Sabtu, 27 Desember 2008

Tragedi Lumpur Lapindo

Politik Komunikasi Dalam Kasus Bencana Lumpur Lapindo, Sidoarjo

PENDAHULUAN:

Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – M Jusuf Kalla (SBY-JK) ditandai dengan berbagai bencana besar. Diawali gempa dan tsunami dahsyat di Aceh dan Sumatera Utara pada 26 Desember 2004, kemudian pada 27 Mei 2006 gempa besar menerpa Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Di luar itu bencana banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan, terjadi dalam skala besar, sampai beberapa kali kecelakaan lalu lintas – termasuk hilangnya pesawat Adam Air dan jatuhnya Mandala Air di Polonia Medan – melengkapi masa pemerintahan SBY-JK yang penuh musibah. Umumnya bencana, seperti gempa, tsunami, kebakaran, atau banjir, berlangsung tak lama, termasuk dampak yang ditimbulkan. Namun ada satu tragedi atau bencana di mana sejak prahara itu terjadi sampai hari ini terus berlangsung, begitu juga dampak yang ditimbulkan bagi korban. Bencana atau tragedi itu tak lain adalah muncratnya lumpur panas di area pengeboran PT Lapindo Brantas, Sidoarjo, Jawa Timur, 29 Mei 2006.

Dalam sepekan, lumpur itu menelan 10 hektar kawasan dan melenyapkan jalan tol Gempol-Surabaya yang berjarak 200 meter dari pusat semburan. Hari demi hari, bulan demi bulan, lumpur panas itu telah menggenangi 345 hektar di wilayah desa Jatirejo (3.420 jiwa), Siring (4.240 jiwa), Kedungbendo (22.833 jiwa), dan Renokenongo (4.753 jiwa). Wilayah bencana kemudian meluas hingga membuat mati beberapa desa termasuk Kedungcangkring (3.818 jiwa), Pejarakan (1.609 jiwa), dan Besuki (3.499 jiwa).

Skala bencana yang amat besar ini membuat Kementerian Lingkungan Hidup meminta Lapindo bertanggung jawab pada 9 Juni 2006. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, tak mau ketinggalan, pada 18 Juni 2006, mengatakan Lapindo harus bertanggung jawab. Presiden SBY pada 8 September 2006 membentuk tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo, dengan masa kerja enam bulan. Tim ini kemudian diperpanjang masa tugasnya selama sebulan, kemudian Presiden SBY membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang dikukuhkan melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2007.

Di tengah maraknya aksi menentang kelambatan pemerintah dan Lapindo menangani luapan lumpur dan para korban, DPR menyetujui pembentukan Tim Pengawas Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo, dengan masa kerja tiga bulan. Tim DPR yang bekerja hanya tiga bulan ini – ditengarai hanya bertemu dengan ahli geologi yang pro Lapindo – bisa dipastikan hasilnya menguntungkan Lapindo. Maka tak aneh, pada 19 Februari 2008, dalam rapat paripurna DPR, setelah mendengarkan laporan dari tim tadi, DPR menyebutkan bahwa lumpur yang muncrat merupakan fenomena alam.

Tentang penyebutan bencana alam atau bencana yang diakibatkan kecerobohan manusia (Lapindo) menjadi amat penting di sini, karena konsekuensinya sangat besar dan berarti. Jika dianggap bencana alam maka pemerintahlah yang akan menanggulangi termasuk ganti rugi kepada para korban. Sebaliknya jika dianggap bencana akibat kelalaian manusia saat pengeboran terjadi, maka Lapindo harus bertanggung jawab. Pemerintah tentu tetap berkewajiban membantu memfasilitas para korban memperoleh ganti rugi yang layak, apapun penyebab tragedi lumpur panas itu.

Pada 11 November 2008 Lapindo mengaku telah mengeluarkan dana pembelian tanah/bangunan warga korban sekitar Rp 1,8 triliun, namun menurut Ketua Paguyuban Renokenongo Sunarto ada 465 berkas yang belum dibayar. Presiden SBY terakhir bertemu Lapindo dan perwakilan korban pada 1 Desember 2008. Presiden memanggil Nirwan Bakrie karena kesal penanganan ganti rugi berlarut-larut. “Saya sudah merasa tidak nyaman dengan suasana ini,” ujar SBY. “Saya kecewa, Aceh saja bisa diselesaikan, kenapa ini tidak?” tambah presiden. Sebelumnya pada 27 November 2008, Presiden SBY memanggil Nirwan Bakrie dan mendesak Lapindo melunasi uang muka 20 persen ganti rugi sebesar Rp 49 miliar.

Di sinilah permasalahaannya. Lapindo tak sepenuh hati membayar ganti rugi para korban. Bahkan ketika kekayaan keluarga Bakrie tak tertandingi se-Indonesia, malah se-Asia Tenggara, tetapi tetap saja keluarga ini enggan berbagi. Kini Bakrie berdalih krisis ekonomi global yang menghantam bisnisnya. Masyarakat diminta maklum kepada keluarga Bakrie karena pembayaran kepada para korban yang telah dua setengah tahun berkubang dengan lumpur tersendat-sendat.

Dalam perspektif politik komunikasi, Lapindo berjuang keras dengan segala daya dan upaya termasuk tipu muslihat meyakinkan pemerintah dan masyarakat bahwa penyebab muncratnya lumpur panas karena faktor alam, dipicu oleh gempa Yogyakarta dua hari sebelumnya. Para korban, baik yang langsung terkena lumpur panas maupun mereka yang desanya terisolasi, kurang menganggap penting apa penyebab keluarnya lumpur. Yang penting adalah para korban harus dibayar kerugian mereka akibat lumpur yang menerjang kehidupan mereka.

Lapindo dengan kekuatan modal berupaya menguasai informasi untuk memengaruhi publik, sementara para korban yang tak memiliki apa-apa kecuali semangat bertahan hidup, berhasil menciptakan kejutan-kejutan yang membuat publik dan pemerintah cenderung berpihak kepada mereka. Sesungguhnya, para pemain/pelaku dalam politik komunikasi kasus bencana lumpur Lapindo tak hanya keluarga Bakrie yang kaya raya dan para korban yang miskin berkubang lumpur. Melainkan masih ada sederat pemain/pelaku yang mempunyai kepentingan politik komunikasi publik yang saling berbeda. Dapat disebut di sini para pemain/pelaku lainya adalah kelompok dunia usaha, negara/pemerintah, lembaga kepentingan politik, media massa, dan publik.


PARA PEMAIN/PELAKU:

Begitu bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur terjadi, muncullah para pemain/pelaku utama yang mempunyai kepentingan politik komunikasi sesuai kepentingannya. Setiap kelompok mencakup berbagai kelompok yang dapat mempunyai kepentingan yang berlainan, tetapi dapat mempengaruhi rencana/srategi/tindak politik komunikasi.

Mari kita sebutkan satu persatu siapa saja pemain atau pelaku yang berkepentingan;

Dunia usaha. Dalam kelompok ini terbagi menjadi dua. Pertama PT Lapindo Brantas sendiri yang menjadi “pelaku” utama tragedi lumpur, dan para pengusaha yang pabrik dan tempat usahanya langsung gulung tikar karena diterjang lumpur. Pertarungan dua kepentingan yang berbeda meski keduanya pelaku dunia usaha kurang terekspos di media massa. Berbeda dengan perselisihan antara Lapindo dengan korban masyarakat biasa. Ini bisa terjadi karena suksesnya tim lobi Lapindo meyakinkan para pengusaha pemilik pabrik yang menjadi korban lumpur. Mungkin saja, para pemilik pabrik menyadari atau mengakui bencana ini termasuk bencana alam, sehingga tak menuntut macam-macam terhadap Lapindo.

Negara/pemerintah. Secara nasional pemerintah diwakili oleh Presiden SBY. Namun ada lagi pemain yaitu DPR, Mahkamah Agung, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, dan Pengadilan Negeri. Kelimanya kadang tak sejalan atau mempunyai kepentingan yang sama. Presiden SBY telah kita ketahui sikapnya bagaimana dia geram menyaksikan betapa lambannya penyelesaian ganti rugi yang dilakukan Lapindo terhadap para korban. Di lain pihak, DPR yang notabene adalah wakil rakyat – termasuk rakyat yang tinggal di Sidoarjo – rupanya tak sepenuhnya pro rakyat. DPR ternyata lebih pro Lapindo karena menyimpulkan bahwa bencana lumpur Lapindo adalah karena fenomena alam, bukan kelalaian manusia. DPR sangat gegabah karena hanya mendengar para ahli yang pro Lapindo. Sementara Mahkamah Agung di sini pernah memainkan perannya dalam menolak permohonan uji materi Peraturan Presiden tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang diajukan para korban. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Jakarta Utara juga menolak gugatan Walhi dan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) terhadap Lapindo, Presiden, Menteri Migas, Menteri Lingkungan, pemerintah provinsi Jawa Timur, dan pemerintah kabupaten Sidoarjo.

Lembaga kepentingan politik. Di sini yang paling banyak berperan adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan atau koalisi LSM yang kemudian membentuk jaringan kerja (network). Selain itu, di kelompok ini ada pemain lain yaitu organisasi ahli geologi. Kelompok kepentingan dari kalangan LSM pada mulanya diperankan oleh LSM yang peduli lingkungan seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan Greenpeace Indonesia. Mereka baik sendiri-sendiri maupun bersama para korban melakukan aksi menentang kecerobohan Lapindo dan menuntut perusahaan itu segera mengganti rugi para korban dan memperbaiki lingkungan yang rusak. Beberapa aksi yang menyedot perhatian publik misalnya mereka membawa lumpur dari Sidoarjo dan disebar di depan kantor Menko Kesra tempat Aburizal Bakrie berkantor. Sementara itu, para ahli geologi antara lain Rudi Rubiandini mantan Ketua Tim Investigasi Independen Lumpur Sidoarjo. Menurut Rudi, sesungguhnya saat awal bencana, masih ada kesempatan bagi Lapindo untuk mematikan semburan lumpur. Faktanya, semburan sempat teredam oleh lumpur berat yang dipompa ke dalam sumur. Belum semburan itu benar-benar dimatikan, sumur ditutup dengan semen dan bor dipotong, “Itu tindakan ceroboh dan teledor,” ujar Rudi. Prof. Richard Davies, ahli mud volcano Universitas Durham, Inggris, juga menyebut bencana lumpur Lapindo akibat kecelakaan, seperti yang ditulis di majalah Geological Society of America (GSA) edisi Maret 2008. Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, juga menyebut bukan bencana alam. “Limpur yang digunakan untuk meredam kick terlalu kental sehingga tekanannya membikin dinding sumur pecah,” ujar Andang.

Media. Di sini juga terbelah menjadi dua atau bahkan tiga kelompok. Ada media yang sangat pro Lapindo karena mayoritas sahamnya dimiliki langsung oleh keluarga Bakrie yaitu – TV-One dan ANTV. Ada juga media yang anti-Lapindo, dan media yang berada di tengah (independen). Pada awal 2008 Lapindo melakukan kampanye besar-besaran. Tujuannya satu, meyakinkan publik bahwa bencana lumpur itu adalah karena fenomena alam yang dipicu gempa Yogyakarta. Sejumlah seminar di perguruan tinggi digelar. Iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik ditayangkan. Tak lupa beberapa geolog yang bisa ‘bekerjasama’ dihimpun untuk menyuarakan tragedi ini semata-mata bencana alam. Setidaknya dua stasiun televisi dikuasai Bakrie dan bersuara untuk kepentingan sang pemilik saham. Ada juga beberapa media yang bisa ‘dibeli’ atau ‘dibina’ oleh Lapindo. Salah satunya adalah media internet dan sms Newslink. Media non konvensional ini secara rutin mengirimkan pesan pendek yang isinya baik-baik tentang Lapindo ke sekitar 5.000 orang terpilih. Istilah yang digunakan Newslink bukan lumpur Lapindo melainkan lumpur Sidoarjo. Penyebutan istilah ini menandakan keberpihakan suatu media. Berbeda dengan Newslink, majalah Tempo adalah media independen yang telah beberapa kali menurunkan laporan utama mengenai bencana lumpur Lapindo dan bisnis keluarga Bakrie (“Sidoarjo Kritis” edisi 21-27 Agustus 2006, “Bermain Lumpur Lapindo” edisi 25 Februari-2 Maret 2008, “Siapa Peduli Bakrei” edisi 17-23 November 2008, dan “Korban Lumpur Lapindo Menagih Bukti Bukan Janji” edisi 8-14 Desember 2008). Sebagai media kritis dan independen bahkan menjadi barometer media di Indonesia, Tempo menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah publik dan para korban. Karena kegigihannya, Tempo kemudian digugat Aburizal Bakrie, saat menurunkan laporan utama “Siapa Peduli Bakrei” 17-23 November 2008, dengan gambar sampul wajah Aburizal Bakrie yang penuh angka berjatuhan seolah menandakan keruntuhannya. Salah satu yang menjadi keberatan Bakrie adalah adanya angka tripel 6 yang konon melambangkan setan! Tempo juga mengulas mengapa pemerintah perlu membantu Group Bakrie yang diterjang krisis finansial, sementara pada saat ia menjadi orang terkaya di Asia Tenggara, tak mempunyai itikad yang baik untuk menyelesaikan ganti rugi korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggung jawab kelompok usaha itu.

Korban. Mereka warga Sidoarjo yang secara langsung maupun tak langsung terkena dampak semburan lumpur panas Lapindo. Mereka tinggal di wilayah desa Jatirejo (3.420 jiwa), Siring (4.240 jiwa), Kedungbendo (22.833 jiwa), dan Renokenongo (4.753 jiwa). Wilayah bencana kemudian meluas ke beberapa desa termasuk Kedungcangkring (3.818 jiwa), Pejarakan (1.609 jiwa), dan Besuki (3.499 jiwa). Ketika pada 30 November 2008 seribuan warga Siring, Jatirejo, Kedungbendo, dan Renokenongo berangkat ke Jakarta untuk mengelar unjuk rasa di depan Istana Negara, itu berarti telah dua setengah tahun para korban terkatung-katung. Selama itu banyak korban berjatuhan. Ada yang jadi sakit-sakitan lalu meninggal. Ada yang menjadi stres dan sakit jiwa. Ada pula yang kini menjadi pengemis karena tak ada pilihan. Sungguh lumpur telah mengubur masa depan mereka. Sebagai korban yang tak memiliki apa-apa kecuali semangat bertahan hidup, kadang menimbulkan kreativitas dalam melakukan unjuk rasa. Karena itu tak heran mereka tak bosan-bosannya berunjukrasa dengan berbagai cara dan gaya. Tujuannya satu, agar proses pembayaran ganti rugi dipercepat. Aksi mereka dari unjuk rasa di lokasi lumpur Lapindo sembari menutup jalan akses di situ, demo ke kantor bupati atau gubernur, sampai ‘nglurug’ ke Istana di Jakarta. Demo unik agar media massa memberitakan juga sering dilakukan misalnya mandi lumpur di dekat lokasi semburan, dan menyambangi rumah Aburizal Bakrie di Jakarta. Korban memang tak satu suara alias terpecah dalam beberapa kelompok. Namum mereka tetap didampingi oleh koalisi LSM, terutama yang bergerak di bidang lingkungan dan bantuan hukum.


PEMERINTAH VS LAPINDO:

Lapindo Kian Terdesak:
Sesungguhnya yang membuat akibat dari semburan lumpur Lapindo menjadi lebih parah dan semakin parah lagi adalah kesombongan para pakar geologi Indonesia (terutama yang pro-Lapindo), yang menolak semua tawaran dari luar negeri (ketika itu masih dapat ditangani dengan baik), dengan mengatakan bahwa bangsa Indonesia jangan dihina karena dapat menyelesaikan masalah itu sendiri.
Nasi sudah menjadi bubur. Mari kita simak Laporan dari DEC (Drilling Engineers Club). Laopran ini membawa kabar baik dan menggembirakan terutama buat para korban lumpur panas, dan mungkin juga buat pemerintah. Kabar itu datang dari jauh, negerinya Nelson Mandela, Afrika Selatan. Adalah keputusan AAPG (American Association of Petroleum Geologists) 2008 International Conference & Exhibition yang dilaksanakan di Cape Town, 26-29 Oktober 2008, yang dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia. Pada acara bergengsi ini disampaikan sekitar 600 makalah dalam 97 tema yang berbeda, dan terdapat 6 buah tema khusus yang sangat dianggap penting yaitu “Lusi Mud Volcano: Earthquake or Drilling Trigger”.
Apa keputusan konperensi terpandang bagi para ahli geologi seluruh dunia itu? Ternyata 42 ahli dunia berpendapat lumpur Lapindo Sidoarjo diakibatkan oleh kesalahan pemboran dan hanya 3 ahli yang setuju karena gempa bumi. Peserta konperensi sekitar 90 ahli tersebut tentunya memberikan opini yang netral dan obyektif datang tepat waktu. Pada pertemuan itu ahli geologi pro Lapindo juga hadir, mereka bahkan membagi-bagikan brosur enam halaman berwarna dengan kualitas luks yang menjelaskan tentang seluruh kegiatan yang telah dilakukan di lapangan kepada peserta konferensi.
Selama pertemuan, terdapat 4 (empat) pembicara yaitu :
1. Dr. Adriano Mazzini dari Unversitas Oslo seorang ahli Mud Vulcano yang selama ini sangat yakin dengan teori bahwa lumpur lapindo disebabkan oleh gempa Yogyakarta. 2. Nurrochmat Sawolo sebagai ahli pemboran dari Lapindo yang mengetahui seluk beluk pemboran di sumur Banjarpanji1 sejak persiapan, pelaksanaan sampai semburan terjadi di Sidoardjo, yang dibantu Bambang Istadi.
3. Seorang pembicara dari Universitas Curtin Australia yaitu Dr. Mark Tingay ahli gempa yang berpendapat bahwa energi gempa Yogyakarta terlalu kecil sebagai penyebab terjadinya semburan di Sidoardjo.
4. Prof. Richard Davies dari Universitas Durham Inggris ahli geologi yang bekerjasama dengan ahli pemboran Indonesia yang diwakili oleh Susila Lusiaga dan Rudi Rubiandini dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menyampaikan secara detail dan jelas data-data dan bukti selama proses kejadian dilihat dari sisi operasi pemboran.
Tidak kurang 20 penanya ikut mempertajam materi diskusi yang mengarah pada penyebab yang sebenarnya, kemudian dilanjutkan dengan sesi perdebatan yang melibatkan seluruh opini yang berkembang dan dimoderatori oleh ahli geologi senior dari Australia. Acara berjalan sekitar 2,5 jam tersebut diakhiri dengan voting (pengambilan pendapat) oleh seluruh peserta yang hadir untuk memperoleh kepastian pendapat para ahli dunia tersebut dengan menggunakan metoda langsung angkat tangan.
Hasil dari voting tersebut menghasilkan 3 (tiga) suara yang mendukung gempa Yogya sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara menyatakan pemboran sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara menyatakan kombinasi gempa dan pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) menyatakan belum bisa mengambil opini. Dengan kesimpulan ahli dunia seperti ini, tidak perlu diragukan dan didiskusikan lagi bahwa penyebab semburan lumpur di Sidoardjo adalah akibat kegiatan pemboran.
"Ini merupakan kesimpulan tertinggi tingkat dunia yang tak bisa dibantah," kata Rudi Rubiandini, geolog petroleum dari ITB, salah satu peserta. Rudi berpendapat, pemerintah Indonesia dapat menggunakan hasil konferensi itu sebagai bahan dalam menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Dia menegaskan, lembaga yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur harus bertanggung jawab. Sejauh ini proses hukum kasus Lapindo menemui jalan buntu di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur karena tak cukup bukti.
Bagaimana tanggapan pemerintah dan Lapindo? Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Legowo, mengatakan pemerintah terbuka untuk menerima hasil rekomendasi terbaru itu. "Kami selalu terbuka untuk itu," kata Evita. Sementara itu, Senior Vice President PT Energi Mega Persada Lapindo, Bambang Istadi, menolak kesimpulan konferensi. Alasannya, pendapat tersebut tidak dikeluarkan seluruh geolog dunia. "Itu tidak mempresentasikan pendapat seluruh geolog di dunia," ujar Bambang
Sebelum hasil pertemuan geolog dunia di Cape Town, PT Lapindo Brantas pada 22 Oktober 2008 merilis siara pers, yang menyebutkan bahwa para geolog dalam pertemuan The Geological Society di London, Inggris (sebelum pertemuan Cape Town) menyimpulkan semburan lumpur Lapindo diakibatkan oleh mud volcano. Menurut Rudi, pertemuan London itu tak menghasilkan kesimpulan apa-apa. "Ahli geologi umum itu hanya berdiskusi, tidak menghasilkan kesimpulan." Menanggapi hal ini, Walhi menuding Lapindo telah berbohong kepada publik. "Ini proses pembohongan publik luar biasa," kata Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Walhi Muhammad Teguh Surya.


Pemerintah Menyerah?
Bagaimana membaca krisis keuangan global, menguntungkan atau merugikan Group Bakrie? Krisis finansial dunia ini tentu membuat kekayaan Bakrie terkuras, setidaknya dari orang paling kaya di Indonesia (2007), turun menjadi urutan keenam pada 2008. Namun dengan alasan krisis keuangan global ini pula, membuat PT Lapindo Brantas hanya mampu membayar uang ganti rugi kepada para korban lumpur Lapindo sebesar Rp 30 juta per bulan secara mencicil dan uang sewa rumah sebesar Rp 2,5 juta. Meskipun pemerintah sudah menekan Lapindo supaya harus membayar ganti rugi kepada para korban luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur, tetapi akhirnya pemerintah menyerah.
Ini adalah kompromi antara pemerintah, masyarakat, dan Lapindo, kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto. “Kita sudah tekan Lapindo, kamu harus bisa membayar. Tapi memang dia sudah buka kartu, inilah semampu kami, bayar Rp 30 juta per bulan. Ya sudah harus kita terima," ujar Djoko Kirmanto di Istana Negara Jakarta.
Menurut Djoko, kesepakatan yang dicapai di Sekretariat Negara 2 Desember 2008 --antara warga korban dan Nirwan Bakrie disaksikan Presiden SBY -- itu diterima semua oleh warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas). Sedangkan, kepada warga di luar itu yang menolak kesepakatan tersebut diimbaunya untuk menerima kesepakatan tersebut. Dia khawatir, bila kesepakatan itu ditolak, maka maksimum yang diterima para korban lumpur Lapindo tidak akan lebih dari yang sudah mereka terima. Apalagi, setelah kesepakatan itu, tidak akan ada negosiasi ulang.
Itulah yang bisa dilakukan oleh Lapindo untuk membayar kepada masyarakat. Kesepakatan yang dicapai itu, masih menurut Djoko, sudah sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) No 14 Tahun 2007. Sedangkan, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa yang hadir pada negosiasi itu menjelaskan, pemerintah tidak bisa memaksa Lapindo untuk membayar lebih dari yang disepakati itu. Pasalnya, perusahan milik keluarga Bakrie itu sedang mengalami kesulitan akibat krisis keuangan global saat ini.

Tampaknya usaha Group Bakrie melakukan kampanye besar-besaran ke publik bahwa penyebab bencana lumpur yang muncrat di Sidoarjo adalah karena fenomena alam belaka tak berhasil meyakinkan publik dan pemerintah. Karena itu pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY, tetap konsisten menekan Lapindo membayar ganti rugi kepada para korban. “Beruntung” Lapindo terkena dampak krisis finansial internasional sehingga ada alasan pundi-pundinya berkurang drastis dan pemerintah memaklumi keadaan itu. Konsekuensinya terjadi kesepakatan win-win solution antara Lapindo dan korban yang difasilitasi pemerintah.


KESIMPULAN

Politik komunikasi yang dilakukan Lapindo dengan mengaburkan fakta sebenarnya tentang kejadian muncratnya lumpur panas Lapindo adalah demi kepentingan bisnis Group Bakrie. Meskipiun kelompok usaha ini sangat kaya, bahkan dari sisi politik mempunyai jaringan di pusat kekuasaan, namun mengingat dahsyatnya dampak yang ditimbulkan dari bencana lumpur Lapindo, menjadikan modal kapital dan kekuasaan tetap kurang. Kampanye Bakrie pada mulanya efektif, termasuk mempengaruhi DPR, namun akhirnya tak mampu membendung kenyataan bahwa itu semua karena kecerobohan Lapindo bukan bencana alam.

Pemerintah yang baik tentu akan berpihak kepada rakyatnya, meski sebagai pribadi dan kelompok usaha, Bakrie adalah salah satu penyumbang terbesar bari kemenangan pasangan SBY-JK saat mereka meraih kursi Presiden 2004. Pada akhirnya toh Presiden SBY harus memilih untuk lebih tegas kepada Group Bakrie ketika korban tak tertanggulangi selama dua setengah tahun. Bagi Presiden SBY, menekan Bakrie dan mengahasilkan kesepakatan dengan para korban, selain sudah merupakan tugasnya sebagai presiden, juga credit point tersendiri pada saat menjelang akhir jabatannya. Dalam perspektif komunikasi politik, memerintah adalah kampanye. Artinya, bagi incumbent, melakukan sesuatu yang baik pada masa jabatan berlangsung adalah kampanye untuk pemilu berikutnya.

Kasus Lapindo memberi pelajaran kepada kita bahwa politik komunikasi dunia usaha selalu mencari untung. Politik komunikasi pemerintah adalah menjaga kestabilan dan keamanan demi pelaksanaan pembangunan. Pemerintah tak ingin kasus Lapindo menjadi sumber keresahan. Di luar itu, kelompok penekan seperti LSM selalu mengkritisi jalannya pemerintahan dan dunia usaha agar transparan, akuntable dan good governance (good corporete governance, unuk perusahaan). Media massa yang dianggap sebagai pilar keempat demokrasi, ternyata ada yang masih ideal dan independen, namun banyak yang sudah menjadi institusi bisnis semata-mata. Yang terakhir ini akan membela kepentingan bisnis pemilik modal. Bagaimana dengan publik dan korban? Mereka masih rentan, namun kini mereka bebas bersuara termasuk melakukan aksi unjuk rasa dengan segala cara dan rupa!

Daftar Bacaan:

Fotokopian dan power point bahan kuliah Politik Komunikasi.
“Bermain Lumpur Lapindo” Majalah Tempo edisi 25 Februari-2 Maret 2008
“Mencari Indonesia” Majalah Tempo edisi 27 Oktober-2 November 2008
“Siapa Peduli Bakrei” Majalah Tempo edisi 17-23 November 2008“Korban Lumpur Lapindo Menagih Bukti Bukan Janji” Majalah Tempo edisi 8-14

Tidak ada komentar: