Oleh : Tri Agus S Siswowiharjo*
Saat memberi pengarahan pada Rapim TNI dan Rakor Polri di Istana Negara (29/1) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, “Saya mendengar informasi ada seorang petinggi TNI-AD yang mengatakan ABS (asal bukan calon presiden berinisial S).” Pernyataan presiden yang kemudian tak dipercayai sendiri itu tetap saja mengundang pertanyaan, mengapa rumor yang belum jelas kebenarannya, itu disampaikan pada pertemuan resmi? Sejauh mana rumor dan humor merebak menjelang Pemilu 2009?
SBY ingin agar TNI dan Polri tetap menjaga kenetralan pada pemilu. Namun, dengan memberi informasi yang ia sendiri tak percayai, ini sebenarnya adalah ‘tragedi’. Mengapa SBY tak memerintahkan aparatnya untuk menyelidiki rumor itu sebelum menyampaikan ke kalangan TNI dan Polri? Bukankah SBY, sebagai Panglima Tertinggi TNI mempunyai tangan-tangan yang mampu menjangkau dari Mabes Cilangkap sampai tingkat Koramil?
Sebelum rumor soal ABS, SBY dan Ketua Umum PDI P Megawati Soekarnoputri terlibat berbalas pantun, soal yoyo dan gangsing. Megawati menyerang pemerintah memperlakukan rakyat seperti yoyo dan dijawab pengurus Partai Demokrat, justru saat pemerintah Megawati rakyat diperlakukan seperti gangsing - hanya berputar di tempat tak kemana-mana “Adu yoyo” ini seolah melanjutkan episode saling menyindir pada Pemilu 2004. Saat itu, Taufiq Kiemas menyindir “jendral kekanak-kanakan”, dan SBY menuai untung, dari simpati publik.
Megawati juga pernah mengeritik kinerja pemerintah SBY seperti orang menari poco-poco. Gerakan poco-poco maju selangkah kemudian mundur dua langkah. Jadi tak ada maju-majunya. Menanggapi kritikan Megawati, Wapres Jusuf Kala mengatakan justru kinerja pemerintah SBY jauh lebih bagus. Pada pemerintahan Megawati, justru kinerjanya berputar-putar seperti orang menari dansa!
Sungguh, pemilu merupakan peristiwa serius paling lucu. Bayangkan betapa lucunya hari-hari ini kita diserbu oleh wajah-wajah di spanduk, poster, dan baliho para caleg yang tak kita kenal. Mereka semua gayanya hampir sama, seolah-olah berwibawa, religius dan peduli rakyat. Kita juga digelontor iklan di televisi di mana banyak calon presiden beriklan. Ada ketua partai mengeluarkan miliaran rupiah hanya untuk mengatakan, “hidup adalah perjuangan.” Ada juga presenter televisi mengiklankan diri sembari berteriak, “if there is a will, there is a way.” Tak ketinggalan, ada mantan tentara yang ‘tiba-tiba’ mengaku pejuang para petani dan pedagang tradisionil.
Mari sedikit menghibur diri, bahwa di balik keseriusan dan kekhawatiran KPU mempersiapan Pemilu 2009, ada kelucuan atau humor yang menyegarkan.
Wapres Jusuf Kalla selalu tampil spontan dan segar. Saat membuka sebuah acara di Universitas Indonesia Depok, JK menyatakan dirinya merasa seperti di rumah sendiri berada di lingkungan UI. Para mahasiswa dan dosen saling pandang, bukankah JK lulusan Universitas Hassanuddin Makassar bukan alumni UI? Rupanya yang membuat JK at home adalah jaket almamater UI yang berwarna kuning.
Masih tentang JK yang kali ini berkunjung ke IPB (bukan Institut Pak Beye). Terjadi pembicaraan antara Wapres dan Rektor IPB. Dengan percaya diri sang rektor membanggakan bahwa alumnus IPB tersebar dan hebat dalam berbagai bidang. “Alumnus kami hebat di berbagai berbagai profesi dari wartawan sampai presiden,” ujar rektor. Dengan santai JK menimpali, “Ya alumnus IPB hebat di mana-mana, kecuali bidang pertanian.”
Berikut cerita tentang Fadjroel Rachman, yang kekeh sumekeh mencalonkan diri menjadi presiden 2009-2014 melalui jalur independen. Meski begitu, Fadjroel cukup berkeringat berusaha menggolkan capres independen melalui yudicial review UU Pilpres di Mahkamah Konstitusi. Karena perjuangan yang tak kenal lelah, para wartawan menjuluki Fadjroel punya partai baru namanya MK.
Lain Fadjroel lain pula Garin Nugroho yang mendukung Sri Sultan Hamengkubuwono X. Garin kini sibuk berkeliling nusantara mendampingi Sultan. Bukan dalam rangka membuat film Capres di Bawah Bantal, Opera Pemilu atau Sultan dan Sepotong Roti. Melainkan Garin adalah konsultan politik HB X yang telah mendeklarasikan diri sebagai capres. Sebagai konsultan, dikongkon-kongkon (disuruh) Sultan, Garin bangga dipanggil Ngarso Luar. Sedangkan HB X oleh rakyatnya dipanggil Ngarso Dalem.
Rumor dan humor adalah bagian dari komunikasi politik. Praktik komunikasi politik selalu mengikuti sistem politik yang berlaku. Di negara yang menganut sistem politik tertutup, komunikasi politik pada umumnya mengalir dari penguasa ke rakyat. Penerapan pendekatan ini memang bukan satu-satunya, namun yang dominan dilaksanakan adalah top down. Untuk mewujudkan paradigma tersebut, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat transmisional.
Kini, di era reformasi, komunikasi politik antara elite legislatif, eksekutif, dan yudikatif relatif seimbang. Muatan pesan politik yang disampaikan pada umumnya untuk mewujudkan kepentingan elite sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat. Jadi, meski sistem politik berubah dari sistem tertutup ke sistem terbuka, namun pendekatan komunikasi politik cenderung tidak berubah. Karena itu rumor dan humor masih muncul melengkapi komunikasi politik.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid pernah menulis kolom di majalah Tempo edisi Desember 1981 yang kemudian dijadikan judul buku kumpulan kolomnya, “Melawan Melalui Humor” (PDAT Tempo, 2000). Menurut Gus Dur, lelucon merupakan wahana ekspresi politis yang menyatukan bahasa rakyat dan mampu mengidentifikasikan masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan. Selain itu, lelucon juga memiliki kemampuan menggalang “musuh bersama”. Karena itu, fungsi perlawanan kulturalnya menunjuk kepada kesadaran yang tinggi untuk menyatakan apa yang benar sebagai kewajiban tak terelakkan.
Jika mengacu pendapat Gus Dur, masyarakat akan membuat lelucon dengan tokoh yang paling dibenci. Pada Orde Baru mantan Presiden Soeharto paling sering dihumorkan. Kini ketika otoritarianisme sudah tak ada, mereka yang dirumorkan dan dihumorkan adalah pejabat pemerintah atau pejabat publik yang tak pro rakyat atau ingkar janji. Mereka bisa anggota DPR, gubernur, bupati, walikota, menteri, sampai presiden.
Kata orang bijak, seseorang bisa disebut waras, lebih pintar dan lebih maju jika sudah bisa menertawakan sikap dan perbuatannya masa lalu. Bangsa Indonesia jika mau disebut dewasa, tentu harus mampu menertawakan kekonyolan pemilu!
Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Komunikasi Politik, Universitas Indonesia
Sabtu, 07 Februari 2009
Yoyo, Gangsing dan Kampanye Negatif
Oleh : Tri Agus S Siswowiharjo*
Berbalas iklan politik mulai memanas menjelang Pemilu 2009. Iklan Partai Demokrat yang mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menurunkan harga BBM tiga kali, dibalas oleh iklan serupa oleh PDI Perjuangan. Megawati Soekarnoputri bahkan menyerang pemerintah memperlakukan rakyat seperti yoyo, dan dijawab pengurus Partai Demokrat, justru pada saat pemerintah Megawati rakyat diperlakukan seperti gangsir - hanya berputar di tempat tak kemana-mana (Tempo, 30 Januari 2009). Kampanye negatif, saling menyerang, kini mulai akrab bagi kita, melalui tayangan di televisi maupun di media cetak. Bermanfaatkah kampanye negatif bagi masyarakat yang hendak memilih?
Sesungguhnya tak ada definisi yang diterima secara universal tentang iklan negatif. Namun pada dasarnya ia lebih berfokus terhadap pesaing daripada terhadap kandidat. Ini berarti, iklan negatif berkonsentrasi pada apa yang salah pada pesaing, baik secara personal atau dalam hal sikap terhadap isu atau kebijakan. Kendati banyak ahli sepakat bahwa iklan negatif adalah tidak etis, namun ada banyak peneliti berpendapat bahwa iklan negatif justru menyajikan kepada pemilih informasi yang baik dan solid sebagai dasar pengambil keputusan. Karena itu tak salah jika para konsultan politik sering menamakan iklan negatif sebagai “comparative” atau “contrast” yang membantu pemilih menilai kekuatan dan kelemahan para kandidat.
Menurut pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Dedy Nur Hidayat, kalau hanya berbalas pantun, sama sekali tidak mendidik. Harusnya adu argumentasi agar publik mengetahui alasan masing-masing pihak. Bagi Dedy, iklan Megawati sudah masuk kategori kampanye negatif, saling menyerang. Satu kandidat menawarkan suatu program kemudian dibalas oleh kandidat yang lain. Memang itu seharusnya, agar rakyat bisa memilih. Kalau hanya sebatas iklan politik, sama sekali tidak mendidik. Karena tidak terjadi proses pendidikan politik, tidak meningkatkan kualitas pemilih. Mungkin masyarakat akan memilih hanya karena image yang mereka tampilkan, tapi mereka tidak melakukan pilihan berdasarkan argumentasi yang rasional dan yang bisa diterima.
Kampanye negatif juga tak terhindarkan pada pilpres 2004. Menjelang dan selama kampanye capres 2004, media tiba-tiba mendapat isu menarik tentang Wiranto dan keterlibatannya dalam Pam Swakarsa. Organisasi ini didirikan untuk membantu mengamankan Sidang Umum MPR 1998, khususnya untuk menghadapi demonstrasi mahasiswa. Media sangat antusias menangkap isu yang dilontarkan Mayor Jendral Kivlan Zen, yang diketahui sebagai mantan koordinator pembentukan Pam Swakarsa. Kivlan Zen yang kecewa karena uang pembentukan Pam Swakarsa belum dibayar Wiranto, saat itu Panglima TNI, ternyata dekat dengan Prabowo Subianto, rival Wiranto di Angkatan Darat dan konvensi Partai Golkar. Kiprah Kivlan Zen ini ditengarai sebagai kampanye negatif melalui media untuk menyudutkan Wiranto.
Usai persoalan Pam Swakarsa, Wiranto kembali ‘diserang’ dengan beredarnya VCD anti-Wiranto bersampul pagelaran Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Dalam VCD itu mulanya delapan menit lagu Menuju Bintang yang dinyanyikan Fery, juara AFI. Setelah itu muncul gambar tragedi Semanggi dan Trisakti dan wajah Wiranto. Disusul kemudian teks berjalan dengan kalimat “Adili Jendral (purn) Wiranto. Tolak Capres dari militer” “Anda ingin peristiwa Semanggi dan Trisakti terulang kembali? Jika iya maka: pilih SBY atau Wiranto sebagai presiden kita. Dijamin Indonesia banjir darah.”
Partai Hanura pernah memasang iklan politik dengan Wiranto sebagai bintang iklannya. Dalam iklan itu dicantumkan jumlah rakyat miskin Indonesia 49,5 persen. Wiranto mengaku tak bermaksud mendiskriditkan pihak mana pun. “Iklan itu adalah ajakan kepada seluruh elemen bangsa untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan,” ujar Wiranto (Kompas, 21/12/2007). Iklan itu menjadi polemik menarik. Dari soal data yang digunakan sampai dugaan upaya kampanye negatif menyerang pemerintah. Presdien SBY beralasan, perhitungan yang benar menggunakan data BPS 2007, di mana orang miskin 16,5 persen.
Kampanye negatif pada Pilpres di Amerika Serikat 2008 juga marak terjadi. Salah satu yang terkenal adalah iklan Partai Republik, di mana Barack Obama, diperlihatkan di depan ratusan ribu penggemarnya saat berceramah di Berlin, Jerman. Foto menggiurkan Britney Spears dan Paris Hilton diselipkan dalam film singkat itu, seolah mereka hadir di Berlin. Lalu ada suara menimpa, bertanya dengan nada menakutkan, ”Dia selebriti terbesar di dunia, tetapi apakah dia siap memimpin?” Tim kampanye Obama juga membuat iklan yang menyerang McCain. Digambarkan McCain yang kaya raya memiliki tujuh rumah, karena itu tak layak menempati rumah baru berikutnya, White House di Washington.
Berguna bagi publik?
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali dalam diskusi "Dengan Iklan Politik Menuju Kontrak Politik" di Jakarta, (19/11/2008), mengungkapkan dua hingga tiga bulan terakhir sebelum 2009 model dan muatan iklan politik sebatas perkenalan, belum menyerang (attacking), atau membandingkan (contrasting) . "Mungkin, sekitar Januari baru akan terlihat kampanye yang bersifat menyerang. Perkenalan ke arah kontrak politik sudah, misalnya Gerindra yang sudah melangkah dari branding," ujarnya. Apa yang diramalkan Effendi Gazali terbukti, kini iklan politik saling menyerang hadir di sekitar kita. Meski demikian, lanjut Effendi Gazali, kampanye negatif tak perlu dicemaskan, bahkan wajib kehadirannya. Karena, tujuan akhir dari komunikasi politik adalah well informed citizen.
Di tengah meningkatnya iklan politik, praktisi periklanan dan media dituntut untuk taat kepada etika moral dan tanggungjawab profesi. Mereka harus berani memilah dan memilih materi iklan yang mencerdaskan bukan mencederai akal sehat pemilih. Menyerang pesaing mungkin bisa dibenarkan dan akan berguna bagi calon pemilih asal dengan argumentasi yang masuk akal. Semua akan terpulang kepada pemilih yang makin cerdas menentukan mana iklan politik mencerahkan atau hanya dialamatkan kepada perasaan, menyederhanakan persoalan karena keterbatasan waktu dan dana, menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui publik, sampai memakai manipulasi teknologi.
Dengan demikian, iklan negatif, sejauh mempunyai argumentasi yang tepat, faktual dan cerdas, sebenarnya bisa bermanfaat bagi calon pemilih. Karena pemilih butuh pembanding untuk menilai kekuatan dan kelemahan kandidat. Iklan negatif membantu kita memilah dan memilih calon pemimpin. Kita menjadi mengerti siapa yang sebenarnya yoyo dan siapa yang sejatinya gangsing. Kualitas pemimpin juga makin terkuak melalui iklan yang saling menyerang. Pendek kata, kampanye negatif, menjadikan publik well informed citizen.
Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Komunikasi Politik, Universitas Indonesia
Berbalas iklan politik mulai memanas menjelang Pemilu 2009. Iklan Partai Demokrat yang mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menurunkan harga BBM tiga kali, dibalas oleh iklan serupa oleh PDI Perjuangan. Megawati Soekarnoputri bahkan menyerang pemerintah memperlakukan rakyat seperti yoyo, dan dijawab pengurus Partai Demokrat, justru pada saat pemerintah Megawati rakyat diperlakukan seperti gangsir - hanya berputar di tempat tak kemana-mana (Tempo, 30 Januari 2009). Kampanye negatif, saling menyerang, kini mulai akrab bagi kita, melalui tayangan di televisi maupun di media cetak. Bermanfaatkah kampanye negatif bagi masyarakat yang hendak memilih?
Sesungguhnya tak ada definisi yang diterima secara universal tentang iklan negatif. Namun pada dasarnya ia lebih berfokus terhadap pesaing daripada terhadap kandidat. Ini berarti, iklan negatif berkonsentrasi pada apa yang salah pada pesaing, baik secara personal atau dalam hal sikap terhadap isu atau kebijakan. Kendati banyak ahli sepakat bahwa iklan negatif adalah tidak etis, namun ada banyak peneliti berpendapat bahwa iklan negatif justru menyajikan kepada pemilih informasi yang baik dan solid sebagai dasar pengambil keputusan. Karena itu tak salah jika para konsultan politik sering menamakan iklan negatif sebagai “comparative” atau “contrast” yang membantu pemilih menilai kekuatan dan kelemahan para kandidat.
Menurut pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Dedy Nur Hidayat, kalau hanya berbalas pantun, sama sekali tidak mendidik. Harusnya adu argumentasi agar publik mengetahui alasan masing-masing pihak. Bagi Dedy, iklan Megawati sudah masuk kategori kampanye negatif, saling menyerang. Satu kandidat menawarkan suatu program kemudian dibalas oleh kandidat yang lain. Memang itu seharusnya, agar rakyat bisa memilih. Kalau hanya sebatas iklan politik, sama sekali tidak mendidik. Karena tidak terjadi proses pendidikan politik, tidak meningkatkan kualitas pemilih. Mungkin masyarakat akan memilih hanya karena image yang mereka tampilkan, tapi mereka tidak melakukan pilihan berdasarkan argumentasi yang rasional dan yang bisa diterima.
Kampanye negatif juga tak terhindarkan pada pilpres 2004. Menjelang dan selama kampanye capres 2004, media tiba-tiba mendapat isu menarik tentang Wiranto dan keterlibatannya dalam Pam Swakarsa. Organisasi ini didirikan untuk membantu mengamankan Sidang Umum MPR 1998, khususnya untuk menghadapi demonstrasi mahasiswa. Media sangat antusias menangkap isu yang dilontarkan Mayor Jendral Kivlan Zen, yang diketahui sebagai mantan koordinator pembentukan Pam Swakarsa. Kivlan Zen yang kecewa karena uang pembentukan Pam Swakarsa belum dibayar Wiranto, saat itu Panglima TNI, ternyata dekat dengan Prabowo Subianto, rival Wiranto di Angkatan Darat dan konvensi Partai Golkar. Kiprah Kivlan Zen ini ditengarai sebagai kampanye negatif melalui media untuk menyudutkan Wiranto.
Usai persoalan Pam Swakarsa, Wiranto kembali ‘diserang’ dengan beredarnya VCD anti-Wiranto bersampul pagelaran Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Dalam VCD itu mulanya delapan menit lagu Menuju Bintang yang dinyanyikan Fery, juara AFI. Setelah itu muncul gambar tragedi Semanggi dan Trisakti dan wajah Wiranto. Disusul kemudian teks berjalan dengan kalimat “Adili Jendral (purn) Wiranto. Tolak Capres dari militer” “Anda ingin peristiwa Semanggi dan Trisakti terulang kembali? Jika iya maka: pilih SBY atau Wiranto sebagai presiden kita. Dijamin Indonesia banjir darah.”
Partai Hanura pernah memasang iklan politik dengan Wiranto sebagai bintang iklannya. Dalam iklan itu dicantumkan jumlah rakyat miskin Indonesia 49,5 persen. Wiranto mengaku tak bermaksud mendiskriditkan pihak mana pun. “Iklan itu adalah ajakan kepada seluruh elemen bangsa untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan,” ujar Wiranto (Kompas, 21/12/2007). Iklan itu menjadi polemik menarik. Dari soal data yang digunakan sampai dugaan upaya kampanye negatif menyerang pemerintah. Presdien SBY beralasan, perhitungan yang benar menggunakan data BPS 2007, di mana orang miskin 16,5 persen.
Kampanye negatif pada Pilpres di Amerika Serikat 2008 juga marak terjadi. Salah satu yang terkenal adalah iklan Partai Republik, di mana Barack Obama, diperlihatkan di depan ratusan ribu penggemarnya saat berceramah di Berlin, Jerman. Foto menggiurkan Britney Spears dan Paris Hilton diselipkan dalam film singkat itu, seolah mereka hadir di Berlin. Lalu ada suara menimpa, bertanya dengan nada menakutkan, ”Dia selebriti terbesar di dunia, tetapi apakah dia siap memimpin?” Tim kampanye Obama juga membuat iklan yang menyerang McCain. Digambarkan McCain yang kaya raya memiliki tujuh rumah, karena itu tak layak menempati rumah baru berikutnya, White House di Washington.
Berguna bagi publik?
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali dalam diskusi "Dengan Iklan Politik Menuju Kontrak Politik" di Jakarta, (19/11/2008), mengungkapkan dua hingga tiga bulan terakhir sebelum 2009 model dan muatan iklan politik sebatas perkenalan, belum menyerang (attacking), atau membandingkan (contrasting) . "Mungkin, sekitar Januari baru akan terlihat kampanye yang bersifat menyerang. Perkenalan ke arah kontrak politik sudah, misalnya Gerindra yang sudah melangkah dari branding," ujarnya. Apa yang diramalkan Effendi Gazali terbukti, kini iklan politik saling menyerang hadir di sekitar kita. Meski demikian, lanjut Effendi Gazali, kampanye negatif tak perlu dicemaskan, bahkan wajib kehadirannya. Karena, tujuan akhir dari komunikasi politik adalah well informed citizen.
Di tengah meningkatnya iklan politik, praktisi periklanan dan media dituntut untuk taat kepada etika moral dan tanggungjawab profesi. Mereka harus berani memilah dan memilih materi iklan yang mencerdaskan bukan mencederai akal sehat pemilih. Menyerang pesaing mungkin bisa dibenarkan dan akan berguna bagi calon pemilih asal dengan argumentasi yang masuk akal. Semua akan terpulang kepada pemilih yang makin cerdas menentukan mana iklan politik mencerahkan atau hanya dialamatkan kepada perasaan, menyederhanakan persoalan karena keterbatasan waktu dan dana, menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui publik, sampai memakai manipulasi teknologi.
Dengan demikian, iklan negatif, sejauh mempunyai argumentasi yang tepat, faktual dan cerdas, sebenarnya bisa bermanfaat bagi calon pemilih. Karena pemilih butuh pembanding untuk menilai kekuatan dan kelemahan kandidat. Iklan negatif membantu kita memilah dan memilih calon pemimpin. Kita menjadi mengerti siapa yang sebenarnya yoyo dan siapa yang sejatinya gangsing. Kualitas pemimpin juga makin terkuak melalui iklan yang saling menyerang. Pendek kata, kampanye negatif, menjadikan publik well informed citizen.
Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Komunikasi Politik, Universitas Indonesia
Lembaga Survei, Bersatulah!
Oleh: Tri Agus S. Siswowiharjo *)
Salah satu fenomena dalam politik kita lima tahun terakhir ini adalah munculnya lembaga survei, sekaligus produk perhitungan cepat (quick count) pada Pemilu 2004 dan Pilkada-pilkada setelah itu. Jumlah lembaga survei di Indonesia memang baru belasan, tak sebanyak di negara demokrasi baru seperti Philippina atau Korea Selatan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan. Sebagai pemain baru, banyak pihak belum memahami peran lembaga survei, termasuk penyelenggara pemilu, dan sebagian ketua partai politik.
Jika tak ada perubahan, pada 24-25 Januari 2009, sejumlah lembaga survei di Indonesia akan bertemu, bermusyawarah, dan kemungkinan membentuk asosiasi. Asosiasi lembaga survei kehadirannya sangat ditunggu karena melalui asosiasi itu kode etik bisa dibuat dan kemudian ditaati para anggotanya. Jika ada lembaga survei yang ‘nakal’ maka lembaga ini bisa ‘menjewer’.
Kehadiran lembaga survei adalah keharusan bagi negara demokrasi. Studi tentang pendapat umum di Amerika Serikat (AS) telah mengalami perkembangan pesat sejak 1950-an, terutama untuk mengetahui sikap dan preferensi politik masyarakat umum. Pada era 1970-an, metode ini kian populer untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan publik terhadap pendapat umum atau sebaliknya, bagaimana pendapat umum memengaruhi kebijakan publik. Di AS misalnya ada lembaga-lembaga yang sangat terkenal seperti Gallup Poll, Harris Poll, Roper, Crosley Poll, Pew Research Center, dan Rasmussen
Fenomena perhitungan cepat yang dilakukan lembaga survei pada Pemilu 2004 membuka mata kita tentang salah satu pemain baru dalam demokrasi. Hadirnya sekitar 13 lembaga survei – belum termasuk litbang media – cukup meramaikan dan menambah bobot demokrasi di tanah air. Betapa tidak, kini hampir tiap bulan kita dapat mengetahui opini masyarakat mengenai isu-isu yang menyangkut ekonomi, politik, dan sosial. Lembaga survei silih berganti mengadakan konperensi pers, mengumumkan hasil survei tentang berbagai isu, termasuk yang paling ‘seksi’ yaitu soal partai politik atau calon presiden pilihan masyarakat. Namun, seperti pers yang muncul bak jamur di musim reformasi, lembaga survei juga sama. Akan ada seleksi alam, dan hanya yang kompeten dan punya integritas yang akan bertahan.
Persoalan yang muncul kemudian adalah adanya suara-suara ketidakpuasan dari tokoh partai politik atau calon presiden yang menurut survei popularitasnya tak pernah naik. Mereka kesal, lalu menuduh ada lembaga survei bayaran, yang hasilnya bisa dipesan. Selain itu, ada upaya dari KPU untuk mengatur atau membatasi lembaga survei dengan berbagai ketentuan. Sungguh ini kabar buruk bagi lembaga survei sekaligus bagi masyarakat yang mempunyai hak untuk mencari dan mendapatkan informasi. Ada satu atau dua institusi survei yang nakal, lalu coba mengatur dan mengebiri semua lembaga survei. Memang harus diakui, ada institusi survei yang tak memiliki kompetensi, dan lebih buruk lagi, tak mempunyai integritas. Institusi survei yang terakhir ini biasanya membuat survei untuk memberi kepuasan pemesan, dan diumumkan ke publik.
Menurut Hasan Hasbi dari Cirus Surveyors Group, hasil survei dapat menjadi pintu masuk untuk bisnis yang lebih besar, yaitu konsultan politik. Selalu ada godaan untuk menghibur klien, (Kompas, 16/1/09). Selain itu, KPU yang berencana mengatur lembaga survei, bisa dimaknai dua hal. Pertama, KPU menganggap dirinya bak superbody, ingin mengatur semua hal termasuk di luar kewenangan dan kompetensinya. Kedua, KPU ingin mengalihkan perhatian publik dari kelemahan dan kelambatan mereka mempersiapkan Pemilu 2009.
Jika pers telah lama diakui sebagai pilar keempat demokrasi, menurut M Qodari, direktur Indo Barometer, lembaga survei adalah pilar kelima demokrasi. Survey opini publik membantu mendekatkan keputusan-keputusan publik dengan aspirasi publik, dan elit mengetahui keputusan-keputusan yang kurang populer tetapi harus dibuat sehingga perlu dijelaskan kepada publik secara luas. Dengan demikian, pemerintah demokratis akan menjadi semakin legitimate, stabil, bertanggungjawab dan efektif. Survei opini publik menjadi ‘barometer’ aspirasi masyarakat, dan pembuat kebijakan. Tidak perlu menunggu pemilu lima tahun lagi atau referendum untuk mengetahui pendapat masyarakat.
Perselingkuhan Lembaga Survei dan Konsultan Politik
Selain munculnya lembaga pengumpul jajak pendapat, marak pula kehadiran konsultan politik. Seorang konsultan politik adalah seorang profesional kampanye yang terlibat dalam pemberian nasihat dan jasa-jasa kepada para kontestan pemilu, baik berupa jajak pendapat, produksi, dan penciptaan media. Di sinilah kadang konflik interes terjadi, bisa seorang pollster sekaligus konsultan politik.
Fenomena konsultan politik seperti di AS ini juga telah merambah ke tanah air, terutama sejak diterapkannya sistem pemilihan presiden secara langsung pada 2004. Setelah itu, sejak 2005 ketika pemilihan kepala daerah juga dilakukan secara langsung, ‘industri’ tim sukses dan survei ini kian marak.
Konsultan politik harus bersikap profesional dan bersikap jujur tentang aneka kelemahan dari survei yang dilakukan atau dilakukan pihak lain. Mereka juga harus mau bersikap jujur untuk memberitahukan siapa yang mensponsorisurvei dan jajak pendapat yang mereka lakukan. Di AS misalnya, salah satu kode etik yang disepakati melalui Asosiasi Amerika untuk Penelitian Pendapat Publik (American Association for Public Opinion Reserarch) telah mencantumkan keharusan bagi lembaga yang melakukan penelitian pendapat publik. Konsultan politik yang profesional adalah yang mampu mengantarkan kliennya ke tujuan dengan cara-cara yang cerdas, bermartabat, dan efisien.
Dalam setahun terakhir ini banyak survei politik dilakukan lembaga survei yang sudah dikenal masyarakat seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indo Barometer, Cirus Surveyors Group, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Reform Institute, Paskalis UI, Lembaga Riset Informasi, dan lain-lain.
Uniknya, kedua LSI dan Indo Barometer dahulu berasal dari satu institusi yang sama di bawah Denny JA, yaitu Lembaga Survei Indonesia. Dalam perjalanannya, Syaiful Mujani mengundurkan diri dari LSI dan membentuk LSI baru dengan nama yang sama yaitu Lembaga Survei Indonesia, sedangkan Denny JA dan M. Qodari tetap di LSI dengan nama baru Lingkaran Survei Indonesia, baru kemudian M. Qodari pecah kongsi dengan Denny J.A dan kemudian membentuk Indo Barometer.
LSI Syaiful Mujani dan Indo Barometer M Qodari tampaknya memilih di jalur yang memisahkan antara pollster dengan konsultan politik. Hal itu diyakini akan lebih menghasilkan survei yang akurat, kredibel, dan independen. Sementara Denny J.A berpendapat lain. Sah-sah saja bila lembaga survei bergerak sekaligus konsultan politik partai, kandidat presiden atau berbagai kandidat dalam pilkada. Di AS pun, ujar Denny J A, sejak 1970-an konsultan politik yang sekaligus melakukan survei tumbuh bak jamur di musim hujan, yang berdampak negatif bagi fungsi mesin partai karena digantikan para konsultan politik profesional.
Demi profesionalitas, maka integritas dan kompetensi sebuah lembaga survei harus diutamakan. Independensi juga sangat penting. Karena itu, memisahkan antara pekerjaan pollster dengan konsultan politik adalah sebuah keharusan. Namun karena belum ada asosiasi lembaga survei, perselingkuhan antara pollster dan konsultan politik terus berlangsung. Asosiasi lembaga survei sangat perlu segera dibentuk. Di sanalah diatur kode etik profesi - seperti profesi wartawan, dokter, dan pengacara. Kita berharap kehadiran asosiasi akan memantapkan lembaga survei sebagai pilar kelima demokrasi yang kompeten, kredibel, independen, dan mempunyai integritas. Karena itu, lembaga survei Indonesia, bersatulah!
*) penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Komunikasi Politik, Universitas Indonesia
Alamat Surat: Apartemen Margonda Residence B 411
Jl. Margonda Raya, Depok Jawa Barat
HP: 0815 803 1815
Salah satu fenomena dalam politik kita lima tahun terakhir ini adalah munculnya lembaga survei, sekaligus produk perhitungan cepat (quick count) pada Pemilu 2004 dan Pilkada-pilkada setelah itu. Jumlah lembaga survei di Indonesia memang baru belasan, tak sebanyak di negara demokrasi baru seperti Philippina atau Korea Selatan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan. Sebagai pemain baru, banyak pihak belum memahami peran lembaga survei, termasuk penyelenggara pemilu, dan sebagian ketua partai politik.
Jika tak ada perubahan, pada 24-25 Januari 2009, sejumlah lembaga survei di Indonesia akan bertemu, bermusyawarah, dan kemungkinan membentuk asosiasi. Asosiasi lembaga survei kehadirannya sangat ditunggu karena melalui asosiasi itu kode etik bisa dibuat dan kemudian ditaati para anggotanya. Jika ada lembaga survei yang ‘nakal’ maka lembaga ini bisa ‘menjewer’.
Kehadiran lembaga survei adalah keharusan bagi negara demokrasi. Studi tentang pendapat umum di Amerika Serikat (AS) telah mengalami perkembangan pesat sejak 1950-an, terutama untuk mengetahui sikap dan preferensi politik masyarakat umum. Pada era 1970-an, metode ini kian populer untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan publik terhadap pendapat umum atau sebaliknya, bagaimana pendapat umum memengaruhi kebijakan publik. Di AS misalnya ada lembaga-lembaga yang sangat terkenal seperti Gallup Poll, Harris Poll, Roper, Crosley Poll, Pew Research Center, dan Rasmussen
Fenomena perhitungan cepat yang dilakukan lembaga survei pada Pemilu 2004 membuka mata kita tentang salah satu pemain baru dalam demokrasi. Hadirnya sekitar 13 lembaga survei – belum termasuk litbang media – cukup meramaikan dan menambah bobot demokrasi di tanah air. Betapa tidak, kini hampir tiap bulan kita dapat mengetahui opini masyarakat mengenai isu-isu yang menyangkut ekonomi, politik, dan sosial. Lembaga survei silih berganti mengadakan konperensi pers, mengumumkan hasil survei tentang berbagai isu, termasuk yang paling ‘seksi’ yaitu soal partai politik atau calon presiden pilihan masyarakat. Namun, seperti pers yang muncul bak jamur di musim reformasi, lembaga survei juga sama. Akan ada seleksi alam, dan hanya yang kompeten dan punya integritas yang akan bertahan.
Persoalan yang muncul kemudian adalah adanya suara-suara ketidakpuasan dari tokoh partai politik atau calon presiden yang menurut survei popularitasnya tak pernah naik. Mereka kesal, lalu menuduh ada lembaga survei bayaran, yang hasilnya bisa dipesan. Selain itu, ada upaya dari KPU untuk mengatur atau membatasi lembaga survei dengan berbagai ketentuan. Sungguh ini kabar buruk bagi lembaga survei sekaligus bagi masyarakat yang mempunyai hak untuk mencari dan mendapatkan informasi. Ada satu atau dua institusi survei yang nakal, lalu coba mengatur dan mengebiri semua lembaga survei. Memang harus diakui, ada institusi survei yang tak memiliki kompetensi, dan lebih buruk lagi, tak mempunyai integritas. Institusi survei yang terakhir ini biasanya membuat survei untuk memberi kepuasan pemesan, dan diumumkan ke publik.
Menurut Hasan Hasbi dari Cirus Surveyors Group, hasil survei dapat menjadi pintu masuk untuk bisnis yang lebih besar, yaitu konsultan politik. Selalu ada godaan untuk menghibur klien, (Kompas, 16/1/09). Selain itu, KPU yang berencana mengatur lembaga survei, bisa dimaknai dua hal. Pertama, KPU menganggap dirinya bak superbody, ingin mengatur semua hal termasuk di luar kewenangan dan kompetensinya. Kedua, KPU ingin mengalihkan perhatian publik dari kelemahan dan kelambatan mereka mempersiapkan Pemilu 2009.
Jika pers telah lama diakui sebagai pilar keempat demokrasi, menurut M Qodari, direktur Indo Barometer, lembaga survei adalah pilar kelima demokrasi. Survey opini publik membantu mendekatkan keputusan-keputusan publik dengan aspirasi publik, dan elit mengetahui keputusan-keputusan yang kurang populer tetapi harus dibuat sehingga perlu dijelaskan kepada publik secara luas. Dengan demikian, pemerintah demokratis akan menjadi semakin legitimate, stabil, bertanggungjawab dan efektif. Survei opini publik menjadi ‘barometer’ aspirasi masyarakat, dan pembuat kebijakan. Tidak perlu menunggu pemilu lima tahun lagi atau referendum untuk mengetahui pendapat masyarakat.
Perselingkuhan Lembaga Survei dan Konsultan Politik
Selain munculnya lembaga pengumpul jajak pendapat, marak pula kehadiran konsultan politik. Seorang konsultan politik adalah seorang profesional kampanye yang terlibat dalam pemberian nasihat dan jasa-jasa kepada para kontestan pemilu, baik berupa jajak pendapat, produksi, dan penciptaan media. Di sinilah kadang konflik interes terjadi, bisa seorang pollster sekaligus konsultan politik.
Fenomena konsultan politik seperti di AS ini juga telah merambah ke tanah air, terutama sejak diterapkannya sistem pemilihan presiden secara langsung pada 2004. Setelah itu, sejak 2005 ketika pemilihan kepala daerah juga dilakukan secara langsung, ‘industri’ tim sukses dan survei ini kian marak.
Konsultan politik harus bersikap profesional dan bersikap jujur tentang aneka kelemahan dari survei yang dilakukan atau dilakukan pihak lain. Mereka juga harus mau bersikap jujur untuk memberitahukan siapa yang mensponsorisurvei dan jajak pendapat yang mereka lakukan. Di AS misalnya, salah satu kode etik yang disepakati melalui Asosiasi Amerika untuk Penelitian Pendapat Publik (American Association for Public Opinion Reserarch) telah mencantumkan keharusan bagi lembaga yang melakukan penelitian pendapat publik. Konsultan politik yang profesional adalah yang mampu mengantarkan kliennya ke tujuan dengan cara-cara yang cerdas, bermartabat, dan efisien.
Dalam setahun terakhir ini banyak survei politik dilakukan lembaga survei yang sudah dikenal masyarakat seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indo Barometer, Cirus Surveyors Group, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Reform Institute, Paskalis UI, Lembaga Riset Informasi, dan lain-lain.
Uniknya, kedua LSI dan Indo Barometer dahulu berasal dari satu institusi yang sama di bawah Denny JA, yaitu Lembaga Survei Indonesia. Dalam perjalanannya, Syaiful Mujani mengundurkan diri dari LSI dan membentuk LSI baru dengan nama yang sama yaitu Lembaga Survei Indonesia, sedangkan Denny JA dan M. Qodari tetap di LSI dengan nama baru Lingkaran Survei Indonesia, baru kemudian M. Qodari pecah kongsi dengan Denny J.A dan kemudian membentuk Indo Barometer.
LSI Syaiful Mujani dan Indo Barometer M Qodari tampaknya memilih di jalur yang memisahkan antara pollster dengan konsultan politik. Hal itu diyakini akan lebih menghasilkan survei yang akurat, kredibel, dan independen. Sementara Denny J.A berpendapat lain. Sah-sah saja bila lembaga survei bergerak sekaligus konsultan politik partai, kandidat presiden atau berbagai kandidat dalam pilkada. Di AS pun, ujar Denny J A, sejak 1970-an konsultan politik yang sekaligus melakukan survei tumbuh bak jamur di musim hujan, yang berdampak negatif bagi fungsi mesin partai karena digantikan para konsultan politik profesional.
Demi profesionalitas, maka integritas dan kompetensi sebuah lembaga survei harus diutamakan. Independensi juga sangat penting. Karena itu, memisahkan antara pekerjaan pollster dengan konsultan politik adalah sebuah keharusan. Namun karena belum ada asosiasi lembaga survei, perselingkuhan antara pollster dan konsultan politik terus berlangsung. Asosiasi lembaga survei sangat perlu segera dibentuk. Di sanalah diatur kode etik profesi - seperti profesi wartawan, dokter, dan pengacara. Kita berharap kehadiran asosiasi akan memantapkan lembaga survei sebagai pilar kelima demokrasi yang kompeten, kredibel, independen, dan mempunyai integritas. Karena itu, lembaga survei Indonesia, bersatulah!
*) penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Komunikasi Politik, Universitas Indonesia
Alamat Surat: Apartemen Margonda Residence B 411
Jl. Margonda Raya, Depok Jawa Barat
HP: 0815 803 1815
Langganan:
Postingan (Atom)