Oleh: Tri Agus S. Siswowiharjo
Empat puluh tahun sudah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Paska
peristiwa Gerakan 30 September (G30S), ribuan bahkan jutaan orang yang diduga anggota atau
simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai. Sementara itu ribuan orang digiring dan dibuang ke penjara-penjara tanpa proses pengadilan. Negara yang seharusnya melindungi warganya telah gagal, bahkan membiarkan atau merekayasa pembantaian itu. Apa yang terjadi empat puluh tahun lalu kini terulang. Sekelompok masyarakat atas nama Tuhan dan Islam menyerang kelompok lain yang berbeda keyakinan.
Minggu lalu Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta menolak gugatan perwakilan (class action)
yang diajukan korban terhadap para mantan Presiden Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hakim memutuskan menolak gugatan korban karena apa yang terjadi pada waktu itu (pembantai dan pemenjaraan) adalah kebijakan negara sehingga gugatan itu selayaknya diajukan melalui pengadilan tata usaha negara.
Pada sidang-sidang gugatan class action hingga vonis dijatuhkan, para penggugat yang umumnya
usianya telah lanjut, selalu diteror oleh massa organisasi Islam. Mereka yang umumnya anak muda itu seperti melanjutkan para orang tua atau seniornya yang empat puluh tahun lalu membantai orang yang diduga anggota atau simpatisan PKI. Siklus kekejaman, tidak toleran secara turun-temurun terhadap pemeluk atau penganut keyakinan lain, kembali berulang. Kali ini menimpa warga Ahmadiyah dan pemeluk Kristen. Beberapa masjid, rumah dan kampus Ahmadiyah dirusak bahkan dijarah massa atas nama Tuhan. Sementara dengan dalih Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, beberapa ‘gereja’ di Jawa Barat ditutup secara paksa oleh massa Islam, termasuk FPI.
Bersamaan peringatan 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965, Sekretatis Jenderal Iraq Freedom
Congress (IFC) datang ke Jakarta. Tamu dari Irak barangkali bisa memberi pelajaran kepada kita tentang dunia yang majemuk dan plural. Berita yang selama ini kita dengar tentang Irak melalui media massa adalah pertempuran antara kelompok fundamentalis dan pemerintahan boneka Amerika Serikat di sana. Seolah-olah hanya ada dua kekuatan besar yang bertempur yaitu AS dan sekutu melawan kelompok-kelompok Islam fundamentalis yang ingin mengusir tentara penjajahan.
Opini dunia yang coba digiring oleh AS “with us or against us” seakan memperoleh bukti di Irak.
Di Iraq saat ini sedang tumbuh kekuatan-kekuatan masyarakat sipil yang juga ingin mengusir tentara pendudukan AS dan sekutunya, namun juga sama sekali tidak menghendaki Irak jatuh ketangan kelompok-kelompok Islam garis keras. Maret lalu kelompok masyarakat sipil ini mendeklarasikan pembentukan IFC yang dimotori oleh serikat-serikat buruh, kelompok-kelompok perempuan, gerakan mahasiswa, intelektual, seniman, wartawan dan berbagai unsur masyarakat lainnya termasuk dari kalangan komunis. Mereka diikat oleh sebuah cita-cita yang sama yaitu Irak yang merdeka, sekuler, non etnis, independen dan demokratis. Mereka berjuang menegakkan kedaulatan rakyat Irak yang bebas dari kekuasaan AS dan sekutunya, dan dari kekuatan-kekuatan Islam garis keras.
Kedatangan aktivis dari IFC ini bermaksud ingin mengabarkan bahwa suara yang menghendaki
pemerintahan demokratis sebagai reperesentasi dari rakyat Irak ternyata eksis. Mereka ingin
membangun hubungan baik dan kerja sama dengan gerakan-gerakan rakyat di Indonesia. Indonesia dan Irak mempunyai pengalaman pernah dikuasai oleh rezim otoriter militeristik seperti pada zaman Soeharto dan Sadham Husein.
Cukup beruntung bagi Indonesia, kini bisa menghirup sistem demokrasi bahkan mempunyai presiden yang dipilih rakyat secara langsung. Rakyat Irak masih berjuang menentang hegemoni tentara pendudukan AS dan Islam fundamentalis. Namun ancaman terhadap demokrasi di Indonesia kini ada di sekeliling kita. Penyerangan terhadap Ahmadiyah, Nasrani dan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan beberapa contoh. Seorang kawan aktivis perempuan (ber-KTP Islam) yang menemani tamu dari IFC mengatakan, “Kalau Indonesia jatuh ke tangan fundamentalis Islam, hanya ada dua pilihan – pindah warga negara atau pindah agama. Dan saya siap pindah agama!”
Sumber, ip : Paras Demokrasi, September, 30 2005 @ 05:35 pm
By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Coup '65
http://www.laksamana.net/read.php?gid=94
http://www.progind.net Thursday, 24/Apr/2008 20:34 / Page 2
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar