Oleh : Tri Agus S Siswowiharjo*
Saat memberi pengarahan pada Rapim TNI dan Rakor Polri di Istana Negara (29/1) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, “Saya mendengar informasi ada seorang petinggi TNI-AD yang mengatakan ABS (asal bukan calon presiden berinisial S).” Pernyataan presiden yang kemudian tak dipercayai sendiri itu tetap saja mengundang pertanyaan, mengapa rumor yang belum jelas kebenarannya, itu disampaikan pada pertemuan resmi? Sejauh mana rumor dan humor merebak menjelang Pemilu 2009?
SBY ingin agar TNI dan Polri tetap menjaga kenetralan pada pemilu. Namun, dengan memberi informasi yang ia sendiri tak percayai, ini sebenarnya adalah ‘tragedi’. Mengapa SBY tak memerintahkan aparatnya untuk menyelidiki rumor itu sebelum menyampaikan ke kalangan TNI dan Polri? Bukankah SBY, sebagai Panglima Tertinggi TNI mempunyai tangan-tangan yang mampu menjangkau dari Mabes Cilangkap sampai tingkat Koramil?
Sebelum rumor soal ABS, SBY dan Ketua Umum PDI P Megawati Soekarnoputri terlibat berbalas pantun, soal yoyo dan gangsing. Megawati menyerang pemerintah memperlakukan rakyat seperti yoyo dan dijawab pengurus Partai Demokrat, justru saat pemerintah Megawati rakyat diperlakukan seperti gangsing - hanya berputar di tempat tak kemana-mana “Adu yoyo” ini seolah melanjutkan episode saling menyindir pada Pemilu 2004. Saat itu, Taufiq Kiemas menyindir “jendral kekanak-kanakan”, dan SBY menuai untung, dari simpati publik.
Megawati juga pernah mengeritik kinerja pemerintah SBY seperti orang menari poco-poco. Gerakan poco-poco maju selangkah kemudian mundur dua langkah. Jadi tak ada maju-majunya. Menanggapi kritikan Megawati, Wapres Jusuf Kala mengatakan justru kinerja pemerintah SBY jauh lebih bagus. Pada pemerintahan Megawati, justru kinerjanya berputar-putar seperti orang menari dansa!
Sungguh, pemilu merupakan peristiwa serius paling lucu. Bayangkan betapa lucunya hari-hari ini kita diserbu oleh wajah-wajah di spanduk, poster, dan baliho para caleg yang tak kita kenal. Mereka semua gayanya hampir sama, seolah-olah berwibawa, religius dan peduli rakyat. Kita juga digelontor iklan di televisi di mana banyak calon presiden beriklan. Ada ketua partai mengeluarkan miliaran rupiah hanya untuk mengatakan, “hidup adalah perjuangan.” Ada juga presenter televisi mengiklankan diri sembari berteriak, “if there is a will, there is a way.” Tak ketinggalan, ada mantan tentara yang ‘tiba-tiba’ mengaku pejuang para petani dan pedagang tradisionil.
Mari sedikit menghibur diri, bahwa di balik keseriusan dan kekhawatiran KPU mempersiapan Pemilu 2009, ada kelucuan atau humor yang menyegarkan.
Wapres Jusuf Kalla selalu tampil spontan dan segar. Saat membuka sebuah acara di Universitas Indonesia Depok, JK menyatakan dirinya merasa seperti di rumah sendiri berada di lingkungan UI. Para mahasiswa dan dosen saling pandang, bukankah JK lulusan Universitas Hassanuddin Makassar bukan alumni UI? Rupanya yang membuat JK at home adalah jaket almamater UI yang berwarna kuning.
Masih tentang JK yang kali ini berkunjung ke IPB (bukan Institut Pak Beye). Terjadi pembicaraan antara Wapres dan Rektor IPB. Dengan percaya diri sang rektor membanggakan bahwa alumnus IPB tersebar dan hebat dalam berbagai bidang. “Alumnus kami hebat di berbagai berbagai profesi dari wartawan sampai presiden,” ujar rektor. Dengan santai JK menimpali, “Ya alumnus IPB hebat di mana-mana, kecuali bidang pertanian.”
Berikut cerita tentang Fadjroel Rachman, yang kekeh sumekeh mencalonkan diri menjadi presiden 2009-2014 melalui jalur independen. Meski begitu, Fadjroel cukup berkeringat berusaha menggolkan capres independen melalui yudicial review UU Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Karena perjuangan yang tak kenal lelah, para wartawan menjuluki Fadjroel punya partai baru namanya MK.
Lain Fadjroel lain pula Garin Nugroho yang mendukung Sri Sultan Hamengkubuwono X. Garin kini sibuk berkeliling nusantara mendampingi Sultan. Bukan dalam rangka membuat film Capres di Bawah Bantal, Opera Pemilu atau Sultan dan Sepotong Roti. Melainkan Garin adalah konsultan politik HB X yang telah mendeklarasikan diri sebagai capres. Sebagai konsultan, dikongkon-kongkon (disuruh) Sultan, Garin bangga dipanggil Ngarso Luar. Sedangkan HB X oleh rakyatnya dipanggil Ngarso Dalem.
Rumor dan humor adalah bagian dari komunikasi politik. Praktik komunikasi politik selalu mengikuti sistem politik yang berlaku. Di negara yang menganut sistem politik tertutup, komunikasi politik pada umumnya mengalir dari penguasa ke rakyat. Penerapan pendekatan ini memang bukan satu-satunya, namun yang dominan dilaksanakan adalah top down. Untuk mewujudkan paradigma tersebut, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat transmisional.
Kini, di era reformasi, komunikasi politik antara elite legislatif, eksekutif, dan yudikatif relatif seimbang. Muatan pesan politik yang disampaikan pada umumnya untuk mewujudkan kepentingan elite sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat. Jadi, meski sistem politik berubah dari sistem tertutup ke sistem terbuka, namun pendekatan komunikasi politik cenderung tidak berubah. Karena itu rumor dan humor masih muncul melengkapi komunikasi politik.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah menulis kolom di majalah Tempo edisi Desember 1981 yang kemudian dijadikan judul buku kumpulan kolomnya, “Melawan Melalui Humor” (PDAT Tempo, 2000). Menurut Gus Dur, lelucon merupakan wahana ekspresi politis yang menyatukan bahasa rakyat dan mampu mengidentifikasikan masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan. Selain itu, lelucon juga memiliki kemampuan menggalang “musuh bersama”. Karena itu, fungsi perlawanan kulturalnya menunjuk kepada kesadaran yang tinggi untuk menyatakan apa yang benar sebagai kewajiban tak terelakkan.
Jika mengacu pendapat Gus Dur, masyarakat akan membuat lelucon dengan tokoh yang paling dibenci. Pada Orde Baru mantan Presiden Soeharto paling sering dihumorkan. Kini ketika otoritarianisme sudah tak ada, mereka yang dirumorkan dan dihumorkan adalah pejabat pemerintah atau pejabat publik yang tak pro rakyat atau ingkar janji. Mereka bisa anggota DPR, gubernur, bupati, walikota, menteri, sampai presiden.
Kata orang bijak, seseorang bisa disebut waras, lebih pintar dan lebih maju jika sudah bisa menertawakan sikap dan perbuatannya masa lalu. Bangsa Indonesia jika mau disebut dewasa, tentu harus mampu menertawakan kekonyolan pemilu!
Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Komunikasi Politik, Universitas Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar