesia dan Irak mempunyai pengalaman pernah dikuasai oleh rezim otoriter militeristik seperti pada zaman Soeharto dan Sadham Husein.

Cukup beruntung bagi Indonesia, kini bisa menghirup sistem demokrasi bahkan mempunyai presiden yang dipilih rakyat secara langsung. Rakyat Irak masih berjuang menentang hegemoni tentara pendudukan AS dan Islam fundamentalis. Namun ancaman terhadap demokrasi di Indonesia kini ada di sekeliling kita. Penyerangan terhadap Ahmadiyah, Nasrani dan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan beberapa contoh. Seorang kawan aktivis perempuan (ber-KTP Islam) yang menemani tamu dari IFC mengatakan, “Kalau Indonesia jatuh ke tangan fundamentalis Islam, hanya ada dua pilihan – pindah warga negara atau pindah agama. Dan saya siap pindah agama!”

Sumber, ip : Paras Demokrasi, September, 30 2005 @ 05:35 pm

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Coup '65
http://www.laksamana.net/read.php?gid=94
http://www.progind.net Thursday, 24/Apr/2008 20:34 / Page 2