Oleh: Tri Agus S. Siswowiharjo *)
Salah satu fenomena dalam politik kita lima tahun terakhir ini adalah munculnya lembaga survei, sekaligus produk perhitungan cepat (quick count) pada Pemilu 2004 dan Pilkada-pilkada setelah itu. Jumlah lembaga survei di Indonesia memang baru belasan, tak sebanyak di negara demokrasi baru seperti Philippina atau Korea Selatan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan. Sebagai pemain baru, banyak pihak belum memahami peran lembaga survei, termasuk penyelenggara pemilu, dan sebagian ketua partai politik.
Jika tak ada perubahan, pada 24-25 Januari 2009, sejumlah lembaga survei di Indonesia akan bertemu, bermusyawarah, dan kemungkinan membentuk asosiasi. Asosiasi lembaga survei kehadirannya sangat ditunggu karena melalui asosiasi itu kode etik bisa dibuat dan kemudian ditaati para anggotanya. Jika ada lembaga survei yang ‘nakal’ maka lembaga ini bisa ‘menjewer’.
Kehadiran lembaga survei adalah keharusan bagi negara demokrasi. Studi tentang pendapat umum di Amerika Serikat (AS) telah mengalami perkembangan pesat sejak 1950-an, terutama untuk mengetahui sikap dan preferensi politik masyarakat umum. Pada era 1970-an, metode ini kian populer untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan publik terhadap pendapat umum atau sebaliknya, bagaimana pendapat umum memengaruhi kebijakan publik. Di AS misalnya ada lembaga-lembaga yang sangat terkenal seperti Gallup Poll, Harris Poll, Roper, Crosley Poll, Pew Research Center, dan Rasmussen
Fenomena perhitungan cepat yang dilakukan lembaga survei pada Pemilu 2004 membuka mata kita tentang salah satu pemain baru dalam demokrasi. Hadirnya sekitar 13 lembaga survei – belum termasuk litbang media – cukup meramaikan dan menambah bobot demokrasi di tanah air. Betapa tidak, kini hampir tiap bulan kita dapat mengetahui opini masyarakat mengenai isu-isu yang menyangkut ekonomi, politik, dan sosial. Lembaga survei silih berganti mengadakan konperensi pers, mengumumkan hasil survei tentang berbagai isu, termasuk yang paling ‘seksi’ yaitu soal partai politik atau calon presiden pilihan masyarakat. Namun, seperti pers yang muncul bak jamur di musim reformasi, lembaga survei juga sama. Akan ada seleksi alam, dan hanya yang kompeten dan punya integritas yang akan bertahan.
Persoalan yang muncul kemudian adalah adanya suara-suara ketidakpuasan dari tokoh partai politik atau calon presiden yang menurut survei popularitasnya tak pernah naik. Mereka kesal, lalu menuduh ada lembaga survei bayaran, yang hasilnya bisa dipesan. Selain itu, ada upaya dari KPU untuk mengatur atau membatasi lembaga survei dengan berbagai ketentuan. Sungguh ini kabar buruk bagi lembaga survei sekaligus bagi masyarakat yang mempunyai hak untuk mencari dan mendapatkan informasi. Ada satu atau dua institusi survei yang nakal, lalu coba mengatur dan mengebiri semua lembaga survei. Memang harus diakui, ada institusi survei yang tak memiliki kompetensi, dan lebih buruk lagi, tak mempunyai integritas. Institusi survei yang terakhir ini biasanya membuat survei untuk memberi kepuasan pemesan, dan diumumkan ke publik.
Menurut Hasan Hasbi dari Cirus Surveyors Group, hasil survei dapat menjadi pintu masuk untuk bisnis yang lebih besar, yaitu konsultan politik. Selalu ada godaan untuk menghibur klien, (Kompas, 16/1/09). Selain itu, KPU yang berencana mengatur lembaga survei, bisa dimaknai dua hal. Pertama, KPU menganggap dirinya bak superbody, ingin mengatur semua hal termasuk di luar kewenangan dan kompetensinya. Kedua, KPU ingin mengalihkan perhatian publik dari kelemahan dan kelambatan mereka mempersiapkan Pemilu 2009.
Jika pers telah lama diakui sebagai pilar keempat demokrasi, menurut M Qodari, direktur Indo Barometer, lembaga survei adalah pilar kelima demokrasi. Survey opini publik membantu mendekatkan keputusan-keputusan publik dengan aspirasi publik, dan elit mengetahui keputusan-keputusan yang kurang populer tetapi harus dibuat sehingga perlu dijelaskan kepada publik secara luas. Dengan demikian, pemerintah demokratis akan menjadi semakin legitimate, stabil, bertanggungjawab dan efektif. Survei opini publik menjadi ‘barometer’ aspirasi masyarakat, dan pembuat kebijakan. Tidak perlu menunggu pemilu lima tahun lagi atau referendum untuk mengetahui pendapat masyarakat.
Perselingkuhan Lembaga Survei dan Konsultan Politik
Selain munculnya lembaga pengumpul jajak pendapat, marak pula kehadiran konsultan politik. Seorang konsultan politik adalah seorang profesional kampanye yang terlibat dalam pemberian nasihat dan jasa-jasa kepada para kontestan pemilu, baik berupa jajak pendapat, produksi, dan penciptaan media. Di sinilah kadang konflik interes terjadi, bisa seorang pollster sekaligus konsultan politik.
Fenomena konsultan politik seperti di AS ini juga telah merambah ke tanah air, terutama sejak diterapkannya sistem pemilihan presiden secara langsung pada 2004. Setelah itu, sejak 2005 ketika pemilihan kepala daerah juga dilakukan secara langsung, ‘industri’ tim sukses dan survei ini kian marak.
Konsultan politik harus bersikap profesional dan bersikap jujur tentang aneka kelemahan dari survei yang dilakukan atau dilakukan pihak lain. Mereka juga harus mau bersikap jujur untuk memberitahukan siapa yang mensponsorisurvei dan jajak pendapat yang mereka lakukan. Di AS misalnya, salah satu kode etik yang disepakati melalui Asosiasi Amerika untuk Penelitian Pendapat Publik (American Association for Public Opinion Reserarch) telah mencantumkan keharusan bagi lembaga yang melakukan penelitian pendapat publik. Konsultan politik yang profesional adalah yang mampu mengantarkan kliennya ke tujuan dengan cara-cara yang cerdas, bermartabat, dan efisien.
Dalam setahun terakhir ini banyak survei politik dilakukan lembaga survei yang sudah dikenal masyarakat seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indo Barometer, Cirus Surveyors Group, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Reform Institute, Paskalis UI, Lembaga Riset Informasi, dan lain-lain.
Uniknya, kedua LSI dan Indo Barometer dahulu berasal dari satu institusi yang sama di bawah Denny JA, yaitu Lembaga Survei Indonesia. Dalam perjalanannya, Syaiful Mujani mengundurkan diri dari LSI dan membentuk LSI baru dengan nama yang sama yaitu Lembaga Survei Indonesia, sedangkan Denny JA dan M. Qodari tetap di LSI dengan nama baru Lingkaran Survei Indonesia, baru kemudian M. Qodari pecah kongsi dengan Denny J.A dan kemudian membentuk Indo Barometer.
LSI Syaiful Mujani dan Indo Barometer M Qodari tampaknya memilih di jalur yang memisahkan antara pollster dengan konsultan politik. Hal itu diyakini akan lebih menghasilkan survei yang akurat, kredibel, dan independen. Sementara Denny J.A berpendapat lain. Sah-sah saja bila lembaga survei bergerak sekaligus konsultan politik partai, kandidat presiden atau berbagai kandidat dalam pilkada. Di AS pun, ujar Denny J A, sejak 1970-an konsultan politik yang sekaligus melakukan survei tumbuh bak jamur di musim hujan, yang berdampak negatif bagi fungsi mesin partai karena digantikan para konsultan politik profesional.
Demi profesionalitas, maka integritas dan kompetensi sebuah lembaga survei harus diutamakan. Independensi juga sangat penting. Karena itu, memisahkan antara pekerjaan pollster dengan konsultan politik adalah sebuah keharusan. Namun karena belum ada asosiasi lembaga survei, perselingkuhan antara pollster dan konsultan politik terus berlangsung. Asosiasi lembaga survei sangat perlu segera dibentuk. Di sanalah diatur kode etik profesi - seperti profesi wartawan, dokter, dan pengacara. Kita berharap kehadiran asosiasi akan memantapkan lembaga survei sebagai pilar kelima demokrasi yang kompeten, kredibel, independen, dan mempunyai integritas. Karena itu, lembaga survei Indonesia, bersatulah!
*) penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Komunikasi Politik, Universitas Indonesia
Alamat Surat: Apartemen Margonda Residence B 411
Jl. Margonda Raya, Depok Jawa Barat
HP: 0815 803 1815
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar