Rabu, 16 Juli 2008

Kegagalan Negara Menghentikan Pemiskinan Petani

Oleh: Tri Agus S. Siswowiharjo

Kemiskinan menurut perspektif ekonomi adalah suatu kondisi di mana pendapatan suatu penduduk atau rumah tangga tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar, pendapatannya terlalu rendah sehingga tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Dari sisi budaya, kemiskinan lebih ditentukan oleh pola perilaku masyarakat miskin, seperti pola hidup subsisten, konsumtif, dan etos kerja rendah. Sementara dari sudut pandang sosial, kemiskinan terjadi karena struktur sosial yang tidak berpihak pada orang miskin. Dengan demikian mereka tersisih akibat terisolasi terhadap akses ekonomi, sosial, dan politik (struktural).

Petani Indonesia, kini menghadapi proses pemiskinan. Kondisi petani ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Anjloknya harga gabah membuat mereka kian terpukul, karena hasil panen juga digunakan untuk menutupi biaya produksi serta sewa lahan yang kian mahal. Akibatnya, meskipun hasil panen padinya lumayan, pendapatan yang diterima petani penggarap belum mampu mengangkat mereka dari kubangan kemiskinan. Kondisi yang terus dibiarkan ini seolah menjelma menjadi proses pemiskinan terhadap petani.

Mengapa kebijakan pertanian kita tak menguntungkan para petani? Kebijakan pangan mencakup tiga elemen pokok meliputi pasokan (supply), distribusi dan konsumsi pangan. Diperlukan berbagai upaya agar ketiga elemen tersebut dapat terintegrasi sehingga dapat menjamin kontinuitas akses terhadap kecukupan pangan bagi masyarakat yang ada di dalam suatu negara. Kebijakan pangan diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan mendukung ketahanan pangan suatu negara. Dari sisi pasokan misalnya, salah satu instrumen kebijakan yang diterapkan adalah kebijakan harga (price policy). Melalui Inpres No 3 Tahun 2007 tentang kebijakan perberasan, ditentukan bahwa HPP (Harga Pembelian Pemerintah) untuk beras sebesar Rp 4.000/kg dan gabah kering giling (GKG) sebesar Rp 2.600/kg. Dalam Inpres tersebut juga diatur untuk GKG yang akan dibeli Bulog harus memenuhi syarat yaitu kadar air maksimumnya 14 persen dan butir hampa/kotoran maksimum 3 persen. Dalam praktiknya, tidak mudah bagi petani memenuhi persyaratan tersebut. Ini dikarenakan sedang musim hujan, bahkan di beberapa daerah dilanda banjir.

Pemerintah tampaknya tak mampu berbuat banyak karena sistem ekonomi pasar global telah mencengkeramnya. Ini adalah konsekuensi tunduknya ekonomi Indonesia pada mekanisme kapitalisme global. Tata ekonomi global yang berlaku sekarang ini dapat diidentifikasikan sebagai sistem ekonomi kapitalistik. Sistem tersebut memiliki jaringan internasional, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Sistem ini selalu menciptakan hubungan internasional yang tidak seimbang antara negara maju (pusat) dan negara yang sedang berkembang (pinggiran). Pusat selalu berupaya untuk bersahabat dengan para penguasa di negara pinggiran, untuk memperkuat penguasaan “pusat terhadap pinggiran”. Sehubungan dengan itu, perusahaan multinasional yang mendalangi ekonomi kapitalis memainkan peranan besar dalam menguras kekayaan negara sedang berkembang. Dalam kapitalisme, tujuan produksi yang pertama adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan mengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Ideologi pertumbuhan ekonomi tampaknya sudah menjadi “agama” baru dalam zaman modern ini. Hukum penawaran dan permintaan serta hukum pasar bebas (diteguhkan dalam perjanjian GATT/WTO) menjadi dewa penentu tanpa adanya suatu intervensi.

Globalisasi telah mengguncang sektor pertanian kita, termasuk di Temanggung. Petani tak mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan yang makin tinggi, memaksa petani menjual lahannya dan beralih menjadi buruh serabutan di kota-kota. Lahan petani makin sempit, membuat petani bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kecenderungan kemerosotan usaha tani menjelma menjadi proses pemiskinan petani. Sesuatu yang seharusnya bisa dicegah pemerintah, dan kenyataannya pemerintah hanya bisa diam seribu bahasa.

dimuat di buletin komunitas Temanggung: Stanplat

Tidak ada komentar: