Minggu, 09 September 2007

SBY dan Reformasi Burma

August, 02 2005 @ 08:05 am
SBY Dan Reformasi Burma
Keputusan Burma (Myanmar) untuk tidak menggunakan kesempatan memimpin ASEAN tahun 2006 selain melegakan anggota ASEAN lainnya, juga menggembirakan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang sebelumnya mengancam akan memboikot pertemuan-pertemuan ASEAN. Kalangan parlemen yang tergabung dalam ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus dan aktivis LSM di kawasan ini, juga menyambut gembira, sembari akan terus meningkatkan tekanan ke Burma. Alasannya, Junta belum berubah, masih represif, anti-dialog dan anti-perubahan.

Bagaimana Indonesia tetap memainkan peranannya dalam reformasi politik di negeri itu? Mundurnya Burma dari kepimpinan ASEAN hendaknya tidak membuat keprihatinan ASEAN atas represi Junta militer menjadi berkurang. Di bawah pimpinan Filipina nanti, ASEAN tetap harus tak jemu-jemu menagih janji-janji junta militer untuk membebasankan ikon demokrasi Aung San Suu Kyi, melakukan rekonsiliasi dengan etnis minoritas dan mereformasi konstitusi.

Sebenarnya jika ada salah satu negara mengambil peran lebih kemuka sebagai pemimpin informal, peran ASEAN akan lebih maksimal. Salah satu yang bisa menjadi pemimpin informal ASEAN adalah Indonesia. Indonesia sejak ASEAN berdiri 1967, dianggap sebagai pemimpin informal di kawasan ini. Karena sponsor Indonesia, Burma masuk ASEAN pada 1997. Pamor Indonesia pudar menyusul jatuhnya rezim Soeharto. Pengganti Soeharto dari BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, sampai Megawati Soekarnoputri tampaknya lebih terfokus pada urusan dalam negeri.

Tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pertama yang dipilih rakyat secara langsung diharapkan membawa angin perubahan dalam politik luar negeri Indonesia. Dapatkah SBY memberikan kontribusi yang signifikan bagi reformasi di Burma?Melihat karakter dan latar belakang SBY sekaligus penunjukan Hasan Wirayudha sebagai menteri luar negeri sebenarnya mempunyai peluang meningkatkan peran Indonesia di ASEAN. Dalam sambutan tertulisnya di depan The Indonesian Council on World Affairs (ICWA) 19 Mei lalu, SBY mengatakan, "Sejak akhir tahun lalu ada energi baru di Indonesia. Energi yang sama juga pada kebijakan luar negeri. ‘Foreign policy has a critical role in my administration. We have today an Indonesia that capable and eager to actively engage the international community, in the common task of building a better world." jelas Presiden.

Kini saatnya SBY membuktikan energi baru itu. Meningkatkan peran dan dominasi Indonesia di ASEAN dan mampu membawa Burma ke arah jalan demokrasi. Karena itu, SBY harus bisa meyakinkan Junta militer bahwa reformasi demokrasi memerlukan ‘pengorbanan’ militer, itupun tak selamanya meminggirkan para aktor militer atau mantan militer. SBY yang mantan militer bisa memberi contoh reformasi di Indonesia melalui pengalaman pribadinya.SBY perlu mengaktifkan utusan khusus untuk Burma yang selama Kepresidenan Soeharto dijabat oleh mantan Menlu Ali Alatas.

Usaha ini bisa ditingkatkan dengan penunjukkan utusan khusus ASEAN untuk Burma. Seperti kita ketahui Pelapor HAM PBB Sergio Pinheiro sejak November 2003 dan Utusan Khusus Sekjen PBB Rizali Ismail sejak Maret 2004 telah dihalang-halangi misinya oleh junta militer.Terakhir yang perlu dilakukan Presiden SBY adalah melakukan kunjungan resmi ke Burma dan bertemu dengan Aung San Suu Kyi. Selama tak ada jaminan bertemu tokoh oposisi itu, janganlah mengunjungi negara yang dikuasai kelompok tentara bersenjata itu.

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Foreign Affairs Parasindonesia.com

Tidak ada komentar: