Sabtu, 09 Februari 2008

Pledoi Tri Agus S Siswowihardjo (1995)

*************************************************
JAMAN EDAN: SAK BEJA BEJANE WONG WARAS ISIH LUWIH BEJA WONG EDAN NING KUASA

Pleidoi Tri Agus S. Siswowihardjo Dibacakan didepan sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

"UNTUK DEMOKRATISASI DAN PEMBAHARUAN"
***************************************************
BAB I : PENDAHULUAN
- Ucapan Terimakasih - Pengantar Ke arah Pembahasan Perkara - 50 thn RI
BAB II : AKU DAN PIJAR
- Aku dan Didaktika - Aku dan Pers Mahasiswa - Aku dan Pijar - Aku dan KDP
BAB III: KACAU DAN SOEHARTO
- Dari 1966 - 1995 - Berbagai kekacauan : Politik, Ekonomi, Hukum, dll.
BAB IV : PENUTUP
- Bantahan terhadap tuntutan - Konklusi - Permohonan - Himbauan
********************************************
BAB I PENDAHULUAN
Majelis Hakim, Jaksa Penuntut, Tim Pembela, dan kawan-kawan pro demokrasi, juga para intel dan petugas keamanan
Sebelum saya membacakan isi dari pleidoi ini, saya ingin mengingatkan hadirin sekalian bunyi hukum resmi yang berlaku di negeri ini.
Dua Pasal
Pasal 1 (satu) :
Soeharto tidak pernah mengacaukan negeri ini
Pasal 2 (dua) :
Kalau Soeharto mengacaukan negeri ini, lihat pasal 1 (satu)
Tibalah saatnya saya membacakan pembelaan pada persidangan yang mengundang dan mengandung ironi ini. Namun, sebelum saya membahas materi pleidoi lebih lanjut, saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada para saksi, baik saksi jaksa maupun saksi ahli. Terima kasih dan penghargaan yang tinggi juga saya sampaikan kepada Tim Pembela yang tergabung dalam Komite Pembelaan untuk Kebebasan Berpendapat yang dibantu dengan setia dan berdedikasi oleh Beta Ramses dan N. Riyanti. Bagus !

Kepada segenap aktivis pro demokrasi yang tetap konsisten pada perjuangan demokratisasi, saya bangga dengan perhatian dan dukungan kawan-kawan semua. Terima kasih khusus saya sampaikan kepada 21 mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Indonesia dan Nuku Soleiman, berkat kalian kami (saya dan 3 kawan AJI) lebih mendapat tempat di hati petugas Rutan Salemba maupun penghuni lainnya. Itulah sebabnya, saya berpesan untuk Sri Bintang Pamungkas, Bondan Gunawan dan mungkin kawan-kawan yang hadir disini , jangan khawatir jika terpaksa harus "kost" dipondok Salemba Indah.

Khusus kepada majelis hakim di PN Jakarta Pusat yang memimpin persidangan ini, saya cukup salut karena ternyata mampu menggelar persidangan dengan cepat, efesien dan murah sesuai harapan KUHAP, meskipun terkesan diburu-buru waktu. Saya berdoa agar majelis hakim yang "otaknya di MA" dan "perut nya di Departemen Kehakiman" itu tetap terjaga kemerdekaan dan kemandiriannya dan terbuka hati nuraninya.

Terakhir, tak lupa saya mengucapkan Selamat Hari Raya Proklamasi yang ke 50 kepada anda semua. Semoga semangat merdeka dan akar kerakyatan mampu mempercepat terjadinya SUKSESI demi demokratisasi.

Majelis hakim yang saya hormati.
Sebagai bahan pertimbangan dalam menilai, menyimpulkan dan memutuskan perkara ini, maka dalam kesempatan pembelaaan ini perkenankanlah saya menyampaikan beberapa hal, berupa fakta dan pendapat baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan perkara ini.
Tuntutan 4 tahun penjara untuk saya, terus terang sudah saya duga sebelumnya. Sejak semula telah dapat kita rasakan adanya invisible hands yang mengatur persidangan ini. Saya tidak terkejut dan heran terhadap apa yang akan menimpa pada diri saya. Ini semua merupakan resiko hidup di jaman orde edan ini, apa lagi sebagai warga negara yang mencoba kritis terhadap penguasa.

Saya justru bangga, karena bisa menunjukkan bahwa sesungguhnya penguasa takut terhadap kritik rakyatnya. Lebih bangga lagi, saya bukanlah orang pertama dan terakhir yang menjadi korban orde baru yang kini makin lama dan tua. Masih ada, bahkan banyak orang akan menyusul seperti saya. Lebih-lebih bangga lagi, kejadian yang menimpa saya tepat disaat bangsa kita memperingati 50 persen merdeka, di tahun Indonesia Cemas.

Memenjarakan saya atau kawan-kawan pro demokrasi lainnya dengan maksud agar jera, kapok tak mau melakukan aktivitas pro demokrasi, adalah perbuatan sia-sia, tidak produktif, dan tidak populer. Menurut saya 4 tahun hanya karena mengutip ucapan Adnan Buyung Nasution dalam sebuah acara dan memuatnya dalam Kabar dari Pijar adalah sebuah ironi. Betapa tidak, disaat keterbukaan di gembar-gemborkan, disaat pesta akbar di rayakan, ternyata ada beberapa anak negeri yang mencintai bangsanya dengan keyakinan politikny a, justru dipenjara.

Majelis hakim dan hadirin yang saya hormati.
Untuk menghantar ke pokok pleidoi, baiklah sepintas saya uraikan kejadian sebelum dan sesudah terbitnya Kabar dari Pijar edisi No. 002 bulan Juni 1994. Begitu majalah Tempo, Editor dan DeTik di breidel, pada 21 Juni 1994, sehari kemudian terjadi demonstrasi ratusan mahasiswa, wartawan, seniman, aktivis LSM dan kelompok masyarakat lainnya. Ada yang berangkat dari kantor redaksi Detik di jalan Gondangdia Lama, ada pula yang berangkat dari gedung LBH. Semua menuju kesatu sasaran: Departemen Penerangan RI di ja lan Merdeka Barat. Keesokan harinya, tgl 23 Juni 1994, terjadi lagi unjuk rasa di kantornya Harmoko yang baru-baru ini memplesetkan Surat Al Fatihah, dengan jumlah massa lebih besar.
Pada malam harinya, di kantor YLBHI Jl. Diponegoro 74 diselenggarakan "malam tirakatan". Tentu saja acara ini sehubungan dengan "meninggalnya" atau lebih tepatnya "dibunuhnya" tiga media massa: Tempo, Detik dan Editor. Demonstrasi dan malam tirakatan itu saya ikuti dari awal sampai akhir. Untuk lebih menggambarkan kejadian malam itu berikut saya ingin mengingatkan:
Malam kemarin (Kamis, 23 Juni 1994) dikantor LBH di gelar "Malam Tirakatan" kasus pembreidelan Tempo, Editor dan Detik. Acara yang dimulai Jam 20.00 WIB itu di hadiri oleh ratusan eksponen pro-demokrasi. Tampak ditengah peserta tirakatan ala lesehan itu Adnan Buyung Nasution, Dr. T. Mulya Lubis dan Drs. Mulyana W. Kusuma sebagai tuan rumah, Eros Djarot dan Christine Hakim dengan "pasukannya" dari Detik, Idrus F Sahab dari Editor serta beberapa wartawan Tempo. selain itu hadir Daniel Dhakidae (Kompas/Fordem) , Zulkarnaen dan Dedi Triawan (Walhi), Agus Lenon (PIPHAM), Sunarti (SBSI), Semsar Siahaan (pelukis), Syamsunar (FAMI), Bob Reinaldy (FKPMJ), Yuli (PRD) dan Beathor (PIJAR).
Acara non-formal yang agak kaku ini dibuka Mulyana. Menurut direktur YLBHI itu, malam tirakatan bertujuan mempertegas sikap bahwa musibah atas Tempo, Editor dan Detik bukanlah musibah pers semata, tetapi merupakan tragedi nasional yang menimpa demokrasi Indonesia.
Masing-masing wakil dari ketiga media massa memberikan pernyataan. Eros Djarot kurang setuju jika ada yang mengucapkan duka cita atas musibah detiknya. "Bagi kami tidak sekedar Detik hidup lagi", ujarnya. Kini yang kami perjuangkan, tambahnya, adalah pencabutan Lembaga SIUPP yang jelas-jelas ilegal, sebab bertentangan dengan Undang-Undang No. 21 tahun 1982 Tentang Pers.
Wakil dari Tempo dan Editor menyatakan salut dan terima kasih atas solidaritas hadirin atas musibah demokrasi ini. Mereka sepakat dan berharap agar momentum ini menjadi bola salju yang semakin besar sehingga kekuatan anti demokrasi yang menguasai negeri ini akan terlibas.
"Tentang SIUPP yang ilegal itu, Luhut Pangaribuan sedang menyiapkan para Advokad untuk menuntut agar Mahkamah Agung menguji produk-produk hukum yang saling bertentangan", kata DR. Todung Mulya Lubis. Untuk itu, lanjut Mulya, kami dan teman-temaan Advokad akan melakukan demonstrasi alegoris, pawai bertoga dari LBH ke gedung Mahkamah Agung.

Daniel Dhakidae, pengamat pers yang ogah disebut pengamat, memandang keputusan pembreidelan atas tiga media massa adalah penghinaan terhadap bangsa Indonesia. "Mana buktinya media massa mengganggu stabilitas nasional?", tanya wartawan senior Kompas ini. Dari FAMI tampil Samsunar asal Jombang. "Sudah jelas, petani digusur, mahasiswa, buruh ditindas, kini pers dibungkam, hanya ada satu kata: Lawan!", ujar Sam lantang.
Wakil dari PRD mengingatkan agar jangan ada kesan media massa mengemis SIUPP. Kebebasan itu hak milik kita, bukan pemberian penguasa. Selain itu, PRD telah menyiapkan massanya untuk aksi mogok makan demi perjuangan pro demokrasi. Dari PIJAR, Beathor menegaskan bahwa lawan kita semakin jelas yaitu penguasa tua dan pikun. Sehingga ujar "demonstran karir" ini lewat momentum tragedi pers ini agar diperkokoh persatuan antar kelompok pro demokrasi dari aliran manapun.

Sambutan terakhir malam tirakatan disampaikan oleh DR. H. Adnan Buyung Nasution. Setengah menyimpulkan apa yang telah diungkapkan oleh pembicara sebelumnya, Abang Buyung mengatakan bahwa negeri ini kian kacau. Penguasa menafsirkan hukum dengan bahasa kekuasannya. Sehingga ketidak teraturan hukum terus menerus terjadi di negeri ini. "Coba kita bandingkan kasus Edi Tansil dengan pembreidelan tiga media massa", kata Abang. Edi Tansil yang mengeruk duit 1,3 trilyun rupiah dengan bantuan Sudomo, perusahannya m asih terus berjalan. Ketiga media massa yang kesalahannya tak dijelaskan secara rinci dihantam dengan pembreidelan yang menyengsarakan orang banyak dan menambah sakitnya deokrasi Indonesia. Semuanya kacau, tak jelas. Pada akhir sambutannya Abang Buyung menyimpulkan, "Negeri ini telah dikcaukan oleh seorang yang namanya Soeharto". Tirakatan kemudian ditutup dengan "doa politik" yang dipimpin oleh Gufron dari SBSI.

Itulah sesungguhnya yang terjadi di malam tirakatan, Kamis 23 Juni 1994. Beberapa fakta yang terungkap dalam persidangan di bawah sumpah mengatakan:

1. Saksi Eros Djarot, Ir. MS. Zulkarnaen, dan Sunarti membenarkan melihat saya hadir pada malam acara itu.
2. Saksi Eros Djarot, Ir. MS. Zulkarnaen dan Sunarti membenarkan bahwa Adnan Buyung Nasution memberikan sambutan, namun tidak mendengar kalimat "Negeri ini telah dikacaukan oleh seorang yang namanya Soeharto".
3. Adnan Buyung Nasution tidak ingat lagi, situasi waktu itu sedang panas, marah. Ia marah pada sistem yang satu ini, kacau dalam arti ada ketidak aturan, kacau, lalu orang bertanya siapa yang membuat kacau, ya jawabnya Suharto, dia penguasa tertinggi.
4. Saksi Adnan Buyung Nasution mengatakan: "Suasana emosional waktu itu. Saya sendiri juga ikut marah sampai emosional. Saya marah pada Soeharto tapi bukan berarti saya membenci saudara Soeharto. Saya marah pada sistem, karena sudah mengkhianati cita-cita orde baru, karena telah melanggar prinsip negara hukum, tidak konsisten dengan cita-cita orde baru. Dan itu produknya adalah pencabutan SIUPP. Tindakan itu sewenang-wenang, mengada-ngada".
5. Saksi Adnan Buyung Nasution mengatakan: "Karena saya pidato tidak dengan teks tapi pidato atau pernyataan spontan, ekspresi, sikap, ungkapan perasaan dan pikiran saya yang marah pada saat itu bahwa di negeri ini bisa terjadi segala sesuatu tanpa ada aturan main lagi, aturan main dalam arti konstitusi hukum, itu yang saya kemukakan, toh tidak mustahil saya katakan begitu menyinggumg kata presiden Soeharto, tidak mustahil.
6. Saksi Adnan Buyung Nasution mengatakan: "Karena kata-kata saya diambil sepotong-sepotong, jadi bisa saja saya katakan "tidak", kalau saya katakan "tidak" berarti saya akan memberatkan saudara (terdakwa/saya), dan saya tidak mau memberatkan saudara, apa yang sudah ditulis adalah kebenaran sebenarnya".
7. Saksi ahli Atmakusumah mengatakan: "Jurnalism advocacy biasanya menggunakan bahasa yang menyengat dan menggigit, atau keras. Mengapa mereka melakukan cara penyajian demikian. Penerbitan-penerbitan seperti itu meminta perhatian lebih, yang lebih mendalam dari pembacanya, mereka ingin melakukan perubahan-perubahan, mereka ingin meminta perhatian dari masyarakat pembacanya, kepada siapa saja, agar berusaha melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan misi mereka".
8. Saksi ahli Atmakusumah mengatakan: "Jurnalism advocacy itu ingin menggugah hati pembacanya, ada maksud ingin perubahan atau penyadaran atau semacam warning, bahwa ada sesuatu yang harus diubah, semacam early warning, supaya apa yang tertulis itu jangan terulang, jangan terus menerus begitu, seperti yang diinginkan oleh media seperti itu".
9. Saksi ahli Ariel Heriyanto mengatakan: "Dia mengutip karena disini ada yang dijadikan sumbernya, jadi penulis tidak mewakilkan suaranya tetapi suara orang lain yaitu orang yang dikutip".
10. Saksi ahli Ariel Heriyanto mengatakan: "Kalau dikatakan menghina, maka yang menghina adalah orang yang dikutip, yang menjadi sumbernya. Kalau ini melucu, apa yang melucu, bukan orang yang menulis tapi apa yang ditulis, jadi ada berbicara tentang orang lain yang mengatakan".

Tapi meskipun sudah gamblang terungkap dipersidangan bahwa saya tidak merekayasa atau mengada-ada dengan menulis/mengutip orang lain atas kemauannya sendiri, namun Jaksa Penuntut Umum tetap menyimpulkan bahwa kalimat Adnan Buyung: "Negeri ini telah dikacaukan oleh seorang yang bernama Soeharto" seolah-olah diucapkan oleh DR. Adnan Buyung Nasution, SH., pada malam tirakatan 23 Juni 1994.

Selain itu, Jaksa Penuntut Umum menyimpulkan bahwa saya dengan sengaja menghina Presiden Soeharto, dengan cara menuliskan kalimat Adnan Buyung Nasution: "Negeri ini telah dikacaukan oleh seorang yang bernama Soeharto". Saya tegaskan disini, kalau memang saya ingin menghina Soeharto mengapa cuma dengan mengutip kata Adnan Buyung Nasution seperti itu? Saya punya segudang kata hinaan untuk Soeharto, tapi saya menunggu momentum untuk menggunakan kata-kata itu.

Dalam hukum sudah jamak dikenal "asas praduga bersalah". Tapi dalam sejarah berkuasanya orde baru belum pernah orang yang didakwa mengkritik atau menentang penguasa dinyatakan bebas. Jadi saya menghadapi semua itu dengan sersan. Serius tapi santai. Pada mulanya saya sempat akan dibela oleh LHI (Lembaga Hukum Indonesia) pimpinan Arwah Setiawan. Tetapi karena pak Arwah sudah menjadi Arwah betulan, rencana itu urung. Tiba-tiba beberapa kawan dari LBH (Lembaga Bantuan Humor) mencoba mendampingi saya. Akhirnya s aya didampingi Komite Pembelaan untuk Kebebasan Berpendapat yang sama-sama kita lihat kebebasan mereka berpendapat dalam perkara ini.

BAB II PIJAR DAN KABAR DARI PIJAR
Majelis hakim, jaksa Penuntut Umum, tim pembela serta kawan-kawan aktivis demokrasi yang saya hormati.
Menilai, menyimpulkan dan memutuskan perkara saya tanpa menghubungkan keberadaan saya di PIJAR merupakan tindakan gegabah. Oleh sebab itu, kiranya penting ditelah keberadaan saya di PIJAR sebelum dan sesudah terbitnya Kabar dari Pijar edisi 002 Juni 1994 yang menghantarkan saya kegerbang Rumah Tahanan Salemba.

Menjadi mahasiswa IKIP Jakarta merupakan kebanggaan saya, meskipun saya kurang tertarik menjadi guru. Bukan saya takut menjadi seperti Umar Bakri atau Pak Guru Sarmun yang sudah tak lagi digugu dan ditiru, tetapi saya khawatir akan menjadi orang yang tak merdeka, tidak mempunyai otonomi. Apalagi, gelar pahlawan tanpa tanda jasa lebih terasa ejekan yang "terus menerus", bukan penghormatan. Dengan pahlawan tanpa tanda jasa, seolah-olah guru memang tak berhak memperoleh tanda jasa itu.

Saya memilih jurusan PMP karena ingin memahami dan mendalami kesenjangan antara Pancasila sebagai cita-cita ideal dengan praktek-praktek yang justru melanggar Pancasila. Saya ingin melihat Pancasila bukan sekedar slogan dan pembenaran bagi praktek otoriter dari si kuasa, tapi adalah kenyataan yang hidup di masyarakat.

Perkenalan saya dengan aktivitas kritis mahasiswa sekaligus perkenalan saya dengan Soeharto, berawal ketika saya menjadi anggota unit pers mahasiswa IKIP Jakarta yang menerbitkan majalah Didaktika tahun 1986. Para senior saya mengatakan bahwa "musuh" pertama kita adalah Soeharto. Saya langsung protes kepada para senior, musuh saya dari dulu sampai sekarang bukan Soeharto tetapi "bangun pagi". Kepada saya juga dikenakan undang-undang yang isinya dua pasal seperti saya kutip pada awal pleidoi ini.

Aktivitas pers mahasiswa membuat pergaulan saya semakin luas, tak hanya kalangan aktivis pers mahasiswa, tetapi juga wartawan, tokoh pers, seniman, intelektual, politisi, serta tokoh pendidikan.

Pada tahun 1989 bersama puluhan aktivis mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta saya ikut mendirikan PIJAR. Organisasi ini selain mengembangkan keterampilan teknis jurnalistik/pers mahasiswa, juga concern pada masalah demokrasi dan hak azasi manusia. PIJAR secara tegas menyebut dirinya sebagai organisasi politik yang memperjuangkan tuntutan dan aspirasi anggotanya dan rakyat banyak. PIJAR adalah singkatan dari Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi. Mengapa re formasi, bukan transportasi? Sebab jika untuk transportasi maka singkatannya menjadi PIJAT.

PIJAR sering diplesetkan "berpikir jarang". Tak apa-apa. yang penting tindakan, pikiran dan ucapan kami tentang demokratisasi dan HAM di Indonesia dan Timor Leste tetap didengar. Meski untuk itu harus dibayar dengan pemenjaraan beberapa aktivis PIJAR. Penjara bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti tapi adalah membuktikan bahwa sebesar apapun resiko yang dihadapi, perbaikan dan pembaharuan tetap harus diperjuangkan

Bersama-sama kelompok pro-demokrasi lainnya PIJAR bahu membahu melawan sentralisasi kekuasaan, penyeragaman pikiran, pengendalian kemajemukan dan pemasungan kesadaaran kritis. Kabar dari Pijar (KDP) yang diterbitkan oleh PIJAR, dimaksudkan sebagai sarana informasi dan komunikasi antara aktivis PIJAR dan aktivis pro-demokrasi lainnya. Koran bawah tanah, pers alternatif, atau (samizdat ?) seperti KDP sangat diperlukan di tengah represi penguasa terhadap pers dan rakyat kritis pada umumnya. Terus terang, jurna lisme yang dikembangkan KDP adalah jurnalisme perlawanan. PIJAR telah lama tiba pada suatu titik, dimana tidak ada pilihan lain kecuali terus maju memperjuangkan kehidupan yang demokratis dan adil bagi kita semua. Dan pada titik itu juga, kami sampai pada kesimpulan bahwa untuk mencapai taraf kehidupan demokrasi, perbaikan hak asasi, dan kesejahteraan rakyat yang lebih baik; perubahan struktur dan personal adalah suatu prasyarat yang terlebih dulu harus dicapai.

BAB III SOEHARTO DAN KACAU
Majelis hakim, jaksa Penuntut Umum, tim pembela serta kawan-kawan aktivis demokrasi yang saya hormati.
Tahun 1995 ini sungguh tahun istimewa, selain 50 tahun HUT Proklamasi kemerdekaan, juga bertepatan dengan kekuasaan Soeharto 30 tahun, dan 20 tahun penyerangan dan pendudukan Indonesia atas Timor Leste yang sampai saat ini belum diakui PBB, dunia Internasional, dan rakyat Timor Leste sendiri.

Mengapa saya harus berbicara soal Soeharto yang oleh kalangan aktivis pro-demokrasi diplesetkan menjadi "SUdah HARus TObat" itu, karena integritas jaksa sudah dipengaruhi oleh kalangan elit tertentu, bisa jadi yang benci Soeharto, bisa juga justru "menjilat" Soeharto, dengan menghadapkan kembali PIJAR dengan Soeharto setelah kasus Nuku Soleiman dengan SDSB (Soeharto Dalang Segala Bencana)-nya.

Sebenarnya saya sudah akrab dengan Soeharto. Kalau orang-orang mungkin bangga diundang Soeharto di cendana untuk mengikuti acara ulang tahun setiap tgl 8 Juni, entah sampai kapan. Saya dan aktivis pro-demokrasi di IKIP Jakarta pernah 2 kali (tahun 1991 dan 1992) menyelenggarakan acara ulang tahun pria tua ompong peot dan pikun yang lahir di Godean, Yogyakarta pada tahun 1921 itu.

Dalam acara itu kami mengundang sekitar 90 orang yang namanya Soeharto. Kami sengaja mengundang Soeharto-Soeharto itu lewat surat yang alamatnya kami dapatkan dari buku telpon. Dari separuh yang datang pada umumnya mereka orang Jawa dan bekerja di swasta. Ada juga purnawirawan ABRI dan seorang dokter. Saya sempat berdialog dengan mereka. Ada yang menyesal mempuyai nama Soeharto, tentu saja ada juga yang bangga.

Ketika terjadi pembantaian dilapangan Tian Nan Men yang dilakukan Li Peng atas gerakan pro-demokrasi di China, kemudian terjadi penggantian puluhan nama Li Peng di Hongkong sebagai protes terhadap keberadaan Li Peng. Para Soeharto-Soeharto disini memang tak mengganti nama beramai-ramai. Namun ketika Soeharto tak semakin terkontrol dalam menjalankan pemerintahan disini. Ketika sentralisasi kekuasaan di tangan satu orang, dan kemudian melahirkan tindakan sewenang-wenang, maka meraka malu mempunyai nama Soehar to. Padahal dalam ajaran kepada anak-anaknya, dalam "Butir-Butir Budaya Jawa" Suharto menyatakan "Ojo rumongso bener dhewe, jalaran ing donya iki ora ana sing bener dhewe" (Jangan merasa engkau yang paling benar, sebab di dunia ini tidak ada yang paling benar). "Ojo kumingsun" (Jangan merasa benar dan berkuasa sendiri).

Berbagai kekecewaan ternyata tak hanya diakui dan dirasakan oleh Soeharto-Soeharto tadi. Melainkan seluruh rakyat yang mendambakan perubahan baik politik maupun ekonomi. Lamanya memerintah Republik ini menimbulkan kebosanan baik terhadap sistem yang semakin personal maupun terhadap Soeharto sendiri. Tak heran jika ada statemen yang mengatakan: "Tidak benar Soeharto ingin menjadi presiden seumur hidup. Yang benar Ia ingin menjadi presiden sampai mati". Kalau ada pertanyaan mengapa presiden tak ganti-ganti? Bagaimana bisa diganti kalau persyaratannya berat yaitu: 1) Ia harus orang Islam, 2) Dari ABRI, 3) Dari Jawa, dan yang paling penting, 4) Berpengalaman menjadi presiden. Tak heran pula banyak orang senang dengan humor seperti ini:
"Tiga orang arkeolog dari Amerika, Inggris dan Indonesia tersesat di piramida kuno di Mesir. Tiba-tiba sebuah mummi yang usianya sudah ribuan tahun bangkit, dan megeluarkan suara yang menakutkan.
"Hai manusia, siapakah kalian dan dari mana asalnya ?" "Namaku george, dari Amerika", kata si Amerika. "Hah.... Amerika? Aku tak kenal negerimu!" "Amerika adalah negara adi kuasa saat ini", tambah si Amerika "Aku tak kenal negerimu. Hei, kamu dari mana?", tanya mummi kepada bule satu lagi. "Aku dari Inggris, tuan mummi", jawab arkelog Inggris itu. "Inggris? Di mana pula negeri itu?" "Inggris adalah negeri yang jajahannya ada di seluruh penjuru mata angin", ujar Si Inggris menyombongkan diri. "Maaf, aku tak kenal bangsamu. Hei, kamu yang pendek sawo matang, dari mana asalmu ?", tanya mummi. "Tuan mummi, saya Danang Kukuh Wardoyo dari Indonesia", jawab Danang kalem. "Haaaaaaah...! Kamu dari Indonesia...? Eh, ngomong-ngomong Soeharto masih jadi Raja Jawa, nggak ?", tanya mummi yang membuat si Amerika dan Inggris melongok-longok dan bengong.

Sekarang, marilah kita menjawab mengapa Soeharto lekat dengan kata kacau. Dalam buku "Indonesian Politics Under Soeharto" yang ditulis oleh Michael R. J. Vatikiotis, terbit di Inggris tahun 1993, dijelaskan, ketika beberapa mahasiswa memberi tahu Sri Sultan Hamengkubuwono IX bahwa Soehartolah yang kini menguasai keamanan negeri ini, dengan tersenyum Sri Sultan berkomentar: "Apakah ia masih mempunyai kebiasaan mencuri?"

Itulah "kekacauan" pertama dari seorang yang bernama Soeharto. Untuk membahas "kekacauan" lebih lanjut kita tak perlu mengundang penyanyi "Imaniar" yang kini jadi janda muda itu. Namun agar pembahasan kekacauan ini tidak malah tambah kacau, maka perlu dijelaskan di sini pengertian dari kacau tersebut. Kekacauan (disorder) merupakan suatu keadaan tidak adanya keteraturan, tidak adanya pelembagaan. Yang ada adalah personalisasi kekuasaan. Kekuasaan yang tunduk pada pribadi sesorang. Ketidak teraturan yang ter cipta karena pribadi seseorang itu jelas merupakan pelanggaran terhadap konsep negara hukum. Tindakan sewenang-wenang dengan mengabaikan hukum yang berlaku, pada dasarnya disebabkan karena kekuasaan tidak terkontrol. Itulah penyebab kekacauan di negeri ini.
Bagaimana kekacauaan itu berawal? Jenderal Soeharto pemegang Supersemar: ---kini ada yang memplesetkan "SUdah PERsis SEperti MARcos"--- mendapatkan kekuasaan dalam krisis politik 30 tahun lalu, didukung oleh angkatan darat. Sebagai seorang militer tulen, tentu saja Ia menggunakan kekuatan militer sebagai senjata utamanya. Begitu Soeharto berkuasa, lebih dari satu setengah juta orang terbunuh dan kurang lebih sejumlah yang sama dipenjara antara Oktober 1965 dan Oktober 1966. Kebanyakan tetap dipenjara samp ai akhir 1970-an tanpa diadili. Bahkan setelah dibebaskan, mereka tetap menjadi warga negara kelas dua. Selama periode yang sama, tidak kurang dari 1.000 orang diadili. Mereka hadir dalam pengadilan-pengadilan militer, dimana hanya terdapat kesempatan sedikit untuk menerima pengadilan yang adil. Beberapa diantaranya dijatuhi hukuman mati dan bahkan sampai 1990 Soeharto memerintahkan eksekusi terhadap orang-orang yang telah dipenjara selama lebih dari 25 tahun.
Pada pertengahan tahun 70-an, tepatnya 7 Desember 1975 Indonesia dikecam dan dipermalukan di mata dunia akibat tindakan inkonstitusional pemerintahan orde baru pimpinan Soeharto yang menyerang dan menduduki Timor Timur. Akibat penyerangan dan pendudukan itu, ratusan ribu korban telah jatuh di kedua belah pihak, baik para martir-martir bangsa Timor Timur yang gugur selama penyerangan dan pendudukan, maupun prajurit-prajurit Indonesia yang gugur demi menebus ambisi, kecurigaan dan kesalah pahaman segelintir pemimpim orde baru atas bangsa Tim-Tim. Orang Timor mempelesetkan TimTim menjdi "Timor Leste Ingin Merdeka Tapi Indonesia Melarang".

Sampai sekarang data yang pasti mengenai jumlah korban sebenarnya belum ada, tapi minimal, seperti yang pernah dikatakan oleh Abilio Soares, Gubernur Timor timur saat ini, "sebanyak 200.000 rakyat Timor Timur kehilangan jiwanya" (wawancara Abilio Soares dengan Editor dan Forum Kedilan, Maret/April 1994). George T. Aditjondro mencatat, pada tahun 1974 penduduk Timor Timur 668.771 orang. Namun, pada 1978 berkurang menjadi 329.771 orang (lihat "Misteri di Kota Ningi", dalam buku Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarm a).

Sampai saat ini Timor Timur menjadi batu kerikil yang tajam bagi diplomasi Indonesia di dunia internasional. Pengakuan Menlu Ali Alatas tersebut menegaskan bahwa soal Timor Timur bukanlah sesederhana seperti yang digembar-gemborkan pemerintah Soeharto. Peristiwa Dili 1991, Liquisa 1994, demonstrasi mahasiswa Timor Timur saat KTT APEC November 1994, ketegangan hubungan Indonesia dengan Australia, menunjukkan betapa soal Timor Timur belun selesai.

Sebelum meninggalkan "kekacauan" di Timor Timur marilah kita dengarkan kisah jam malam di Dili.
"Suatu malam di ibu kota Timor Timur itu sedang diberlakukan jam malam. Siapa saja yang masih berkeliaran di jalan di atas jam sepuluh malam akan di tembak di tempat. Kopral Salimin dan Kardiman, keduanya tentara Indonesia, sedang ngobrol tepat jam setengah sepuluh. Tiba-tiba terdengar: "Dor!" Ternyata Salimin baru saja menembak seorang pemuda. "Kamu ini bagaimana, sekarang kan masih jam setengah sepuluh, kok kamu kamu sudah menembak?", tanya Kardiman. "Emang gue pikirin", jawab Salimin. "Saya kan tahu dia. Dia itu Gomes rumahnya di Tasi Tolu di pinggir kota. Saya yakin perjalanan dari sini ke rumahnya pasti lebih dari setengah jam", lanjut Salimin tenang.

Majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum, tim pembela serta kawan-kawan aktivis demokrasi yang saya hormati.
Seiring dengan perjalanan waktu, ternyata politik kekerasan masih terus digunakan untuk membungkam suara kritis rakyat maupun kriminilitas. Di tahun 1980-an, ribuan orang yang diduga penjahat kambuhan, residivis atau preman bergelimpangan diseluruh negeri. Tiap hari kita mendengar kabar ditemukannya mayat bertatto dalam karung, bersimbah darah tertimpa timah panas. Petrus (penembak misterius) gentayangan diseluruh negeri "wild wild Indonesia", esoknya masyarakat menemukan "matius" (mayat misterius).

Dalam tragedi ini, Soeharto membela diri dengan mengatakan: "Itu untuk shock therapy, supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya" (lihat, Soeharto: Tindakan, Ucapan dan Perbuatan).
Sementara itu LB. Moerdani yang waktu itu Pangab membantah dengan menyatakan mereka adalah korban perang antar geng. Terlepas dari kecaman dunia internasional dan masyarakat yang sadar hukum di dalam negeri yang tertuju pada Soeharto dan LB. Moerdani. Ketika itu di masyarakat beredar "joke" begini: "Kalau anda punya karung, juallah kepada LB. Moerdani, berapa jumlah dan harganya, pasti dibeli".

Peristiwa Tanjung Priok 1984 sampai kini masih tetap menjadi misteri terutama mengenai jumlah korban. Begitu juga tragedi di Aceh, Lampung, Haur Koneng, Nipah dan terakhir di Timika, Irian Jaya. Jelas menunjukkan kekuatan militer adalah jawaban dari setiap perbedan pendapat atau sekedar tuntutan rakyat untuk mempertahankan tanah miliknya.
Dengan contoh diatas, Soeharto bagaikan" Rambo" bagi rakyat sendiri. Tentang Rambo, berikut dialog sesama Rambo : Sylvester "Rambo" Stalone dikalahkan Seharto dalam adu golf di Rawamangun (21-10-94) "Anda hebat, saya kagum dengan anda" kata Soeharto kepada Stallone. "Saya justru kagum kepada anda, jawab Stallone. "Saya cuma main film tak satupun korban jatuh. Andalah Rambo sesungguhnya, saya tahu beberapa jumlah korban setelah anda berkuasa," lanjut Stallone.

Setelah kita melihat "Kekacauan" sebagai akibat dari diterapkannya stabilitas keamanan kaku yang menelan kurban ribuan rakyat, marilah kita kini membahas kekuasaan militer yang digunakan untuk konsolidasi politik.

Tampilnya jenderal Soeharto dalam puncak kekuasaan di Indonesia pada 1965, dibarengi dengan naiknya militer dalam panggung politik di Indonesia. Sipil dianggap telah gagal menjalankan demokrasi di sini, hanya melahirkan perpecahan antar golongan dan daerah. Maka, begitu militer tampil, terjadilah penghijauan (militerisasi) dimana-mana. Dalam guyonannya, George Aditjondro didepan seminar 'bermasalah' tahun lalu, mengatakan: "Kalau jaman kolonial Belanda dulu Indonesia dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal . Kini dijaman Orde Baru, banyak Jenderal jadi Gubernur".

Pemerintahan yang didominasi oleh militer, meski tidak bisa dikatakan bahwa negara secara keseluruhan adalah junta aparat militer, memang juga merekrut orang-orang sipil kedalam posisi manajemen. Maka tampaklah apa yang kemudian dikenal dengan nama "Mafia Barkeley" yang merancang kebijakan ekonomi. Orang-orang yang mempunyai dukungan politik dalam struktur sosial, secara sistematis disingkirkan dari pemerintahan. Pokoknya siapa yang dianggap bisa mempolitisir kelompok-kelompok sosial dicegah dengan segala cara.

Maka mulailah era "pembangunan adalah panglima". Dengan memberikan prioritas pada bidang ekonomi, konsekuensinya adalah depolitisasi dengan segala macam atribut: mayoritas tunggal, massa mengambang, dan sebagainya. Wadah-wadah tunggal dalam berbagai sektor dibentuk untuk mendukung negara, sekaigus mengharamkan organisasi alternatif. KNPI, SPSI, HKTI, HNSI, PWI dan wadah tunggal lainnya bertindak sebagai intrumen patronase dan mobilisasi. Peneguhan untuk memantapkan sistem ini terjadi pada tahun 1985, ketika diresmikan lima paket undang-undang politik.

Majelis hakim, jaksa Penuntut Umum, tim pembela serta kawan-kawan aktivis demokrasi yang saya hormati.
"Pembangunan masih harus dilanjutkan", demikian berulang kali diucapkann Presiden Soeharto. Tapi dalam kenyataannya, pembangunan ekonomi tak dapat dielakkan membawa kesenjangan antara pusat dan daerah, pengusaha kuat dan lemah, dan ketimpangan sosial. Angka pendapatan perkapita menurut Bank Dunia sudah US$ 884 dolar dan tingkat pertumbuhan ekonomi 5% sampai 7% pertahun, namun kemiskinan, keterbelakangan dan ketidak adilan pembagian pendapatan nasioal tetap menjadi masalah besar.

Selama ini pembagunan lebih banyak dinikmati oleh segolongan pengusaha saja. Kepincangan pembagian kue telah terjadi selama ini. Sekitar 20% penduduk kaya di Indonesia ternyata telah menikmati rejeki 60% dari produk nasional bruto. Sedang 60% penduduk miskin haya kebagian 20% (data PDBI).

Masih dari data PDBI, total omset 116 konglomerat Indonesia mencapai 144,5 trilyun rupiah dengan total aset 300 trilyun rupiah. Dibandingkan dengan produk nasional bruto saat ini, ini berarti 48% dan 76%. Bisa dibayangkan bagaimana 30 juta pengusaha menengah dan kecil lainnya memperebutkan serpihan-serpihan kue tersebut.

Sudah bukan rahasia lagi, membesarnya konglomerat adalah karena akses yang sangat dekat dengan penguasa. Sentralisasi kekuasaan berdampak buruk bagi rakyat. Terjadinya kolusi antara pengusaha dengan penguasa, memunculkan manusia hibrida baru bernama penguasaha. Praktek-praktek monopoli, oligopoli, kartel atas komoditi yang sangat dibutuhkan rakyat misalnya: kertas, semen, terigu dan tekstil seakan tak terkendali. Sementara itu penyakit akut bernama korupsi terus menggerogoti negeri ini.

Majalah berpengaruh yang terbit di jerman, Der Spiegel, awal Juli lalu melaporkan hasil penelitian "Trasparancy International", sebuah lembaga penelitian di negara tempat Habibie menuntut ilmu, bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup diantara 41 negara lain di dunia.

Mengapa korupsi sukar diberantas di Indonesia? Karena perilaku kotor tersebut memperoleh teladan dari pemimpinnya sendiri. Sogok-sogokan, suap-suapan, tilep-tilepan menjadi perilaku yang dianggap wajar jika ingin berhasil. Seorang Siswono Yudohusodo menteri yang suka berpuisi itu dengan sinis mensinyalir bahwa saat ini terjadi: "Amenangi Wolak-waliking jaman, mengalami kemelut perubahan jaman". Kata mantan aktivis GMNI: "Ibu Pertiwi meratap sedih melihat anak negeri ini banyak berubah. Nilai-nilai bergeser dan membuat ukuran-ukuran menjadi kacau. Cerdik semakin dekat dengan licik. Jujur semakin dekat dengan bodoh. Ada senyum yang penuh dengan prasangka, ada kebaikan antara pengusaha dan peguasa yang sarat pamrih" (Kompas, Tajuk Recana 2 Juni 1995).

Ya, memang kita sudah memasuki wolak-waliking jaman, jungkir baliknya perubahan jaman. Orang kritis seperti Bambang Warih Kusuma, dianggap tidak sopan. Orang yang sangat mencintai bangsanya namun tak suka penguasanya, seperti Yenni Rosa Damayanti, dicerca dengan tak nasionalis. Orang Kritis terhadap penguasa seperti Sri Bintang Pamugkas dibilang menjual negara. Seorang office boy yang bekerja di AJI yang tak mengerti apa-apa dipenjara 1,8 tahun dengan tuduhan menghina pemerintah. Sementara, orang yang berta nggung jawab terhadap pembunuhaan ribuan rakyat Timor-Timur mejadi pahlawan. Orang yang memalukan bangsanya dengan pelecehan seksual di Selandia Baru dilindungi seperti tak pernah melakukan apa-apa. Orang dituduh menghina Agama seperti Permadi, Arswendo diseret kepengadilan, sementara Harmoko yang memplesetkan AL-Quran tak diperlakukan hal yang sama.

Jaman edan telah datang bersama dengan era gobalisasi ekonomi dan abad komunikasi. Sentralisasi kekuasaan yang menjurus personifikasi kekuasaan juga merambat ditubuh ABRI. ABRI yang sejatinya milik rakyat, justru kini kian jauh dari rakyat. ABRI kian jauh dari cita-cita panglima Soedirman, Ia justru menjadi alat kekuasaan atau pegusaha besar. Promosi pangkat yang tak masuk akal. Semuanya tergantung Soeharto. Prestasi buat tentara saat ini tidaklah penting, lebih utama adalah loyalitas dan kedekatan dengan S oeharto. Tak heran jika di sekeliling Soeharto adalah mereka-mereka bekas ajudan yang belum tentu berprestasi. Wanjakti sebagai salah satu forum kenaikan pangkat telah lama dianggap tak ada oleh seorang Soeharto, petinggi ABRI.

Dibidang hukum, kekacauannya tak kalah mengerikan dibandingkan dengan bidang lainnya. Disatu sisi kemajuan jaman tak bisa dijangkau dengan produk-produk hukum yang telah usur. Disisi lain, memang cita-cita negara hukum masih hanya mimpi, justru negara kekuasaanlah yang menjadi realita. Institusi Yudikatif yang merdeka, dengan mudah dapat dipengaruhi eksekutif hanya dengan sebuah kata himbauan. Putusan-putusan yang selalu merugikan rakyat kecil misalnya dalam kasus Kedung Ombo, Hanock ohe dan kasus-kasus pol itik, membuktikan bahwa kekuasaan kehakiman telah dikacaukan oleh kekuasaan eksekutif.

Sudah bukan rahasia lagi saat ini hakim maupun jaksa berkolusi dengan preman. Plesetan tentang Hakim: "Hubungi Aku Kalau Ingin Menang", atau Jaksa: "Jika Anda Kesulitan Suaplah Aku", dan KUHP: "Kasih Uang Habis Perkara", membuktikan dunia hukum kita kacau.
Bagaimana kekacauan akan kita akhiri bersama ? Karena sumber kekacauan adalah Soeharto sebagai pemimpin negari ini maka tiada kata lain selain harus ada SUKSESI. Kekuasaan cederung korup dan kekuasaan yang mutlak cenderung untuk korup secara mutlak (Lord Acton). Kita harus menghentikan kultus individu. Dan ingatlah hormat dan cita kasih kita pada seorang pemimpin tidak boleh berlebihan sehingga dapat mematikan akal sehat kita.

BAB IV PENUTUP
Majelis hakim yang terhormat, tim pembela serta pendukung demokrasi yang saya cintai.
Sampailah saya pada akhir pledoi ini.

A. Kesimpulan:
Melalui kesaksian Adnan Buyung Nasution sendiri, saksi ahli Ariel Heryanto dan Atmakusumah, jelas saya hanya mengutip kalimat dari Adnan Buyung Nasution yang diucapkan di tirakatan pada tanggal 23 Juni 1994.

Saya hanya melaporkan, menuliskan adanya kekacauan terutama pada kasus pembredelan Tempo, Editor, dan Detik. Namun ternyata, dalam pledooi justru saya dapat menunjukkan kekacauan yang sudah menjurus ke jaman edan.

B. Permohonan :
Kepada majelis yang menyidangkan perkara saya saat ini. Saya tak mengharapkan apa-apa. Jika majelis menjatuhkan hukuman terhadap saya tinggi, saya tak membenci anda sekalian. Kalau majelis menjatuhkan hukuman pada saya rendah, saya juga tak akan memuji-muji anda sekalian. Saya hanya berpesan anda agar anda bertanggung jawab terhadp Tuhan YME dan hati nurani, bukan kepada atasan. Untuk itu saya mencatat sebagian perjalanan hidup saya ini, dan anda sekalian ikut terlibat di dalamnya.

C. Himbauan :
Saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa saya bukanlah orang terakhir yang mengalami pemenjaraan Orde baru seperti sekarang ini. Masih akan ada lagi calon-calon penghina Soeharto. Hal itu akan terjadi, karena memang pada dasarnya Soeharto patut dihina. Untuk itu saya berpesan, agar anda latihan dulu. Anda boleh menghina Soeharto sepuas-puasnya dengan meneriakkan yel-yel : "Ganti Soeharto !" , "Soeharto Goblok !", dll, tanpa kena jerat pasal 134 KUHP. Bagaimana caranya ? Tontonlah sepakbola antara Medan Jaya melaw an manapun, dimana salah seorang pemainnya bernama Soeharto. Anda akan beruntung, beli satu tiket bisa menonton bola, karate, bahkan bisa menghina Soeharto sepuas-puasnya. Terima kasih.

Pondok Salemba Indah, 1 September 1995


Tri Agus S. Siswowihardjo

Keterangan: Pada akhir persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Tri Agus S Siswowihardjo divonis 2 (dua) tahun penjara. Keputusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan kasasi Mahkamah Agung, tetap memvonis 2 (dua) tahun. Selama dua tahun (9 Februari 1995 – 9 Februari 1997) Tri Agus S Siswowihardjo menjalani pemenjaraan di Rutan Polres Jakarta Pusat, Rutan Salemba, LP Cipinang, LP Cirebon, Jawa Barat dan LP Subang, Jawa Barat.

1 komentar:

ADJOES mengatakan...

Udah lama atuh itu mah ! Gus... aku kehilangan kontak nih ! tolong kasih no. telp. ke e-mailku, ya ! (tata)