Oleh : Tri Agus S Siswowiharjo*
Berbalas iklan politik mulai memanas menjelang Pemilu 2009. Iklan Partai Demokrat yang mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menurunkan harga BBM tiga kali, dibalas oleh iklan serupa oleh PDI Perjuangan. Megawati Soekarnoputri bahkan menyerang pemerintah memperlakukan rakyat seperti yoyo, dan dijawab pengurus Partai Demokrat, justru pada saat pemerintah Megawati rakyat diperlakukan seperti gangsir - hanya berputar di tempat tak kemana-mana (Tempo, 30 Januari 2009). Kampanye negatif, saling menyerang, kini mulai akrab bagi kita, melalui tayangan di televisi maupun di media cetak. Bermanfaatkah kampanye negatif bagi masyarakat yang hendak memilih?
Sesungguhnya tak ada definisi yang diterima secara universal tentang iklan negatif. Namun pada dasarnya ia lebih berfokus terhadap pesaing daripada terhadap kandidat. Ini berarti, iklan negatif berkonsentrasi pada apa yang salah pada pesaing, baik secara personal atau dalam hal sikap terhadap isu atau kebijakan. Kendati banyak ahli sepakat bahwa iklan negatif adalah tidak etis, namun ada banyak peneliti berpendapat bahwa iklan negatif justru menyajikan kepada pemilih informasi yang baik dan solid sebagai dasar pengambil keputusan. Karena itu tak salah jika para konsultan politik sering menamakan iklan negatif sebagai “comparative” atau “contrast” yang membantu pemilih menilai kekuatan dan kelemahan para kandidat.
Menurut pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Dedy Nur Hidayat, kalau hanya berbalas pantun, sama sekali tidak mendidik. Harusnya adu argumentasi agar publik mengetahui alasan masing-masing pihak. Bagi Dedy, iklan Megawati sudah masuk kategori kampanye negatif, saling menyerang. Satu kandidat menawarkan suatu program kemudian dibalas oleh kandidat yang lain. Memang itu seharusnya, agar rakyat bisa memilih. Kalau hanya sebatas iklan politik, sama sekali tidak mendidik. Karena tidak terjadi proses pendidikan politik, tidak meningkatkan kualitas pemilih. Mungkin masyarakat akan memilih hanya karena image yang mereka tampilkan, tapi mereka tidak melakukan pilihan berdasarkan argumentasi yang rasional dan yang bisa diterima.
Kampanye negatif juga tak terhindarkan pada pilpres 2004. Menjelang dan selama kampanye capres 2004, media tiba-tiba mendapat isu menarik tentang Wiranto dan keterlibatannya dalam Pam Swakarsa. Organisasi ini didirikan untuk membantu mengamankan Sidang Umum MPR 1998, khususnya untuk menghadapi demonstrasi mahasiswa. Media sangat antusias menangkap isu yang dilontarkan Mayor Jendral Kivlan Zen, yang diketahui sebagai mantan koordinator pembentukan Pam Swakarsa. Kivlan Zen yang kecewa karena uang pembentukan Pam Swakarsa belum dibayar Wiranto, saat itu Panglima TNI, ternyata dekat dengan Prabowo Subianto, rival Wiranto di Angkatan Darat dan konvensi Partai Golkar. Kiprah Kivlan Zen ini ditengarai sebagai kampanye negatif melalui media untuk menyudutkan Wiranto.
Usai persoalan Pam Swakarsa, Wiranto kembali ‘diserang’ dengan beredarnya VCD anti-Wiranto bersampul pagelaran Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Dalam VCD itu mulanya delapan menit lagu Menuju Bintang yang dinyanyikan Fery, juara AFI. Setelah itu muncul gambar tragedi Semanggi dan Trisakti dan wajah Wiranto. Disusul kemudian teks berjalan dengan kalimat “Adili Jendral (purn) Wiranto. Tolak Capres dari militer” “Anda ingin peristiwa Semanggi dan Trisakti terulang kembali? Jika iya maka: pilih SBY atau Wiranto sebagai presiden kita. Dijamin Indonesia banjir darah.”
Partai Hanura pernah memasang iklan politik dengan Wiranto sebagai bintang iklannya. Dalam iklan itu dicantumkan jumlah rakyat miskin Indonesia 49,5 persen. Wiranto mengaku tak bermaksud mendiskriditkan pihak mana pun. “Iklan itu adalah ajakan kepada seluruh elemen bangsa untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan,” ujar Wiranto (Kompas, 21/12/2007). Iklan itu menjadi polemik menarik. Dari soal data yang digunakan sampai dugaan upaya kampanye negatif menyerang pemerintah. Presdien SBY beralasan, perhitungan yang benar menggunakan data BPS 2007, di mana orang miskin 16,5 persen.
Kampanye negatif pada Pilpres di Amerika Serikat 2008 juga marak terjadi. Salah satu yang terkenal adalah iklan Partai Republik, di mana Barack Obama, diperlihatkan di depan ratusan ribu penggemarnya saat berceramah di Berlin, Jerman. Foto menggiurkan Britney Spears dan Paris Hilton diselipkan dalam film singkat itu, seolah mereka hadir di Berlin. Lalu ada suara menimpa, bertanya dengan nada menakutkan, ”Dia selebriti terbesar di dunia, tetapi apakah dia siap memimpin?” Tim kampanye Obama juga membuat iklan yang menyerang McCain. Digambarkan McCain yang kaya raya memiliki tujuh rumah, karena itu tak layak menempati rumah baru berikutnya, White House di Washington.
Berguna bagi publik?
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali dalam diskusi "Dengan Iklan Politik Menuju Kontrak Politik" di Jakarta, (19/11/2008), mengungkapkan dua hingga tiga bulan terakhir sebelum 2009 model dan muatan iklan politik sebatas perkenalan, belum menyerang (attacking), atau membandingkan (contrasting) . "Mungkin, sekitar Januari baru akan terlihat kampanye yang bersifat menyerang. Perkenalan ke arah kontrak politik sudah, misalnya Gerindra yang sudah melangkah dari branding," ujarnya. Apa yang diramalkan Effendi Gazali terbukti, kini iklan politik saling menyerang hadir di sekitar kita. Meski demikian, lanjut Effendi Gazali, kampanye negatif tak perlu dicemaskan, bahkan wajib kehadirannya. Karena, tujuan akhir dari komunikasi politik adalah well informed citizen.
Di tengah meningkatnya iklan politik, praktisi periklanan dan media dituntut untuk taat kepada etika moral dan tanggungjawab profesi. Mereka harus berani memilah dan memilih materi iklan yang mencerdaskan bukan mencederai akal sehat pemilih. Menyerang pesaing mungkin bisa dibenarkan dan akan berguna bagi calon pemilih asal dengan argumentasi yang masuk akal. Semua akan terpulang kepada pemilih yang makin cerdas menentukan mana iklan politik mencerahkan atau hanya dialamatkan kepada perasaan, menyederhanakan persoalan karena keterbatasan waktu dan dana, menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui publik, sampai memakai manipulasi teknologi.
Dengan demikian, iklan negatif, sejauh mempunyai argumentasi yang tepat, faktual dan cerdas, sebenarnya bisa bermanfaat bagi calon pemilih. Karena pemilih butuh pembanding untuk menilai kekuatan dan kelemahan kandidat. Iklan negatif membantu kita memilah dan memilih calon pemimpin. Kita menjadi mengerti siapa yang sebenarnya yoyo dan siapa yang sejatinya gangsing. Kualitas pemimpin juga makin terkuak melalui iklan yang saling menyerang. Pendek kata, kampanye negatif, menjadikan publik well informed citizen.
Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Komunikasi Politik, Universitas Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
belum lama saya mengunjungi satu pameran seni rupa di bentara budaya. Pameran ini yang berjudul Komedi Putar, secara kebetulan menggarap gangsing dan yoyo sebagai media ekspresi. Komedi Putar ini adalah respon seniman jogja atas peristiwa kontemporer yakni pemilu 2009, sekaligus mengangkat kembali gangsing dan yoyo sebagai permainan khas nusantara. pesannya "lupa akan gasing, berarti lupa akan tradisi yang pernah kita punyai.
Posting Komentar