December, 02 2005 @ 04:21 pm
Melawan Teror(is/me) Melalui Humor
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah menulis kolom di majalah Tempo edisi Desember 1981 yang kemudian dijadikan judul buku kumpulan kolomnya, “Melawan Melalui Humor” (PDAT Tempo, 2000). Menurut Gus Dur, lelucon merupakan wahana ekspresi politis yang menyatukan bahasa rakyat dan mampu mengidentifikasikan masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan. Selain itu, lelucon juga memiliki kemampuan menggalang “musuh bersama”. Karena itu, fungsi perlawanan kulturalnya menunjuk kepada kesadaran yang tinggi untuk menyatakan apa yang benar sebagai kewajiban tak terelakkan.
Ketika kolumnis humoris itu menjadi orang nomor satu RI, ia pernah membuat pernyataan mengenai jihad. Saat sekelompok orang dari luar Ambon dengan dalih jihad ingin masuk Ambon, Gus Dur mengatakan: “Mau jihad kek mau jahit kek, pokoknya orang yang masuk Ambon membawa senjata harus ditangkap!” Setahu penulis orang yang berani menyatakan sekaligus memlesetkan jihad dengan jahit hanya kyai presiden Gus Dur. Lelucon Gus Dur tentang para tokoh agama baik dari Islam, Kristen, Yahudi dan agama lain sering kita dengar. Bagi Gus Dur tak ada yang sakral. Semua bisa dihumorkan.
Menyusul tewasnya Dr. Azahari dan ditemukan VCD pengakuan tiga pelaku bom Bali II, para ulama kini mempunyai tugas tambahan. Mereka diminta mengajak masyarakat agar tak sesat mengikuti ajaran teroris melakukan jihad dengan serangan bom bunuh diri. Bisakah para ulama kita membentengi para pemuda kita dari jebakan ajaran jihad yang membahayakan itu? Sungguh ini bukan tugas ringan. Melawan terorisme tak cukup hanya mengandalkan senjata ayat. Ulama perlu mempunyai senjata tambahan bernama humor. Ya, mari kita melawan teror dengan humor. Mari kita mentertawakan para teroris yang nuraninya segaris.
Salah satu sebab teroris tetap eksis di masyarakat kita karena sebagian menganggap teroris sebagai pahlawan. Masyarakat bangga memakai kaos bergambar Osama bin Laden. Dr. Azahari jika tak pernah tertangkap mungkin akan melegenda seperti Osama. Tanpa disadari masyarakat mendukung terorisme atau setidaknya simpati dengan mereka. Terutama kalangan miskin sangat rentan terhadap ajaran jihad yang memberi iming-iming surga secara instan. Mereka yang tengah menghadapi kesulitan hidup – seperti banyak utang - dibelokkan menjadi tak menghargai kehidupan itu sendiri. Menurut Dr. Syafi’i Ma’arif mantan Ketua PP Muhammadiyah mereka adalah orang-orang yang berani mati tetapi takut hidup.
Betulkah para pengebom itu mati syahid dan bertemu bidadari di surga? Tak satupun bisa membuktikan. Tentu saja karena ulama maupun teroris belum pernah ke surga. Namun yang jelas mereka bukan mati syahid tetapi mati sakit. Dan, kalaupun mereka masuk surga, mereka akan menyesal bertemu bidadari, karena kepalanya masih tertinggal di dunia dan ditahan oleh polisi. Lelucon seperti di atas beredar di masyarakat pasca bom Bali II. Mari kita segarkan kembali ingatan pada bom Bali 1 (2002) yang sekejap merubah Bali dari pulau turis menjadi teroris. Dalam perjalanan menuju Jawa Timur, Gus Dur bertemu Wiranto dalam satu pesawat. Gus Dur bertanya, ''bisnis apakah yang menguntungkan saat ini?'' Pertanyaan itu serius, namun, mantan Menhankam/Pangab ini malah menjawabnya dengan kelakar. ''Yang lagi ramai, ya.. bisnis mercon dengan merek Amrozi,'' ujar Wiranto.
Masih soal teroris murah senyum, rupanya sebelum menjadi teroris Amrozi memiliki bank bersama tokoh pengacara nasional Adnan Buyung Nasution. Nama bank itu, ABN-Amrozi!Humor tentang teroris yang menjurus berbau porno juga banyak beredar. Setelah kejadian bom di hotel JW Marriot beredar isu bahwa yang meledakkan adalah pria yang gagal berobat memanjangkan penisnya. Pria itu menyangka JW Marriot adalah hotel milik Mak Erot! Usai penangkapan dan tewasnya dalang teroris Azahari beredar melalui SMS (surat menyurat singkat) di telpon seluler seperti ini: “Awas masih ada keluarga Azahari yaitu Ayu, Sarah dan Rahma, yang kemana-mana membawa ‘bom’ di dada mereka”.
Kedahsyatan tsunami rupanya membuat jengkel para teroris di Baghdad. Akhir tahun 2004 mereka merasa sudah mengeluarkan segala daya untuk mengebom semua kepentingan Amerika Serikat. Namun beritanya kalah dengan tsunami. “Saya mengebom dan membakar gedung-gedung tetapi apa yang saya dapatkan?” ujar seorang teroris. Hanya dimuat di halaman 14 tersembunyi di The New York Times atau di halaman internasional The Telegraph. Tsunami membunuh hanya dengan satu gelombang. Bencana alam adalah kerjaan Tuhan. Dan semua orang di dunia ingin menyaksikan kedahsyatan tsunami di Indonesia, bukan bom di Irak.
Kata orang bijak, seseorang bisa disebut waras, lebih pintar dan lebih maju jika sudah bisa menertawakan (dalam arti menganggap sebagai kebodohan, kekonyolan) sikap dan perbuatannya masa lalu. Terorisme, teroris, teror belum kita tertawakan, masih banyak masyarakat menganggap mereka pahlawan. Terorisme, teroris, teror harus adalah masa lalu yang wajib kita tertawakan.
Karena Terorisme, teroris, teror adalah kebodohan dan kekonyolan. Tak cukup hanya dengan pendekatan hukum dan pendekatan agama oleh para ulama. Masyarakat harus mulai menertawakan teroris dan simpatisannya karena mereka adalah musuh bersama. Para pelaku bom bunuh diri bukan syahid tapi sakit! Berani mati tapi takut hidup. Bukan jihad tapi jahat. Ke Bali bukan jadi turis tapi teroris. Bukan kebarat-baratan tapi kearab-araban dan seterusnya. Mari kita melawan teror (is/me) dengan humor!
(Editor: Tri Agus S Siswowiharjo wrote four humor books)
By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Current Affairs Parasindonesia.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar