Minggu, 09 September 2007

SBY Tak Bisa Bedakan Pembajak dan Sandera

March, 04 2006 @ 12:39 pm
SBY Tak Bisa Bedakan Pembajak & Sandera
Ternyata dalam soal Burma antara Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sama saja: mengecewakan dan memalukan! Pasalnya, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan RI yang cukup disegani di ASEAN, tak dimanfaatkan untuk membantu tumbuh dan berkembangnya demokrasi di Burma. Ketiga presiden Indonesia tadi, tak ada satupun yang mampu bertemu Aang San Suu Kyi saat berkunjung ke Rangon, Burma. Bahkan minta bertemu atau membicarakan nasib tokoh demokrasi itu pun tidak. Sekali lagi memalukan!

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang katanya presiden paling demokratis karena berasal dari kalangan LSM, pernah menyatakan ingin membantu pembebasan Aung San Suu Kyi. Dan berjanji akan menemui tokoh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) tersebut. Namun ketika tiba di Rangon dalam kunjungan resmi, Gus Dur diam seribu bahasa soal demokrasi di Burma dan pembebasan Aung San Suu Kyi.Megawati Soekarnoputri mempunyai kemiripan nasib karena sama-sama putri bapak bangsa yaitu Soekarno dan Jendral Aung San.

Megawati pada era Soeharto pernah mengalami belenggu politik dan dijadikan ikon oposisi Indonesia. Namun saat Megawati menjadi orang nomor satu di Indonesia, ia seolah lupa dengan asalnya. Ketika berkunjung ke Rangon, Burma, sifat keibuan dan rasa pernah mengalami penderitaan panjang itu hilang. Mega tak bertemu Suu Kyi atau minta bertemu penerima Nobel Perdamaian 1991 itu. Banyak orang bilang Megawati tak memiliki sense of gender, tetapi lebih memiliki sense of general.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku tidak elok jika dalam kunjungan kenegaraannya ke Burma meminta kepada pemimpin Junta Militer Jenderal Senior Than Shwe agar diperkenankan bertemu Aung San Suu Kyi.“Tentu tidak elok kalau saya berkunjung ke Myanmar, lalu saya katakan kepada Jenderal Senior Than Shwe saya mau bertemu si ini dan itu. Sama saja kalau ada kepala negara berkunjung ke Indonesia, mereka menyatakan ingin bertemu dengan katakanlah pemimpin pemberontak,” ujar Presiden Yudhoyono sebelum kembali ke Jakarta, Kamis (2/3) di Rangon, Burma.

Pernyataan SBY di atas sungguh memalukan karena tak didasari fakta dan kenyataan sejarah di Burma. Pertama adalah keliru menganggap Junta Militer sebagai sebuah pemerintah yang sah. Sebab kenyataannya mereka adalah kumpulan orang bersenjata yang telah menganulir hasil pemilu demokratis pada 1990 yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi. Pasca pemilu 1990 hingga saat ini, gerombolan tentara pimpinan Jendral Senior Than Shwe telah mengobok-obok demokrasi di negeri pagoda tersebut. Ribuan anggota parlemen terpilih ditangkapi, dipenjara tanpa diadili - diantaranya banyak yang mati di penjara, kampus-kampus ditutup, partai dan kegiatan politik dilarang dan menahah para aktivis politik termasuk Aung San Suu Kyi. Burma yang sejak 1997 bergabung menjadi anggota ASEAN terus menerus menipu sesama anggota ASEAN tentang pelaksanaan demokrasi di negeri itu.

Kedua, adalah keliru besar menyamakan Aung San Suu Kyi dengan pemberontak. Aung San Suu Kyi adalah pemimpin partai terbesar dan pemenang pemilu 1990. Perjuangan Suu Kyi dan partainya adalah melalui cara - cara demokratis dan antikekerasan. Justru sebenarnya yang pemberontak adalah para anggota junta militer Burma. SBY tampaknya harus banyak belajar mengenai sejarah di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikan nantinya SBY bisa membedakan mana pembajak dan sandera dalam peta politik Burma. Para pemimpin Indonesia selama ini lebih senang berhubungan dengan para pembajak daripada para sandera.

Pernyataan SBY yang menaruh harapan pada perkembangan demokrasi di Burma melalui konvensi nasional dan peta jalan menuju demokrasi adalah naif. Sebab kenyataannya sudah begitu banyak janji-janji junta militer yang telah diucapkan dan tak pernah ditepati. Mereka telah menyandera rakyatnya sendiri selama 16 tahun. Adalah memalukan, kita sebagai bangsa memiliki presiden yang tak bisa membedakan mana solusi dan mana problem di Burma. Ketiga presiden kita percaya junta militer adalah solusi karena itu patut didekati dan dibantu, padahal junta militer nyata-nyata adalah biang problem itu!

By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Foreign Affairs Parasindonesia.com

Tidak ada komentar: