Kabar gembira itu datang dari anggota senior Komite Hubungan Internasional Kongres AS, Robert Wexler. Ia menominasikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2006. Alasannya, SBY memegang peranan utama membawa perdamaian di Aceh. Layakkah prestasi SBY di Aceh diganjar Nobel Perdamaian? Bagaimana peran SBY di pentas regional, seperti membantu demokrasi di Burma?
Usulan Robert Wexler memang belum mendapat respon menggembirakan dari Komite Nobel di Norwegia. Sebab, siapa pun boleh mencalonkan orang untuk dinominasikan, namun Komite Nobel yang secara resmi menominasikan atau tidak. Meski begitu, kita patut bangga, ada orang Indonesia dicalonkan menerima Hadiah Nobel. Selama ini sastrawan Pramudya Ananta Toer sering dinominasikan mendapat Nobel bidang sastra. Sementara Jose Ramos Horta dan Uskup Ximenas Belo menerima Nobel Perdamaian justru karena ‘melawan” Indonesia yang saat itu menjajah Timor Leste.
Saat Ramos Horta dan Uskup Belo menerima Nobel Perdamaian, banyak kalangan menanyakan kenapa bukan Xanana Gusmao yang menerima? Dari Tim seleksi Komite Nobel Norwegia menjawab, bahwa hadiah Nobel diberikan kepada orang berjuang yang tidak menggunakan senjata tapi dengan cara cara non combatan. Bagaimana dengan SBY yang mantan tentara? Kita tentu masih menunggu, kalau memang SBY dinominasikan, berarti tim seleksi Nobel Perdamaian sudah mengubah kriterianya. Bukankah saat menjadi presiden, SBY sudah berstatus sipil? Bahkan selalu mengedepankan perdamaian bukan peperangan seperti dilakukan presiden-presiden sebelumnya.
Sehubungan dengan pencalonan SBY tersebut, Uskup Belo kontan setuju dan mendukung. Tentu saja dukungan Uskup Belo sangat penting, sebab dia adalah penerima Nobel Perdamaian 1996. Menurut Belo, SBY ketika bertugas di Timor Timur pada 1986-1988 sebagai komandan Batalyon Satya Yudha Bhakti, dikenal sebagai tentara yang jujur, rendah hati, selalu berdekatan dengan rakyat dan tak mudah menggunakan kekerasan. Namun, saat Presiden Megawati menggunakan kekerasan terhadap Aceh, SBY berada di sekitar Megawati. Ia tak mampu menolak keinginan presiden dan sejumlah tentara ‘nasionalis sempit’ dengan menggelar perang di Aceh.
Penyelesaian konflik di Aceh memang monumental. Tak ada satupun presiden Indonesia yang mampu mengakhiri perang selama 24 tahun kecuali SBY. Barangkali karena SBY mantan tentara, ia bisa merasakan betapa tentara dan keluarganya juga rakyat sipil sangat menderita karena perang. Bagi SBY yang sering membaca buku dibanding Megawati, nasionalisme kini telah mengalami pergeseran, tak lagi seperti ketika ayah Megawati, Soekarno sering mengutip Ernes Renan tentang bangsa. Pantaskah kesuksesan SBY menyemai perdaiaman di Aceh diganjar Nobel Perdamaian?
Tampaknya memang kurang lengkap jika SBY belum menuntaskan perdamaian di kawasan regional. Pekerjaan Rumah SBY dalam waktu dekat ini adalah ‘mengekspor demokrasi dan perdamiaan” ke Burma. Seperti kita ketahui, Burma adalah satu-satunya negara di ASEAN yang masih dikuasai junta militer. Tak ada kebebasan politik, partai dilarang organisasi massa diharamkan. Partai pemenang pemilu 1990, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi tak diakui bahkan para anggota parlemen terpilih ditangkap dan dipenjara. Aung San Suu Kyi (penerima Nonel Perdamaian 1991) sampai kini masih dalam tahanan rumah. Pendek kata, AS dan Uni Eropa mengangap junta militer Burma sebagai penguasa paling jahat di dunia saat ini.
Dalam Februari ini SBY akan berkunjung ke Burma. Kita berharap SBY memerankan sebagai juru damai di sana. Memberi angin segar bagi demokratisasi Burma yang diterima junta militer maupun oposisi. Para presiden Indonesia sebelumnya, termasuk Gus Dur yang paling aktivis dan berjanji membantu Suu Kyi, ternyata tak mampu menemui ikon demokrasi Burma itu saat berkunjung ke Rangoon. SBY harus mampu menundukkan junta militer untuk bertemu Suu Kyi dan menjembatani mandeknya demokrasi di negeri seribu pagoda itu. Jika SBY tak mampu bertemu Suu Kyi dan hanya bertemu Jenderal Senior Than Shwee, berarti SBY ibarat bertemu para pembajak pesawat, tak mampu bertemu para sanderanya yang harus dibebaskan. Jika SBY tak mampu berbuat banyak di Burma, maka SBY boleh dibilang “juru damai kelas kampung!”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar