October, 13 2005 @ 07:18 pm
Dari Opsus Ke Otsus Papua
Rakyat Papua sebentar lagi memiliki Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk yang pertama kalinya. MRP adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Inilah ikon atau simbol kekhususan otonomi Papua seperti diamanatkan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Kehadiran MRP tentu tak serta merta membuat semua masalah Papua selesai. Justru MRP telah menyumbang persoalan baru. Banyak kalangan teringat cara-cara Operasi Khusus (Opsus) ala Ali Moertopo era Orde Baru saat mensukseskan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Dari Opsus ke Otsus dilakukan Jakarta untuk menyelesaikan masalah Papua.
Keterlibatan terlalu aktif instansi Kesbang (Kesatuan bangsa) Depdagri dalam proses pemilihan anggota MRP menimbulkan pertanyaan sejumlah kalangan, sampai sejauh mana tingkat independensi pemilihan. Bahkan dalam beberapa deerah pemilihan MRP, Ketua Kesbang tingkat Kabupaten menjadi Ketua Panitia Pemilihan. Memang dalam Perdasi (Peraturan Daerah Propinsi) No 4/2005 tentang cara pemilihan anggota MRP dimungkinkan unsur pemerintahan menjadi panitia pemilihan di tingkat distrik, kabupaten, dan Propinsi. Anggota MRP adalah 42 orang yang mewakili adat, perempuan, dan agama masing-masing 14 orang. Mereka, wakil dari adat dan perempuan, akan dipilih dari 14 daerah pemilihan (berjenjang dari kampung, distrik, dan kabupaten). Sedangkan wakil agama ditentukan secara musyawarah di tingkat propinsi.
Masalah mulai timbul mengenai persoalan representasi adat dan agama. Bagaimana MRP yang beranggotakan 14 orang wakil adat dapat mewakili aspirasi dan kepentingan dari suku-suku di Papua yang berjumlah lebih dari 250. Itu satu persoalan yang mungkin bisa dijawab bahwa perwakilan di sini bersifat kultural bukan proporsional. Dewan Adat Papua (DAP) sendiri secara institusi telah menyatakan mengembalikan Otsus dan meminta dialog dengan pemerintah Pusat. Karena itu secara institusi DAP tidak terlibat dalam pemilihan MRP tetapi secara perorangan anggota DAP mempunyai kesempatan untuk menjadi calon anggota MRP. Meski dengan resiko dicap sebagai opurtunis.
Mengenai keterwakilan agama, ada fenomena menarik di sini. Kalangan agama – Kristen, Katholik dan Islam - di Papua tiba-tiba ramai-ramai menolak duduk dalam MRP. Mereka menolak agama terlibat dalam urusan politik. Sungguh ini sangat menggembirakan. Kesadaran bahwa agama seharusnya merupakan urusan pribadi antara manusia dan Tuhan, dan karena itu tak perlu menjadi urusan publik. Sekularisme seperti ini hendaknya menular ke tempat lain di Indonesia. Kalangan agama mungkin akan mengusulkan mengganti keanggotaan MRP yang mewakili masyarakat agama dipilih dari organisasi masyarakat keagamaan – seperti ikatan intelektual dan bukan lembaga keagamaan.
Satu langkah lagi keseriusan pemerintah pusat melaksanakan Otsus mulai tampak dalam pembentukan MRP. Namun tentu saja, seperti dikemukakan di atas, masalah Papua masih menggunung – setinggi gunung Puncak Jaya- termasuk soal kemiskinan, keterbelakangan, korupsi dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sudah waktunya pemerintah melakukan klarifikasi sejarah integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia dengan membentuk Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran (KKR). Selain itu, pemerintah pusat perlu memfasilitasi dialog seluruh komponen masyarakat Papua, termasuk mereka yang berada di di luar negeri. Pemerintah harus melaksanaan Otsus secara serius, bukan dengan cara Opsus ala Orde Baru. Jika tak serius, ada dua jalan terbuka untuk dilalui rakyat Papua: Jalan Aceh atau Jalan Timor Timur!
By: Tri Agus Siswowiharjo Category: Politics Parasindonesia.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar