August, 22 2005 @ 07:48 am
Otsus Papua: Otonomi Tidak Serius
Perayaan Kemerdekaan RI ke-60, ditandai dengan dua peristiwa berlawanan di ujung barat dan di ujung timur Indonesia. Dari Aceh, ada kabar gembira dengan ditandatanganinya MoU RI-GAM - tanda mulai diakhirinya konflik selama 30 tahun. Sementara di Papua, masyarakat yang dipelopori Dewan Adat Papua (DAP) menggelar aksi mengembalikan Otsus (Undang Undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua). Aksi damai puluhan ribu massa di Jayapura dan beberapa kota di Papua ini adalah bentuk ketidakpuasan terhadap pelaksanaan Otsus yang tak memberi kemajuan berarti bagi rakyat di bumi Cendrawasih itu. Bagaimana sebaiknya pemerintah menangani gejolak di Papua?
Sebenarnya keputusan ‘mengembalikan’ Otsus ke pemerintah merupakan langkah yang boleh disebut absurd. Selama ini kita hanya mengenal UU itu dicabut, diubah, atau diperbaiki. Tetapi bila kita cermati apa yang terjadi di lapangan, inisiatif DAP tampaknya merupakan bagian dari tekanan kepada pemerintah agar makin serius dan konsisten dalam melaksanakan Otsus. Tekanan masyarakat Papua rupanya ada hasilnya. Pemerintah lalu membentuk tim kecil yang dipimpin oleh Menko Polhukam untuk mengevaluasi pelaksanaan Otsus. Tim kecil juga mengevaluasi keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang hingga kini masih dipersoalkan.
Sementara dalam dialog dengan 29 tokoh serta Gubernur Papua JP Solossa di Istana Negara (9/8), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan , “Otsus sudah menjadi pilihan masyarakat Papua dan bangsa Indonesia. Kalaupun masih ada kelemahan dalam pelaksanaannya, pemerintah terus memperbaiki. Masalah selalu ada, dan sebagai bangsa yang optimis, melihat masalah selalu ada solusi dan jalan keluarnya dengan bijak dan berorientasi pada kepentingan rakyat Papua, bangsa, dan rakyat kita,” ujar Presiden.Kalimat indah yang diucapkan Presiden SBY tersebut memang menyejukkan namun tak mudah dilaksanakan karena masalah Papua bak benang kusut.
Jika di dunia pendidikan ada pemeo ganti menteri ganti kurikulum, di Papua ada istilah ganti presiden ganti kebijakan. Dari Opsus (Operasi Khusus dipimpin Jendral Ali Moertopo) sampai Otsus di era Presiden Megawati tak satu pun kebijakan yang membuat rakyat Papua merasa menjadi bagian dari negara kesatuan RI. Hasil bumi tanah Kasuari yang melimpah diangkut ke Jakarta, sementara rakyat Papua tetap menderita. Dana Otsus yang digelontorkan ke Papua sebesar Rp. 5.6 triliun, dicurigai hanya menambah tebal kantong segelintir kalangan elit Pemprov/Pemkab di Papua dan keluarganya.
Mampukah pemerintah pusat menyelesaikan masalah Papua? Dilihat dari track record selama kurang setahun ini, tampaknya kita bisa berharap. Keberhasilan penandatangan MoU RI-GAM merupakan bukti para petinggi pemerintahan sekarang ini lebih mengedepankan penyelesaian yang lebih bermartabat dibanding pemerintahan Megawati Soekarnoputri apalagi Soeharto yang gemar dengan kekerasan. Selain itu, gebrakan pemberantasan korupsi juga sangat terasa di era SBY ini.
Selalu ada solusi jika ada masalah. Otsus harus dilaksanakan lebih konsisten dan serius. Majelis Rakyat Papua (MRP) harus segela dibentuk. Dari sana, MRP dan DPRP, akan ditentukan perlu tidaknya pemekaran Papua termasuk keberadaan Irjabar yang prematur dan ilegal itu. Pelanggar HAM maupun koruptor dana Otsus juga harus segera ditindak. Mampukah pemerintah pusat melakukan hal itu? Masalahnya bukan pemerintah pusat mampu atau tidak, melainkan mau atau tidak!
By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Politics Parasindonesia.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar