Selasa, 22 Januari 2008

Menularkan Pengalaman Berdemokrasi ke Myanmar

Kebrutalan junta Myanmar telah mengundang kecaman dunia. Tidak hanya menyulut ketidakstabilan keamanan, kediktatoran penguasa militer di Myanmar juga menggoyahkan perekonomian negara. Tetapi entah mengapa, kekerasan tiada henti-hentinya melanda negara itu, termasuk serangan bom beruntun beberapa hari terakhir.

Pascademonstrasi antikenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) pada September 2007 yang dimotori aktivis prodemokrasi dan biksu, memang belum ada lagi demonstrasi besar-besaran di Myanmar. Bisa jadi karena para aktivis masih banyak yang dipenjarakan.
Manajer Kampanye/Program Koalisi Masyarakat Sipil untuk Burma (KMSuB) Tri Agus S.Siswowiharjo yang memiliki banyak kontak ke sana, membenarkan bahwa masih banyak aktivis dan biksu yang ditahan. Sebanyak 106 aktivis perempuan masih dipenjara, dan hanya satu yang dilepas karena mau melahirkan. "Tidak terlampau banyak perubahan terjadi di Myanmar. Suasana mencekam masih ada," tambahnya.

Tidak legowo
Suka atau tidak, upaya-upaya internasional untuk menekan Myanmar tidak terlampau berhasil. "Ada ketidakrelaan junta untuk menerima perubahan secara legowo," ungkap Tri Agus. Kalau dicermati, sebenarnya desakan internasional sudah ada sejak lama, sejak junta militer menganulir pemilu bulan Mei 1990 yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di bawah pimpinan Aung San Suu Kyi. Sejak itulah, demokrasi di Myanmar sudah sepenuhnya disandera.

Tidak hanya demokrasi, rakyat Myanmar pun selama bertahun-tahun disandera junta. Ironisnya, ASEAN jadi ikut "tersandera", ketika Myanmar diputuskan diterima untuk bergabung ke dalam keluarga ASEAN pada 1997. Padahal, ketika awal bergabung dengan ASEAN, Myanmar berjanji membenahi demokrasi.
Tetapi, harapan sebatas jadi angan-angan. Mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad, yang memainkan peranan kunci di dalam membawa Myanmar masuk ASEAN pada 1997, ikut kecewa.

Sebagai salah satu dari segelintir negara anggota ASEAN yang terbilang demokratis, posisi Indonesia jadi penting. Indonesia, sebagaimana disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam KTT ke-13 ASEAN di Singapura pada November 2007, ingin membagikan pengalaman berdemokrasi. Pertanyaannya, bisakah pelajaran dari Indonesia "mengusik" kesadaran berdemokrasi junta militer?

Tidak bisa dimungkiri, Indonesia ketika masih berada di bawah kepemimpinan Soeharto, dianggap big brother oleh negara-negara lain di lingkungan ASEAN. Indonesia sebagai big brother punya kekuatan TNI (dulu ABRI) yang sangat kokoh. Tri Agus berpendapat, keberadaan TNI yang dijadikan role model tidak lepas karena adanya Pancasila, UUD 1945, dan Dwifungsi ABRI. "Itulah yang dicoba Presiden Yudhoyono untuk ditawarkan ke Myanmar tentang bagaimana sebaiknya junta memposisikan diri, yakni dengan ber-dwi fungsi. Ini keliru besar sebenarnya," ungkap Tri Agus menandaskan.

Memang tidak secara tegas disebutkan konsep Dwifungsi adalah yang ditawarkan Indonesia kepada Myanmar. Tetapi, arah tawaran itu sangat jelas tergambar ketika Pemerintah Indonesia lebih banyak berkomunikasi dengan kubu Than Shwe ketimbang dengan kelompok prodemokrasi. "Seakan berasumsi kalau Than Shwe bisa diubah, maka perubahan juga akan terjadi di Myanmar. Dominasi militer dimungkinkan berubah dengan Dwifungsi. Sejarahnya di Indonesia kan juga begitu," ungkap Choirul Anam, aktivis HAM yang kini aktif di Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM).

Mengacu pengalaman di Indonesia, dwi fungsi ABRI masih memberikan peran politik sipil. Kalangan sipil diperbolehkan ikut bermain politik, meskipun perannya masih minim dan aktornya masih dipilih.

Kendati demikian, menurut Anam, tidak ada jaminan demokratisasi dapat bergulir di Myanmar. Ketika konsep Dwifungsi diterapkan, militer tetap diletakkan pada sentral politik di Myanmar. Alhasil, ini tidak mengubah apa-apa. "Bahwa ada sedikit peluang bagi sipil untuk terlibat di politik, barangkali ya. Tetapi sipil mana yang diberi peluang berpolitik? Kalau kroni-kroni junta sendiri yang diajak berpolitik, sementara oposisi dipenjarakan, ya percuma saja," tandas Anam.
Apalagi, Dwifungsi ABRI di sini sudah terbukti gagal. Kegagalan militer di Indonesia mewujudkan sistem bernegara yang demokratis sudah terbukti. Meminggirkan militer dan menciptakan supremasi sipil tidak secara otomatis akan mewujudkan sistem bernegara yang demokratis.

Pendapat serupa disampaikan oleh Ketua Kaukus Parlemen ASEAN untuk Myanmar Djoko Susilo. Ia berpendapat, sulit untuk menerapkan pengalaman berdemokrasi di Indonesia kepada Myanmar. "Konteksnya berbeda sama sekali," kritik Djoko Susilo. Ketika perubahan politik terjadi di Indonesia pada 1998, gerakan masyarakat sipil Indonesia sudah benar-benar kuat.
Tidak bisa dibantah lagi, martabat ASEAN secara keseluruhan terhadap PBB jatuh di saat penyelenggaraan KTT ke-13 ASEAN di Singapura. Hanya didesak PM Thein Sein, ASEAN akhirnya bersepakat tidak menerima Gambari dalam sebuah sesi informal sekalipun. "ASEAN tidak bisa bersikap tegas untuk mengatakan 'tidak' pada desakan Thein Sein. Harusnya ada leadership semacam itu," kata Direktur Eksekutif HRWG Rafendi Djamin, yang ikut hadir di Singapura mengikuti penyelenggaraan KTT. "Indonesia seringkali bilang concern terhadap isu Myanmar. Tetapi, seringkali terjebak di retorika. Apa yang dilakukan Indonesia tidak maksimal dalam menggunakan instrumen-instrumen yang ada, baik instrumen di DK-PBB maupun Dewan HAM," kata Rafendi.

Patut Didorong
Sebagai anggota Dewan HAM, Indonesia seharusnya bisa berperan aktif menyelesaikan krisis Myanmar dengan cara mengawal pelaksanaan butir-butir resolusi Dewan HAM. Salah satu butir resolusi adalah seruan agar seluruh tahanan politik, khususnya Aung San Suu Kyi, agar dibebaskan. Gagasan kerja sama segitiga (triangular cooperation) di antara ASEAN-PBB-Tiongkok, sebagaimana diusulkan Indonesia dalam KTT ke-13 ASEAN di Singapura, patut pula didorong. Tiongkok dapat diharapkan, karena ia punya pengaruh kuat atas Myanmar.
Indonesia, menurut Rafendi, juga diharapkan dapat lebih aktif untuk mendekati Myanmar, misalnya lewat dialog serta pengiriman utusan khusus.

"Lebih baik lagi apabila Presiden Yudhoyono dapat pergi mengunjungi Aung San Suu Kyi, serta ketemu dengan kelompok-kelompok demokrasi yang lain. Ruang politik sipil yang lebih besar akan semakin terbuka," kata Rafendi. Indonesia di sisi lain juga harus terus berdemokratisasi. Jangan sampai, Indonesia mencoba menawarkan pelajaran berdemokrasi ke negara tetangga, tetapi dia sendiri masih dalam situasi transisi! [SP/Elly Burhaini Faizal]
Last modified: 18/1/08 (Suara Pembaruan)

Tidak ada komentar: